Anda di halaman 1dari 31

Tugas Kelompok

MANAJEMEN AGRIBISNIS TANAMAN PADI

(Studi Kasus di Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Wajo)

OLEH :

ROSMITA S G21115001

MARWANA G21115011

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
A. SEJARAH SINGKAT PADI

           Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman


pertanian kuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan
subtropis. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang
(Cina) sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah
ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina
dan India, beberapa wilayah asal padi adalah, Bangladesh Utara, Burma,
Thailand, Laos, Vietnam.
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban
manusia. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga
digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama,
yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan
ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi
merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil
dari pengolahan padi dinamakan beras.
Klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut:
Divisi               : Spermatophyta
Sub divisi        : Angiospermae
Kelas               : Monotyledonae
Keluarga          : Gramineae (Poaceae)
Genus              : Oryza
Spesies            : Oryza  spp.

B. KEADAAN PERTANIAN LOKASI


Kabupaten Wajo sebagai salah satu daerah lumbung padi di
Sulawesi Selatan dengan luas lahan persawahan sekitar 86.297 Ha tentunya
menjadi perhatian bagi pemerintah daerah dan para petani pada umumnya.
Peningkatan produktivitas usahatani melalui peningkatan mutu intensifikasi
yang dilakukan dengan perbaikan teknologi ahatani merupakan pendekatan
yang realistis.
Kabupaten Pinrang memiliki garis pantai sepanjang 93 Km sehingga
terdapat areal pertambakan sepanjang pantai, pada dataran rendah didominasi
oleh areal persawahan, bahkan sampai perbukitan dan pegunungan. Kondisi ini
mendukung Kabupaten Pinrang sebagai daerah Potensial untuk sektor pertanian
dan memungkinkan berbagai komoditi pertanian (Tanaman Pangan, perikanan,
perkebunan dan Peternakan) untuk dikembangkan. Ketinggian wilayah 0–500
mdpl ( 60,41%), ketinggian 500–1000 mdpl ( 19,69% ) dan ketinggian 1000
mdpl (9,90%).
C. KARAKTERISTIK PETANI PADI
Karakteristik petani di dua kabupaten yang disurvey, dicirikan oleh
petani-petani yang berumur mudah, berpendidikan rendah, tapi memiliki
pengalaman mengelola usahatani yang cukup lama. Secara rata-rata umur
petani di loasi survey sekitar 45 tahun. Rata-rata umur petani di Kabupaten
Pinrang sekitar 44 tahun, sedangka rata-rata umur petani di Wajo sekitar 46
tahun. Pendidikan petani di wilayah survey juga pada umumnya
berpendidikan pada tingkat SD, Bahkan petani di Kabupaten Pinrang
umumnya mereka tidak tamat SD. Meskipun dari segi pendidikan formal
mereka umumnya berpendidikan rendah, namun dari segi pengalaman
mereka berusahatani umumnya sudah lama. Secara rata-rata pengalaman
petani berusahatani mencapai 22 tahun. Bahkan rata-rata pengalaman
berusahatani di Kabupaten Wajo mencapai 24 tahun.
Tabel 1. Karakteristik Petani di Lokasi Studi, Dirinci
Menurut Wilayah Survei, Tahun 2014.
Lokasi
No Karakteristik Studi
Responden
PINRANG WAJO RATA-RATA

1 Umur (tahun) 44 46 45

2 Pendidikan (tahun) 4.3 6.1 5

3 Juml . Tang Kel (jiwa) 4 5 4

4 Peng.UT (tahun) 19 24 22

Sumber : Data Primer Diolah, 2014


Tanggungan keluarga petani yang disurvey, cukup beragam
dengan rentang antara 1 hingga 8 orang. Secara rata-rata, tanggungan
keluarga petani di dua wilayah survey sebanyak 4 orang. Jumlah
tanggungan keluarga petani terbanyak di temukan diwilayah Kabupaten
Wajo dengan rata-rata tanggungan mencapai 5 orang, sedangkan
tanggungan keluarga petani di Kabupaten Pinrang rata-rata hanya
sebanyak 4 orang.

D. SUBSISTEM PRODUKSI/ USAHATANI PADI


Karakteristik usahatani padi di lokasi studi, yang diambil dari dua
wilayah sentra, yakni Kabupaten Pinrang dan Wajo, digambarkan dari
berbagai aspek, seperti kondisi sarana pengairan, luas lahan yang
dikelola petani, varietas benih yang diusahakan serta tingkat
produktivitasnya dan teknologi tanam dan panen padi. Dari aspek sarana
pengairan, responden dari wilayah studi Pinrang seluruhnya (100%)
memiliki sawah yang sudah dilengkapi sarana pengairan tehnis. Sedangkan
responden yang diperoleh di Kabupaten Wajo, 30% diantaranya mengelola
sawah yang tergantung pada tadah hujan dan 20% mengelolah sawah tada
hujan yang sudah dilengkapi sarana irigasi pompanisasi.

Tabel 2. Karakteristik Usahatani Padi, Dirinci Menurut Wilayah Studi,


2014.
Presentase Responden (%)
No Ura PINRANG WAJO TOTAL
. 1 Sarana Irigasi
IIII
* Ierigasi Tehnis 100 - 5
* Irigasi Sederhana - - 0-
* Tadah Hujan - 18 3
* Pompanisasi - 12 02
2 Luas Lahan (Ha) 0
* < 0.5 - 3.33 1
* 0.5 - 1,0 23.33 20.00 .
21
* 1.0 - 2.0 60.00 26.67 .6
43
* > 2.0 16.67 50.00 .3
33
Sumber : Data Primer Diolah, 2014 .3
Selanjutnya dari aspek luas lahan, menunjukkan bahwa untuk
wilayah sampel secara keseluruhan, terdapat lebih separuh (76,67%) petani
memiliki luas lahan usahatani padi diatas 1 Ha. Untuk wilayah studi
Pinrang, sekitar 60% responden memiliki lahan pada rentang luas 1 – 2 Ha
dan sekitar 23% responden mengelola lahan usahatani padi pada kisaran
luas 0.5 – 1,0 Ha. Rata-rata luas lahan petani padi di wilayah ini sekitar
1,39 Ha. Selanjutnya untuk wilayah studi Kabupaten Wajo, dari total
responden separuh diantaranya mengelola lhan usahatani diatas 2 Ha,
kemudian sekitar 26,67% mengelola lahan usahatani pada kisaran 1-2
Ha. Rata-rata luas usahatani padi di daerah ini mencapai rata-rata 2,23 Ha.
Gambaran ini menunjukkan bahwa rata- rata luas usahatani yang dikelola
petani di Kabupaten Wajo lebih tinggi dibandingkan luas yang dikelola oleh
petani di Kabupaten Pinrang. bahkan terdapat variasi jenis varietas padi
yang ditanam oleh petani di lokasi studi yang disurvey. Secara total
jenis varietas yang paling banyak ditanam petani padi dilokasi survey
adalah varietas Ciherang. Proporsi re3sponden yang mengusahakan
varietas ini sekitar 26,67% dari total responden di kedua loasi studi.
Sedangkan varietas yang paling sedikit dikembangkan adalah varietas
Ciliwung, dengan proporsi responden sekitar 13,33%. Perbandingan varietas
padi yang diusahakan petani di kedua wilayah studi menunjukkan bahwa
untuk wilayah Pinrang adalah jenis varietas Ciherang dan Ciliwung dengan
proporsi responden masing-masing 33,33% untuk Ciherang dan 26,67%
untuk Cilliwung. Sedangkan petani di Kabupaten Wajo umumnya
menanam varietas Batang dan Anphari, dengan proporsi masing-masing
43,33% untuk Batang dan 23,33% untuk varietas Anphari.
Tabel 3. Karakteristik Petani di Sulawesi Selatan, Dirinci Menurut

Presentase Responden (%)


N VARIETAS TOTAL
o PINRANG WAJO
1 Ciherang 33.33 20.00 26.67

2 Ciliwung 26.67 - 13.33

3 Batang - 43.33 21.67

4 Inpari 23.33 23.33 23.33

5 Mikongga 16.67 13.33 15.00

100 100 100

Wilayah
Sumber : Data Primer Diolah, 2014
Pertimbangan yang digunakan petani dalam memilih benih
sangat beragama. Selain faktor ketersediaan benih yang dapat diakses
petani dan harga benih tersebut, juga pengalaman petani tentang tingkat
produktivitas padi dari benih tersebut juga menjadi pertimbangan. Bahkan
tidak sedikit petani memilih suatu varietas karena umur tanamnya yang
pendek. Dari hasil wawancara diperoleh gambaran bahwa jenis varietas
Anphari merupakan varietas padi yang dipilih petani dengan
pertimbangan umur pendek, meski produktivitasnya dinilai petani sedikit
lebih rendah. Sedangkan varietas seperti Ciherang, Cilliwung, Mikongga
memiliki umur panen kurang lebih 100 hari, dan varietas yang berumur
panjang adalah varietas Batang, dimana umur panennya dapat mencapai
120 hari. Dengan demikian perbedaan varietas padi yang diusahakan petani
menyebabkan adanya perbedaan masa panen maupun produktivitas
usahatani padi.
Secara raat-rata produktivitas usahatani untuk total wilayah studi
sekitar 6,531 ton per hektar dengan rata-rata umur panen sebesar 107 hari.
Produktivitas usahatani padi di lokasi studi di Kabupaten Pinrang sekitar
6,79 ton per hektar, dengan masa panen rata-rata sekitar 105 hari.
Sedangkan produktivitas usahatani padi di Kabupaten Wajo sekitar 6,206 ton
per hektar, dengan masa panen rata-rata hingga 107 hari. Dengan demikian
secara rata-rata produktivitas padi di Kabupaten Pinrang lebih tinggi sertaa
memiliki masa panen yang lebih pendek dibandingkan di wilayah
Kabupaten Wajo. Selain faktor varietas benih, keterbatasan sarana irigasi
pada lahan petani sampel juga di duga menjadi penyebab rendahnya
produktivitas usahatani di Kabupaten Wajo.
Tabel 4. Keragaman Luas Lahan, Produktivitas dan Umur Panen Padi,
Dirinci Menurut Wilayah Survei, Tahun 2014.
Karakteristik Responden
Lokasi
Luas (ha) Produktivitas Umur Panen (Hari)
(Ton/Ha)
PINRANG 1.91 6,791 105

WAJO 2.13 6,206 110

RATA-RATA 2.06 6,531 107

Sumber : Data Primer Diolah, 2014


Tingkat keragaman produktivitas usahatani padi yang dicapai petani
di loasi studi cukup tinggi. Keragaman tersebut di diindikasikan oleh nilai
range (selisih nilai max dan nilai min) yang cukup lebar serta nilai ragam
(standar deviasi) produktivitas antar petani yang cukup tinggi. Tingginya
keragaman produktivitas yang dicapai petani padi di masing-masing lokasi,
selain mengisyaratkan tingginya resiko produksi padi, juga
mengindikasikan bahwa terdapat kesenjangan yang cukup lebar diantara
petani mengenai penerapan teknologi produksi padi, seperti penggunaan
bibit, pupuk dan sarana produksi lainnya. Kesenjangan aplikasi teknologi ini
dalam hal benih, terlihat dari beragamnya jenis benih yang digunakan
petani seperti yang sudah dijelaskan.
Produktivitas Padi (To/Ha)
Lokasi
Ma Mi Rata-rata Stdev
x n

PINRANG 8,135 5,722 6,791 1,120

WAJO 8,352 4,050 6,206 1,930

RATA- 8,352 4,050 6,531 1,671


RATA5. Rata-rata, Max dan Min Produktivitas Padi, Dirinci Menurut Wilayah Survey
Tabel
Sumber Data Primer Diolah, 2014
Rata-rata produktivitas usahatani padi yang dicapai oleh petani di lokasi studi rata-rata
hanya sekitar 78,28 persen dari produktivitas optimalnya (tingkat produktivitas maksimal yang
dapat dicapai petani). Tingkat capaian produktivitas tersebut diukur dari rasio antara rata-rata
(mean) produktivitas yang dicapai petani dengan tingkat produktivitas maksimal (max) yang
dicapai petani di lokasi studi. Produktivitas maksimal yang dicapai petani di lokasi survey
sebesar 8,352 ton per hektar, sementara rata-rata produktivitas yang dicapai hanya sekitar 6,531
Ton per hektar.
Usahatani padi di Kabupaten Pinrang tidak hanya memiliki rata-rata produktivitas
usahatani padi yang lebih tinggi, tetapi tingkat capaian produktivitas terhadap produktivitas
optimalnya juga lebih tinggi yakni sekitar 83,60%. Sedangkan di Kabupaten Wajo yang
memiliki rata-rata produktivitas yang lebih rendah juga memiliki rasio antara rata-rata
produktivitas dengan produktivitas maksimal (mean/max) paling rendah yakni hanya sekitar
74,31%. Rendahnya capaian rata-rata produksi padi terhadap produksi optimalnya di Kabupaten
Wajo, sekaligus mengisyaratkan resiko produksi padi di daerah ini lebih tinggi dibandingkan di
Kabupaten Pinrang. Resiko usahatani padi di daerah ini umumnya terkait dengan sulitnya
mengatur ketersediaan air, meski sudah menggunakan sarana pengairan pompanisasi, karena
debit air yang tersedia di sungai juga tidak dapat dikendalikan.
a. Perbandingan Sistem Tanam Dipindahkan dan Sistem Tanam
Hambur
1. Metode Tanam Dipindahkan
Metode tanam hambur dengan menggunakan alat pipa untuk mengontrol jarak tanam
merupakan metode penanaman yang dominan di Kabupaten Pinrang. Sekitar 66,67% persen
petani di lokasi survey ini menggunakan metode Tabela, sisanya sekitar 30,0% menggunakan
metode tanam pindah secara manual. Pertimbangan penghematan biaya dan alokasi tenaga kerja,
serta kemampuan untuk mengontrol jarak tanam merupakan pertimbangan utama yang
digunakan petani di daerah ini dalam memili metode Tabel dengan alat bantuan Pipa. Sedangkan
petani yang masih bertahan terhadap metode tanam pindah, didasarkan pada pertimbangnan
karena metode ini yang diyakini menghasilkan produksi yang lebih tinggi, serta sesuai dengan
tradisi yang dilakukan. Selanjutnya metode tanam pindah yang ada di di lokasi ini merupakan
metode percontohan yang diintervensi oleh peneliti. Petani di lokasi studi sebelumnya belum
mengenal cara tanam ini. Sebagai percontohan, penerapan mesim tanam di Kabupaten pinrang
diuji cobakan pada satu petani.

2. Metode Tanam Hambur


Selanjutnya untuk wilayah studi di Kabupaten Wajo, umumnya petani menggunakan
metode hambur. Sekitar 63,33% petani responden menggunakan metode hambur, sisanya sekitar
36,67% menggunakan metode Tabela dengan alat pipa. Terbatasnya tenaga kerja di lokasi, serta
jadwal tanam yang ketat (biasanya hanya 3-7 hari) yang harus dipatuhi seluruh anggota
kelompok untuk tanam serempak demi menghindari serangan hama dan ketersediaan air,
merupakan pertimbangan utama yang mendasari pemilihan metode tanam hambur ini. Metode
tanam hambur adalah metode tanam yang memerlukan waktu dan tenaga paling sedikit.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, bahwa dengan metode ini satu orrang petani dapat
melakukan penanaman padi dengan metode hambur hanya dalam waktu satu jam untuk luasan 1
hektar. atau alokasi tenaga kerjany setara 0.14 HOK per hektar. Hanya saja metode ini tidak
dapat mengontrol jarak tanamnya serta sedikit menyulitkan dalam pembersihan.
Tabel 6. Metode Tanam dan Alokasi Tenaga Kerja (Manusia/Mesin), Dirinci Menurut
Wilayah Survey, 2014
No Kabupaten Metode Tanam Rerata Alokasi waktu/Ha

Jenis % TK Mesin (Jam)


Responden Manusia
(HOK)
1 PINRANG Hambur 0 - -
Tabela (Alat Pipa) 66.67 1,14 -
Tanam pindah secara 30.00 13,71 -
Manual
Tanam pindah dengan 3.33 2.86 4
Mesin Tanam
100.00
2 WAJO Hambur 63.33 0,14 -
Tabela (Alat Pipa) 36.67 1.29 -
Tanam pindah secara 0 - -
Manual
Tanam pindah dengan 0 - -
Mesin Tanam
100

b. Perbandingan Penggunaan Mesin Panen dan Metode Perontokkan

1. Metode Mesin Panen

Metode panen yang ditemukan di lokasi penelitian adalah penggunaan sabit biasa, dan
penggunaan mesin combine harvester. Dari sisi teknologi alat panen, petani padi di Kabupaten
Pinrang hamper seluruhnya sudah beralih dari cara panen dengan sabit ke cara panen dengan
menggunakan combine harvester. Proporsi responden yang menggunakan alat panen ini di
Kabupaten Pinrang mencapai 96,67%. Petani yang tidak menggunakan mesin panen ini juga
didasarkan alas an tehnis, yakni karena lokasi sawahnya yang jauh serta berlumpur/becek
sehingga mesin panen tidak dapat menjangkau. Kecenderungan penggunaan mesin panen
combine harvester di Kabupaten Wajo juga semakin besar, ini terlihat dari proporsi petani yang
sudah enggunakan alat ini mencapai 73,33%, sisanya menggunakan alat panen sabit biasa,
alasannya selain keterbatasan mesin panen di lokasi, juga karena kondisi sawah yang tidak dapat
dijangkau.
Alasan utama petani untuk menggunakan alat panen combine harvester selain karena
hemat biaya, keterbatasan tenaga kerja, juga karena hemat waktu. Penggunaan mesin panen ini
umumnya petani tidak lagi menanggung biaya karung, serta bagi hasil yang digunakan sebagai
biaya mesin lebih murah di bandingkan dengan metode lain.Umumnya biaya bagi hasil dari alat
ini 1 : 10, sedangkan yang menggunakan sabit biasanya 1 : 8. Waktu yang diperlukan mesin ini
untuk memanen sekaligus merontok adalah hanya sekitar 2 jam per hektar.

Tabel 7. Penggunaan Alat Panen dan Alokasi Tenaga Kerja (Manusia/Mesin)

No Kabupaten Penggunaan Alat/Mesin Rerata Alokasi waktu/Ha

Panen
Jenis % TK Manusia (HOK) Mesin (Jam)
1 PINRANG Sabit Biasa 3,33 18,50 4,00
Sabit Bergerigi 0 - -
Combine Harvester 96,67 2,29 2,26
100
2 WAJO Sabit Biasa 26,67 20,00 4,00
Sabit Bergerigi 0 - -
Combine Harvester 73,33 2,23 2,05
100

2. Metode Perontokan
Alat mesin combine harvester selain melakukan pemanenan juga sekaligus merontokkan
padi, karena itu proporsi petani yang menggunakan metode panen dengan alat ini juga
proporsinya sama dengan penggunaan alat ini dalam perontokan. Selanjutnya petani yang
menggunakan metode panen dengan alat sabit, mereka merontokkan padi dengan alat
dros/Candue. Adapun proporsi responden menurut cara perontokan padi, serta alokasi tenaga
kerja manusia dan mesin pada masing-masing cara perontokan di wilayah studi terlihat pada
table berikut.
Tabel 8. Penggunaan Alat Perontok dan Alokasi Tenaga Kerja (Manusia/Mesin)

No Kabupaten Penggunaan Alat/Mesin Rerata Alokasi waktu

Perontok
Jenis % TK Manusia Mesin (Jam)

(HOK)
1 PINRANG Dihempas/dipukul 0 - -
Dros mesin 3,33 11.25 4,00
Dros manual 0 - -
Combine Harvester 96,67 2,29 2,06
100
2 WAJO Dihempas/dipukul 0 - -
Dros mesin 26,67 11,25 4,00
Dros manual 0 - -
Combine Harvester 73,33 2,23 2,05
100

7.5.3. Analisa Perbandingan kelebihan dan kekurangan Berdasarkan Metode Tanam dan
Metode Panen
Penggunaan metode hambur dilakukan petani, karena dianggap mudah dengan tenaga
kerja yang sedikit, dapat dilakukan sendiri oleh petani dan keluarganya. Selain itu, waktu
penanaman sangat fleksible, tergantung dari ketersediaan air, sehingga dapat dilakukan secara
serampak oleh semua petani pada satu hamparan. Keuntungan dengan system hambur secara
serempak adalah waktu tanaman, panen, dan serangan hama dapat diatur sehingga produksi
maksimal dapat dicapai. Selain itu, banyak petani meyakini bahwa dengan system hambur dapat
memberikan produksi yang maksimal pada daerah yang diperhadapkan pada keterbatasan air,
tenaga kerja, dan serangan hama. Penanaman yang dapat dilakukan secara bersamaan dapat
mengurangi serangan hama dan sekaligus kegiatan panen dapat juga dilakukan secara serentak.
Keuntungan lain yang diyakini petani dapat memberikan produksi maksimal karena semua benih
yang tertanam adalah satu biji, sehingga sebagian prinsip pola SRI terlaksana pada system
hambur.
Pertanaman Tabur Langsung (Tabela) dilakukan oleh kelompok Tani Situjue
Kabupaten Wajo. Hal ini dilakukan karena petani masih meyakini bahwa system tanam pindah
adalah lebih baik, namun ketersediaan modal dan atau tenaga ke rja tanam yang tidak tersedia,
sehingga menggunakan metode Tabela. Tabel dilakukan dengan menggunakan pipa prolong 6
inch kemudian diberikan lubang tempat keluarnya benih dengan jarak sesuai dengan jarak
tanamn yang dikehendaki. Penanaman system legowo dapata juga dilakukan dengan penggunaan
pipa pada sistem tabela, karena jarak tanamn dapat diatur.

Tabel 9. Waktu, Biaya dan Produktivitas Usahatani Padi Menurut Metode Tanam

Uraian Hambur Tabela Tanaman manual Mesin Tanam


Waktu tanam 1 hari untuk 2 1 hari untuk 1 hari untuk 10 3 ha per hari
(hari/ha) orang 2 orang Orang

Biaya tanam Rp 150,000/ha Rp 0,8 – 1,0 juta Rp 1-1,8 juta


Produktivitas 5-8 ton/ha 6-10 ton/ha 6-10 ton/ha

Umur tanam Lebih singkat Lama Lama

Pengggunaan system tanam pindah (Tapin) dilakukan pada daerah dimanaterdapat


tenaga kerja tanam yang cukup dan petani memiliki modal yang cukup, sehingga petani
melakukan tanaman pindah. Petani menyadari system tanaman pindah memberikan produksi
yang lebih tinggi dengan kenaikan produksi minimal 20 persen. Selain itu, serangan hama dapat
ditekan, karena jarak tanam yang teraratur, kualitas buah lebih baik, karena kematangan relative
seragam, sehingga kualitas biji lebih baik. merasa yakin bahwa system tabela atau hambir
dianggap sama dengan system tanaman pindah. Sistem tanaman pindah membutuhkan biaya
yang lebih tinggi atau tenaga lebih banyak, sehingga sudah kurang petani yang melakukan
system tanam pindah karena berabgai keterbatasaan modal atau tenaga kerja atau ketidaktahuan
keunggulan system pindah.
Penggunaan mesin tanam (transplanter) adalah sama dengan system tanam
pindah (Tapin) hanya menggunakan alat bantu mesin, sehingga kecepatan tanaman adalah
tinggi (3 ha/hari) dan jarak tanaman adalah sangat teratur. Pengggunaan mesin tanam di
Sulawesi Selatan belum populer, bahkan dapat dikatakan, sebagian besar petani padi belum
mengetahui adanya mesin tanam. Sebenarnya sudah ada perusahaan yang menyediakan
jasa penanaman padi di Kabupaten Wajo dan Pinrang, tetapi hingga sekarang ini
belum berkembang. Hal ini disebabkan karena petani harus menyediakan biaya tanam
yang harus dibayar tunai, sementara yang banyak terjadi adalah hampir semua biaya yang
harus dikeluarkan pada system budidaya padi dibayar setelah panen. Selain itu,
hambatan yang dihadapi komunikasi dan interkasi antara petani dengan penyedia jasa
penanan padi belum ketemu, karena kepastian ketersediaan air yang kurang di Kabupaten
Wajo.
Berdasarkan kenyataan ini, telah dilakukan intervensi khusus kepada salah satu anggota
petani agar dapat mencoba menggunakan mesim tanam untuk mengetahui dampaknya pada
petani di sekitarnya. Hasil intervensi menunjukkan perbedaan nyata, yaitu penampakan pada
proses pertumbuhan tanaman lebih baik, malai dan bulir lebih besar, serta bentuk biji buah lebih
panjang, sehingga terhadai perbedaaan produksi sekitar 20 persen lebih tinggi dibandingkan
petani di sekitarnya yang menggunakan system tabela. Berdasakan pengalaman ini, petani di
sekitarnya sudah merencanakan mengggunakan mesim tanaman pada musim tanam
berikutnya. Anggota kelompok tani yang lain (KT. Padaidi) juga berharapkan dapat
melakukan uji coba menggunakan mesin tanam pada satu petak di sawah hamparan anggota.
Permasalahan yang dihadapi petani padi adalah sulitnya mengatur air untuk
memenuhi kebutuhan air tanaman padi, karena selain mengandalkan curah hujan, periode
musim hujan juga sudah tidak diketahui pasti oleh masyarakat. Implikasi dari ketidak
tertaruran curah hujan, petani sulit menata sistem budidaya yang tepat, sehingga sebagaian
besar petani menggunakan cara hambur benih atau menanan lagi, seperti yang dilakukan
didaerah pengairan. Ada dua faktor petani lebih suka menggunakan sistem hambur benih atau
tabur langsung (tabela) dengan menggunakan pipa plastik pralong adalah tidak ada tenaga
tanaman, ketersediaan air tidak menentu, sehingga sulit disesuaikan umur benih dan
ketersediaan air.

E. ON FARM PADI

1. Pembibitan
Ada beberapa tahapan untuk menanam padi maupun budidaya padi, langkah-langkanh
tersebut perlu kita lakukan untuk mendapat hasil yang maksimal. Sebelum ditanam, tanaman
padi harus disemaikan lebih dahulu. Pesemaian itu harus disiapkan dan dikerjakan dengan baik,
maksudnya agar diperoleh bibit yang baik, sehingga pertumbuhannya akan baik pula. Beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan persemaian sebagai berikut:
a. Memilih Tempat Pesemaian
Tempat untuk membuat pesemaian merupakan syarat yang harus diperhatikan agar
diperoleh bibit yang baik.Tanahnya harus yang subur, banyak mengandung humus, dan
gembur. Tanah itu harus tanah yang terbuka, tidak terlindung oleh pepohonan, sehingga
sinar matahari dapat diterima dan dipergunakan sepenuhnya.Dekat dengan sumber air
terutama untuk pesemaian basah, sebab pesemaian banyak membutuhkan air.
Sedanggkan pesemaian kering dimaksudkan mudah mendapatkan air untuk menyirami
apabila persemaian itu mengalami kekeringan. Apabila areal yang akan ditanami cukup
luas sebaiknya tempat pembuatan pesemaian tidak berkumpul menjadi satu tempat tetapi
dibuat memencar. Hal itu untuk menghemat biaya atau tenaga pengangkutannya.
b. Mengerjakan Tanah Untuk Pesemaian
Tanah pesemaian harus mulai dikerjakan kurang lebih 50 hari sebelum penanaman.
Karena adanya dua jenis padi, yaitu padi basah dan padi kering, maka tanah pesemaian
juga dapat dibedakan atas pesemaian basah dan pesemaian kering.
 Pesemaian Basah,dalam membuat pesemaian basah harus dipilih tanah sawah yang betul-
betul subur. Rumput-rumput dan jerami yang masih tertinggal harus dibeersihkan lebih
dulu. Kemudian sawah digenangi air, maksud digenagi air ini agar tanah menjadi klunak,
rumpput-rumputan yang akan tumbuh menjadi mati, dan bermacam-macam serngga
yang dapat merusak bibit mmati pula. Selanjutnya, apabila tanah sudah cukup lunak lalau
dibajak/digaru dua kali atau tanah menjadi halus. Pada saat itu juga sekaligus dibuat
petakan-petakan dan memperbaiki pematang. Sebagai ukuran dsar luas pesemaian yang
harus dibuat kurang lebih 1/20 dari araeal sawa yang akan ditanamai. Jadi apabila
sawwah yang akan ditanami seluas 1Ha, maka luas pesemaian yang harus dibuat adalah
1/20 x 10.000 m² = 500 m². Adapun biji yang dibutuhkan adalah kurang lebih 75 gram
biji setiap 1 m², atau sebanyak kurang lebih 40 kg.
 Pesemaian Kering, Prinsip pembuatan pesemaian kering sama dengan pesemaian basah.
Rumpu-rumput dan sisa-sisa jerami yang ada harus dibersihkan terlebih dahulu. Tanah
dibolak-balik dengan bajak dan digaru, atau bisa dan halus. juga memakai cangkul yang
terpenting tanah menjadi gembur.Setelah tanaha menjadi halus, diratakan dan dibuat
bedenganbedengan. Adapun ukuran bedengan sebagai berikut : Tinggi 20 cm, lebar 120
cm, panjang 500-600 cm. Antara bedengan yang satu dengan yang lain diberi jarak 30
cm sebagai selokan yang dapat digunakan untuk memudahkan : Penaburan biji,
pengairan, pemupukan, penyemprotan hama, penyiangan, dan pencabutan bibit.
c. Penaburan Biji
Untuk memilih biji-biji yang bernas dan tidak, biji harus direndam dalam air. Biji-biji
yang bernas akan tenggelam sedangkan yang biji-biji yang hampa akan terapung. Dan
biji-biji yang terapaung bisa dibuang. Maksud perendaman selain memilih biji yang
bernas, biji juga agar cepat berkecambah. Lama perendaman cukup 24 jam, kemudian
bijhi diambil dari rendaman lalu di peram dibungkus memakai daun pisang dan karung.
Pemeraman dibiarkan selama 8 jam. Apabila biji sudah berkecambah dengan panjang 1
mm, maka biji disebar ditempat pesemaian. Diusahakan agar penyebaran biji merata,
tidak terlalu rapat dan tidak terlalu jarang. Apabila penyebarannya terlalu rapat akan
mengakibatkan benih yang tumbuh kecil-kecil dan lemah, tetapi penyebaran yang terlalu
jarang biasanya menyebabkan tumbuh benih tidak merata.
d. Pemeliharaan Pesemaian
 Pengairan, pada pesemaian basah, begitu biji ditaburkan terus digenangi air selama 24
jam, baru dikeringkan. Genangan air dimaksudkan agar biji yang disebar tidak
berkelompok-kelompok sehingga dapat merata. Adapun pengeringan setelah
penggenangan selama 24 jam itu dimaksudkan agar biji tidak membusuk dan
mempercepat pertumbuhaan. Pada pesemaian kering, pengairan dilakukan dengan air
rembesan. Air dimasukan dalam selokan antara bedengan-bedengan, sehingga bedengan
akan terus-menerus mendapatkan air dan benih akan tumbuh tanpa mengalami
kekeringan. Apabila benih sudah cukup besar, penggenangan dilakukan dengan melihat
keadaan. Pada bedengan pesemaian bila banyak ditumbuhi rumput, perlu digenagi aiar.
Apabila pada pesemaian tidak ditumbuhi rumput, maka penggenangan air hanya kalau
memerlukan saja.
 Pengobatan, untuk menjaga kemungkinan serangan penyakit, pesemaian perlu disemprot
dengan Insektisida 2 kali, yaitu 10 hari setelah penaburan dan sesudah pesemaian
berumur 17 hari.
2. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk penanaman padi harus sudah disiapkan sejak dua bulan penanaman.
Pelaksanaanya dapat dilakukan dengan dua macam cara yaitu dengan cara tradisional dan cara
modern. Pengolahan tanah sawah dengan cara tradisional, yaitu pengolahan tanah sawa dengan
alat-alat sederhana seperti sabit, cangkul, bajak dan garu yang semuaya dilakukan oleh nusia atau
dibantu ooleh binatang misalnya, kerbau dan sapi. Pengolahan tanah sawah dengan cara modern
yaitu pengolahaan tanah sawa yang dilaukan dengan mesin. Dengan traktor dan alat-alat
pengolahan tanah yang serba dapat kerja sendiri.
a. Pembersihan
Sebelum tanah sawa dicangkul harus dibersihkan lebih dahulu dari jerami-jerami atau
rumput-rumput yang ada. Dikumpulkan di satu tempat atau dijadikan kompos. Sebaiknya
jangan dibakar, sebab pembakaran jerami itu akan menghilangkan zat nitrogen yang
sangat penting bagi pertumbuhan tanaman.
b. Pencangkulan
Sawah yang akan dicangkul harus digenagi air terlebih dahulu agar tanah menjjadi lunak
dan rumput-rumputnya cepat membusuk. Pekerjaan pencangkulan ini dilanjutkan pula
dengan perbaikan pematang-pematang yang bocor.
c. Pembajakan
Sebelum pembajakan, sawah sawah harus digenangi air lebih dahulu. Pembajakan
dimulai dari tepi atau dari tengah petakan sawah yang dalamnya antara 12-20 cm. tujuan
pembajakan adalah mematikan dan membenamkan rumput, dan membenamkan bahan-
bahan organis seperti : pupuk hijau, pupuk kandang, dan kompos sehingga bercampur
dengan tanah. Selesai pembajakan sawah digenagi air lagi selama 5-7 hari untuk
mempercepat pembusukan sisa-sisa tanaman dan melunakan bongkahan-bongkahan
tanah.
d. Penggaruan
Pada waktu sawah akan digaru genangan air dikurangi. Sehingga cukup hanyya untuk
membasahi bongkahan-bongkahan tanah saja. Penggaruan dilakukan berrulang-ulang
sehingga sisa-sisa rumput terbenam dan mengurangi perembesan air ke bawah. Setelah
penggaruan pertama selesai, sawah digenagi air lagi selama 7-10 hari, selang beberapa hari
diadakan pembajakan yyang kedua. Tujusnnya yaitu: meratakan tanah, meratakan pupuk
dasar yang dibenamkan, dan pelumpuran agar menjadi lebih sempurna.
3. Penanaman
a. Pemilihan Bibit
Pekerjaan penanaman didahului dengan pekerjaan pencabutan bibit di pesemaian.
Bibit yang akan dicabut adalah bibit yang sudah berumur 25-40 hari (tergantung
jenisnya), berdaun 5-7 helai. Sebelum pesemaian 2 atau 3 hari tanah digenangi air
agar tanah menjadi lunak dan memudahkan pencabutan. Caranya, 5 sampai 10
batang bibit kita pegang menjadi satu kemudian ditarik ke arah badan kita,
usahakan batangnya jangan sampai putus. Ciri-ciri bibit yang baik antara lain:
· Umurnya tidak lebih dari 40 hari
· Tingginya kurang lebih 25 cm
· Berdaun 5-7 helai
· Batangnya besar dan kuat
· Bebas dari hama dan penyakit
Bibit yang telah dicabut lalu diikat dalam satu ikatan besar untuk memudahkan
pengangkutan. Bibit yang sudah dicabut harus segera ditanam, jangan sampai bermalam.
Penanaman padi yang baik harus menggunakan larikan ke kanan dank e kiri dengan
jjarak 20 x 20 cm, hal ini untuk memudahkan pemeliharaan, baik penyiangan atau
pemupukan dan memungkinkan setiap tanaman memperoleh sinar matahari yang cukup
dan zat-zat makanan secara merata. Dengan berjalan mundur tangan kiri memegang bibit,
tangan kanan menanam, tiap lubang 2 atau 3 batang bibit, dalamnya kira-kira3 atau 4 cm.
usahakan penanaman tegak lurus jangan sampai miring. Usahakan penanaman bibit tidak
terlalu dalam ataupun terlalu dangkal. Bibit yang ditanam terlalu dalam akan
menghambat pertumbuhan akar dan anakannya sedikit. Bibit yang ditanam terlalu
dangkal akan menyebabkan mudah reba atau hanyut oleh aliran air. Dengan demiikian
jelas bahwa penanaman bibit yang terlalu dalam maupun terlalu dangkal akan
berpengaruh pada hasil produksi.
4. Pemeliharaan
a. Pengairan
Air merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan tanaman padi sawah. Masalah
pengairan bagi tanaman padi sawah merupakan salah satu factor penting yang harus
mendapat perhatian penuh demi mendapat hasil panen yang akan datang. Air yang
dipergunakan untuk pengairan padi di sawah adalah air yang berasal dari sungai, sebab
air sungai banyak mengandung lumpur dan kotoran-kotoran yang sangat berguna
untuk menambah kesuburan tanah dan tanaman. Air yang berasal dari mata air kurang
baik untuk pengairan sawah, sebab air itu jernih, tidak mengandung lumpur dan
kotoran. Untuk menjaga agar genangan air didalam petakan sawah itu tetap, jangan
lupa dibuat pula lubang pembuangan. Lubang pemasukan dan lubang pembuangan
tidak boleh dibuat lurus. Hal ini dimaksudkan agar ada pengendapan lumpur dan
kotoran-kotoran yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman. Apabila lubang
pemasukan dan lubang pembuangan itu dibuat luru, maka air akan terus mengalir
tanpa adanya pengendapan. Pada waktu mengairi tanaman padi di sawah, dalamnya air
harus diperhatikan dan disesuaikan dengan umur tanaman tersebut. Kedalaman air
hendaknya diatur dengan cara sebagai berikut:
- Tanaman yang berumur 0-8 hari dalamnya air cukup 5 cm.
- Tanaman yang berumur 8-45 hari dalamnya air dapat ditambah hingga 10-20 cm.
- Tanaman padi yang sudah membentuk bulir dan mulai menguning dalamnya air
dapat ditambah hingga 25 cm. setelah itu dikurangi sedikit demi sedikit.
- Sepuluh hari sebelum panen sawah dikeringkan sama sekali. Agar padi dapat masak
bersama-sama.
Penyiangan dan Penyulaman
Setelah penanaman, Apabila tanaman padi ada yang mati harus segera diganti
(disulam). Tanaman sulam itu dapat menyamai yang lain, apabila penggantian bibit
baru jangan sampai lewat 10 hhari sesudah tanam. Selain penyulaman yang perlu
dilakukan adalah penyiangan agar rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman
padi tidak bertumbuh banyak dan mengambil zat-zat makanan yang dibutuhkan
ttanaman padi. Penyiangan dilakukan dua kali yang pertama setelah padi berumur 3
minggu dan yang kedua setelah padi berumur 6 minggu.
b. Pemupukan
Pemupukan bertujuan untuk menambah zat-zat dan unsur-unsur makanan yang
dibutuhkan oleh tanaman di dalam tanah. Untuk tanaman padi, pupuk yang digunakan
antara lain:
1. Pupuk alam, sebagai pupuk dasar yang diberikan 7-10 hari sebelum tanaman dapat
digunakan pupuk-pupuk alam, misalnya: pupuk hijau, pupuk kandang, dan kompos.
Banyyaknya kira-kira 10 ton / ha.
2. Pupuk buatan diberikan sesudah tanam, misalnya: ZA/Urea, DS/TS, dan ZK.
Adapun manfaat pupuk tersebut sebagai berikut:
· ZA/Urea : menyuburkan tanah, mempercepat tumbuhnya anakan, mempercepat
tumbuhnya tanaman, dan menambah besarnya gabah.
· DS/TS : mempercepat tumbuhnya tanaman, merangsang pembungaan dan
pembentukan buah, mempercepat panen.
· ZK : memberikan ketahanan tanaman terhadap hama / penyakit, dan mempercepat
pembuatan zat pati.
5. Pengendalian Hama dan Penyakit
a. Hama putih (Nymphula depunctalis), gejalanya menyerang daun bibit, kerusakan
berupa titik-titik yang memanjang sejajar tulang daun, ulat menggulung daun padi Pengendalian
yaitu pengaturan air yang baik, penggunaan bibit sehat, melepaskan musuh alami, menggugurkan
tabung daun dan menggunakan BVR atau Pestona.
b. Padi Thrips (Thrips oryzae) gejalanya yaitu daun menggulung dan berwarna kuning
sampai kemerahan, pertumbuhan bibit terhambat, pada tanaman dewasa gabah tidak berisi,
pengendaliannya berupa BVR atau Pestona.
c. Wereng, gejalanya tanaman padi menjadi kuning dan mengering, sekelompok tanaman
seperti terbakar, tanaman yang tidak mengering menjadi kerdil, pengendaliannya yaitu bertanam
padi serempak, menggunakan varitas tahan wereng seperti IR 36, IR 48, IR- 64, Cimanuk, Progo
dsb, membersihkan lingkungan, melepas musuh alami seperti laba-laba, kepinding dan kumbang
lebah dan penyemprotan BVR.
6. Pemanenan
Bagi petani panen padi merupakan soal yang paling dinanti-nanti. Panen merupakan saat
petani merasakan keberhasilan dari jerih payah menanam dan merawat tanaman.
a. Saat panen. Padi perlu dipanen pada saat yang tepat untuk mencegah kemungkinan
mendapatkan gabah berkualitas rendah yang masih banyak mengandung butir hijau
dan butir kapur. Padi yang dipanen mudah jika digiling akan menghasilkan beras
pecah. Saat panen padi dapat dipengaruhi oleh musim tanam. Pemeliharaan tanaman
dan pertumbuhan, serta tergantung pula pada jenisnya. Secara umum padi dipanen
saat berumur 80-110 hari apabila tanaman padi menunjukkan ciri-ciri berikut berarti
tanaman sudah siap dipanen, bulir-bulir padi dan daun bendera sudah menguning,
tangkai menunduk karena sarat menanggung butir-butir padi atau gabah yang
bertambah berat, butir padi bila ditekan terasa keras dan berisi, jiak dikupas tidak
berwarna kehijauan atau putih agak lembek seperti kapur.
b. Cara panen Alat panen yang tepat penting agar panen menjadi mudah dilakukan
biasanya padi dipanen dengan ani-ani atau sabit. Ani-ani umumnya digunakan untuk
memanen jenis padi yang sulit rontok sehingga dipanen beserta tangkainya,
contohnya jenis padi bulu. Namun, alat ini tidak cocok digunakan untuk penanaman
padi sawah. Sabit digunakan untuk memanen padi yang mudah rontok, misalnya padi
coreh. Namun, karena alat ini dapat memungut hasil lebih cepat serta lebih gampang
memotong batang padi maka alat ini kini lebih banyak digunakan untuk panen.
c. Perontokan. Perontokan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin perintih tresher,
atau menggunakan perontok kaki pedal tresher. Selain itu perontokkan secara
sederhana dapat dilakukan dengan memukulkan batangan padi ke kayu atau “kotak
gebuk” dimana sebelumnya dihamparkan plastik untuk menampung butir padi yang
berhamburan.
d. Pengeringan. Tujuan utama pengeringan ialah untuk menurunkan kadar air gabah
dapat tahan lama disimpan. Selain itu gabah yang masih basah sulit diproses menjadi
beras dengan baik. Bulir- bulir gabah daapt dijemur dengan cara dihamparkan di atas
lantai semen yang bersih dapat pula dihamparkan di atas plastik. Dalam cuaca panas,
sinar matahari mampu mengeringkan gabah dalam waktu 2-3 hari.
e. Pemisahan kulit gabah. Tahap terakhir usaha bertanam padi ialah menghasilkan beras
yang dapat ditanak menjadi nasi sebagai makanan pokok. Mula-mula gabah yang
sudah dikeringkan perlu dipisahkan dengan gabah hampa atau kotoran yang mungkin
terbawa selama perontokan atau pengeringan, caranya dapat dengan ditampi.
Pemisahan kulit gabah dapat dilakukan dengan huller atau mesin, cara ini praktis dan
cepat. Namun untuk daerah yang tidak memiliki huller, pemisahan dapat dilakukan
dengan penumbuhan padi menggunakan alu dan lumpang.
F. SUBSISTEM HILIR PADI

1. Pemasaran Padi
Kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas pertanian baik segar maupun olahan
untuk nasional dan ekspor ke luar negeri. Contoh : Distribusi, Promosi, Konsumsi dan Informasi
pasar. Peningkatan permintaan ini harus diimbangi dengan peningkatan produksinya. Dalam hal
ini, peningkatan produksi beras tidak akan efektif bagi peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani dan masyarakat jika tidak diimbangi oleh sistem pemasaran yang efisien.
Pemasaran beras mempunyai pengaruh terhadap pendapatan petani karena terkait dengan tingkat
harga yang diterima petani. Pemasaran yang tidak efisien, bentuk pasar yang kurang bersaing,
rantai pemasaran yang terlalu panjang, sarana prasarana transportasi yang kurang memadai,
sistem kelembagaan pemasaran yang tidak sehat merupakan masalah- masalah pemasaran yang
pada umumnya berpengaruh terhadap tingkat harga yang diterima petani. Dilihat dari kebutuhan
masyarakat akan makanan pokok sangat besar jadi “Pemasaran padi tidaklah susah karena
komsumen atau pedagang( pelaku bisnis) bisa langsung datang kepetani waktu panen.
Pengolahan tanaman padi sangat digemari para masyarakat karena padi pada saat diubah jadi
beras banyak sekali mengolahan yang dapat dibuat misalnya roti, kerupuk dan masih banyak lagi
jajanan kuliner yang menggunakan beras sebagai bahan dasar membuat olahan makanan.
Mata Rantai Pemasaran Gabah/Beras
Struktur aliran tataniaga gabah/beras pada garis besarnya ditemukan dua aliran, yaitu:
(I) saluran pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul sebagai kaki
tangan pedagang kongsi. Dari pedagang pengumpul, gabah ditampung, dikelompokan
menurut jenis varietas dan disalurkan oleh pedagang kongsi ke pedagang kilang. Dari
pedagang kilang, gabah mulai mengalami perlakuan meliputi proses pengeringan,
penggilingan dan grading. beras. Beras yang telah dikemas dan diberi label selanjutnya
disalurkan ke pedagang grosir. Dari grosir disalurkan ke pengecer-pengecer untuk dijual ke
konsumen; dan (II) saluran pemasaran kedua, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul
yang merupakan kaki tangan pemilik penggilingan desa. Di penggilingan desa, gabah
mengalami proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Selanjutnya beras dikemas
dengan tampa diberi label dan disalurkan ke pengecer desa untuk dijual ke konsumen.
Mayoritas petani (85%) menempuh saluran pemasaran pertama dan sisanya (15%)
menempuh saluran pemasaran kedua.

Pedagang Pedagang
pengumpul kongsi kilang Grosir beras
(Desa) (Kecamatan) (Kabupaten) I

Pedagang
Petani Pengumpul
(Desa)II

Penggilingan Pengecer Pengecer


desa (Desa/Kec) (Kabupaten)

KONSUMEN
Beras kilang pada umumnya mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan beras
penggilingan lokal sehingga produk mereka dapat menguasai konsumen tingkat
kabupaten. Sebaliknya beras penggilingan desa hanya mampu menembus konsumen lokal.
Untuk meningkatkan volume penjualan, penggilingan desa mengadakan kontrak pengadaan
beras dengan pihak tertentu untuk memenuhi kebutuhan karyawan (negri maupun swasta)
yang jatah beras dari sub-dolog sudah berhenti, rata-rata jumlah kontrak sekitar 3,0-4,0 ton
beras per musim.

Komponen Biaya dan Margin Pemasaran


Kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan pada umumnya
merupakan tiga fungsi utama dari tataniaga disamping fungsi pembiayaan (financing).
Tabel 10 menunjukan bahwa pada rantai pemasaran pertama (I), jenis
pembiayaan utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir, dan pedagang pengecer hampir
sama meliputi biaya transportasi dan bongkar muat. Besar pembiayaan masing-masing
adalah pedagang pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir (Rp.17,-), dan pedagang pengecer
(Rp.22,-) per kilogram beras. Jumlah biaya pemasaran paling tinggi terjadi pada pedagang
kilang, yaitu Rp.127,- per kilogram beras. Besarnya pembiayaan tersebut dikarenakan di
pedagang kilang gabah mulai mendapatkan perlakuan penting meliputi proses pengeringan,
penggilingan, pengemasan disamping biaya transportasi dan bongkar muat. Margin
pemasaran (marketing margin) paling tinggi berturut-turut terjadi pada pedagang kilang
(7,6%), pedagang pengumpul/kongsi (6,7%), pedagang pengecer (1,8%), dan grosir (1,2%).
Meskipun margin keuntungan (net benefit margin) di kilang hanya mencapai Rp.89,-/kg,
tetapi jumlah volume penjualanya paling besar yaitu sekitar 1.500-2.000 ton beras per
musim.
Tabel 10. Analisis Margin Pemasaran Gabah/Beras pada Rantai Pemasaran pertama.
Ura Satuan (rp/kg) Persentase (%)
1. Petani/Produsenian
a.Harga beli
b.Margin pemasaran
1) 4)
c.Harga jual GKP 2.36 82,8
2. Pedagang pengumpul/kongsi 0
a.Harga beli 2.36 82,8
b.Margin pemasaran: 0
19 6,7
-Biaya pemasaran
2)
40
-Margin keuntungan 142
c.Harga jual 8
2.55 89,5
3. Pedagang/Kilang Besar 0
a.Harga beli 2,55 89,5
b.Margin pemasaran: 210 7,6
-Biaya pemasaran
3)
126
-Margin keuntungan 87
9
c.Harga jual 2.76 97,
4. Pedagang Grosir 6 1
a.Harga beli 2.76 97,
b.Margin pemasaran 63 1
1,
-Biaya pemasaran
2) 4
1 2
-Margin keuntungan 17
c.Harga jual 7
2.80 98,
5. Pengecer 0 3
a.Harga beli 2.80 98,
b.Margin pemasaran 05 3
1,
-Biaya pemasaran
2) 0
2 8
-Margin keuntungan 2
c.Harga jual 8
2.85 100,
KETERANGAN 0 0
1)
Dikonversi ke harga beras (53%)
2)
Transportasi, bongkar muat, dll.
3)
Pengeringan, penggilingan, pengemasan, transportasi, bongkar muat, dll.
4)
Harga jual di tingkat pelaku/ harga jual di tingkat pengecer x 100%
Pada pedagang kilang, diduga sering terjadi pengeplosan beras lokal dengan
beras impor yang harganya 16,7% lebih murah dibandingkan beras local (Rp.2.800,-
/kg) dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing pemasaran melalui penurunan
harga. Tindakan ini perlu diteliti dan apabila benar perlu diperbaiki untuk
melindungi keberadaan penggilingan padi local (village rice milles).
Pada rantai pemasaran kedua (II), harga jual gabah petani lebih tinggi 5,9%
dibandingkan dengan rantai pemasaran pertama karena gabah dibeli dari para petani
disekitar pabrik penggilingan (village rice milles) sehingga tidak perlu
mengeluarkan biaya transportasi tinggi dan kualitas gabah umumnya lebih baik.
Seperti pada rantai pemasaran pertama, jenis pembiayaan yang dikeluarkan setiap
pelaku pasar hampir sama. Pada rantai pemasaran ini, margin pemasaran terbesar
terjadi pada penggilingan desa sebanyak 7,4 persen sementara pengumpul dan
pengecer masing-masing 2,5 dan 1,8 persen (Table 2).
Di tingkat pengecer, harga beras penggilingan hanya Rp.2.830,-/kg atau 0,7
persen lebih rendah dibandingkan harga beras kilang. Perbedaan dikarenakan mutu
beras penggilingan umumnya lebih rendah dibandingkan produk kilang, terutama
dari aspek warna kurang putih serta tingginya persentase kandungan bekatul dan
beras pecah. Kualitas beras kilang lebih baik dikarenakan pedagang kilang memiliki
fasilitas pengolahan gabah/beras lebih baik dibandingkan penggilingan desa.
Pada tingkat pasar kabupaten, produk mereka kalah bersaing dengan
beras kilang sehingga penggilingan desa hanya menyalurkan beras ke pengecer
local dan pihak-pihak yang telah mengadakan kontrak pengadaan beras (karyawan).
Tabel 2 menginformasikan, bahwa penggilingan desa memperoleh margin
keuntungan paling tinggi yaitu sebanyak Rp.85,-/kg sedangkan pedagang
pengumpul dan pengecer masing-masing hanya mencapai Rp.48,- dan Rp.28,-/kg.
Table 11. Analisis Margin Pemasaran Gabah/Beras pada Rantai Pemasaran kedua.
Jenis Kegiatan Satuan (rp/kg) Persentase (%)
1. Petani/Produsen
a.Harga beli
b.Margin pemasaran
1)
c.Harga jual GKP 2.50 88,3
4)
2. Pedagang pengumpul 0
a.Harga beli 2.50 88.
b.Margin pemasaran: 07 3
2,
-Biaya pemasaran
2)
20 5
-Margin keuntungan 42
c.Harga jual 8
2.57 90,
3. Penggilingan Desa 0 8
a.Harga beli 2.57 90,.
b.Margin pemasaran 0
21 8
7,
-Biaya pemasaran
3)
120 4
-Margin keuntungan 85
c.Harga jual 5
2.78 98,
4. Pengecer 0 2
a.Harga beli 2.78 98,
b.Margin pemasaran 05 2
1,
-Biaya pemasaran
2) 0
2 8
-Margin keuntungan 2
c.Harga jual 8
2.83 100,
Keterangan: 0 0
1)
Dikonversi ke harga beras (53%)
2)
Transportasi, bongkar muat, dll.
3)
Pengeringan, penggilingan, pengemasan, transportasi, bongkar muat, dll.
4)
Harga jual di tingkat pelaku/ harga jual di tingkat pengecer x 100%
Karakteristik dan Permasalahan Pelaku Pasar
Dari kedua rantai pemasaran, pelaku pasar terdiri dari petani sebagai
produsen gabah, pedagang, penggilingan kilang dan penggilingan desa, grosir, dan
pengecer. Setiap pelaku pasar tersebut mempunyai karakteristik sendiri yang turut
menyokong keberhasilan usahanya atau memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Mengenai karakteristik pelaku pasar dan pemasalahan yang dihadapi dapat diuraikan
sebagai berikut:
Petani Produsen Gabah
Dilihat dari luas penguasaan lahan, rata-rata penguasaan lahan usahatani petani
tergolong sempit, yaitu sekitar 0,25-0,50 ha/petani (Tabel 3). Keadaan ini sesuai
dengan pendapatan Suryana dan Sudi (2001) yang menyatakan, bahwa setidaknya
ada empat ciri utama petani padi Indonesia yaitu; (i)rata-rata skala penguasaan
lahan usahatani tergolong sempit sekitar 0,3 ha/petani, (ii)sekitar 70 persen petani
(khususnya buruh tani dan petani berskala kecil) termasuk golongan masyarakat
miskin atau berpendapatan rendah, (iii)sekitar 60 persen petani adalah net consumer
beras, dan (iv)rata-rata pendapatan usahatani memberikan kontribusi sekitar 30
persen dari total pendapatan rumah tangga.mUmumnya petani sudah menanam varietas
padi unggul baru seperti Way Apu Buru, IR-64, Ciherang, dan Aries namun demikian
beberapa petani masih menanam varietas local “ramos” dengan alasan mempunyai
rasa nasi enak dan harga jual tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
keluarga sampai musim panen berikutnya, rata-rata petani menyimpan gabah hasil
panen sekitar 5,0-10,0 ku/musim dan sisanya dijual. Tabel 2 menginformasikan,
bahwa 95 persen petani menjual langsung gabah setelah panen dalam bentuk gabah
kering panen (GKP), dan sisinya (5%) dijual setelah penyimpanan dalam bentuk
gabah kering simpan (GKS). Cara penjualan gabah langsung setelah panen sulit
dihindari karena disamping petani mempunyai kebutuhan yang mendesak, juga
mereka umumnya tidak mempunyai sarana pengeringan dan penyimanan yang
memadai. Hali ini akan menyebabkan harga gabah petani anjlok turun karena
suplai gabah waktu panen meningkat sehingga posisi tawar petani sangat lemah.
Tabel 12. Karakteristik Petani Padi Sawah
Kabupate
Asaha n Simalungun
Ur
1. Teknologi Produksi n
a.Rataan penguasaan lahan 0,25 - 0,5 ha/petani 0,25 - 0,5 ha/petani
b.Pola tanam dominan Padi-padi-bera Padi-padi-bera
c.Varietas padi dominan Way Apu Buru, IR- Aries, Way Apu
64, Ciherang Buru,
d.Produktivitas (ku/ha) 50,0 - 60,0 ku/ha 50,0Ciherang
- 60,0 ku/ha
1)
e.Biaya produksi Rp.507,-/kg GKP Rp.507,-/kg GKP
f.Stok gabah per musim 5,0 - 1,0 ku/petani 5,0 - 1,0 ku/petani
g.Pendapatan usahatani Rp.2-2,5 juta/ha Rp.2-2,5 juta/ha
2. Sumber modal (%)
a.Sendiri 2 3
b.Kredit formal 52 20
c.Kredit non-formal 5 45
3. Cara penjualan gabah (%) 0 5
a. langsung setelah panen 9 9
b. Lainnya
2) 55 55
1)
Gabah kering panen
2)
Setelah penyimpanan.
Permasalah lain petani adalah keterbatasan modal usaha sehingga mereka
terjebak utang pada pelepas uang (lender). Sesuai dengan pendapat Mears (1978)
yang menyataklan bahwa, petani padi di Indonesia sangat membutuhkan kredit untuk
tujuan produksi, belanja hidup sehari-hari sebelum produk di jual dan pertemuan-
pertemuan sosial. Kepemilikan lahan usaha yang sempit, lapangan pekerjaan yang
terbatas di luar musim tanam, dan pemborosan menyebabkan banyak petani tidak
dapat mengelola hidup dari satu panen ke panen lainnya tampa sumber pinjaman.
Tabel 12 menunjukan bahwa hanya sekitar 25-30 persen petani
mengeluarkan biaya sendiri untuk kebutuhan pembiayaan usahatani sedangkan
sebagian besar (75- 70%) petani melakukan pinjaman baik dari kredit formal
maupun Non-formal. Sekitar dua puluh lima persen petani melakukan pinjaman
kredit formal yaitu program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dan sekitar 45-50
persen jasa kredit Non-formal, terutama berasal dari pedagang pengumpul dan
penggilingan desa. Pinjaman kredit Non- formal menimbulkan permasalahan
petani karena meskipun tingkat bunga pinjaman hamper sama dengan bunga bank
(1-2%/bulan),tetapi dengan melakukan peminjaman ada tersirat keharusan
bagi petani untuk menjual gabah ke pelepas uang. Petani kurang bebas memilih
pembeli yang lebih menguntungkan dan ditemukan kasus dimana dengan
berbagai alasan pelepas uang menekan harga jual gabah petani sekitar Rp.50,-
sampai Rp.100,-/kg GPK lebih rendah dari harga yang berlaku.
Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul merupakan kaki tangan pedagang kongsi dan menjalankan fungsi
untuk membeli gabah langsung dari sawah petani. Tabel 4 menginformasikan,
bahwa pedagang pengumpul merupakan grup terdiri dari 10 sampai 20 orang
dengan wilayah pembelian beberapa desa yang berdekatan. Bentuk gabah yang dibeli
mayoritas merupakan Gabah Kering Panen (GKP) tetapi di luar masa panen mereka
juga membeli gabah stok dalam bentuk Gabah Kering Simpan (GKS).
Dalam melaksanakan pembelian, pedagang pengumpul membawa karung dan
timbangan selain itu beberapa pedagang membawa mesin perontok (power thresher)
untuk disewakan. Kegiatan utama pedagang pengumpul melakukan penaksiran
harga gabah, pengarungan, penimbangan, dan pembayaran. Dalam satu musim,
mereka mampu membeli gabah 200-300 ton dimana gabah hasil pembelian langsung
dikirim ke di pedagang kongsi pada hari yang sama.
Tabel 13. Karakteristik Pedagang Pengumpul
Uraian Keterangan
1. Tempat domisili pedagang Desa
2. Jumlah anggota 10 - 20 orang/group
3. Jumlah pedagang pengumpul 2 - 3 group/desa
4. Sumber modal utama Pedagang kongsi
5. Wilayah pembelian dominan Desa-desa dalam kecamatan
6. Bentuk pembelian dominan Gabah Kering Panen (GKP)
7. Kisaran harga pembelian Rp.1.150,- sampai Rp.1.300,-/kg GKP
8. Volume pembelian 200 - 300 ton/musim
9. Jenis-jenis kegiatan utama Penaksiran harga, pengarungan, penim-
bangan, dan pembayaran
10. Cara pembagian keuntungan Dibagi dua dengan kongsi
Pedagang Kongsi
Dalam rantai tataniaga, pedagang kongsi merupakan pihak yang menjual
gabah ke pedagang kilang. Satu pedagang kongsi mempunyai 3-4 group pedagang
pengumpul dengan jangkauan wilayah pembelian meliputi beberapa kecamatan yang
berdekatan. Dalam satu musim, pedagang kongsi dapat pembelian gabah 600-800
ton. Di pedagang kongsi, gabah dikelompokan berdasarkan bentuk butiran dan
varietas. Dengan tampa perlakuan yang berarti, selanjutnya gabah dikirim langsung
ke pedagang kilang pada hari yang sama (paling lambat tersimpan satu hari) untuk
menghindari penurunan mutu. Untuk membuat atau membina ikatan pembelian
dengan petani, pedagang kongsi memberikan pinjaman modal usahatani (production
credits) atau kebutuhan lain dengan suku bunga rendah (1-2%/bulan), dimana
pelaksanaan di lapangan dikerjakan oleh para pedagang pengumpul.
Tabel 14. Karakteristik Pedagang Kongsi
Uraian Keterangan
1. Tempat domisili pedagang Kecamatan
2. Jumlah pedagang pengumpul per kongsi 3 - 4 group
3. Sumber modal utama Sendiri, pinjaman Bank
4. Wilayah pembelian dominan Kecamatan domisili
5. Bentuk pembelian gabah Gabah Kering Panen (GKP)
6. Wilayah penjualan dominan Kabupaten
7. Kisaan harga pembelian per kg GKP Rp.1.150,- sampai Rp.1.270,-
8. Kisaran harga jual per kg GKP Rp.1.250,- sampai Rp.1.400,-
9. Volume pembelian per musim 600 - 800 ton
10. Jenis penanganan hasil Pengelompokan jenis gabah
11. Cara pembagian keuntungan Dibagi dua dengan.pengumpul
Permasalahan utama yang dihadapi pedagang kongsi adalah cara penentuan
mutu gabah oleh pedagang kilang yang selalu merugikan pihak mereka. Penetapan
mutu gabah hanya dilakukan berdasarkan penglihatan dan sentuhan tangan
sehingga terasa kurang objektip. Selain itu, keberadaan gabah basah di pedagang
kongsi tidak bisa ditahan lebih lama (menghindari penyusutan dan penurunan mutu),
sehingga pedagang kilang bisa lebih leluasa memainkan harga beli. Sementara itu,
pedagang kongsi yang memasok gabah ke luar Kabupaten akan menghadapi
permasalahan lain berupa pungutan baik yang resmi maupun tidak resmi disepanjang
jalur pengiriman.
Pedagang Kilang
Pedagang kilang umumnya berada di Ibukota Kabupaten dan mempunyai
wilayah pembelian beberapa kecamatan. Perusahaan kilang besar di Sumatra Utara
pada umumnya didominasi oleh warga negara Indonesia keturunan (Cina). Dalam
proses pembelian gabah, pedagang kilang mengklasifikasi mutu gabah ke dalam 4
(empat) golongan untuk menentukan tingkat harga. Mutu gabah diperiksa hanya
berdasarkan hasil penglihatan dan pegangan tangan terutama mengenai kelompok
gabah, kadar air, kdanungan kotoran, dan gabah hampa.

Tabel 15. Karakteristik Pedagang Kilang


Uraian Keterangan
1. Tempat domisili pedagang Ibu kota Kabupaten
2. Sumber modal utama Sendiri dan pinjaman Bank
3. Wilayah pembelian Beberapa Kecamatan
4. Bentuk pembelian dominan Gabah Kering Panen (GKP)
5. Volume pembelian per musim 2.000-3.000 ton
6. Kisaran harga pembelian gabah :
Klas I Rp.1.400,-/kg GKP
Klas II Rp.1.350,-/kg GKP
Klas III Rp.1.300,-/kg GKP
Klas IV Rp1.250,-/kg GKP
7. Bentuk penjualan Beras dalam kemasan berlabel
8. Wilayah penjualan dominan Beberapa Kabupaten
10. Jenis penanganan hasil Pengeringan, penggilingan, grading,
pengemasan, dan labeling
Pedagang kilang mempunyai fasilitas pengolahan jauh lebih baik dibdaningkan
penggilingan desa, terutama fasilitas pengeringan daN penggilingan.
Alat pengeringan sudah menggunakan mesin yang memberikan beberapa
keuntungan yaitu; (i)proses pengeringan sangat cepat dengan kapasitas 15 ton gabh
dalam waktu 9 jam, (ii)proses pengeringan tidak tergantung kepada keadaan
cuaca, dan (iii)pengeringan menghasilkan gabah dengan kadar air 13,5 persen
yang akan menghasilkan kualitas beras lebih baik (angka rendemen meningkat dan
persentase beras pecah berkurang). Setiap pedagang kilang melakukan klasifikasi
mutu beras masing-masing, pengemasan (30kg/kemasan),dan pembuatan merk dagang
(labelling).
Grosir dan Pengecer
Pedagang grosir banyak yang berstatus rangkap yaitu selain pedagang grosir
juga pengecer. Grosir berlokasi di ibu kota Kabupaten atau Kecamatan yang
berfungsi untuk mensuplai beras ke pedagang-pedagang pengecer baik di pasar-
pasar, warung maupun toko. Pedagang grosir dapat secara bebas memilih ke kilang
mana saja mereka memesan beras sesuai dengan permintaan konsumen sehingga
mereka bisa menawarkan banyak jenis merk beras ke konsumen. Pengecer dapat
menjual beras baik dalam bentuk kemasan pabrik maupun secara eceran sesuai
permintaan konsumen akhir. Di tingkat grosir dan pengecer pada umumnya tidak
ditemukan permasalahan yang berarti.
Penggilingan Padi Desa
Tujuan utama penggilingan adalah menyediakan jasa penggilingan untuk
petani lokal. Rata-rata volume gabah yang digiling mencapai 50 ton/musim dengan
upah giling 8 persen dari beras yang dihasilkan. Untuk membuat ikatan dengan
petani, baik sebagai pelanggan jasa penggilingan maupun penjualan gabah, pemilik
penggilingan juga memberikan pinjaman modal usahatani (production credits) dan
lainya dengan bunga 1-2%/bulan. Selain itu, pemilik penggilingan mengizinkan
petani untuk mempergunakan pasilitas penjemuran atau penyimpanan gabah dengan
tampa harus menyewa. Permasalahan yang dihadapi oleh penggilingan desa
adalah disamping kelemahan dalam permodalan, juga fasilitas pengolahan
gabah/beras yang dimiliki umumnya jauh lebih rendah dibdaningkan fasilitas yang
dimiliki pedagang kilang, terutama fasilitas pengeringan dan penggilingan. Dalam
pengeringan, mereka hanya mengandalkan keberadaan sinar matahari sehingga
prosespengeringan membutuhkan waktu cukup lama dan sangat tergantung
kepada cuaca. Karena keterbatasan tersebut, penggilingan desa menghasilkan mutu
produk yang kurang baik, terutama persentase beras pecah dan kandungan
kotoran/komponen lain sehingga kurang disenangi oleh konsumen. Damardjati
dan Made Oka A. (1992) menyatakan bahwa konsumen indonesia menyukai
beras lebih putih, mengkilap,butiran utuh, sedikit kuning dan banyak kandungan
amilose. Karakteristik produk tersebut selain kandungan amilose, ditentukan juga
oleh proses pascapanen dan proses-proses lainya yang lebih baik.
Selain itu, konsumen beras menyukai produk-produk kemasan berlabel seperti
produk yang dihasilkan oleh pedagang kilang. Barang berlabel akan memberikan
keuntungan bagi konsumen yaitu untuk identifikasi pengenalan kualitas suatu barang
dan adanya jaminan pembeli tidak tertipu sebaliknya pembuat berusaha tidak
mengecewakan publik (Panglaykim dan Hazil, 1960).

G. KEBIJAKAN

Upaya penguatan ketahanan pangan mencakup aspek keter- sediaan/kecukupan,


kontinuitas, distribusi, kualitas, dan keamanan/kesehatan. Diversifikasi konsumsi makin
perlu digalakan di masa yang akan datang untuk mengurangi laju peningkatan kebutuhan
beras sehingga melanggengkan swasembada beras. Kebijakan pengembangan padi
diarahkan pada pertama, membangun dan mengembangkan kawasan agribisnis padi yang
modern, tangguh dan memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik bagi petani, kedua
meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui adopsi inovasi unggul dan
berdaya saing ketiga adalah memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien. Pengembangan
agribisnis beras perlu didukung oleh iklim ber- usahatani yang kondusif. Kebijakan makro
yang perlu dipertahankan adalah
1. pembatasan impor untuk mengendalikan keseimbangan pasokan dan permintaan pada
saat periode panen raya
2. perlindungan terhadap petani melalui tarif untuk menjaga daya saing produksi
beras dalam negeri,
3. harga dasar pembelian
4. mencegah penyelundupan, dan
5. standarisasi produk sesuai dengan
Good Agricultural Practice (GAP) akan mendorong peningkatan mutu produksi beras dalam
negeri dan menghambat masuknya produk inferior.. Di samping itu perlu
dipertimbangkan subsidi output untuk menjamin petani mendapatkan harga produk yang
menguntungkan bagi usahataninya. Pembatasan impor pada saat panen raya yang telah
dilakukan selama ini cukup efisien menekan pasokan, sehingga harga gabah bertahan pada
tingkat yang menguntungkan petani. Namun kebijakan tarif, harga dasar pembelian, dan
pencegahan penyelundupan belum efektif pelaksanaannya. Harga produk petani biasanya
berada di bawah harga dasar, bahkan pada saat panen raya di daerah-daerah sentra produksi
sering terjadi harga jauh di bawah harga dasar. Komoditas tanaman pangan impor sering
membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah karena pemerintah negara-
negara eksportir melindungi petaninya secara baik dengan berbagai cara. Kondisi demikian
mengakibatkan insentif yang diterima petani belum optimal, sehingga kurang mendorong
gairah mereka untuk meningkatkan produktivitas dan mengembangkan usahataninya.
Sebagaimana kita tahu kelembangan pendukung agribisnis yaitu ada 3 yaitu:
1. Pemerintah, pemerintah disini sebagai pendorong, pengawas, pengambil
kebijakan dalam usaha tani dengan memberikan sosialisasi kepetani dalam hal
meningkatkn produktivitas baik kuantitas maupun kualitas.
2. Perbankan, menyangkut modal pinjaman yang akan digunakan petani untuk
budidaya.
3. Akademisi, yang dimaksud disini adalah orang yang mempertahankan hak-hak
petani itu sendiri dan sebagai salah satu wadah aspirasi para petani(pelaku usaha
tani) untuk disampaikan ke Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M, Penggunaan Virus (NPV) dalam penanganan OPT dan Implementasinya di


Lapangan. Makalah Balitbio, Pertemuan Koordinasi Penanganan OPT dan
Perumusan Komponen PHT Spesifik Lokasi tanggal. 3 - 5 Agustus 1997.
Arifin, M, Pemanfaatan Sl-NPV sebagai Agensia Pengendalian Hayati Ulat Grayak Pda
Kedelai, Dalam Makalah Pelatihan Pemanfaatan dan Pengelolaan Agens
Hayati
Damardjati D.S dan Made Oka .A. 1992. Evaluation of urban consumer
preferences for rice quality characteristics in Indonesia. In Consumer
demand for rice grain quality. Eds. L.J.Unnevehr, B.Duff, dan B.O.Juliano.
International Rice Research Institute, Philippines dan International
Development Research Centre, Canada p.59-73.
Diperta Prop.Sumut. 2002. Laporan tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Propinsi Sumatra Utara.
Mears Leon A. 1961. Rice marketing in the Republic of Indonesia. The Institute for
Economic and Social Research. Djakarta School of Economics, University
of Indonesia. Special edition for Bulog. P.T.Pembangunan Djakarta. 477 pp.
Panglaykim dan Hazil. 1960. Marketing suatu pengantar.P.T.Pembangunan.
Djakarta. 270 hlm.
Santoso T, 1992, Penggunaan Nuclear Polyhedrosis Virus Spodoptera Litura dan
Bacillus thuringensis untuk pengendalian Hama Perusak Daun Kedelai, Seminar
Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu, Cisarua 7 – 8
September 1992.
Sismiharjo H, 1996, Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (Sl-NPV) Sebagai
Sarana Pengendali Hayati terhadap Ulat Grayak Pada Tanaman Kedelai,
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Direktorat Nbina
Perlindungan Tanaman, Jakarta.
Unnevehr L.J.,B.O.Juliano, dan C.M.Perez. 1985. Consumers demand for rice
grain quality in Southheast Asia. In Rice Grain Quality and Marketing.
Papers presented at the International Rice Research Conference. 1-5 Juni
1985. International Rice Research Institute. Philippines. p.15-23.
CURRICULUM VITAE (CV)

Data Pribadi

Nama : Rosmita S

Tempat, Tanggal Lahir : Belawa, 20 Februari


1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Perintis Kemerdekaan KM 11 Tamalanrea

Telepon : 082291254451

Latar Belakang Pendidikan

- TK BUSTANUL ALFAL AISYAH : 2001 - 2003


- SD NEGERI 278 BELAWA : 2003 - 2009
- SMP NEGERI 1 BELAWA : 2009 - 2012
- SMA NEGERI 1 BELAWA : 2012 - 2015
- UNIVERSITAS HASANUDDIN : 2015 - Sekarang

Data Pribadi

Nama : Marwana

Tempat, Tanggal Lahir : Kariako, 16 Maret 1997

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : BTP Blok AA jl.Keindahan No.94

Telepon : 082296383414

Latar Belakang Pendidikan

- SD NEGERI 49 TURUNGANDATU : 2003 - 2009


- SMP NEGERI 2 BELOPA : 2009 - 2012
- SMA NEGERI 01 UNGGULAN KAMANRE : 2012 - 2015
- UNIVERSITAS HASANUDDIN : 2015 - Sekarang

Anda mungkin juga menyukai