Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan
2.1.1 Definisi
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terhadap obyek terjadi
melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba dengan tersendiri. Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan
tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian presepsi terhadap obyek.
Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga.
(Notoatmodjo, 2012).
Menurut teori WHO (World Health Organization) yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2007), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh
pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri.

2.1.2 Tingkat Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu :
a. Tahu
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang
tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan dan sebagainya.
b. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan, contoh menyimpulkan dan meramalkan
terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari kepada situasi atau kondisi real sebenarnya. Aplikasi
disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu
struktur organisasi dan masih ada kaitannya dengan satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya.
e. Sintesis
Sintesis yaitu menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru, misalnya dapat menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
ada.
f. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria-kriteria yang telah ada.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Notoatmodjo (2007), berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang, yaitu :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang
makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan
tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik
dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang
masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan
seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas
pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang
berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.
Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan
tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan
seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek
positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap
seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek
yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek
tersebut .
b. Mass media / informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non
formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)
sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya
teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat
mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana
komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar,
majalah, penyuluhan dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan opini dan kepercayan orang. Dalam penyampaian informasi
sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi
sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya
pengetahuan terhadap hal tersebut.
c. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang
akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi
seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan
untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam
lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik
ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
e. Pengalaman
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman baik dari pengalaman
pribadi maupun dari pengalaman orang lain. Pengalaman ini merupakan suatu
cara untuk memperoleh kebenaran suatu pengetahuan.
f. Usia
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan
pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.
Pada usia tengah (41-60 tahun) seseorang tinggal mempertahankan prestasi
yang telah dicapai pada usia dewasa. Sedangkan pada usia tua (> 60 tahun)
adalah usia tidak produktif lagi dan hanya menikmati hasil dari prestasinya.
Dua sikap tradisional Mengenai jalannya perkembangan hidup :
1) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang di
jumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah
pengetahuannya.
2) Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah
tua karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat
diperkirakan bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya
usia, khusunya pada beberapa kemampuan yang lain seperti misalnya
kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat ternyata
IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya
usia.

Dalam Teori Lawrence Green disebutkan bahwa Lawrence Green mencoba


menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyrakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar
perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk
dari 3 faktor (Notoatmodjo, 2007) :
1. Faktro-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. 
2. Faktro-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas
atau sarana-sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya. 
3. Faktro-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan erilaku
petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat. 
Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

B = f (PF, EF, RF)

Keterangan :
B = Behavior
PF = Predisposing Factors
EF = Enabling Factors
RF = Reinforcing Factors
F = Fungsi
Jadi, bisa disimpulkan bahwa “perilaku sesorang atau masyrakat tentang
kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya
dari orang atau masyarakat yang bersangkutan”. Disamping itu, ketersediaan fasilitas,
sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung
dan memperkuat terbentuknya perilaku (Notoatmodjo, 2007).

2.1.4 Pengukuran Pengetahuan


Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subyek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau
kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan (Nursalam, 2008).
Berdasarkan Yayuk Farida, 2004, tingkatan pengetahuan :
 Tingkat pengetahuan tinggi bila skor > 80%
 Tingkat pengetahuan sedang bila skor 80% - 60%
 Tingkat pengetahuan kurang bila skor < 60%

2.2 Diare
2.2.1 Definisi
Diare adalah penyebab kematian kedua pada anak dibawah 5 tahun. Secara
global setiap tahunnya ada sekitar 2 milliar kasus diare dengan angka kematian 1,5
juta per tahun. Pada negara berkembang, anak-anak usia dibawah 3 tahun rata-rata
mengalami 3 episode diare per tahun. Setiap episodenya diare akan menyebabkan
kehilangan nutrisi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, sehingga diare merupakan
penyebab utama malnutrisi pada anak (WHO, 2009).
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak
atau lebih cair dari biasanya (mencret), dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.
Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja
>10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10
g/kg/ 24 jam (Juffrie, 2010). Dua kriteria penting harus ada yaitu BAB cair dan
sering, jadi misalnya buang air besar sehari tiga kali tapi tidak cair, maka tidak bisa
disebut daire. Begitu juga apabila buang air besar dengan tinja cair tapi tidak sampai
tiga kali dalam sehari, maka itu bukan diare. Pengertian Diare didefinisikan sebagai
inflamasi pada membran mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare,
muntahmuntah yang berakibat kehilangan cairan dan elektrolit yang menimbulkan
dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit (Betz, 2009).
Menurut Hiswani (2004), penyakit diarre adalah penyakit yang sering teradi
pada anak balita dengan disertai muntah dan mncret, penyakit diare apabila tidak
seger diberi pertolongan pada anak dapat mengakibatkan dehidrasi. Untuk
pertolongan pertama pada anak yang menderita dehidrasi harus mendapatkan cairan
pengganti baik itu bersal dari cairan oralit ataupun cairan infus. Penyakit diare ini
sering menyebabkan wabah yang dapat membahayakan bagi anak-anak dan orang
yang bertempat tinggal di daerah yang memiliki sarana air bersih yang kurang.
Kejadian diare adalah perubahan frekuensi BAB dan konsistensi tinja pada
balita dalam 1 bulan terakhir (Wardoyo, 2010).

2.2.2 Etiologi Diare


Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005,
etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab :
1) Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus,
Clostridium perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter aeromonas
2) Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus
3) Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,
Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides stercoralis
4) Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,
imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.
2.2.3 faktor penyebab :

Menurut Aziz Alimul Hidayat (2008), diare disebabkan oleh beberapa


faktor, diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Faktor infeksi, proses ini dapat diawali dengan adanya mikroorganisme


(kuman) yang masuk kedalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang
dalam usus dan merusak sel mukosa intestinal yang dapat menurun kan daerah
permukaan intestinal sehingga terjadinya perubahan kapasitas dari intestinal
yang akhirnya mnegkibatkan gangguan fungsi intestinal dalam absorbsi cairan
dan elektrolit. Adanya toksin bakteri juga akan mengakibatkan sistem transpor
menjadi aktif dalam usus, sehingga sel mukosa mengalami iritasi dan akhirnya
sekresi cairan dan elektrilit akan meningka.t
2) Faktor malabsorbsi, merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang
mengakibatkan tekanan osmotik meningkat kemudian akan terjadi pergeseran
air elektrolit kerongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga
terjadi diare
3) Faktor makanan, dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap
dengan baik dan dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang akhirnya
mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan.
4) Faktor psikologis, dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus
yang dapat memmpengaruhi proses penyeraapan makanan.

Sedangkan menurut Sinthamurniwaty (2006), diare dipengaruhi oleh :

1) Faktor umur
Semakin muda umur balita semakin besar kemungkinan terkena diare,
karena semakin muda umur balita keadaan integritas mukosa usus masih
belum baik, sehingga daya tahan tubuh masih belum sempurna.
Kejadian diare terbanyak menyerang anak usia 7 – 24 bulan, hal ini
terjadi karena :
a. Bayi usia 7 bulan ini mendapat makanan tambahan diluar ASI dimana
risiko ikut sertanya kuman pada makanan tambahan adalah tinggi
(terutama jika sterilisasinya kurang).
b. Produksi ASI mulai berkurang, yang berarti juga anti bodi yang masuk
bersama ASI berkurang.
Setelah usia 24 bulan tubuh anak mulai membentuk sendiri anti bodi dalam
jumlah cukup (untuk defence mekanisme), sehingga serangan virus berkurang.

2) Faktor status gizi.


Pada penderita kurang gizi serangan diare terjadi lebih sering terjadi. Semakin
buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan berat diare yang diderita. Diduga
bahwa mukosa penderita malnutrisi sangat peka terhadap infeksi karena daya
tahan tubuh yang kurang. Status gizi ini sangat dipengaruhi oleh kemiskinan,
ketidak tahuan dan penyakit. Begitu pula rangkaian antara pendapatan, biaya
pemeliharaan kesehatan dan penyakit, keadaan sosio ekonomi yang kurang,
hygiene sanitasi yang jelek, kepadatan penduduk rumah, pendidikan tentang
pengertian penyakit, cara penanggulangan penyakit serta pemeliharaan
kesehatan
3) Faktor lingkungan
Penularan penyakit diare sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana
sebagian besar penularan melalui faecal oral yang sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan sarana air bersih dan jamban keluarga yang memenuhi syarat
kesehatan serta perilaku hidup sehat dari keluarga. Oleh karena itu dalam
usaha mencegah timbulnya diare yaitu dengan melalui penyediaan fasilitas
jamban keluarga yang disertai dengan penyediaan air yang cukup, baik
kuantitas maupun kualitasnya. Upaya tersebut harus diikuti dengan
peningkatan pengetahuan dan sosial ekonomi masyarakat, karena tingkat
pendidikan dan ekonomi seseorang dapat berpengaruh pada upaya perbaikan
lingkungan.
2.2.4. Faktor Resiko Diare
a) Kurangnya Pengetahuan Orangtua
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Dengan
pengetahuan yang baik, maka akan dapat diterapkan di dalam kegiatan sehari-
hari dan berdampak pada menurunnya angka kejadian diare tetapi tidak selalu
demikian, terdapat sebagian ibu yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik
tetapi tidak menerapkan dalam kegiatan sehari-hari, sehingga menyebabkan
tidak menurunnya kejadian diare. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
yang baik belum tentu dapat menentukan sikap yang baik pula. Walaupun
pengetahuannya baik, tapi jika tidak diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari
maka akan berdampak buruk bagi kesehatan (Mentari dkk, 2016)
b) Kurangnya Higienitas
Salah satu faktor risiko yang sering pada diare adalah faktor
lingkungan yang meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi lingkungan,
jamban, dan kondisi rumah. Sanitasi yang buruk dituding sebagai penyebab
banyaknya kontaminasi bakteri e.coli dalam air bersih yang dikonsumsi
masyarakat. Kontaminasi bakteri e.coli terjadi pada air tanah yang banyak
disedot penduduk, dan sungai yang menjadi sumber air baku di pdam pun
tercemar bakteri ini sehingga mengakibatkan masalah kesehatan (Adisasmito,
2007).
Kebersihan anak maupun kebersihan lingkungan memegang peranan
penting pada tumbuh kembang anak baik fisik maupun psikisnya. Kebersihan
anak yang kurang, akan memudahkan terjadinya penyakit cacingan dan diare
pada anak (Amatus dkk, 2015).
Kondisi lingkungan yang buruk adalah salah satu faktor meningkatnya
kejadian diare karena status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup
perumahan, pembuangan kotoran, dan penyediaan air bersih. Hal ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan lingkungan yang besar karena dapat
menyebabkan mewabahnya penyakit diare dan mempengaruhi kondisi
kesehatan masyarakat (Fiesta, Surya & Irnawati, 2012).
c) Status Gizi
Kejadian diare sangat erat hubungannya dengan status gizi seseorang.
Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi
buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan
tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh
karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi
yang ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh
terhadap penyakit infeksi (Supariasa dkk, 2002).
Penderita gizi buruk akan mengalami penurunan produksi antibodi
serta terajadinya atrofi pada dinding usus yang menyebabkan berkurangnya
sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya bibit penyakit ke
dalam tubuh terutama penyakit diare (Sjahmiem M, 2003)
2.2.5 Jenis Diare

Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan kepada :


1) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
2) Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah.
3) Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
4) Diare yang disertai dengan malnutrisi berat

2.2.6 Penanganan Diare

Menurut kemenkes RI (2011), terdapat 5 langkah untuk mengatasi diare,


diantaranya :
1. Berikan Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia
berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit
saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas
yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan
cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang.
Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan
untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus. Derajat dehidrasi dibagi
dalam 3 klasifikasi :
a) Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini
atau lebih :
 Keadaan Umum : baik
 Mata : Normal
 Rasa haus : Normal, minum biasa
 Turgor kulit : kembali cepat

Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb :

 Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret


 Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
 Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak
mencret
b) Diare dehidrasi Ringan/Sedang
Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2 tanda di
bawah ini atau lebih:
 Keadaan Umum : Gelisah, rewel
 Mata : Cekung
 Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
 Turgor kulit : Kembali lambat 20

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan


selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa
dehidrasi.

c) Diare dehidrasi berat


Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih:
 Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
 Mata : Cekung
 Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
 Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)

Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke


Puskesmas untuk di infus.

2. Berikan obat Zinc


Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh.
Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase),
dimana ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan
hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus
yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare.
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan
tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi
volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan
berikutnya (Black, 2003). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc
mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11 % dan menurut hasil
pilot study menunjukkan bahwa Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar
67 % (Hidayat 1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti ini semua anak
diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
 Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari selama 10 hari
 Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari.

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara
pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau
ASI, sesudah larut berikan pada anak diare.

3. Pemberian ASI / Makanan


Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi
pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum Asi harus lebih sering di
beri ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari
biasanya. Anak uis 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan
makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan
sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian
makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat
badan.
4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya
bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena
shigellosis), suspek kolera. Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan
pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti
muntah tidak di anjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak
mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian
besar menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa berakibat fatal.
Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit
(amuba, giardia).
5. Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi
nasehat tentang :
1) Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
 Diare lebih sering
 Muntah berulang
 Sangat haus
 Makan/minum sedikit
 Timbul demam
 Tinja berdarah
 Tidak membaik dalam 3 hari.

2.2.7 Pencegahan Diare

Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan efektif yang dapat dilakukan
adalah : (Kemenkes RI, 2011)
1. Pemberian ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap
secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan
sampai umur 6 bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa
ini.
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu
formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat
terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau
makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya
bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan seperti ini
di sebut disusui secara penuh (memberikan ASI Eksklusif).
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan.
Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil
ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya
antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan
perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara
penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada
pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang
disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab botol untuk susu formula,
berisiko tinggi menyebabkan diare yang dapat mengakibatkan terjadinya gizi
buruk.
2. Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap
mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku pemberian
makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa,
dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.
Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian makanan
pendamping ASI, yaitu:
a) Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 6 bulan dan dapat
teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan setelah anak
berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih sering (4x sehari).
Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan yang dimasak
dengan baik, 4-6 x sehari, serta teruskan pemberian ASI bila mungkin.
b) Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi /bubur dan biji-
bijian untuk energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging,
kacangkacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam
makanannya.
c) Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan meyuapi anak. Suapi
anak dengan sendok yang bersih. d. Masak makanan dengan benar,
simpan sisanya pada tempat yang dingin dan panaskan dengan benar
sebelum diberikan kepada anak.
3. Menggunakan Air Bersih Yang Cukup
Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui Face-
Oral kuman tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui
makanan, minuman atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jarijari
tangan, makanan yang wadah atau tempat makanminum yang dicuci dengan
air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar
bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan
masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu
dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari
kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
a) Ambil air dari sumber air yang bersih
b) Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan
gayung khusus untuk mengambil air.
c) Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-
anak
d) Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih)
e) Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang
bersih dan cukup.
4. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang
penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan
dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja
anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan
sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare ( Menurunkan
angka kejadian diare sebesar 47%).
5. Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko
terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus
membuat jamban dan keluarga harus buang air besar di jamban.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
a) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat
dipakai oleh seluruh anggota keluarga.
b) Bersihkan jamban secara teratur.
c) Gunakan alas kaki bila akan buang air besar.
6. Membuang Tinja Bayi Yang Benar
Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal
ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-
anak dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga:
a) Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di jamban
b) Bantu anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah di
jangkau olehnya.
c) Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja seperti di
dalam lubang atau di kebun kemudian ditimbun.
d) Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan
dengan sabun.
7. Pemberian Imunisasi Campak
Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk
mencegah agar bayi tidak terkena penyakit campak. Anak yang sakit campak
sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat
mencegah diare. Oleh karena itu berilah imunisasi campak segera setelah bayi
berumur 9 bulan.

2.2.8 Komplikasi

Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,


terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera, kehilangan
cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok hipovolemik. Kehilangan
elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya hipokalemia dan asidosis metabolik
(Farthing, 2013).
Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok hipovolemik
sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular akut ginjal dan
selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila
penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga rehidrasi optimal tidak tercapai.
Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama oleh EHEC.
Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari
setelah diare. Risiko HUS meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat
anti-diare, tetapi hubungannya dengan penggunaan antibiotik masih kontroversial.
Sindrom Guillain – Barre, suatu polineuropati demielinisasi akut, merupakan
komplikasi potensial lain, khususnya setelah infeksi C. jejuni; 20-40% pasien Guillain
– Barre menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Pasien menderita
kelemahan motorik dan mungkin memerlukan ventilasi mekanis. Mekanisme
penyebab sindrom Guillain – Barre belum diketahui.2 Artritis pasca-infeksi dapat
terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena Campylobacter, Shigella,
Salmonella, atau Yersinia spp.

Anda mungkin juga menyukai