Anda di halaman 1dari 10

VIRUS HEPATITIS B,HEPATITIS C, DAN HIV

Disusun untuk memenuhi tugas virologi matakuliah mikrobiologi tahun ajaran 2019/2020

Di susun oleh :
1. Fauziah Rahmawati (R0419011)
2. Hafida Salsabila (R0419013)
3. Hanifah Mulya Nurwahida (R0419014)
4. Hanifah Sarah Nur Laila Aji (R0419015)
5. Hasna Fatin Hanifah. (R0419016)
6. Hasna Hanifa. (R0419017)
7. Hesa Candra Meirawati (R0419018)

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


SEKOLAH VOKASI
PRODI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN
SURAKARTA
2020
A. HEPATITIS C

Pengertian
Virus Hepatitis C adalah virus dari genus hepacivirus dalam famili Flaviviridae.
Virus ini merupakan virus RNA yang berukuran ini kecil (55–65 mm), terbungkus, dan
berantai tunggal dengan sense positif. Terdapat tujuh genotipe utama HCV. Di Amerika
Serikat, genotipe 1 merupakan penyebab pada 70% kasus hepatitis, genotipe 2 pada 20%, dan
genotipe lainnya masing-masing 1%. Genotipe 1 juga merupakan genotipe yang paling
banyak ditemui di Amerika Selatan dan Eropa. Virus ini adalah penyebab dari penyakit
Hepatitis C dan beberapa kanker seperti kanker hati dan limfoma pada manusia.

Patogenesis (Infeksi dan Penularan)


Hepatitis C adalah peradangan pada organ hati akibat infeksi virus hepatisis C.
Sebagian penderita hepatitis C dapat mengalami penyakit liver kronis, hingga mengalami
kanker hati.
Hepatitis C menular melalui darah, yaitu saat darah penderita masuk ke dalam
pembuluh darah orang lain. Selain itu, hepatitis C juga dapat menular melalui hubungan intim
tanpa kondom dengan penderita. Hepatitis C rentan terjadi bila berbagi peralatan pribadi,
seperti sikat gigi, gunting, atau gunting kuku dengan penderita dan mendapatkan prosedur
medis dengan peralatan yang tidak steril.
Walaupun kadar virus hepatitis C paling tinggi terdapat di dalam darah, cairan tubuh
lain dari penderita hepatitis C juga mengandung virus. Meski demikian, seseorang tidak dapat
tertular hepatitis C dari:
1. ASI, kecuali terdapat robekan pada puting susu.
2. Berpelukan, berciuman, dan berpegangan tangan.
3. Berbagi makanan atau minuman dengan penderita hepatitis C.
4. Percikan liur penderita yang bersin atau batuk.
Selain beberapa faktor penyebab di atas, penularan hepatitis C lebih mudah terjadi apabila
seseorang memiliki faktor risiko berikut ini:
1. Memiliki pasangan seksual penderita hepatitis C.
2. Melakukan tato atau tindik dengan peralatan yang tidak steril.
3. Merupakan anak yang terlahir dari ibu yang menderita hepatitis C.
4. Menyalahgunakan NAPZA suntik dan berbagi jarum suntik.
5. Merupakan penderita infeksi HIV.
6. Penderita gagal ginjal yang melakukan cuci darah jangka panjang.
7. Bekerja sebagai petugas medis.
Gejala biasanya muncul bila infeksi kronis dari hepatitis sudah menimbulkan
kerusakan pada hati. Gejala yang dapat ditimbulkan adalah lemas, tidak nafsu makan, dan
penyakit kuning.

Pengobatan
Hepatitis C tidak selalu harus diobati. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya,
hampir 50% penderita hepatitis C akan sembuh sendiri akibat sistem kekebalan tubuh yang
baik.
Begitu juga bila infeksi sudah menjadi kronis, tidak semua hepatitis C akan
mengakibatkan komplikasi. Oleh karena itu, dokter gastroenterologi akan menentukan perlu
atau tidaknya pengobatan.
Bila dokter menentukan diperlukan pengobatan, target dari pengobatan tersebut
adalah sembuh, bukan sekadar menekan pertumbuhan virus. Dengan pengobatan terkini,
lebih dari 90% penderita dapat sembuh dari hepatitis C.
Pengobatan tersebut meliputi:
1. Obat antivirus
Obat ini umumnya perlu dikonsumsi 12 minggu, tergantung kondisi pasien.
Jika diperlukan, dokter bisa memberikan beberapa jenis obat antivirus. Obat
antivirus yang dapat mengobati hepatitis C antara lain adalah sofosbuvir, simeprevir,
dan ritonavir.
2. Vaksinasi hepatitis A dan hepatitis B
Vaksin hepatitis B dan hepatitis A dilakukan untuk mencegah penderita
hepatitis C terkena hepatitis A atau B. Hepatitis A dan hepatitis B dapat menimbulkan
kerusakan hati tambahan dan memperparah komplikasi dari hepatitis C kronis.
Selain mendapat pengobatan, pasien hepatitis C akan dianjurkan dokter untuk melakukan
perubahan gaya hidup, seperti:
1. Berolahraga secara teratur
2. Berhenti merokok
3. Tidak minum alkohol lagi
4. Makan makanan dengan gizi seimbang
5. Tidak berbagi penggunaan barang pribadi, seperti sikat gigi dan alat cukur
6. Menghindari konsumsi obat tanpa anjuran dokter
Pada pasien yang sudah mengalami komplikasi dari hepatitis C, yaitu sirosis atau kanker
hati, dokter dapat menyarankan untuk melakukan cangkok hati. Dokter bedah akan menukar
hati pasien yang rusak dengan sebagian organ hati dari donor. Setelah cangkok hati, beberapa
pasien perlu meminum obat antivirus agar infeksi tidak menyebar pada organ hati yang baru.

Pencegahan
Belum ada vaksin khusus untuk mencegah hepatitis C. Meski demikian, ada beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat virus hepatitis C, antara
lain:
1. Tidak berbagi penggunaan barang pribadi dengan orang lain.
2. Memilih tempat tindik atau tato dengan peralatan sekali pakai.
3. Tidak bergonta-ganti pasangan seksual.
4. Tidak berbagi jarum suntik.

B. Hepatitis B

Pengertian
Virus hepatitis B (VHB) merupakan virus DNA yang termasukdalam famili virus
Hepadnaviridae. Virus ini secara spesifik menyerang sel hati, namun sebagian kecil DNA
hepatitis juga dapat ditemukan di ginjal, pankreas, dan sel mononuklear. Melalui pengamatan
dengan mikroskop elektron dalam serum penderita yang terinfeksi VHB, dapat ditemukan
beberapa macam partikel VHB. Virion VHB yang utuh disebut partikel Dane, merupakan
partikel berukuran 40-42 nm dengan selubung rangkap (double shelled) yang mengandung
antigenpermukaaan. Di bagian tengahnya terdapat nukleokapsid yang dikelilingi oleh suatu
selubung protein dan terdiri atas: hepatitis B core antigen (HBcAG), hepatitis Be antigen
(HbeAg), genom VHB, dan DNA polymerase.

Patogenesis (Infeksi dan Penularan)


Hepatitis B adalah peradangan organ hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV).
Virus ini terkandung di dalam darah atau cairan tubuh penderita, seperti sperma dan cairan
vagina.
Infeksi hepatitis B merupakan penyakit yang tidak bertahan lama dalam tubuh
penderita dan akan sembuh sendiri tanpa pengobatan khusus. Kondisi ini disebut infeksi
hepatitis B akut. Akan tetapi, infeksi hepatitis B juga dapat menetap dan bertahan dalam
tubuh seseorang (menjadi kronis).
Infeksi hepatitis B kronis ini dapat menimbulkan komplikasi yang dapat
membahayakan nyawa, yaitu sirosis dan kanker hati. Oleh karena itu, penderita hepatitis B
kronis perlu melakukan kontrol secara berkala ke dokter untuk mendapatkan penanganan dan
deteksi dini bila terjadi komplikasi.
Hepatitis B sering kali tidak menimbulkan gejala, sehingga penderitanya tidak
menyadari bahwa dia telah terinfeksi. Meski demikian, gejala tetap dapat muncul setelah 1-5
bulan sejak pertama kali terpapar virus. Gejala yang dapat muncul adalah demam, sakit
kepala, mual, muntah, lemas, serta penyakit kuning.
Penularan virus ini dapat terjadi melalui hubungan seksual, baik secara vaginal, anal,
maupun oral. Selain itu, berbagi alat cukur, sikat gigi, atau jarum suntik yang telah
terkontaminasi darah penderita juga dapat meningkatkan risiko tertular penyakit ini.
Hepatitis B juga dapat menular melalui kontak langsung dengan darah atau luka
terbuka dari penderita atau membuat tato dan tindikan dengan alat yang tidak steril.
Meskipun demikian, virus hepatitis B tidak dapat menular melalui ciuman, percikan liur
ketika batuk atau bersin, berbagi alat makan, atau dari ibu yang menyusui anaknya.
Melihat cara penularannya, ada beberapa kelompok orang yang rentan terinfeksi virus
hepatitis B. Kelompok orang yang dimaksud adalah:
1. Dokter dan perawat (tenaga medis)
2. Pengguna narkoba suntik
3. Orang yang bergonta-ganti pasangan seksual dan tidak menggunakan kondom saat
berhubungan seks
Selain itu, seseorang dengan kekebalan tubuh yang lemah, seperti lansia,
penderita diabetes, penderita penyakit ginjal, atau penderita HIV/AIDS, juga rentan tertular
hepatitis B.
Hepatitis B tidak menular dari ibu ke anak ketika menyusui. Penularan hepatitis B dari
ibu ke anak dapat terjadi saat ibu yang menderita hepatitis B melahirkan secaraa normal
melalui vagina. Oleh karena itu, kunjungan rutin ke dokter kandungan selama hamil sangat
penting, guna mendeteksi hepatitis B secara dini.

Pengobatan
Metode pengobatan untuk hepatitis B ditentukan berdasarkan jenis infeksi yang
diderita oleh pasien, apakah hepatitis B akut atau hepatitis B kronis.
Tidak ada langkah penanganan khusus untuk mengobati hepatitis B akut, karena
penyakit dan gejala yang muncul dapat hilang dengan sendirinya setelah 2-3 minggu tanpa
harus menjalani perawatan di rumah sakit. Namun jika gejala yang muncul cukup parah,
dokter akan meresepkan obat antivirus, seperi lamivudine.
Penderita hepatitis B akut dianjurkan untuk banyak istirahat, serta mengonsumsi
banyak cairan dan makanan bernutrisi untuk mempercepat masa penyembuhan. Hepatitis B
akut dapat berlangsung hingga 6 bulan.
Penderita hepatitis B akut yang sudah merasa sehat, belum tentu terbebas dari virus.
Dokter menganjurkan agar pasien tetap menjalani pemeriksaan kesehatan secara rutin guna
memastikan bahwa penderita sudah benar-benar terbebas dari virus.
Jika setelah enam bulan virus hepatitis B masih terdeteksi melalui tes darah, maka
penderita dinyatakan memiliki hepatitis B kronis. Langkah penanganan yang diberikan untuk
kondisi ini berbeda-beda sesuai dengan penilaian dokter.
Penderita hepatitis B kronis akan diberikan obat antivirus guna melawan virus,
menurunkan risiko kerusakan hati, dan mencegah komplikasi yang dapat terjadi. Obat
antivirus yang dapat diberikan untuk melawan virus hepatitis B adalah:
1. Entecavir
2. Tenofovir
3. Lamivudine
4. Adefovir
5. Telbivudine
Obat antivirus tidak dapat digunakan untuk menghilangkan infeksi hepatitis B, tetapi
hanya mencegah perkembangan virus. Oleh karena itu, penderita hepatitis B kronis perlu
melakukan kontrol secara berkala ke dokter gastroenterologi dan hepatologi untuk melihat
perkembangan penyakit, mengevaluasi pengobatan, dan mendeteksi dini komplikasi yang
mugkin terjadi.
Bila hepatitis B sudah mengakibatkan kerusakan hati hingga fungsi organ hati terganggu
secara permanen, dokter akan menyarankan penderita untuk menjalani prosedur transplantasi
hati. Prosedur transplantasi hati dilakukan dengan mengganti organ hati yang rusak dengan
organ hati sehat yang diperoleh dari donor.

Pencegahan
Hepatitis B dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi hepatitis B. Dosis pertama
dianjurkan dalam 24 jam kelahiran dengan dua atau tiga dosis lagi diberikan setelahnya.
Vaksin ini juga diberikan kepada mereka yang memiliki fungsi kekebalan tubuh buruk seperti
HIV/AIDS dan mereka yang lahir prematur.  Sealin itu juga wajib diberikan kepada anak-
anak. Efek vaksin yang diberikan saat anak-anak tidak akan bertahan seumur hidup, sehingga
vaksinasi perlu diulang saat dewasa.
Selain vaksinasi, beberapa tindakan juga perlu dilakukan untuk menurunkan risiko
terkena hepatitis B, yaitu melakukan hubungan seksual yang aman dan tidak
menyalahgunakan NAPZA.

C. HIV

Pengertian
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan
tubuh, dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Semakin banyak sel CD4 yang
dihancurkan, kekebalan tubuh akan semakin lemah, sehingga rentan diserang berbagai
penyakit.
Hilangnya sel CD4 akan melemahkan fungsi sistem imun hingga sangat drastis.
Akibatnya, terinfeksi HIV akan membuat tubuh rentan mengalami berbagai penyakit infeksi
dari bakteri, virus, jamur, parasit, dan patogen merugikan lainnya.
Tubuh tidak bisa menyingkirkan keberadaan HIV sepenuhnya. Jadi, jika sesorang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus, akan memilikinya seumur hidup. Infeksi HIV
dalam jangka panjang yang tidak terdiagnosis atau tidak diobati dengan tepat dapat
meningkatkan risiko Anda mengalami AIDS.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu kumpulan gejala yang
muncul ketika stadium infeksi HIV sudah sangat parah. Biasanya kondisi ini ditandai dengan
munculnya penyakit kronis lain, seperti kanker dan berbagai infeksi oportunis yang muncul
seiring dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh.

Patogenesis (Infeksi dan penularan)


Infeksi HIV yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius
yang disebut AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS adalah stadium akhir
dari infeksi virus HIV. Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah hilang
sepenuhnya.
Sampai saat ini belum ada obat untuk menangani HIV dan AIDS. Akan tetapi, ada
obat untuk memperlambat perkembangan penyakit tersebut, dan dapat meningkatkan harapan
hidup penderita.
Virus HIV terbagi menjadi 2 tipe utama, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing tipe
terbagi lagi menjadi beberapa subtipe. Pada banyak kasus, infeksi HIV disebabkan oleh HIV-
1, 90% di antaranya adalah HIV-1 subtipe M. Sedangkan HIV-2 diketahui hanya menyerang
sebagian kecil individu, terutama di Afrika Barat.
Infeksi HIV dapat disebabkan oleh lebih dari 1 subtipe virus, terutama bila seseorang
tertular lebih dari 1 orang. Kondisi ini disebut dengan superinfeksi. Meski kondisi ini hanya
terjadi kurang dari 4% penderita HIV, risiko superinfeksi cukup tinggi pada 3 tahun pertama
setelah terinfeksi.
Penularan HIV terjadi saat darah, sperma, atau cairan vagina dari seseorang yang
terinfeksi masuk ke dalam tubuh orang lain. Hal ini dapat terjadi melalui berbagai cara, antara
lain:
1. Hubungan seks. Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seks baik melalui
vagina maupun dubur (anal). Meskipun sangat jarang, HIV juga dapat menular
melalui seks oral. Akan tetapi, penularan lewat seks oral hanya akan terjadi bila
terdapat luka terbuka di mulut penderita, misalnya seperti gusi berdarah atau
sariawan.
2. Berbagi jarum suntik. Berbagi penggunaan jarum suntik dengan penderita HIV,
adalah salah satu cara yang dapat membuat seseorang tertular HIV. Misalnya
menggunakan jarum suntik bersama saat membuat tato, atau saat menggunakan
NAPZA suntik.
3. Transfusi darah. Penularan HIV dapat terjadi saat seseorang menerima donor darah
dari penderita HIV.
Selain melalui berbagai cara di atas, HIV juga bisa menular dari ibu hamil ke janin
yang dikandungnya. Penularan virus HIV pada anak juga dapat terjadi pada proses
melahirkan, atau melalui air susu ibu saat proses menyusui.
Perlu diketahui, HIV tidak menyebar melalui kontak kulit seperti berjabat tangan atau
berpelukan dengan penderita HIV. Penularan juga tidak terjadi melalui ludah, kecuali bila
penderita mengalami sariawan, gusi berdarah, atau terdapat luka terbuka di mulut.
HIV bisa menginfeksi semua orang dari segala usia. Akan tetapi, risiko tertular HIV lebih
tinggi pada pria yang tidak disunat, baik pria heteroseksual atau lelaki seks lelaki. Risiko
tertular HIV juga lebih tinggi pada individu dengan sejumlah faktor, di antaranya:
1. Hubungan seks tanpa mengenakan kondom. Risiko penularan akan lebih tinggi
melalui hubungan seks anal, dan hubungan seks dengan berganti pasangan.
2. Menderita infeksi menular seksual. Sebagian besar infeksi menular
seksual menyebabkan luka terbuka di kelamin penderita, sehingga meningkatkan
risiko tertular HIV.
3. Berbagi suntikan. Pengguna NAPZA suntik umumnya berbagi jarum suntik dalam
menggunakan narkoba.

Pengobatan
Meskipun sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan HIV, namun ada jenis
obat yang dapat memperlambat perkembangan virus. Jenis obat ini disebut antiretroviral
(ARV). ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk
menggandakan diri, dan mencegah virus HIV menghancurkan sel CD4. Beberapa jenis obat
ARV, antara lain:
1. Efavirenz
2. Etravirine
3. Nevirapine
4. Lamivudin
5. Zidovudin
Selama mengonsumsi obat antiretroviral, dokter akan memonitor jumlah virus dan sel
CD4 untuk menilai respons pasien terhadap pengobatan. Hitung sel CD4 akan dilakukan tiap
3-6 bulan. Sedangkan pemeriksaan HIV RNA dilakukan sejak awal pengobatan, dilanjutkan
tiap 3-4 bulan selama masa pengobatan.
Pasien harus segera mengonsumsi ARV begitu didiagnosis menderita HIV, agar
perkembangan virus HIV dapat dikendalikan. Menunda pengobatan hanya akan membuat
virus terus merusak sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko penderita HIV terserang
AIDS. Selain itu, penting bagi pasien untuk mengonsumsi ARV sesuai petunjuk dokter.
Melewatkan konsumsi obat akan membuat virus HIV berkembang lebih cepat dan
memperburuk kondisi pasien.
Bila pasien melewatkan jadwal konsumsi obat, segera minum begitu ingat, dan tetap ikuti
jadwal berikutnya. Namun bila dosis yang terlewat cukup banyak, segera bicarakan dengan
dokter. Dokter dapat mengganti resep atau dosis obat sesuai kondisi pasien saat itu.
Pasien HIV juga dapat mengonsumsi lebih dari 1 obat ARV dalam sehari. Karena itu, pasien
perlu mengetahui efek samping yang timbul akibat konsumsi obat ini, di antaranya:
1. Diare.
2. Mual dan muntah.
3. Mulut kering.
4. Kerapuhan tulang.
5. Kadar gula darah tinggi.
6. Kadar kolesterol abnormal.
7. Kerusakan jaringan otot (rhabdomyolysis).
8. Penyakit jantung.
9. Pusing.
10. Sakit kepala.
11. Sulit tidur.
12. Tubuh terasa lelah.
Pengobatan HIV perlu dilakukan secara bertahap dan berlangsung dalam durasi yang
cukup lama. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk memiliki asuransi kesehatan saat
berobat. Dengan begitu, Anda tidak perlu memikirkan biaya pengobatan dan proses
pengobatan bisa lebih optimal.

Pencegahan
Sampai saat ini, belum ada vaksin yang dapat mencegah infeksi HIV. Meskipun
demikian, infeksi dapat dicegah dengan beberapa langkah berikut:
1. Gunakan kondom yang baru tiap berhubungan seks, baik seks melalui vagina atau
melalui dubur. Bila memilih kondom berpelumas, pastikan pelumas yang berbahan
dasar air. Hindari kondom dengan pelumas yang berbahan dasar minyak, karena dapat
membuat kondom bocor. Untuk seks oral, gunakan kondom yang tidak berpelumas.
2. Hindari berhubungan seks dengan lebih dari satu pasangan.
3. Beri tahu pasangan bila positif HIV, agar pasangan Anda menjalani tes HIV.
4. Diskusikan kembali dengan dokter bila Anda didiagnosis positif HIV dalam masa
kehamilan, mengenai penanganan selanjutnya dan perencanaan persalinan, untuk
mencegah penularan dari ibu ke janin.
5. Bagi pria, disarankan bersunat untuk mengurangi risiko infeksi HIV.
Segera ke dokter bila menduga baru saja terinfeksi virus HIV, misalnya karena
berhubungan seks dengan penderita HIV. Dokter dapat meresepkan obat post-exposure
prophylaxis (PEP), untuk dikonsumsi selama 28 hari. Obat PEP adalah kombinasi 3 obat
antiretroviral, yang dapat mencegah perkembangan infeksi HIV. Meskipun demikian, terapi
dengan PEP harus dimulai maksimal 3 hari setelah infeksi virus terjadi.

D. Kesimpulan
1. Hepatitis C ditularkan melalui kontak darah, seperti penggunaan jarum suntik
yang sama dan berhubungan seks dengan orang yang terinfeksi. Hepatitis C
dapat menyebabkan kerusakan hati. Hepatitis C belum memiliki vaksin terkait
pencegahannya.
2. Hepatitis B paling sering disebarkan melalui paparan cairan tubuh yang
terinfeksi seperti melalui kontak seksual dan Ibu hamil yang terinfeksi kepada
bayinya. Hepatitis B dapat berakibat sirosis, kanker hati, dan gagal hati.
Pemberian vaksin dapat dilakukan untuk mencegah penularan HBV lebih
banyak lagi.
3. AIDS merupakan tingkatan tertinggi orang yang terinfeksi HIV. Penularan
HIV terjadi saat darah, sperma, atau cairan vagina dari seseorang yang
terinfeksi masuk ke dalam tubuh orang lain. Hal ini dapat terjadi melalui
berbagai cara, antara lain ; Hubungan seks, berbagi jarum suntik, dan transfusi
darah. Sampai saat ini, belum ada vaksin yang dapat mencegah infeksi HIV.
Meskipun demikian, infeksi dapat dicegah dengan beberapa langkah berikut ;
Memakai kondom saat berhubungan seksual, tidak berhubungan seksual lebih
dari satu pasangan, dan bagi pria disarankan bersunat.

E. Daftar Pustaka
Buku/jurnal:
1. Li, HC. & Lo, SY. (2015). Hepatitis C virus: Virology, diagnosis and treatment.
World J Hepatol, 7(10), pp.1377-89. 
2. Manns, MP. Hepatitis C virus infection (2017). Nat Rev Dis Primers, doi:
10.1038/nrdp.2017.6. 
3. Centers for Disease Control and Prevention (2015). Viral Hepatitis. Hepatitis C 
4. World Health Organization (2018). Fact Sheets. Hepatitis C. 
5. BPOM RI (2018). Cek BPOM. Simeprevir. 
6. National Health Service UK (2018). Health A-Z. Hepatitis C. 
7. Mayo Clinic (2018). Diseases and Condition. Hepatitis C. 
8. Dhawan, V.K. Medscape (2019). 
9. Robinson, J. Web MD (2018). Hepatitis C and the Hep C Virus.
10. Amtarina, R. ,Arfianti , Zainal, A. & Chandra, F. (2009). Faktor risiko hepatitis b
pada tenaga kesehatan kota pekanbaru
11. Ferri, Clodoveo (2015). "HCV syndrome: A constellation of organ- and non-organ
specific autoimmune disorders, B-cell non-Hodgkin's lymphoma, and cancer". World
Journal of Hepatology.
12. Rusyn I, Lemon SM (2014). "Mechanisms of HCV-induced liver cancer: what did we
learn from in vitro and animal studies?". Cancer Lett. 
13. Rajbhandari, R. & Chung, R.T. (2016). Treatment of Hepatitis B: A Concise Review,
7(9), pp. e190. 
14. You, et al. (2014). Update on Hepatitis B Virus Infection. World Journal of
Gastroenterology, 20(37), pp. 13293-13305. 
15. Centers for Disease Control and Prevention (2018). Viral Hepatitis. Hepatitis B. 
16. National Institute of Health (2017). National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Disease. Hepatitis B. 
17. World Health Organization (2019). Fact Sheets. Hepatitis B. 
18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018). Article. Berikan Anak Imunisasi
Rutin Lengkap, Ini Rinciannya. 
19. National Health Services UK (2019). Health A-Z. Hepatitis B. 
20. National Institute of Health (2018). MedlinePlus. Hepatitis B. 
21. Cleveland Clinic (2015). Health. Hepatitis B. 
22. Mayo Clinic (2017). Diseases and Conditions. Hepatitis B. 
23. Baby Center (2018). Hepatitis B During Pregnancy. 
24. Kahn, A. Healthline (2017). Hepatitis B. 
25. Felson, S. WebMD (2018). Hepatitis B.
26. Bhatti, et al. (2016). Current Scenario of HIV/AIDS, Treatment Options, and Major
27. Challenges with Compliance to Antiretroviral Therapy. Cureus, 8(3), pp. e515. 
28. Simon, et al. (2006). HIV/AIDS Epidemiology, Pathogenesis, Prevention, and
29. Treatment. Lancet, 368(9534), pp. 489-504. 
30. World Health Organization (2018). HIV/AIDS. 
31. Menular Seksual (PIMS) Triwulan 1 Tahun 2017. 
32. US Department of Health and Human Services. CDC (2018). HIV Treatment. 
33. Mayo Clinic (2018). Diseases and Conditions. HIV/AIDS. 
34. Pietrangelo, A. Healthline (2018). A Comprehensive Guide to HIV and AIDS. 
35. WebMD (2016). HIV Screening: Tests That Diagnose HIV. 
36. WebMD (2017). How CD4 Counts Help Treat HIV and AIDS. 
37. WebMD (2017). What Does HIV Viral Load Tell You?

Internet:
1. https://hellosehat.com/kesehatan/penyakit/hiv-aids/
Diakses pada Kamis, 5 Maret 2019 pukul 11.38

Anda mungkin juga menyukai