Anda di halaman 1dari 3

TUGAS PHT

Nama : Maharani Cantika Sulaiman


NIM : 010001700254

HUBUNGAN FUNGSIONAL ANTARA HUKUM ADAT


DENGAN HUKUM TANAH NASIONAL

Hukum Tanah Adat


Hukum Tanah Adat (HTA) merupakan hukum adat mengenai tanah. HTA berlaku di
kalangan masyarakat asli Indonesia sebelum bangsa asing (Portugis, Belanda, Inggris dan
lainnya) datang ke Indonesia. HTA merupakan hukum tidak tertulis.

Konsepsi Hukum Tanah Adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik
religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah
yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik
menunjuk pada adanya hak-bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang
disebut Hak Ulayat.  Tanah Ulayat diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau nenek
moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur
pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok masyarakat sepanjang masa.
Berdasarkan hal tersebut tampak adanya sifat religius/unsur keagamaan dalam hubungan
hukum antara para warga masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya. Adapun para warga
sebagai anggota kelompok masyarakat, masing-masing nya berhak menguasai dan
menggunakan sebagian tanah bersama guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya,
dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu (disebut
hak milik). Penguasaan dan penggunaan tersebut dapat dilakukan sendiri secara individual
atau bersama-sama dengan warga kelompok lain, tidak ada kewajiban untuk menguasai dan
menggunakannya secara kolektif pada satu kelompok tertentu. Oleh sebab itu penguasaannya
dirumuskan “individual”. Namun demikian dikarenakan tanah yang dikuasai dan digunakan
itu adalah sebagaian dari tanah-bersama, maka dalam penggunaannya tidak boleh hanya
berpedoman pada kepentingan pribadi tetapi harus pula berpedoman pada kepentingan
bersama/kelompok.

Hak ulayat masyarakat hukum adat mengandung 2 (dua) unsur hukum yakni, hukum
perdata dan hukum publik. Keberadaan hukum perdata dibuktikan dengan adanya hak
kepunyaan bersama atas tanah-bersama para anggota atau masyarakat, sementara keberadaan
hukum publik dapat dilihat pada tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya.

Hak ulayat sebagai hak bersama tidak berarti sebagai suatu “hak milik”  dalam arti  yuridis
melainkan “hak kepunyaan bersama”. Sehingga dimungkinkan Hak Milik atas tanah yang
dikuasai pribadi oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Berikut tata susunan dan hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Adat:
1. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum publik; (dalam Pasal 1 (1) UUPA
dinamakan “Hak Bersama Bangsa Indonesia”)
2. Hak Kepada Adat dan para Tetua Adat, yang bersumber pada Hak Ulayat dan
beraspek hukum publik semata; (dalam Pasal 2 UUPA dinamakan “Hak menguasai
dari  Negara”)
3. Hak-hak atas Tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung maupun tidak
langsung bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum keperdataan. (dalam
Pasal 16 UUPA dinamakan sejumlah hak)
Hukum Tanah Adat merupakan sumber utama/dasar pembuatan Hukum Tanah Nasional
(HTN), hal ini dikarenakan kesesuaiannya dengan kepribadian bangsa Indonesia. Namun
demikian, HTA pada dasarnya masih dipengaruhi/dimasuki oleh unsur-unsur dari luar,
misalnya pengaruh hukum kolonial, swapraja dan lainnya. Oleh sebab itu, untuk menciptakan
HTN, HTA harus dibersihkan dari cacatnya yang tidak asli dan kemudian disempurnakan
hingga sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan
Umum angka III (1) UU Pokok Agraria (UUPA).

Hukum Tanah Nasional


Hukum Adat mengenai tanah (HTA) merupakan sumber utama pembangunan Hukum Tanah
Nasional (HTN). Hal ini berarti bahwa pembangunan HTN dilandasi pada konsepsi Hukum
Adat yang 1) komunalistik religius, 2) yang memungkinkan penguasaan tanah secara
individual,3) dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung
kebersamaan. Hal demikian selanjutnya diatur pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Produk dari HTN adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA sebagai Hukum
Tanah Nasional (HTN) memiliki arti : a) Secara formal dibuat di Indonesia, berbahasa
Indonesia, dan berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia; b) Secara materil berarti
isinya merupakan perwujudan dari Pancasila dan disusun berdasarkan / dengan menggunakan
bahan-bahan HTA. Adapun, menurut Prof Boedi Harsono, UUPA telah mengakhiri
kebhinekaan perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan HTN
yang tunggal yang didasarkan pada Hukum Adat.  Lebih lanjut, Menteri Sekretaris Negara,
Moerdiono, pada tahun 1988 menyatakan bahwa UUPA merupakan pelaksanaan langsung
dari pasal 33 UUD 1945 yang menjadi tumpuan Demokrasi Ekonomi Indonesia sebagai
bagian dari Demokrasi Pancasila.
Di dalam UUPA, Hak Ulayat tetap diakui, dengan 2 syarat yakni “eksistensi” dan
“pelaksanaannya”. Hak Ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Pada
daerah yang dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali. Pada daerah
dimana tidak pernah ada Hak Ulayat, maka tidak akan dilahirkan Hak Ulayat baru. Hal ini
sebagaimana diatur Pasal 3 UUPA. 

Tata susunan dan hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam HTN (sebagaimana
diatur pada UUPA) mirip dengan HTA, yakni :
1. Hak Bangsa Indonesia (sebagai pengejawantahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat dalam HTA);
2. Hak Menguasai dari Negara (sebagai pengejawantahan Hak Kepada Adat dan para
Tetua Adat dalam HTA); dan
3. Hak-hak perorangan atas tanah (sebagai pengejawantahan Hak-hak atas Tanah dalam
HTA).
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagaimana HTA menjadi
sumber pembentukan HTN, maka UUPA sebagai produk HTN memiliki hubungan
fungsional dengan HTA. Oleh sebab itu bagaimanapun pengaturan UUPA harus
memperhatikan keberadaan HTA. Hal ini sebagaimana diatur dalam UUPA, yakni pada
konsiderans “Berpendapat”, huruf “a”, pasal 5 dan penjelasannya, penjelasan pasal 16, pasal
56, pasal 58, dan Penjelasan Umum III/1 UUPA.

Anda mungkin juga menyukai