Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum terpecahkan


dalam pelayanan dan perawatan neonatus. Di Negara berkembang hampir
sebagian besar neonatus yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis
dan di negara berkembangpun sepsis tetap merupakan sebuah masalah. Selain itu
sepsis memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam laporan
WHO yang dikutip Child Health Research Project Special Report : Reducing
Perinatal and Neonatal Mortality (1999), dikemukakan bahwa 42% kematian
neonatus terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernafasan,
tetanus neonatorum, sepsis, dan infeksi gastrointestinal. Setelah tetanus
neonatorum, sepsis neonatorum merupakan penyakit dengan case fatality rate
tertinggi. Hal ini terjadi karena banyak faktor resiko infeksi pada masa perinatal
yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. 1

Angka kejadian/insidens sepsis di negara yang sedang berkembang masih


cukup tinggi (1.8–18/1000) dibandingkan dengan negara maju (1–5/1000). Pada
bayi laki-laki resiko sepsis 2 kali lebih besar dari bayi perempuan. Kejadian sepsis
juga meningkat pada Bayi Kurang Bulan dan Bayi Berat Lahir rendah. Pada bayi
berat lahir amat rendah (<1000 gram) kejadian sepsis terjadi pada 26 / 1000
kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000 –
2000 g yanbg angka kejadiannya antara 8 – 9 perseribu kelahiran. Demikian pula
resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan bayi cukup
bulan.1

Sepsis merupakan respon inflamasi tubuh terhadap suatu infeksi. Infeksi


tersebut bisa berupa infeksi lokal maupun sistemik dan dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, parasit, ataupun jamur. Respon inflamasi yang ditimbulkan dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan organ yang merupakan penyebab kematian
dari sepsis. 2
BAB II

STATUS PEDIATRIK

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : by. Ny. NA
b. Umur : 2 hari
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Nama Ayah : Tn. E
e. Nama Ibu : Ny. NA
f. Bangsa : Indonesia
g. Agama : Islam
h. Alamat : RT. 01 Kel. Penyengat Olak Kab. Muaro Jambi
i. MRS tanggal : 02 Juni 2015

II. ANAMNESIS
Diberikan oleh : Ibu pasien dan rekam medik

Tanggal : 3 Juni 2015

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


1. Keluhan utama : pasien lahir secara sectio caesarea (SC) dengan
ketuban pecah dini (KPD) ± 16 jam
2. Keluhan tambahan : KWH dan serotinus
3. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Tanggal 2 Juni 2015 pukul 11.05 WIB lahir bayi perempuan
melalui Sectio Caesarea (SC) atas indikasi dari ibu G 1P0A0, usia 18 tahun
hamil aterm, ANC (+) di bidan, riwayat demam (-), riwayat KPD (+),
riwayat KWH (+), serotinus (+), riwayat minum jamu saat hamil (-),
trauma (-), kencing manis (-), darah tinggi (-), minum obat selain resep
dari dokter (-).

Bayi lahir secara SC, lahir segera menangis, ketuban warna hijau,
kental, jumlah agak banyak, berbau amis. Denyut jantung normal, usaha
bernafas (+), refleks (+), dan bayi berwarna kemerahan. Berat badan lahir
3400 gram, PB = 46 cm.

Plasenta lahir secara manual, tidak tampak pengapuran plasenta,


infark (-), hematom (-). Kemudian bayi dirawat di ruang Perinatologi. Atas
indikasi KPD ± 16 jam, KWH, dan serotinus.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin: 16,3 g/dl,


Hematokrit: 46,7%, Eritrosit: 4,67 juta/mm3, Leukosit: 19.600/mm3,
Trombosit: 260.000/ mm3, CRP: (-), GDS: 67mg/dl. Bayi diberi terapi :
pasang stoper, injeksi Amphicilin 2x170 mg, injeksi Gentamisin 17 mg/36
jam, injeksi Neo-K 1 mg (im), injeksi HB(0) 0,5cc (im), rawat tali pusat,
cek DR, GDS, CRP, imunisasi polio ketika akan pulang.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat batuk dan pilek ada
 Riwayat penyakit jantung bawaan disangkal
5. Riwayat Keluarga
 Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal
 Riwayat alergi obat didalam keluarga disangkal

B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : lebih bulan (41-42 minggu)
Partus : Sectio Caesarea (SC)
Tempat : Rumah Sakit
Ditolong oleh : Dokter Kandungan
Tanggal : 2 Juni 2015
BBL : 3400 gram
PB : 46 cm
LK : 32 cm
2. Riwayat Makanan
ASI : Belum diberikan
Susu botol/kaleng : Sejak lahir sudah diberikan
Serelak : Belum diberikan
Nasi biasa : Belum diberikan
Daging, ikan dan telur : Belum diberikan
Tempe dan tahu : Belum diberikan
Sayur dan buah : Belum diberikan
Kesan : Pasien belum mendapatkan ASI

3. Riwayat Imunisasi
BCG : Tidak dilakukan
Hepatitis : (+)
Polio : Tidak dilakukan
DPT : Belum dilakukan
Campak : Belum dilakukan
Kesan : Imunisasi tidak lengkap dilakukan sejak lahir

4. Riwayat Keluarga :
Perkawinan : 2 tahun
Pendidikan : SMA
Penyakit yang pernah diderita : -
Saudara :-

5. Riwayat Perkembangan Fisik


Gigi Pertama : Belum ada pertumbuhan gigi.
Berbalik : Belum dapat berbalik
Tengkurap : Belum dapat tengkurap
Duduk : Belum dapat duduk
Merangkak : Belum dapat merangkak
Berdiri : Belum dapat berdiri
Berjalan : Belum dapat berjalan
Berbicara : Belum dapat berbicara.
Kesan : Belum tampak perkembangan fisik.

6. Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol :-
Ngompol :+
Sering mimpi :-
Aktifitas : Kurang aktif
Membangkang :-
Ketakutan :-

7. Status gizi
Berdasarkan Tabel NCHS

BB/PB : -2 SD s.d +2 SD (Normal)

BB/U : -2 SD s.d +2 SD (Gizi Baik)

PB/U : -2 SD s.d +2 SD (Normal)

8. Riwayat Penyakit yang pernah di derita


Parotitis : Tidak pernah Muntah berak : Tidak pernah

Pertusis : Tidak pernah Asma : Tidak pernah

Difteri : Tidak pernah Cacingan : Tidak pernah

Tetanus : Tidak pernah Patah tulang : Tidak pernah

Campak : Tidak pernah Jantung : Tidak pernah

Varicella : Tidak pernah Sendi bengkak: Tidak pernah

Thypoid : Tidak pernah Kecelakaan : Tidak pernah

Malaria : Tidak pernah Operasi : Tidak pernah

DBD : Tidak pernah Keracunan : Tidak pernah


Demam menahun : Tidak pernah Sakit kencing : Tidak pernah

Radang paru : Tidak pernah Sakit ginjal : Tidak pernah

TBC : Tidak pernah Kejang : Tidak pernah

Perut Kembung : Tidak pernah Lumpuh : Tidak pernah

Alergi : Tidak pernah Otitis Media : Tidak pernah

Batuk/pilek : Tidak pernah

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. PEMERIKSAAN UMUM ( 3 Juni 2015 )
Keadaan umum : Sadar, kurang aktif, tidak terpasang infus

Kesadaran : Kompos mentis

Posisi : Berbaring

BB : 3400 gram

PB : 46 cm

Gizi : BB/U  -2 SD s.d +2 SD (Gizi Baik)

Edema :-

Sianosis :-

Dyspnoe :-

Ikterus :-

Anemia :-

Suhu : 36,3 º C

Respirasi : 49 x/m

Tipe pernapasan : Torakoabdominal


Turgor : < 2”

Nadi : Kuat angkat Regularitas : Teratur

Frekuensi : 138 x/m Pulsus defisit :-

Equalitas : Sama

Pulsus Alternan :- Pulsus magnus :-

Pulsus paradox :- Pulsus parvus :-

Pulsus celler :- Pulsus bigerminus :-

Pulsus trigeminus :-

Kulit

Warna : Sawo matang Makula / Papula : -/-

Hipopigmentasi : - Vesikula/Pustula : -/-

Hiperpigmentasi: - Sikatriks / Eritema : -/-

Ikterus :- Haemangiom/Ptechiae : -/-

Bersisik :- Edema :-

B. PEMERIKSAAN KHUSUS (3 Juni 2015)

KEPALA

Bentuk : Normocepali

Rambut : Lurus

Warna : Hitam

Mudah Rontok : Tidak ada

Kehalusan : Cukup

Alopesia : Tidak ada


Sutura : Belum menutup

Fontanella mayor : Belum menutup

Fontanella minor : Belum menutup

Cracked pot sign : Tidak ada

Cranio tabes : Tidak ada

MUKA ALIS

Roman muka: Tampak Sakit Kerapatan : Dalam batas Normal

Bentuk muka: dbn Mudah rontok : Tidak ada

Sembab : Tidak ada Alopesia : Tidak ada

Simetris :-

MATA

Sorot mata : Kurang tajam Cekung : Tidak ada

Hipertelorisme : Tidak ada Edema : Tidak ada

Sekret : Tidak ada Ptosis : Tidak ada

Epifora : Tidak ada Lagoftalmus : Tidak ada

Pernanahan : Tidak ada Kalazion : Tidak ada

Endophthalmus : Tidak ada Ektropion : Tidak ada

Exophthalmus : Tidak ada Enteropion : Tidak ada

Nistagmus : Tidak ada Haemangioma : Tidak ada

Strabismus : Tidak ada Hordeolum : Tidak ada


KONJUNGTIVA

Pelebaran Vena : Tidak ada

Perdarahan Subkonjungtiva: Tidak SKLERA


ada
Ikterus : -/-
Infeksi : Tidak ada

Bitot Spot : Tidak ada

Xerosis : Tidak ada

Ulkus : Tidak ada

IRIS

Bentuk : Simetris

Ukuran : ± 2mm/± 2mm

Isokor : +/+

Refleks cahaya langsung : +/+

Refleks cahaya tdk langsung : +/+

TELINGA HIDUNG

Bentuk : Simetris Bentuk : Simetris

Kebersihan : Cukup Saddle Nose : Tidak ada

Sekret : Tidak ada Gangren : Tidak ada

Tophi : Tidak ada Coryza : Tidak ada

Membran timpani : Sulit dinilai Mukosa Edema : Tidak ada

Nyeri tekan mastoid: Tidak ada Epistaksis : Tidak ada

Nyeri tarik daun telinga : Tidak Deviasi Septum : Tidak ada


ada
C. Anamnesa Organ
Kepala Mata

Sakit kepala : Tidak ada Rabun senja : Sulit dinilai

Rambut rontok : Tidak ada Mata merah : Tidak ada

Lain-lain : Tidak ada Bengkak : Tidak ada

Telinga Hidung

Nyeri : Silit dinilai Epistaksis : Tidak ada

Sekret : Sulit dinilai Kebiruan : Tidak ada

Gangguan pendengaran: Sulit Penciuman : Tidak ada


dinilai

Tinitus : Sulit dinilai

Gigi mulut Tenggorokan

Sakit gigi : Belum ada gigi Sakit menelan: Sulit dinilai

Sariawan : Tidak ada Suara serak: Sulit dinilai

Gangguan mengecap : Tidak Leher


diperiksa
Kaku kuduk : Sulit dinilai
Gusi berdarah : Tidak ada
Tortikolis : Sulit dinilai
Rhagaden : Tidak ada
Parotitis : Sulit dinilai
Lidah kotor : Tidak ada

Jantung dan Paru


Nyeri dada : Sulit dinilai

Sifat :-

Penjalaran :-

Sesak napas : Tidak ada

Batuk : Tidak ada

Pilek : Tidak ada

Batuk darah : Tidak ada

Sembab : Tidak ada

Kebiruan : Tidak ada

Keringat malam hari : Tidak ada

Sesak waktu malam : Tidak ada

Berdebar : Tidak ada

Sakit saat bernapas : Sulit dinilai

Nafas bunyi/ mengi : Tidak ada

Sakit kepala sebelah : Sulit dinilai

Dingin ujung jari : Tidak ada

Penglihatan berkurang : Sulit dinilai

Bengkak sendi : Tidak ada

Mulut

Bentuk : Normal

Warna : Hiperemis (-)

Mukosa : Kering (-)


Edema : Tidak ada

Ukuran : Normal

Selaput : Ada

Ulkus : Tidak ada

Pembesaran tonsil: Tidak ada

Rhagaden : Tidak ada

Sikatriks : Tidak ada

Cheitosis : Tidak ada

Sianosis : Tidak ada

Labioschiziz: Tidak ada

Bengkak : Tidak ada

Vesikel : Tidak ada

Oral trush : Tidak ada

Trismus : -

Bercak koplik : Tidak ada

Palatoschizis : Tidak ada

Abdomen

a. Hepar
Tinja seperti dempul : - Kuning di sklera dan kulit : -

Sakit kuning :- Perut kembung :-

Kencing warna tua :- Mual/muntah :-

b. Lambung dan usus


Nafsu makan :+ Perut kembung : Tidak ada
Mual/muntah :Sulit dinilai Tinja berdarah : Tidak ada

Isi :- Dubur berdarah : Tidak ada

Frekuensi: - Sukar BAB : Tidak ada

Jumlah :- Sakit perut :Sulit dinilai

Muntah darah : Tidak ada Lokasi :-

Mencret : Tidak ada Sifat :-

Konsistensi : -

Frekuensi :-

Jumlah :-

Tinja berlendir : Tidak ada

c. Ginjal dan urogenital d. Endokrin


Sakit kuning :- Sering minum :-

Warna keruh :- Sering kencing :-

Frekuensi miksi : ± 5-6x/hr Sering makan :-

Sembab kelopak mata : - Keringat dingin :-


Edema tungkai :-
Tanda pubertas prekoks: -

e. Syaraf dan Otot


Hilang rasa :- Riwayat kejang keluarga :-

Kesemutan :- Badan kaku :-

Otot lemas :- Tidak sadar :-


Otot Pegal :-
Mulut mencucu :-
Lumpuh :-
Trismus :-
Kejang Kejang pertama usia :-
:-
Riwayat trauma kepala : Disangkal
Panas :-

GIGI

Kebersihan : Belum tumbuh gigi

Karies : Belum tumbuh gigi

Hutchinson : Belum tumbuh gigi

Gusi : Perdarahan (-)

LIDAH

Bentuk : Normal Hiperemis : Tidak ada

Gerakan : Baik Selaput : Normal

Tremor : Tidak ada Atrofi papil : Tidak ada

Warna : Normal Makroglosia : Tidak ada

LEHER

INSPEKSI PALPASI

Struma : Tidak ada Kaku kuduk : Sulit dinilai

Bendungan vena : Tidak ada Pergerakan : Baik

Pulsasi : Tidak ada Struma : Tidak ada

Limphadenopati : Tidak ada

Tortikolis : Tidak ada

Bullneck : Tidak ada

Parotitis : Tidak ada


THORAX DEPAN DAN PARU

INSPEKSI STATIS

Bentuk : Simetris Bendungan vena : Tidak ada

Clavicula : Krepitasi (-) Tumor : Tidak ada

Sternum : Krepitasi (-) Sela iga : Krepitasi (-)

INSPEKSI DINAMIS

Gerakan : Dinamis dalam batas normal

Bentuk pernapasan : Torakoabdominal

Retraksi interkostal : Tidak ada

Retraksi Epigastrium : Tidak ada

PALPASI

Nyeri tekan : Tidak ada Tumor : Tidak ada

Fraktur iga : Tidak ada Stemfremitus : Sulit dinilai

Krepitasi : Tidak ada

PERKUSI

Bunyi ketuk : Sonor

Nyeri ketuk : Sulit dinilai

Batas paru- hati : Tidak dilakukan pemeriksaan

Peranjakan : Tidak dilakukan pemeriksaan

AUSKULTASI

Bunyi napas pokok : Vesikuler (+/+)

Bunyi napas tambahan : Ronkhi basah halus (-/-), wheezing (-/-)


JANTUNG

INSPEKSI

Vousure cardiac :-

Ictus cordis : Tidak terlihat

Pulsasi jantung :-

PALPASI PERKUSI

Ictus cordis : Tidak teraba Batas kiri :

Thrill : Tidak ada Batas kanan :

Defek pulmonal : Tidak ada Interkostal : Tidak diperiksa

Aktivitas jantung ka: Normal Subkostal :

Aktifitas jantung ki : Normal Epigastrum :

AUSKULTASI

BUNYI JANTUNG

Bunyi jantung I : Reguler Bunyi jantung II : Reguler


Mitral :-
Pulmonal :-
Trikuspid :-
Aorta :-
Bising Jantung :-

THORAX BELAKANG

INSPEKSI STATIS

Bentuk : Tidak dilakukan pemeriksaan

Processus spinosus : Tidak dilakukan pemeriksaan

Scapula : Tidak dilakukan pemeriksaan


Skoliosis : Tidak dilakukan pemeriksaan

Khiposis : Tidak dilakukan pemeriksaan

Lordosis : Tidak dilakukan pemeriksaan

Gibus : Tidak dilakukan pemeriksaan

ABDOMEN

INSPEKSI Turgor : < 2”

Bentuk : Datar, Supel PALPASI

Umbilikus : Tidak menonjol Nyeri tekan : Sulit dinilai

Ptechie : Tidak ada Nyeri lepas : Sulit dinilai

Spider nevi : Tidak ada Defans muskular: Sulit dinilai

Bendungan vena : Tidak ada Nyeri ketuk : Sulit dinilai

Gambaran usus : Tidak ada Meteorismus : Ada

Gambaran peristaltik usus: Tidak ada

LIEN HEPAR

Pembesaran :- Pembesaran :-

Permukaan : Rata Permukaan : Rata

Nyeri tekan : Sulit dinilai Nyeri tekan : Sulit dinilai

AUSKULTASI PERKUSI

Bising usus : (+) normal Pekak

Ascites : Tidak ada


LIPAT PAHA DAN GENITAL

Kulit : sawo matang

Kel.getah bening: Pembesaran (-)

Edema : Tidak ada

Sikatriks : Tidak ada

Genitalia : Dalam Batas Normal

Anus : Dalam Batas Normal

SYARAF DAN OTOT

Hilang rasa : Sulit dinilai

Kesemutan : Sulit dinilai

Otot lemas : Sulit dinilai

Otot pegal : Sulit dinilai

Lumpuh : Sulit dinilai

Badan kaku : Tidak ada

Tidak sadar : Tidak ada

Mulut mencucu: Tidak ada

Trismus : Tidak ada

Panas : Tidak ada

Riwayat kejang keluarga: Tidak ada

Riwayat kejang dan trauma kepala: -


ALAT KELAMIN

Hernia : Tidak ada

Bengkak : Tidak ada

EKSTREMITAS SUPERIOR INSPEKSI

INSPEKSI Bentuk : Dalam Batas


Normal
Bentuk : Dalam Batas
Normal Deformitas : Tidak ada

Deformitas : Tidak ada Edema : Tidak ada

Edema : Tidak ada Trofi : Tidak ada

Trofi : Tidak ada

Pergerakan : Dalam Batas Pergerakan : Dalam Batas


Normal Normal

Tremor : Tidak Tremor : Tidak


ada ada

Chorea : Tidak ada Chorea : Tidak ada

Lain-lain : Akral hangat Lain-lain : Akral hangat

EKSTREMITAS INFERIOR

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS :

Tonus : Normotonus

Kekuatan : Sulit dinilai


Refleks fisiologis : (+/+)

Refleks tendon biceps : Sulit dinilai

Refleks tendon triceps : Sulit dinilai

Refleks tendon patella : Tidak dilakukan Pemeriksaan

Refleks tendon Achilles : Tidak dilakukan Pemeriksaan

Refleks patologis : Sulit dinilai


IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM (2 Juni 2015)
Darah Perifer Lengkap:

WBC : 19.6 103/mm3

RBC : 4,67 106/mm3

HGB : 16.3 g/dl

HCT : 46.7 %

PLT : 260 103/mm3

PCT : .172 %

Diffcount:

% Lym : 19.4 %

% Mon : 6.8 %

% Gra : 73.8 %

GDS : 67 mg/dl

CRP :-

V. PEMERIKSAAN ANJURAN
Cek hematologi, kultur darah, imunisasi polio ketika akan pulang
VI. DIAGNOSIS KERJA
1. Sepsis Neonatorum
2. Neonatus lebih bulan, sesuai masa kehamilan

VII. PENATALAKSANAAN
Pasang stoper, injeksi Amphicilin 2x170 mg, injeksi Gentamisin 17
mg/36 jam, injeksi Neo-K 1 mg (im), injeksi HB(0) 0,5cc (im), rawat
tali pusat, cek DR, GDS, CRP, imunisasi polio ketika akan pulang

21
VIII. PROGNOSIS:

Quo ad vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam

Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan
gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan sepsis neonatorum
dapat berlangsung cepat sehingga sering kali tidak terpantau, tanpa pegobatan
yang memadai bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48 jam.3

3.2 Epidemiologi
Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu
1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%,
sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000
kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%. Di Indonesia, angka tersebut
belum terdata. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta, dalam periode Januari - September 2005, angka kejadian sepsis
neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%. 4

3.3 Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Pola kuman
penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke
waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman,
walaupun bakteri Gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis
neonatorum. Oleh karena itu pemeriksaan pola kuman secara berkala pada
masing-masing klinik dan rumah sakit memegang peranan yang sangat penting.1,2

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah


diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun
1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea
dan Gambia. Dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang
tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%),

23
Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang
terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram
negatif terutama Klebsiella sp dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain
bakteri Gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli
biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada
usap vagina wanita-wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya
diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di
atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan
Staphylococcus aureus.1,4

Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun


terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah
Acinetobacter sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli
2004-Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%),
diikuti Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%). 6

Tabel perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun


waktu :

24
3.4 Faktor Resiko
Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya
faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis
neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan bayi.

Faktor risiko ibu:


 Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban
pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1%
dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi
4 kalinya.
 Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),
kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
 Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
 Kehamilan multipel.
 Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
 Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Faktor risiko pada bayi: 7
 Prematuritas dan berat lahir rendah.
 Dirawat di Rumah Sakit.

25
 Trauma pada proses persalinan.
 Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator,
kateter,
infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal
 Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek
imun,atau asplenia.
 Asfiksia neonatorum.
 Cacat bawaan.
 Tidak diberi ASI
 Pemberian nutrisi parenteral.
 Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
 Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded
 Buruknya kebersihan di NICU.

Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis


dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut
dalam risiko mayor dan risiko minor.5

26
Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang
(septicwork-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat
meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien
sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.6

3.5 Patofisiologi
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam
darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan
mulai dari infeksi ke SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi
organ, dan akhirnya kematian.1

Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) :

Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik :

International Consensus Definitions for Pediatric Sepsis

27
Infeksi : infeksi yang dicurigai atau yang sudah terbukti, atau sebuah sindrom
klinis yang terkait dengan kemungkinan infeksi yang tinggi.
SIRS : memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut dengan salah satunya harus suhu
abnormal atau jumlah leukosit yang abnormal
1. Suhu core > 38.5 °C atau < 36 °C
2. Takikardi : mean heart rate > 2 SD diatas normal untuk umur tanpa stimuli
dari luar, obat – obatan, ataupun stimuli nyeri; ATAU elevasi yang
menetap tanpa penjelasan selama 0.5 – 4 jam; ATAU pada anak –anak < 1
tahun terdapat bradikardi persisten lebih dari 0.5 jam ( mean heart rate <
persentil 10 tanpa rangsangan vagal, obat-obatan, ataupun penyakit
jantung kongenital )
3. Takipneu > 2 SD diatas normal atau perlunya ventilator mekanik yang
tidak terkait dengan kelainan neuromuskular atau anestesi umum
4. Leukositosis atau leukopeni; atau leukosit imatur > 10%

Sepsis : SIRS dengan infeksi yang terbukti


Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan 1 dari hal berikut :
1. Disfungsi kardiovaskuler
Meskipun diberikan IV fluid sebanyak > 40 mL/kg dalam satu jam,
terdapat hipotensi < persentil ke 5 untuk umur, tekanan darah sistolik < 2
SD dibawah normal untuk umur atau perlunya obat-obatan vasoaktif untuk
mempertahankan tekanan darah atau 2 dari hal berikut :
 Asidosis metabolik yang tidak diketahui sebabnya > 5 mEq/L
 Peningkatan kadar laktat arteri > 2 x batas atas normal
 Oliguri < 0.5 mL/kg/jam
 Capillary Refill Time yang menurun > 5 detik
 Beda suhu akral dan tubuh > 3 °C
2. Acute respiratory distress syndrome yang didefinisikan dengan
terdapatnya rasio PaO2/FiO2 ≤ 300 mm Hg, infiltrat bilateral pada foto
thoraks, dan tidak terbuktinya gagal jantung kiri atau sepsis disertai

28
dengan kegagalan organ 2 atau lebih ( Respirasi, Renal, Neurologi,
hematologi, atau hepar )

Syok Sepsis : Sepsis yang disertai dengan kegagalan organ kardiovaskuler


Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Kegagalan organ yang tidak bisa
dipertahankan homeostasis tubuh tanpa bantuan obat-obatan.1,4,6

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan


menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis
awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode
pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran
atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD
adalah Streptokokus Grup B (>40% kasus), Escherichia coli ,Klebsiella, dan
Pseudomonas aeruginosa Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes,
sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
penyebabnya adalah batang Gram negatif. 6
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72
jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi
nosokomial). Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira
10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococcus (CoNS) dan
Candida albicans merupakan penyebab utama SAL. 6

Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena


sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab
infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh
dari lingkungan sekitar (SAL). 6

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman


karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,6

29
 Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
 Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur
dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi
kontaminasi kuman pada janin.
 Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk
ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui
saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman
pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah
lebih dari 18-24 jam.
 Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang
mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi
dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap
yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki
aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan
kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula
bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan
penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda.

Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan


gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme
prokoagulasi dan antikoagulasi.

1. Respon inflamasi

30
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan
memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat
protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).
Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor
4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi
makrofag.
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yakni dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi
dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan
eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik
melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok
organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan
mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat
aktivasi makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel
dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan
mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan
meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi
koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga
berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik.
Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot
polos pembuluh darah.

2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi

31
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi.
Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor
(TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik
dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan
jalur instrinsik.1,4,6
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur
ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari
mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan
jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah
pembentukan fibrin.1,4,6

3. Gangguan Fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem


koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan
pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,4,6
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan
urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk
merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi
proteolisisfibrin. 1,4,6
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor
(TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan.1,4,6
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh
tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi
fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.
Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang
mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator
proinflamasi (TNF-α dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin,
sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan

32
selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ
dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada
kasus yang berat dapat menyebabkan kematian. 1,4,6
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan
tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen
khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,
aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan
intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi tersering pada sepsis.
Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi
perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis
mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi
dihubungkan dengan prognosis buruk. 1,4,6
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan
mekanisme inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap
anti inflamasi dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis,
memudahkan terjadinya trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan
kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi
organ, dan berakhir dengan kematian. 1,4,6

33
Infeksi fokal Superantigen atau
toksin

Sel – sel inflammasi teraktivasi Aktivasi pertahanan inang

Aktivasi sistem komplemen Aktivasi sistem


koagulasi

Aktivasi endotel
Peningkatan ekspresi molekul- Pelepasan mediator inflamasi
molekul adhesi endotel endogen
Sitokin pro-inflammasi
Sitokin anti-inflammasi
Platelet activating factor
Penurunan trombomodulin Arachidonic acid metabolites
Peningkatan plasminogen activator inhibitor Substansi depresi miocardium
Trombosis dan antifibrinolisis Opiat endogen

Hipovolemia
Kegagalan jantung dan vaskularisasi
Kebocoran plasma / cedera endotel
Acute Respiratory Distress Syndrome
Disseminated intravascular coagulation
Penurunan sintesis steroid

Syok

MODS

Kematian

34
3.6 Manifestasi dan Gejala Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala
klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan
respon tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan
menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai
Apgar rendah. Setelah lahir bayi akan tampak lemah. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan
susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang
terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan
kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, akral dingin). Bayi dapat pula
memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan
respirasi (perdarahan,ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum,
waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan
retraksi). 8

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood


Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum
berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut : 8

• Laju napas > 60 kali per menit


• Retraksi dada yang dalam
• Cuping hidung kembang kempis
• Merintih
• Ubun ubun besar membonjol
• Kejang
• Keluar pus dari telinga
• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin)
• Letargi atau tidak sadar
• Penurunan aktivitas /gerakan

35
• Tidak dapat minum
• Tidak dapat melekat pada payudara ibu
• Tidak mau menetek.

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan


Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah
Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini
gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori. Penegakan diagnosis
ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori : 6

36
Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan
tanda- tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut : 6

 Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai
sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini).
 Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel), atau
tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel).
 Bila mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori
B, atau dua tanda pada Kategori B.

3.7 Pemeriksaan
1. Laboratorium
A. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah

Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil
biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan
dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing- masing klinik. Kultur darah
dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset dini maupun lanjut. 8

B. Pungsi lumbal

Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat tinggi.


Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi
lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila
dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis
neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari
cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 24-
36 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan cukup
efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada
LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis. Dari penelitian, terdapat
15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif. 8

37
C. Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan


sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi
kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan
apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram
negatif. Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus,
pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah
sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat dalam
menentukan penggunaan antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan
hasil pemeriksaan kultur bakteri. 8

D. Pemeriksaan Hematologi

Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang


diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut : 8

 Hitung trombosit

Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/µL jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum
dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/µL), MPV
(mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara
signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.

 Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit

Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,


walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus
sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang
tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan
stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk
imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil,
eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang
terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,

38
jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk
diagnosis sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu
penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat, serta perdarahan periventrikular dan
intraventrikular.

 Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)

Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis


neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang
dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama
kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada
60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan
dapat ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh
karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar
diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.

 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit


dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi
oleh IL6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik
terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada
50-90% bayi yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6
jam setelah stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus
meningkat sampai proses inflamasinya teratasi. Nilai normal yang biasa dipakai
adalah < 5 mg/L. CRP sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi
untuk mengetahui respon antibiotika, lama pengobatan, dan/atau relapsnya
infeksi. Faktor yang dapat memengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur
kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan,
imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV,rotavirus, adenovirus, influenza).

Untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%,


spesifisitas 78,94%. Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk

39
sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah
98,7%.

 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular


berupa Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis
dini pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini
dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Selain
bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan
prognosis pasien sepsis neonatorum.

2. Pencitraan

Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya:8

 Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola


retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory
Distress Syndrome).

 Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.

 Pneumonia : Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena


ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini
yang telah terbukti dengan kultur.

3.8 Diagnosa
Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan
dan prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam
kelangsungan hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, diagnosis sepsis neonatal sulit ditegakkan karena
gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala spesis klasik yang ditemukan pada
anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis
neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada

40
neonatus. Selain itu tidak ada satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai
sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis pasti pasien sepsis.

Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :

 Faktor Resiko
 Gambaran Klinik
 Pemeriksaan Penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena


salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan
diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis
yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama
kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk
melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini,
pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat
dalam lingkungan pasien.

Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokan menjadi :

1. Faktor ibu :
 Persalinan dan kelahiran kurang bulan
 Ketuban pecah lebih dari 18 – 24 jam
 Chorioamnionitis
 Persalinan dengan tindakan
 Demam pada ibu ( > 38,4 °C )
 Infeksi saluran kencing pada ibu
 Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
2. Faktor bayi
 Asfiksia perinatal
 Berat lahir rendah
 Bayi kurang bulan
 Prosedur invasif

41
 Kelainan bawaan

Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan
sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini
merupakan salah satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal
tidak banyak mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini.

Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi
karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien.
Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus,
bayi kurang bulan yang mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-
larut, infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau
infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor
resiko awitan dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan
infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala
klinis. Hal ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih
efisien pada sepsis neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan
morbiditas pasien.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang


ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis
awitan dini janin yang terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan
asfiksia, dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir
bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,
hipoglikemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.

Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat
seperti letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar
high pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan
kardiovaskular seperti hipotensim pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi
dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun
gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,

42
intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipneu,
apneu, merintih, dan retraksi.

Gambaran Klinis Disfungsi Multiorgan pada Bayi

Gangguan organ Gambaran Klinis


Kardiovaskular  Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
 Denyut Jantung < 50 atau >
220/menit
 Terjadi Henti Jantung
 pH darah < 7.2 pada PaCO2 normal
 Kebutuhan akan inotropik untuk
mempertahankan tekanan darah
normal
Saluran Napas  Frekuensi napas > 90/menit
 PaCO2 > 65 mmHg
 PaO2 < 40 mmHg
 Memerlukan ventilasi mekanik
 FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung
sianotik
Sistem Hematologik  Hb < 5 g/dL
 WBC < 3000 sel/mm3
 Trombosit < 20.000
 D-dimer > 0.5µg/mL pada PTT > 20
detik atau waktu tromboplastin > 60
detik
SSP Kesadaran menurun disertai dilatasi
pupil
Gangguan Ginjal  Ureum > 100 mg/d\
 Creatinin > 20 mg/dL

43
Gastroenterologi Perdarahan gastrointestinal disertai
dengan penurunan Hb > 2g%,
hipotensi, perlu tranfusi darah atau
operasi gastrointestinal
Hepar Bilirubin total > 3 mg%

Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam


menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu
pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan
khusus lainnya sering dipergunakan dalam membantu menegakan diagnosis.
Upaya inipun tampaknya masih belum dapat diandalkan. Sampai saat ini
pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas
tinggi sebagai indikator sepsis, belum ditemukann. Dalam penentuan diagnosis,
interpretasi hasil laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala
klinis yang terjadi.

Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit


ditegakkan apabila hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinik saja.
Untuk hal tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berupa pemeriksaan
laboratorium maupun pemeriksaan khusus lainnya. Langkah tadi disbeut Septic
work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah yang merupakan
gold standard diagnosis sepsis, namun memerlukan waktu 2 – 5 hari untuk
diagnosis pastinya.

Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya


bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di
klinik tersebut. Selain itu hasil kultur diperngaruhi pula oleh kemungkinan
pemberian antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman
nosokomial.

44
Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat
dapat dilakukan pewarnaan gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis
kuman secara lebih spesifik.

Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaan


komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal, trombositopenia dapat
ditemukan pada 10 – 60 % pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000
dan terjhadi pada 1 – 3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan.

Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis


ketimbang hitung trombosit. Enam puluh pasien sepsis biasnya disertai perubahan
hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total ( rasio I/T )
sering dipakau sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitivitas rasio I/T
ini 60 – 90 %, karenanya untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan
gambaran klinik dan pemeriksaan penunjang yang lain.

3.9 Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab
membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan
masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan
pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan
di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman
diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai
dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan.

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)

45
Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme
penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan
aktivitas antibakteri.

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)


Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.
Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar
enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan
aminoglikosida lain.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan
penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida.
Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau
penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh
bakteri Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang
resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.
Dosis Antibiotik3

46
Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ
atau lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi,
gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik
seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun.
Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen,
pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam
kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan
dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG),
pemberian tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GCSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar
(TT) dan lain-lain.

Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum


Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan
untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal.
Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti
memperbaiki status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki
respons terhadap katekolamin, dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat
diberikan hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Sebuah meta-analisis
memperkuat hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari
secara signifikan.

Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan
metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi
insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi
meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase
akut oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat
dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada
keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus
dipenuhi; atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan

47
pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10
g/kg/hari dan lemak 1g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat
dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis,
dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama.
Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.

3.10 Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada
bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini
adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 – 30 %) dan pada sepsis
awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira – kira 2 %). 6

BAB IV
ANALISIS KASUS

48
Seorang bayi perempuan berusia 2 hari dengan berat 3400 gram, panjang
46 cm, berkebangsaan indonesia, beragama islam, di rawat di Perinatologi RSUD
Raden Mattaher Jambi atas indikasi kpd, kwh, dan serotinus.
Tanggal 02 Juni 2015 pukul 11.05 WIB lahir bayi perempuan melalui
Secio Cesaria (SC) atas indikasi ibu ibu G 1P0A0, usia 18 tahun hamil aterm, ANC
(+) di bidan, riwayat demam (-), riwayat KPD (+), riwayat KWH (+), serotinus
(+), riwayat minum jamu saat hamil (-), trauma (-), kencing manis (-), darah tinggi
(-), minum obat selain resep dari dokter (-).
Bayi lahir secara SC, lahir segera menangis, ketuban warna hijau, kental,
jumlah agak banyak, berbau amis. Denyut jantung normal, usaha bernafas (+),
refleks (+), dan bayi berwarna kemerahan. Berat badan lahir 3400 gram, PB = 46
cm.
Pada bayi ini, faktor predisposisinya adalah ketuban pecah dini ±16 jam,
ketuban berwarna hijau. Faktor predisposisi penting untuk menentukan faktor
resiko pada bayi terjadi penyakit. Dengan faktor resiko pada bayi ini maka bayi
ini dirawat di perinatologi.
Pada pemeriksaan fisik umum bayi didapatkan Frek. Nadi: 140 x/menit,
reguler, isi dan tegangan cukup.Frek. Pernapasan: 48 x/ menit. Suhu : 36,3 0 C.
Pada pasien ini Bayi dengan berat lahir besar.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin: 16,3 g/dl,
Hematokrit: 46,7%, Eritrosit: 4,67 juta/mm 3, Leukosit: 19.600/mm3, Trombosit:
260.000/ mm3, CRP: (-), GDS: 67mg/dl.
Penatalaksanaan sepsis pada umumnya mencakup eradikasi infeksi dengan
antibiotika selektif, terapi adjuvant untuk mendukung status organ neonatus,
terapi kortikosteroid bila terdapat insufisensi adrenal, dan terapi nutrisi yang
adekuat untuk mempertahankan kesehatan bayi.

BAB V
KESIMPULAN

49
Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum dapat
dipecahkan yang karena bersifat multifaktorial, mulai dari faktor ibu, janin,
maupun dari pelayanan rumah sakit. Sepsis neonatorum juga merupakan masalah
yang sulit didiagnosa karena pada neonatus, respon sistem imun tubuhnya tidak
selalu menimbulkan gejala seperti sepsis pada anak yang lebih besar. Umumnya
penatalaksanaan yang diberikan bisa terlambat bila tenaga medis tidak
memberikan perhatian yang cukup pada pasien.

Tanda dan gejala klasik sepsis pada neonatus mencakup takikardi,


takipneu, leukositosis atau leukopeni, dan hipertermi atau hipotermi. Selain itu
bila didapatkan sepsis berat dapat ditemukan disfungsi organ-organ tertentu,
seperti jantung, hati, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Ketika kegagalan organ
sudah mencapai derajat tertentu, akan menyebabkan terjadinya septik syok yang
dapat segera menyebabkan sindrom disfungsi multiorgan yang berakhir pada
kematian bila tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat.

Penatalaksanaan sepsis pada umumnya mencakup eradikasi infeksi


dengan antibiotika selektif, terapi adjuvant untuk mendukung status organ
neonatus, terapi kortikosteroid bila terdapat insufisensi adrenal, dan terapi nutrisi
yang adekuat untuk mempertahankan kesehatan bayi.

DAFTAR PUSTAKA

50
1. Behrman, Kliegman, Arvin. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu
Kesehatan Anak, edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta :
EGC, hal 653-663.
2. John Mersch FAAP, MD, 2014. Neonatal Sepsis ( Sepsis Neonatorum ).
Page available at http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?
articlekey=98247
3. Surasmi A, Handayani S, Kusuma HN. 2003. Perawatan Bayi Risiko
Tinggi. Jakarta : EGC, hal 92
4. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. 2006. Rudolph ’s Pediatrics,
Buku Ajar Pediatri Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada
Neonatus. Jakarta : EGC, hal 601-610.
5. Mary T. Caserta, MD. 2013. Neonatal Sepsis. Page available at
http://www.merckmanuals.com/professional/sec19/ch279/ch279m.html
6. Kosim Sholeh et al. 2010. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama, cetakan
kedua. Sepsis Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia, hal 170-187.
7. Ann L Anderson-Berry, MD. 2014. Page available at
http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview
8. Claudio Chiesa et al. 2004. Diagnosis of Neonatal Sepsis : A Clinical and
Laboratory Challenge. Page available at
http://www.clinchem.org/cgi/content/full/50/2/279
9. Carl Kuschel. 2007. Antibiotics for Neonatal Sepsis. Page available at
http://www.adhb.govt.nz/AntibioticsForNeonatalSepsis.htm

51

Anda mungkin juga menyukai