Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PRINSIP KESELARASAN DAN

TEORI DISONANSI KOGNITIF

Mata Kuliah : Psikologi Sosial

Dosen Pengampu : Dr. Asri Rejeki, MM., Psikolog

Disusun oleh :

Marshella Ayu Sahari ( 190701035 )

Liset Ayuni ( 190701004 )

Nunung Rohmawati ( 190701049 )

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjat-kan atas kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayahnya kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhamad SAW yang kita nantikan
syafaatnya di yaumul qiyamah nanti.

Maksud dan tujuan kami menyelesaikan tugas makalah ini ialah tak lain
untuk memenuhi tugas kelompok yang diberikan pada mata kuliah Psikologi
Sosial serta merupakan tanggung jawab kami pada tugas yang diberikan.

Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan, dimana kami sadar


bahwasannya kami-pun hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan
dan kekurangan. Sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah ‘Azza Wa Jalla,
sehingga dalam pembuatannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa kami nanti guna evaluasi diri.

Akhirnya kami hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan


pembuatan tugas makalah ini ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat
bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca maupun bagi seluruh mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Gresik.

Gresik, 13 Maret 2020

i
DAFTAR ISI

Halaman judul .......................................................................................................

Kata pengantar ...................................................................................................... i

Daftar isi ................................................................................................................ ii

Bab I : Pendahuluan .............................................................................................. 1

1.1 Latar belakang ...................................................................................... 1


1.2 Rumusan masalah ................................................................................. 1
1.3 Batasan masalah ................................................................................... 2
1.4 Tujuan ................................................................................................... 2

Bab II : Pembahasan.............................................................................................. 3

2.1 Prinsip Keselarasan .............................................................................. 3


a. Asumsi – asumsi dasar ............................................................. 3
b. Prinsip keselarasan ................................................................... 4
2.2 Teori Disonansi Kognitif ...................................................................... 6
a. Definisi disonansi ..................................................................... 6
b. Ukuran disonansi ...................................................................... 8
c. Konsekuensi – konsekuensi disonansi ..................................... 9
d. Dampak teori ............................................................................ 10

Bab III : Penutup ................................................................................................... 13

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 13


3.2 Saran ..................................................................................................... 13

Daftar pustaka ....................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Teori – teori yang berorientasi kognitif adalah teori – teori yang
menitikberatkan proses – proses sentral ( misal ; sikap, ide, harapan ) dalam
menerangkan perilaku. Orientasi tersebut dibedakan dari orientasi
psikoanalitik dan teori – teori behavioristik. Tetapi, teori – teori kognitif tak
melulu dapat dibedakan dengan jelas dari teori behavioristik, terkhusus yang
tergolong neo-behaviorisme. Oleh sebab itu, sebelum mempelajari teori –
teorinya perlu kita ketahui terlebih dahulu perbedaan antara teori kognitif
dengan neo-behaviorisme.
Selain itu, perlu juga kita pahami perbedaan diantara psikologi gestalt
dan lapangan. Menurut Ausubel (1965, hal 51) perbedaan itu terletak pada
kenyataan bahwa tidak semua tokoh aliran kognitif mengenakan doktrin –
doktrin gestalt dalam setiap pemecahan persoalan dan teori jejak ingatan yang
menyebabkan lupa. Begitu pula dengan konsep lapangan, tidak semua ahli
kognitif mengenakannya. Teori – teori kognitif ini berporos pada sebuah
proposisi umum yakni kognisi yang tidak konsisten dengan kognisi – kognisi
lain menimbulkan keadaan – keadaan psikologis yang tidak menyenangkan.
Dan keadaan tersebut dapat mendorong seseorang untuk bertingkah laku agar
tercapailah konsistensi antarkognisi –kognisi tersebut yang akanmenimbulkan
perasaan senang. Oleh sebab itu, dalam makalah kali ini kami akan
membahas tentang beberapa teori – teori konsistensi kognitif.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan teori konsistensi kognitif?
2. Bagaimana prinsip keselaran itu? Apa asumsi – asumsinya?
3. Apa definisi dari teori disonansi kognitif?
4. Seperti apakah ukuran dari disonansi kognitif?
5. Dampak apa yang didapat dari teori disonansi kognitif?

1
1.3 BATASAN MASALAH
Mengingat pembahasan mengenai teori – teori konsistensi kognitif
sangatlah luas, maka pada pembahasan kali ini akan dibatasi seputar prinsip
keselarasan dan teori disonansi kognitif.
1.4 TUJUAN
1. Untuk mengetahui perubahan ataupun konsistensi antara kognitif dan
behavior.
2. Untuk memahami teori konsistensi kognitif salah satunya teori disonansi
kognitif dan prinsip keselarasan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Teori – teori kognitif ini berporos pada sebuah proposisi umum yakni
kognisi yang tidak konsisten dengan kognisi – kognisi lain menimbulkan keadaan
– keadaan psikologis yang tidak menyenangkan. Dan keadaan tersebut dapat
mendorong seseorang untuk bertingkah laku agar tercapailah konsistensi
antarkognisi –kognisi tersebut yang akanmenimbulkan perasaan senang. Keadaan
inkonsisten misalnya terjadi bila kita melihat seorang menteri sedang nongkrong
di warung tepi jalan. Menteri dan warung merupakan dua kognisi yang tidak bisa
saling berkaitan, bahkan mungkin saling berlawanan. Sehingga kalau kedua
kognisi ini muncul sekaligus, timbul perasaan inkonsisten dalam diri kita yang
menyebabkan kita perlu melakukan sesuatu agar timbul konsistensi yang
menyenangkan. Misalnya melihat orang itu sekali lagi untuk untuk meyakinkan
bahwa dia sesungguhnya bukan menteri ( orang yang mirip menteri ), atau
mengubah struktur kognitif dengan menyatakan pada diri sendiri bahwa menteri
adalah manusia juga yang sesekali ingin santai makan di warung.

Hubungan inkonsisten antara kognisi – kognisi diberi nama berbeda – beda


oleh beberapa ahli sebagai berikut :

1) Heider , menamakannya ketidakseimbangan kognitif.


2) Newcomb, menamakannya asimetri.
3) Oosgood dan Tannembaum, menamakannya ketidakselarasan.
4) Festinger, menamakannya disonansi.
Pada makalah kali ini, kita akan membahas poin ketiga dan keempat, yakni
prinsip keselarasan Oosgood Tannembaum dan Teori Disonansi Kognitif
Festinger.
2.1 PRINSIP KESELARASAN
a. Asumsi – Asumsi Dasar
Teori keselarasan berawal dan berkembang dari penelitian tentang arti
dari konsep – konsep. Dalam penelitian tersebut diasumsikan bahwa arti
yang tersirat dari sebuah kata dapat ditetapkan letaknya pada suatu
spektrum bipolar ( dua kutub ) yang terbagi – bagi dalam suatu skala

3
menarik. Skala itu disebut skala differensial semantik yang bentuknya
sebagai berikut :
Baik : : : : : : : : : : Buruk
Suatu konsep yang akan diteliti diajukan kepada sejumlah responden
dan responden itu diminta untuk membubuhkan suatu tanda (v) pada salah
satu kolom diantara tujuh kolom dalamm skala diatas. Kalau tanda itu
diletakkan pada kolom yang paling dekat dengan baik, maka arti yang
tersirat dari konsep tersebut adalah baik. Sedangkan jika arti dari konsep
yang sedang diteliti dianggap sangat buruk, maka responden harus tanda
pada kolom yang paling dekat dengan burul, begitupun seterusnya.
Oosgood memakai skala ini untuk beberapa konsep dan melakukan
analisis faktor. Hasilnya, Oosgood menemukan tiga faktor dariskala
tersebut yaitu evaluatif, aktifitas, dan potensi. Faktor evaluatif ternyata
berkorelasi sangat tinggi dengan skal sikap dari Thurstone sehingga
Oosgood beranggapan bahwa faktor evaluatif dari skalanya ini
mencerminkan sikap responden terhadap konsep yang dinilai.
Asumsi dasar yang kedua adalah bahwa kerangka penilaian seseorang
cenderung ke arah penyederhanaan yang maksimal. Asumsi ini berkaitan
dengan dua asumsi lainnya, yaitu :
1) Ada kecenderungan bahwa objek – objek dipandnag baik sama sekali
atau buruk sama sekali.
2) Objek – objek yang dipandang baik, berapapun tingkat kebaikannya
dipandang sama atau serupa, sedangkan objek – objek yang dipandang
jelek sampai batas tertentu akan digolongkan sebagai suatu kelompok.
b. Prinsip Keselarasan
Oosgood dan Tannenbaum menyatakan bahwa dalam prinsip
keselarasan perubahan penilaian selalu terjadi ke arah keselarasan yang
semakin mneningkat terhadap kerangka acuan orang yang bersangkutan.
Jadi, jika ada dua atau lebih objek sikap yang saling dihubungkan dengan
suatu pernyataan, maka akan timbul kecenderungan bahwa perilaku
terhadap salah satu atau semua objek itu akan berubah sedemikian rupa
sehingga semua penilaian itu menjadi sama. Misalnya , kepala sekolah

4
(evaluasi positif) memberi penghargaan (hubungan pernyataan) kepada
rudy si jago berkelahi (evaluasi negatif). Terhadap pernyataan itu ada
kecenderungan orang untuk mengurangi evaluasi positif terhadap guru,
tetapi sebaliknya memberi penilaian yang lebih positif terhadap rudy.
Dalam hal mengamalkan prinsip keselarasan pada situasi – situasi
khusus, kita perlu memperhatikan beberapa hal :
1) Masalah keselarasan
Hal ini akan timbul jika ada dua objek atau lebih saling
dihubungkan dengan suatu pernyataan. Selama objek – objek itu tidak
saling terkait, orang bisa saja memiliki sikap bermacam – macam
terhadap berbagai objek itu tanpa da tekanan untuk berubah. Dengan
kata lain, tidak timbul masalah keselarasan. Sayang , Oosgood dan
Tanembaum tidak memberi definisi yang jelas tentang arti pertanyaan.
Meski begitu, mereka mengelompokkan pernyataan ke dalam beberapa
jenis :
 Berdasarkan sederhana atau rumitnya pernyataan
a) Pernyataan deskriptif
Yaitu pernyataan yang paling sederhana. Contoh,
“kesenian daerah itu menarik”. Pernyataan ini dapat
menimbulkan tekanan untuk perubahan jika ada perbedaan
penilaian diantara bagian – bagian dari pernyataan tersebut.
Misalnya , manakala “kesenian daerah” dinilai negatif,
sedang “menarik” dinilai positif.
b) Pernyataan klasifikasi
Misal, “Tuan Anwar adalah anggota parlemen”. Jika tuan
Anwar dinilai negatif, sedang “anggota perlemen” dinilai
positif, maka dapat terjadi tekanan. Pernyataan klarifikasi
seperti ini bisa lebih rumit jika suatu sumber membuat
pernyataan tentang suatu objek, misalnya “Pimpinan
universitas menolak diberlakukannya hak – hak
mahasiswa”.

5
 Berdasarkan sifat pernyataan
a) Pernyataan assosiatif (positif) , misalnya “Risky sayang
pada adiknya”.
b) Pernyataan disosiatif (negatif) , misalnya “Ehsan bukan
anak yang pandai”.

Pernyataan juga mencerminkan sikap terhadap suatu objek. Sikap


bisa positif, negatif, ataupun netral. Dalam hubungan inilah dapat
timbul masalah keselarasan.

2) Arah perubahan menuju keselarasan


Berdasarkan pertimbangan diatas, Oosgood dan Tannembaum
mengemukakan prinsip keselarasan berikut ;
“ Manakala suatu objek penilaian diasosiasikan dengan objek yang
lain melalui sebuah pernyataan, maka posisi keselarasan objek itu pada
skala penilaian selalu berada pada derajat polarisasi yang sama dengan
objek yang satu lagi, baik dalam arah yang sama (positif) maupun
dalam arah yang berbeda (negatif).”
3) Beban tekanan yang ditimbulkan oleh ketidakselarasan dan penyebaran
beban tersebut diantara objek – objek sikap.
Bahwa jumlah tekanan (P) untuk mengubah penilaian terhadap objek
sikap maupun sumbernya adalah sama dengan selisih antara skor
polarisasi dan titik keselarasan maksimal.
2.2 TEORI DISONANSI KOGNITIF
a. Definisi Disonansi
Disonansi diartikan “ dua elemen dikatakan ada dalam hubungan yang
disonan jika ( dengan hanya memperhatikan kedua elemen itu saja ) terjadi
suatu penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti
suatu elemen yang lain. Contoh : jika A berdiri ditengah rinai hujan
(elemen) namun tidak basah (pengangkatan elemen yang kedua) maka
terjadilah hubungan disonan. Akan tetapi, adanya penyangkalan elemen itu
tidak selalu jelas. Dalam keadaan ini maka antara konsonan dan disonan
juga tidak dapat dibedakan dengan tajam. Faktor – faktor motivasi dan

6
keinginan juga dapat berpengaruh , sehingga menambah rumitnya
persoalan.
Teori ini dipopulerkan oleh Leon Festingerr yang terkenal dan
berpengaruh dalam sejarah psikologi sosial. Teori disonansi kognitif
adalah salah satu teori yang banyak dipakai dalam persuasi, terutama
untuk memperkirakan apakah pesan – pesan persuasi sampai kepada
khalayak penerima atau tidak. Teori ini berguna bagi para perancang pesan
persuasi dalam merancang strategi persuasi agar pesan tersebut sampai
pada khalayak tanpa menimbulkan disonansi. Dalam bukunya “A Theory
of Cognitive Disonance” Leon Festinger (1957) mengemukakan bahwa
teorinya banyak dipengaruhi oleh pemikiran teori psikologi lapangan (field
theory) dari Kurt Lewin, yang merupakan pengembangan dari konsep
konsistensi dalam kognisi manusia yang dikenal oleh jean piaget.
Pada tahap selanjutnya, initi pemikiran Kurt Lewin dikembangkan oleh
Festinger dan menjadi dalil utama teori disonansi kognitif. Disonansi
kognitif dideskripsikan sebagai suatu kondisi yang membingungkan, yang
terjadi ketika individu “menemukan diri ,melakukan sesuatu yang tidak
sesuai dengan apa yang diketahui, atau memilik pendapat yang tidak
sesuai dengan pendapat lain yang dipercayai”. Dengan kata lin, teori ini
berkaitan dengan dua jenis inkonsistensi perilaku sikap tertentu , yang
timbul karena dilakukannya perilaku yang tidak sesuai dengan sikap yang
timbul karena pengambilan keputusan. Dalam hal terjadinya disonansi,
maka akan timbul ketegangan psikologis atau ketidaknyamanan.

Tindakan Mengubah
Kepercayaan

Disonansi naik Mengubah Disonansi turun


Tindakan

Kepercayaan Mengubah
Tindakan dan
Persepsi

Cognitive Dissonance Theory

7
Pengalaman disonansi (sikap dan tindakan yang tidak sesuai atau dua
keyakinan yang tidak selaras) merupakan kondisi kejiwaan yang tidak
menyenangkan, dan mengakibatkan tekanan internal yang memotivasi
individu untuk melakukan upaya mengkindari peningkatan disonansi.

Menurut Festinger , disonansi dapat terjadi dari beberapa sumber


berikut :

1) Inkonsistensi logis
Contoh : keyakinan bahwa airmembeku pada 0 derajat celcius,
secara logis tidak konsisten dengan keyakinan bahwa es balok tidak
akan mencair pada 40 derajat celcius.
2) Nilai – nilai budaya ( cultural mores )
Kebudayaan seringkali menentukan apa yang disonan dan
konsonan. Contoh : makan dengan tangan di pesta resmi eropa akan
menimbulkan disoannsi , tetapi makan dengan tangan di warung jakarta
dirasakan sebagai konsonan.
3) Pendapat umum
Disonansi dapat terjadi karena suatu pendapat yang dianut orang
banyak dipaksakan pada pendapat individu. Misalnya : seorang remaja
gemar menyanyi lagu keroncong. Hal ini daoat menimbulkan disonansi
karena pendapt umum percaya bahwa keroncong hanya disukai orang –
orang tua.
4) Pengalaman masa lalu
Contoh : berdiri dibawah hujan, tetapi tidak basah. Keadaan ini
disebut disonan karena, tidak sesuai dengan pengalaman masa lalu.
b. Ukuran Disonansi
Hubungan disonan kadarnya tidak selalu semua sama, oleh sebab itu,
ada suatu pendapat Festinger bahwasannya perlu diketahui faktor – faktor
yang menentukan kadar tersebut. Faktor pertama adalah tingkat
kepentingan elemen – elemen yang saling berhubungan itu bagi orang
yang bersangkutan. Jika kedua elemen tersebut kurang penting berarti,

8
kedua elemen itu sangat penting artinya , maka disonansinya juga akan
tinggi.
Tapi, dalam kenyataanya tidak pernaha da hubungan yang melibatkan
hanya dua elemen. Masing – masing elemen dari dua elemen tersebu juga
dihubungkan dengan elemen – elemen lain yang relevan. Sebagian
hubungan – hubungan yang lain ini konsonan, sedang sebagian lain
disonan. Menurut Festinger, jika tidak ada disonansi sama sekali yang
terjadi antarsekelompok elemen itu hampir – hampir sekali. Oleh sebab itu,
kadar disonansi dalam hubungan dua elemen dipengaruhi juga oleh jumlah
disonansi yang ditimbulkan oleh keseluruhan hubungan kedua elemen itu
dengan elemen – elemen lain yang relevan. Sayangnya, Festinger tidak
menunjukkan bagaimana cara menentukan kadar kepntingan dan
relevansinya.
Tidak disonansi maksimum adalah sama dengan jumlah daya tolak
elemen yang paling lemah. Jika disonansi maksimun tercapai, maka
elemen yang lemah itu akan berubah dan disonansi akan berkurang.
Tentunya ada kemungkinan bahwa perubahan elemen yang lemah itu akan
menambah disonansi pada hubungan yang lain dalam kumpulan elemen
kognitif yang bersangkutan. Dalam hal ini maka elemen yang tersebut
tidak terjasi.
c. Konsekuensi – Konsekuensi Disonansi
1) Pengurangan disonansi dapat melalui tiga kemungkinan :
 Mengubah elemen tingkah laku, misal ; ada seorang perempuan
paruh baya membeli gamis yang mahal. Ketika baju tersebut ia
gunakan untuk pergi ke ladang, maka para peladang akan
mengatakan “sepertinya, sudah tidak waras” . Untuk
menghilangkan disonansi , perempuan paruh baya itu menjualnya
kembali atau menghadiahkannya kepada orang lain . Hal inilah
yang disebut dengan mengubah elemen tingkah laku.
 Mengubah elemen kognitif lingkungan, misal ; sang perempuan
paruh baya tersebut meyakinkan peladang yang lain bahwa ia
dalam kondisi waras, ia memakai gamis mahal ke ladang karena di

9
baru saja selesai mengikuti pengajian akbar di dekat ladang
tersebut.
 Menambah elemen kognitif baru, misal ; mencari pendapat orang
lain/ orang yang sedang lewat dekat ladang yang mendukung
bahwa ia dalam kondisi warasa dan memang telah ada pengajian
akbar didekat ladang. Namun sayang, teori ini tidak memberi cara
untuk memperkirakan kemungkinan mana yang akan ditempuh
untuk mengurangi disonansi dalam keadaan – keadaan tertentu.
2) Penghindaran disonansi
Adanya disonansi senantiasa menimbulkan dorongan untuk
menghindari disonansi tersebut. Dalam hal ini kiatnya ialah dengan
menambah informasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan
terhadap pendapat orang yang bersangkutan atau menambah
pembendaharaan kognitif dalam diri orang yang bersangkutan tersebut.
Penambahan elemen baru ini harus sangat selektif, yaitu hanya
mencarinya pada orang – orang yang diperkirakan bisa memberi
dukungan dan menghindari orang – orang yang berbeda pandangan.
d. Dampak Teori
Teori Festinger ini memiliki pengaruh terhadap situasi didalam
kehidupan sehari – hari. Adapun dampak dari teori tersebut dapat dilihat
pada hal – hal berikut ini ;
1) Pembuatan Keputusan
Keputusan dibuat berdasarkan suatu situasi atas konflik. Alternatif
– alternatif dalam suatu konflik bisa saja memiliki unsur yang positif
semua, negatif semua atau mungkin bisa memiliki keduanya yakni
positif dan negatif. Dalam ketiga situasi tersebut, apapun keputusan
yang akan dibuat dapat menimbulkan disoannsi, yakni terjadi gangguan
terhadap hubungan dengan elemen (alternatif) yang tidak terpilih.
Kadar disonansi setelah pembuatan suatu keputusan tergantung pada
pentingnya keputusan itu dan daya tarik alternatif yang tidak terpilih.
Biasanya akan terjadi hal – hal sebagai berikut mengenai suatu
keputusan :

10
 Akan terjadi peningkatan pencarian informasi baru yang
menghasilkan elemen kognisi yang mendukung (konsonan dengan)
keputusan yang dibuat.
 Akan timbul kepercayaan yang semakin mantap tentang keputusan
yang sudah dibuat atau timbul pandangan yang semakin tegas
membedakan kemenarikan alternatif yang telah diputuskan
daripada alternatif – alternatif lainnya. Atau bisa pula dua
kemungkinan itu terjadi secara bersamaan.
 Semakin sulit untuk mengubah arah keputusan yang sudah dibuat,
terutama pada keputusan yang sudah mengurangi banyak disonansi.
2) Paksaan untuk mengalah
Dalam situasi – situasi publik (ditengah khalayak umum), seseorang
dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu (dengan ancaman hukuman
atau menjanjikan hadiah tertentu). Apabila perbuatan itu tidak sesuai
dengan kehendak (pribadi), maka akan timbul disonansi. Kadar
disonansi ini tergantung pada besarnya ancaman hukuman atau
ganjaran yang akan diterima.
3) Ekspose pada informasi – informasi
Disonansi akan mendorong pencarian informasi – informasi baru.
Jika disonansi hanya sedikit atau bahkan tidak sama sekali, maka usaha
mencari informasi baru juga demikian. Apabila kadar disonansi berada
pada taraf menengah ( netral , tidak rendah dan tidak tinggi), maka
usaha pencarian informasi baru akan meraih taraf maksimal. Dalam hal
ini orang yang bersangkutan akan dihadapkan (ekspose) pada seonggok
besar informasi baru. Tetapi, jika kadar disonansi maksimal, justru
usaha mencari informasi baru akan sangat berkurang karena pada tahap
ini akan terjadi perubahan elemen kognitif.
4) Dukungan sosial
Jika salah seorang (misalkan A) mengetahui pendapatnya berbeda
dengan orang – orang , maka timbul-lah kekurangan dukungan sosial (
lack of social support). Kekurangan dukungan sosial ini menimbulkan

11
disonansi pada A yang kadarnya ditetapkan berdasarkan faktor –
faktor sebagai berikut ;
 Ada – tidaknya objek yang menjadi sasaran pendapat orang lain itu,
(disekitar A).
 Banyaknya orang yang dikenal A yang berpendapat sama dengan
A.
 Pentingnya elemen yang bersangkutan bagi A.
 Relevansi orang – orang lain tersebut bagi A.
 Menarik – tidaknya orang yang tidak setuju tersebut bagi A.
 Tingkat perbedaan pendapat.

Adapun cara atau kiat yang dapat mengurangi disonansi seperti yang
disebutkan adalah sebagi berikut ;

 Mengubah pendapat sendiri


 Mempengaruhi orang – orang yang tidak setuju agar mengubah
pendapat mereka.
 Membuat mereka yang tidak setuju tidak sebanding dengan dirinya
sendiri.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Teori konsistensi kognitif ini sangatlah luas pembahasannya, salah satunya
jika kita membahas tentang prinsip keselarasan dan teori disonansi diatas.
Prinsip keselarasan sendiri pada dasarnya ialah perubahan penilaian yang
selalu terjadi ke arah keselarasan yang semakin meningkat terhadap kerangka
acuan orang yang bersangkutan. Dan dalam prinsip keselarasan ini perlu
diperhatikan situasi – situasi khusus yang telah dijelaskan diatas. Sedangkan
untuk disonansi, ialah dua elemen dikatakan ada dalam hubungan yang
disonan jika ( dengan hanya memperhatikan kedua elemen itu saja ) terjadi
suatu penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti suatu
elemen yang lain.
3.2 SARAN
Untuk mengamalkan prinsip keselarasan perlu rasanya memperhatikan
situasi – situasi khusus diatas dan jika mengamalkan teori disonansi maka
pahami konsekuensi – konsekuensi disonatif tersebut.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, Sarlito W . 2015 . Teori – Teori Psikologi Sosial – Ed. Revisi – Cet. 18 .
Jakarta : Rajawali Pers

Festinger, Leon . 1957 . A Theory of Cognitive Dissonance . Stanford, CA :


Stanford University Press

Brown, Roger . 1965 . Social Psychology . New York : Free Press

Hutagalung, Unge . 2016 . Jurnal Komunikasi – Disonansi Kognitif Pada


Perilaku Seks Pra nikah . Jakarta : Iski . Vol. 01 (02) : 71 – 80.

Sarwono, Sarlito W . 2017 . Berkenalan dengan aliran – aliran dan tokoh – okoh
psikologi . Jakarta : PT. Bulan Bintang

14

Anda mungkin juga menyukai