Anda di halaman 1dari 11

Tingkat Kesehatan Bank dengan Metode RGEC

Salah satu analisis mengenai kinerja keuangan bank yang telah banyak dilakukan

yaitu analisis mengenai kinerja keuangan dengan metode CAMEL (Capital, Asset

Quality, Management, Earnings, dan Liquidity) atau CAMELS (Capital, Asset Quality,

Management, Earnings, Liquidity, dan Sensitivity to Market Risk), tetapi pada tahun 2010

Bank Indonesia menetapkan bahwa penilaian terdapat 5 faktor kuantitatif yang diukur

untuk menentukan tingkat kesehatan bank yang dikenal dengan nama CAMEL kemudian

berubah menjadi CAMELS dan sekarang Bank Indonesia menetapkan RGEC (Risk

Profile, Good Corporate Governance, Earnings, dan Capital) yang tertuang di dalam PBI

No. 13/1/PBI/2011.

a. Risk Profile

Faktor profil risiko (risk profile) dengan menggunakan 2 indikator yaitu:

1) Risiko Kredit

Kasmir (2013:155) menyatakan bahwa kredit bermasalah atau kredit macet

adalah kredit yang di dalamnya terdapat hambatan yang disebabkan oleh 2 unsur

yakni dari pihak perbankan dalam menganalisis maupun dari pihak nasabah yang

dengan sengaja atau tidak sengaja dalam kewajibannya tidak melakukan

pembayaran. Kredit dalam hal ini adalah kredit yang diberikan kepada pihak

ketiga tidak termasuk kredit kepada bank lain. Dari penyataan di atas dapat

disimpulkan bahwa pengertian Non Performing Loan (NPL) merupakan rasio

untuk mengukur besarnya risiko kredit bermasalah pada suatu bank yang

diakibatkan oleh ketidak lancaran nasabah dalam melakukan pembayaran. Rasio


ini dirumuskan sebagai berikut (Surat Edaran BI Nomor 13/24/DPNP tanggal 25

Oktober 2011):

Tabel 1
Kriteria Penilaian Kesehatan Bank Berdasarkan Rasio NPL
Peringkat Rasio NPL Predikat
1 0% < NPL < 2% Sangat Baik
2 2% ≤ NPL < 5% Baik
3 5% ≤ NPL < 8% Cukup Baik
4 8% < NPL ≤ 11 % Kurang Baik
5 NPL >11% Tidak Baik
Sumber: Lampiran PBI 13/1/PBI/2011

2) Risiko Likuiditas

LDR (Loan to Deposit Ratio) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur

komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana

masyarakat dan modal sendiri yang digunakan (Kasmir, 2014:225). Rasio LDR

menunjukkan tingginya kredit yang disalurkan dari total DPK yang dihimpun.

Semakin besar rasio ini menunjukkan semakin rendahnya tingkat likuiditas yang

dimiliki bank sehingga dapat meningkatkan potensi terjadinya kondisi bermasalah

bank, karena bank tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi penarikan dana

pihak ketiga dan terlalu banyak menyalurkan kredit yang bisa meningkatkan

risiko gagal bayar dan berdampak sistemik. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut

(Surat Edaran BI Nomor 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011) :


Tabel 2
Kriteria Penilaian Kesehatan Bank Berdasarkan Rasio LDR
Peringkat Rasio LDR Peringkat
1 50% < LDR ≤ 75% Sangat Baik
2 75% < LDR ≤ 85% Baik
3 85% < LDR ≤ 100% Cukup Baik
4 100%< LDR≤ 120% Kurang Baik
5 120% < LDR Tidak Baik
Sumber: SE BI No.6/23/DPNP/2011

b. Good Corporate Governance

Good Corporate Governance (GCG) merupakan penilaian faktor terhadap

manajemen bank atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG sebagaimana diatur dalam

Peraturan Bank Indonesia tentang Good Corporate Governance. Pengertian GCG

menurut PBI nomor 8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan GCG bagi bank umum adalah

“Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola Bank yang menerapkan

prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),

pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran

(fairness)”.

Berdasarkan SE No. 15/15/DPNP Jakarta, 29 April 2013 kepada Semua Bank

Umum Konvensional di Indonesia Perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance

(GCG) Bank Indonesia mengenai penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dengan

menggunakan metode RGEC, penilaian terhadap pelaksanaan GCG yang

berlandaskan pada 5 (lima) prinsip dasar tersebut dikelompokan dalam suatu

governance system yang terdiri dari 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance

structure, governance process, dan governance outcome.


Governance structure terkait dengan kecukupan struktur dan infrastruktur tata

kelola agar proses penerapan prinsip tata kelola yang baik menghasilkan outcome

yang sesuai dengan harapan pemangku kepentingan (stakeholders). Yang termasuk

dalam struktur tata kelola adalah Direksi, Dewan Komisaris, komite, dan satuan kerja

Perseroan. Adapun yang termasuk infrastruktur tata kelola antara lain kebijakan dan

prosedur, sistem informasi manajemen serta tugas pokok dan fungsi masing-masing

struktur organisasi.

Governance process terkait dengan proses penerapan prinsip tata kelola yang baik

yang didukung oleh kecukupan struktur dan infrastruktur tata kelola sehingga

menghasilkan outcome yang sesuai dengan harapan pemangku kepentingan.

Governance output meliputi transparansi dalam kondisi keuangan maupun non

keuangan untuk memenuhi prinsip TARIF (Transparency, Accountability,

Responsibility, Independency, dan Fairness). Bank wajib melaksanakan prinsip-

prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkaan atau jenjang

organisasi termasuk pada saat penyusunan visi, misi, rencana strategis, pelaksanaan

kebijakan, dan langkah-langkah pengawasan internal. Penilaian GCG dengan

melakukan penilaian sendiri (self assessment). Menurut PBI nomor 8/14/PBI/2006

menyebutkan bahwa setiap bank wajib menerapkan GCG, termasuk melakukan self-

assessment dan menyampaikan laporan pelaksanaan GCG. Self assessment GCG

dilakukan dengan mengisi Kertas Kerja Self Assessment GCG yang telah ditetapkan,

yang meliputi 11 (sebelas) faktor penilaian.

Menurut Surat Edaran No. 9/12/DPNP/202 terdapat 11 faktor penilaian terhadap

pelaksanaan prinsip – prinsip Good Corporate Governance yaitu:


(1) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris,

(2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi,

(3) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite,

(4) Penanganan benturan kepentingan,

(5) Penerapan fungsi kepatuhan bank,

(6) Penerapan fungsi audit intern,

(7) Fungsi audit ekstern,

(8) Penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern,

(9) Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar

(large exposure),

(10)Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan bank, laporan pelaksanaan good

corporate governance serta pelaporan internal, dan

(11) Rencana strategis bank.

Tata cara penilaian secara self assessment tersebut adalah sebagai berikut:

1) Menetapkan Nilai Peringkat per Faktor, dengan melakukan Analisis Self

Assessment dengan cara membandingkan Tujuan dan Kriteria/Indikator yang telah

ditetapkan dengan kondisi Bank yang sebenarnya,

2) Menetapkan Nilai Komposit hasil self assessment , dengan cara membobot

seluruh Faktor, menjumlahkannya dan selanjutnya memberikan Predikat

Kompositnya. Dalam penetapan Predikat, perlu diperhatikan batasan berikut :

a) Apabila dalam penilaian seluruh Faktor terdapat Faktor dengan Nilai

Peringkat 5, maka Predikat Komposit tertinggi yang dapat dicapai Bank

adalah ”Sangat Baik”


b) Apabila dalam penilaian seluruh Faktor terdapat Faktor dengan Nilai

Peringkat 4, maka Predikat Komposit tertinggi yang dapat dicapai Bank

adalah ”Baik”.

Tabel 3
Faktor Pembobotan Good Corporate Governance (GCG)
No. Faktor Bobot (%)
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan 10%
1.
Komisaris
2. Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab direksi 20%
3. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite 10%
4. Penanganan benturan kepentingan 10%
5. Penetapan fungsi kepatuhan bank 5%
6. Penetapan fungsi audit internal 5%
7. Penetapan fungsi audit ekternal 5%
Fungsi manajemen risiko termasuk sistem pengadilan
8.
intern 7.5%
Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party)
9.
dan debitur besar (large exposures) 7.5%
Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan,
10. laporan pelaksanaan Good Corporate Governance dan
pelaporan internal 15%
11. Rencana strategis Bank 5%
Total 100%
Sumber data: SE Bank Indonesia No. 9/12/DPNP Tahun 2007

Tabel 4
Peringkat Komposit GCG
No. Kriteria Predikat
1 Nilai Komposit < 1,5 Sangat Baik
2 1,5 < nilai Komposit < 2,5 Baik
3 2,5 < nilai komposit < 3,5 Cukup Baik
4 3,5 < nilai komposit < 4,5 Kurang Baik
5 Nilai Komposit > 4,5 Tidak Baik
Sumber: SE BI No.6/23/DPNP/2011
a. Rentabilitas (Earning)

Penilaian faktor rentabilitas meliputi evaluasi terhadap kinerja rentabilitas,

sumber-sumber rentabilitas, kesinambungan rentabilitas, manajemen rentabilitas.

Penilaian terhadap Rentabilitas menggunakan 2 rasio, yaitu ROA dan NIM.

1) Return On Asset (ROA)

Menurut Frianto Pandia (2012:71) Return On Asset (ROA) menunjukan

perbandingan antara laba dengan total aset bank dan rasio ini menunjukan tingkat

efisiensi pengelolaan aset. ROA merupakan indikator kemampuan perbankan

untuk memperoleh laba atas sejumlah asset yang dimiliki bank”. Semakin tinggi

nilai ROA, semakin efektif pula pengelolaan aktiva perusahaan dan semakin kecil

prediksi bank mengalami kondisi yang bermasalah. Rasio ini dirumuskan sebagai

berikut (Surat Edaran BI Nomor 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011) :

Tabel 5
Kriteria Penilaian Kesehatan Bank Berdasarkan Rasio ROA
No. Rasio ROA Peringkat
1 2% < ROA Sangat Baik
2 1,25% < ROA ≤ 2% Baik
3 0,5% < ROA ≤1,25% Cukup Baik
4 0% > ROA ≤ 0,5% Kurang Baik
5 ROA ≤0% (atau negatif) Tidak Baik
Sumber: SE BI No.6/23/DPNP/2011

2) Net Interest Margin (NIM)

Net Interest Margin (NIM) adalah rasio rentabilitas yang menunjukan

perbandingan antara pendapatan bunga bersih dengan rata-rata aktiva produktif

yang dimiliki oleh bank, rasio ini menunjukan kemampuan manajemen bank
dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga

bersih, Frianto (2012:83). Net Interest Margin (NIM) menggambarkan tingkat

jumlah pendapatan bunga bersih yang diperoleh dengan menggunakan aktiva

produktif yang dimiliki oleh bank, jadi semakin besar nilai NIM maka akan

semakun besar pula keuntungan yang diperoleh dari pendapatan bunga dan akan

berpengaruh pada tingkat kesehatan bank (Hakim, 2013). Rasio ini dirumuskan

sebagai berikut (Surat Edaran BI Nomor 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011):

Tabel 6
Kriteria Penilaian Kesehatan Bank Berdasarkan Rasio NIM
No. Rasio NIM Peringkat
1 3%< NIM Sangat Baik
2 2% < NIM ≤ 3% Baik
3 1,5 < NIM ≤ 2% Cukup Baik
4 1% < NIM ≤ 1,5% Kurang Baik
5 NIM ≤ 1% Tidak Baik
Sumber: SE BI No.6/23/DPNP/2011 (2017)

b. Permodalan (Capital)

Salah satu komponen faktor permodalan Menurut Darmawi (2011:91) adalah

kecukupan modal. Rasio untuk menguji kecukupan modal bank yaitu rasio CAR

(Capital Adequacy Ratio). Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dengan Banker Association

for Risk Management (BARa) (2010 hal. 243) menjelaskan bahwa CAR (Capital

Adequacy Ratio) adalah rasio kecukupan modal bank yang diukur berdasarkan

perbandingan antara jumlah modal aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).

CAR merupakan rasio kecukupan modal dengan menunjukkan kemampuan

bank saat mempertahankan modal yang mencukupi serta kemampuan manajemen


bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi serta mengontrol risiko-risiko

mungkin timbul karena pengaruh 23 dari kinerja suatu bank pada saat menghasilkan

suatu keuntungan dan menjaga besarnya modal yang dimiliki perusahaan perbankan

(Wulandari dan Sudjarni, 2013:5).

Sedangkan menurut Kuncoro (2011:519), CAR adalah kecukupan modal

yang menunjukkan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan

kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan

mengontrol resiko-resiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya

modal bank.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Capital Adequacy Ratio

atau yang disingkat CAR merupakan rasio kecukupan modal yang dapat

menggambarkan kemampuan manajemen bank dalam mempertahankan modal, yang

diukur oleh perbandingan antara jumlah modal aktiva tertimbang menurut resiko

(ATMR), semakin tinggi CAR semakin baik kinerja suatu bank. Besarnya modal

suatu bank, akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja

bank.

Apabila Capital Adequacy Ratio (CAR) yang dimiliki semakin rendah berarti

semakin kecil modal bank yang dimiliki untuk menanggung aktiva beresiko,

sehingga semakin besar kemungkinan bank akan mengalami kondisi bermasalah

karena modal yang dimiliki bank tidak cukup menanggung penurunan nilai aktiva

berisiko, dan juga sebaliknya jika CAR yang tinggi berarti modal yang dimiliki untuk

menanggung aktiva resiko juga lebih tinggi sehingga semakin rendah mengalami

kondisi bermasalah karena modal yang dimiliki bank semakin besar (Martharini
2012). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (Surat Edaran BI Nomor 13/24/DPNP

tanggal 25 Oktober 2011) :

Tabel 7
Kriteria Penilaian Kesehatan Bank Berdasarkan Rasio CAR
No. Rasio CAR Peringkat
1 12%< CAR Sangat Baik
2 9% < CAR ≤ 12% Baik
3 8% < CAR ≤ 9% Cukup Baik
4 6% < CAR ≤ 8% Kurang Baik
5 CAR ≤ 6% Tidak Baik

CARA MENGHITUNG ATMR

Dalam laporan posisi keuangan bank yang dipublikasikan, tidak terdapat perhitungan

ATMR. Berikut ini akan diberikan uraian singkat tentang cara perhitungan ATMR

atau Aktiva Tertimbang Menurut Risiko.

Besarnya minimal Capital Adequacy Ratio (CAR) minimal 8% ditetapkan oleh

Banking for International Settlement (BIS), dimana perhitungannya mengacu pada

Bassel Accord 1, yang hanya menekankan pada risiko kredit yang disalurkan oleh

perbankan. CAR juga dijadikan salah satu tolok ukur untuk menilai tingkat kesehatan

bank, artinya jika CAR berada di bawah 8% maka dari sektor permodalan bank

tersebut dapat dikategorikan tidak sehat. Ketentuan CAR minimal 8% diadopsi oleh

Bank Indonesia yang menetapkan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)

bank dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban

Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, lalu disesuaikan dengan PBI Nomor 15/ 12

/PBI/2013 dalam PBI yang terakhir diatur tengan KPMM secara lebih rinci.
Terdapat 2 ATMR yaitu ATMR yang dihitung dari on Balance Sheet (on B/S) dan off

B/S. On B/S adalah semua sisi aktiva yang terdapat pada laporan keuangan bank,

sedangkan yang off B/S adalah yang berasal dari tagihan administratif bank.

Caranya adalah nilai nominal yang terdapat pada laporan posisi keuangan (Neraca)

setelah dikurangi dengan akumulasi penyusutan/ penyisihan atau cadangan kerugian

penurunan nilai (CKPN) dikalikan dengan “bobot risiko”. Masing-masing aktiva bank

telah diberikan “bobot risiko” oleh Bank Indonesia.

Ilustrasi rekening aktiva bank (dalam miliar rupiah)

Aktiva Jumlah Bobot (%) Risiko


ATMR
Kas 5.000 0 0
Penempatan Pd Bank Indonesia 45.000 0 0
Giro Pada Bank Lain 10.000 20 2.000
Penempatan Pd Bank
Lain 51.000 20 10.000
PPAP/ CKPN ( 1.000)
Surat-Surat Berharga
Sertifikat Bank Indonesia 20.000 0 0
Surat Berharga Ps Uang 20.500 20 4.000
PPAP/ CKPN ( 500)
Kredit Yang Diberikan 92.500 100 90.000
PPAP/ CKPN ( 2.500)
Investasi 21.500 100 20.000
PPAP/ CKPN ( 1.500)
Akitva Tetap 7.500 100 5.000
Akum. Penyusutan ( 2.500)
Jumlah ATMR 131.000.

Jika pada periode tersebut bank memiliki Modal sebesar Rp. 13.100.000.000.000,- maka

besarnya CAR bank adalah ( Rp. 13.100.000.000.000,- : Rp. 131.000.000.000.000,-) X 100% =

10%.

Anda mungkin juga menyukai