Anda di halaman 1dari 5

1

Pemerintah Resmi Larang Ekspor Rotan


Ester Meryana
Kompas.com - 01/12/2011, 11:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah resmi melarang ekspor rotan asalan, mentah, dan
rotan setengah jadi. Sejumlah paket kebijakan pun dikeluarkan dalam mengatur hal itu pada
Rabu (30/11/2011).

Dengan melihat sejumlah aspek dalam sektor perindustrian, kehutanan, dan perdagangan,
pemerintah menetapkan adanya lima peraturan terkait pelarangan ekspor bahan baku rotan.
Paket kebijakan terdiri dari tiga peraturan Menteri Perdagangan, satu peraturan Menteri
Perindustrian, dan satu peraturan Menteri Kehutanan.

"Kami menutup ekspor bahan baku rotan dengan keyakinan akan terjadi penyerapan oleh
industri di dalam negeri," ujar Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dalam rilis yang diterima
Kompas.com.

Dengan penghentian ekspor ini, Gita berharap, pembangunan sentra produksi ke depan tidak
hanya difokuskan di Pulau Jawa, tetapi juga akan dikembangkan ke seluruh Indonesia. "Tak
kalah pentingnya, peningkatan usaha untuk terjadinya alih teknologi dari luar, yang
diperlukan untuk meningkatkan kualitas produk melalui pengembangan desain," tambah dia.

Apa yang dikemukakannya itu terlihat dalam Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ekspor
Rotan yang mencakup larangan ekspor rotan asalan, rotan mentah, dan rotan setengah jadi;
Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengangkutan Antar Pulau Rotan; dan Peraturan
Menteri Perdagangan tentang Barang yang Dapat Disimpan di Gudang Dalam
Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang. Sementara itu, harapan akan berkembangnya industri
rotan akan didukung oleh Peraturan Menteri Perindustrian tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 119/M-Ind/Per/10/2009 tentang Peta Panduan (Roadmap)
Pengembangan Klaster Industri Furnitur (terutama furnitur rotan).

Selain itu, penghentian ekspor rotan ini juga sebagai upaya menghentikan adanya eksploitasi
pengambilan rotan sehingga mengancam kelestariannya. Untuk ini, paket kebijakan pun
dilengkapi dengan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penetapan Rencana Produksi Rotan
Lestari Secara Nasional Periode Tahun 2012 yang Berasal dari Pemanfaatan dan Pemungutan
Hasil Hutan Bukan Kayu Rotan yang Dibebani IUPHHBK atau IPHHBK yang Sah.

Menurut data dari Kementerian Kehutanan, hasil penelitian dari International Tropical
Timber Organization (ITTO), rotan yang dapat diproduksi lestari adalah sebesar 530.000 ton
rotan mentah. Jumlah itu kemudian dikonversi ke dalam bentuk rotan sehingga jumlahnya
menjadi 210.000 ton.

Sementara itu, yang menjadi rotan asalan sebesar 126.000 ton, dan dari rotan asalan menjadi
rotan setengah jadi sebesar 63.000 ton. Dari jumlah tersebut, rotan setengah jadi rata-rata
diekspor sebesar 33.000 ton, dan sisanya sebesar 30.000 ton dipakai untuk pasokan
kebutuhan industri barang jadi rotan dan furnitur rotan dalam negeri.

Sebagai gambaran, ekspor bahan baku membuat utilisasi industri dalam negeri hanya 30
persen sehingga pasar industri berbahan baku rotan dipasok oleh pesaing yang mendapatkan
bahan baku rotan dari Indonesia.
Sumber :
http://ekonomi.kompas.com/read/2011/12/01/1110296/pemerintah.resmi.l
arang.ekspor.rotan
2.
Larangan Ekspor Bahan Mentah akan Diperluas

Sumber : Investor Daily

DENPASAR - Pemerintah bisa melarang ekspor sumber daya alam (SDA) dalam bentuk
mentah, seiring berlakunya Undang-Undang Perindustrian yang baru. Mulai Januari 2014,
pemerintah melarang ekspor mineral mentah sesuai dengan UU Mineral dan Batubara. Ke
depan, larangan ekspor bisa diperluas ke komoditas lain di luar mineral.
"Hal itu untuk mendukung Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN). Ini
sesuai dengan amanat UU Perindustrian," ujar Menteri Perindustrian MS Hidayat di
Denpasar, Bali, akhir pekan lalu.
Menurut Hidayat, pelaksanaan teknis RIPIN akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP),
peraturan presiden (perpres), dan peraturan menteri (permen). Pelarangan ekspor bahan
mentah sangat dimungkinkan diatur dalam aturan pelaksanaan.
Prosesnya, kata dia, dimulai dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Tahap awal,
Kemenperin merekomendasikan komoditas apa saja yang dilarang diekspor. Selanjutnya, jadi
atau tidaknya larangan ekspor akan diputuskan dalam rapat koordinasi tingkat menteri yang
dipimpin menko perekonomian.
"Jadi, dalam rangka mencapai target RIPIN 20 tahun, kami bisa rekomendasikan kementerian
untuk menyelaraskan kebijakannya dengan rencana induk tersebut," kata Hidayat.
Dengan UU Perindustrian, lanjut Hidayat, bahan mentah tidak bisa lagi seenaknya diekspor.
Selama puluhan tahun, Indonesia mengekspor bahan mentah ke negara-negara maju, lalu
masuk ke Indonesia dalam bentuk barang jadi dengan harga mahal.
"Sekarang, kita harus lebih cerdas memproses SDA kita," kata Hidayat. Dia berharap semua
perangkat pelaksana yang diamanatkan UU Perindustrian sudah siap paling lambat Oktober
2014. Dengan demikian, ujar Hidayat, menteri perindustrian berikutnya memiliki wewenang
penuh untuk melaksanakan amanat-amanat UU tersebut.
Dia menjelaskan, Bab VI UU Perindustrian mengatur tentang pembangunan sumber daya
industri. Salah satunya adalah pemanfaatan sumber daya alam.
Berdasarkan inventarisasi tim UU Perindustrian, setidaknya ada 23 aspek penting dan utama
yang diamanatkan UU. Untuk itu, dibutuhkan PP untuk aspek-aspek tersebut. Salah satunya
adalah PP tentang pembatasan serta pelarangan ekspor SDA.
Sekjen Kemenperin Anshari Bukhari menyatakan, untuk menjalankan program hilirisasi
industri yang sudah berlangsung, UU Perindustrian kembali memperkuat aturan mengenai
kebijakan insentif, yakni fiskal dan nonfiskal.
"Pada intinya, UU menyatakan SDA baik yang terbarukan atau tidak harus diutamakan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jadi, pemerintah bisa saja melakukan pembatasan atau
pelarangan ekspor agar bisa terpenuhi kebutuhan dalam negeri. Nanti akan ada sistem insentif
dan disinsentif di situ," kata Anshari.
Dia menyatakan, RIPIN diharapkan bisa mengatasi persoalan yang terusmuncul akibat
pertumbuhan industri, yakni lonjakan impor bahan baku dan bahan penolong. Dia
mencontohkan, selama ini Indonesia mengekspor bauksit kemudian mengimpornya kembali
dalam bentuk alumina yang digunakan oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk
memproduksi aluminium batangan.
Selain itu, dia menegaskan, PT Krakatu Steel Tbk (KS) masih mengimpor bahan baku besi
dan baja.
Industri petrokimia juga masih tergantung pada bahan baku impor. Bahkan, per September
2013, impor petrokimia menguras devisa US$ 16 miliar.
"Kenapa tidak industri hulu petrokimia dibangun melalui pembangunan kilang (refinery).
Dengan UU
Perindustrian, kita akan punya instrumen, payung hukum, untuk berbicara dengan
kementerian lain. Misalnya, meminta rencana investasi petrokimia segera direalisasikan atau
mendorong pelaksanaan UU Minerba," kata Anshari.
Staf Khusus Menteri Perindustrian Erna Zetha Rusman menyatakan, pemanfaatan SDA untuk
menciptakan nilai tambah seharusnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Dia meyakini
amanat UU itu tidak akan mengganggu kinerja ekspor Indonesia yang selama ini
mengandalkan bahan mentah.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menuturkan,
dengan UU Perindustrian, hilirisasi industri berbasis SDA bisa terus dilakukan. Imbasnya,
Indonesia tidak lagi hanya sekedar mengekspor bahan mentah.
"Bahasa ekstremnya, kita bisa meninggalkan era VOC. Saat ini sudah terasa efek hilirisasi.
Ekspor produk hilirisasi seperti berbasis kakao sudah kita nikmati. Tiap tahun, naik terus.
Kalau dilakukan pelarangan komoditas lain, saya yakin tidak akan mengganggu ekspor. Buat
apa ekspor kalau tidak ada nilainya," kata Benny. (eme)

Sumber :

http://www.kemenperin.go.id/artikel/8245/Larangan-Ekspor-Bahan-Mentah-akan-Diperluas

Anda mungkin juga menyukai