Anda di halaman 1dari 16

Nama : Maharani Cantika S

NIM : 010001700254
Matkul : Teknik Penyusunan Perundang-Undangan (TPPU)
Dosen : Dr. Andari Yurikosari, SH.MH.

KERANGKA (KENVORM) PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 UNDANG-UNDANG

1. JUDUL :
UNDANG –UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN
GAS BUMI

2. PEMBUKAAN :
a) Frase : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
b) Jabatan Pembentuk : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
c) Konsiderans
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
b. bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak
terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital
yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan
penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus
dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat;
c. bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting
dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan
ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2
Tahun 1962 tenteng Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan
Dalam Negeri, dan Undang-Undang Nomar 8 Tahun 1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara sudah tidak
sesuai Iagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas
bumi;
e. bahwa dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun
internasional dibutuhkan perubahan peraturan perundangundangan tentang
Pertambangan Minyak den Gas Bumi yang dapat menciptakan kegiatan
usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya
saing, efisien, dan berwawasan pelestarian Lingkungan, serta mendorong
perkembangan potensi dan peranan nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e tersebut di atas soda untuk
memberikan Iandasan hukum bagi Iangkah-langkah pembaruan dan
penataan atas penyelenggaraan pengusahaan minyak dan gas bumi, maka
perlu membentuk Undang- Undang tentang Minyak dan Gas Bumi;
d) Dasar Hukum
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1); Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor


XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

e) Diktum : Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


REPUBLIK INDONESIA

3. BATANG TUBUH
a. Ketentuan Umum : Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin
mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dan proses penambangan, tetapi
tidak termasuk batubara atau endapan hidrokanbon lain yang berbentuk padat yang
diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas
bumi.

2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan
dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dan proses penambangan
minyak dan gas bumi.

3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Ga s Bumi.

4. Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak
Bumi.

5. Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah


untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.

6. Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan
penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk
memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi di luar Wilayah
Kerja.

7. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada
kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.

8. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi


geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.

9. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak


dan Gas Bumi dan Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan
penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan
pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta
kegiatan lain yang mendukungnya.

10. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada
kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.

11. Badan Usaha adalah Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis
usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

12. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh
keuntungan dan/atau laba.

13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri dan Presiden beserta para Menteri.

14. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang
lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.

15. Badan Pelaksana adalah suatu Badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian
Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.

16. Badan Pengatur adalah suatu Badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas
Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir.

17. Menteri adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi.

b. Materi pokok yang diatur :

Materi yang diatur dalam Undang-Undang N0 22 tahun 2011 merupakan materi


limpahan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
c. KETENTUAN PIDANA

Pasal 51

1. (1)  Setiap orang yang melakukan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) tanpa hak dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling tinggi Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

2. (2)  Setiap orang yang mengirim atau menyerahkan atau memindahtangankan data
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tanpa hak dalam bentuk apa pun dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 52

Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai


Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp.
60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Pasal 53

Setiap orang yang melakukan:

1. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa lzin Usaha Pengolahan


dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi
Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah);

2. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasai 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan


dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi
Rp. 40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);

3. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa lzin Usaha Penyimpanan


dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp.
30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
d. KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60

Pada saat Undang-undang ini berlaku:

1. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah;

2. selama Persero sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk, Pertamina


wajib melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta mengatur dan
mengelola kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya yang diperlukan;

3. saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban Pertamina sebagaimana dimaksud


dalam huruf b, dialihkan kepada Persero yang bersangkutan.

e. KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

(1)  Dengan berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku:

1. Undang-Undang Nomon 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak


dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2070);

2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Penetapan Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2505);

3. Undang-Undang Nomon 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan


Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) berikut segala perubahannya,
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974 (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 3045).

(2)  Segala peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran
Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru
berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 67

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

PENUTUP : Disahkan di Jakarta


pada tanggal 23 Nopember 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd


MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd
BAMBANG KESOWO

 PERATURAN DAERAH

1. JUDUL : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 17


TAHUN 2011 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU
BARA
2. PEMBUKAAN :

a. Frase : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

b. Jabatan Pembentuk : BUPATI BERAU

c. Konsiderans : Menimbang :

bahwa berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009


tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah daerah
berwenang membuat peraturan perundangan-undangan daerah
mengenai pengelolaan pertambangan mineral dan batubara ;

d. Dasar Hukum : Mengingat :

- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 (Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1959 Nomor 72) tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II
di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953
Nomor 9) sebagai Undang-Undang (Memori Penjelasan Dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820) ; -
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918) ; -
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981)

e. Diktum : Dengan Pesetujuan Bersama DPRD KABUPATEN BERAU


dan BUPATI BERAU

3. BATANG TUBUH :
a. Ketentuan Umum :

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah adalah Kabupaten Berau.

2. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggara Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah


Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut Asas Otonomi dan
Tugas Pembantuan dengan Prinsip Otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Bupati adalah Bupati Berau.

4. Dinas adalah Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Berau.

5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Berau.

6. Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah adalah Dinas


Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPPKK) Kabupaten
Berau.

7. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan atau pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pascatambang.

8. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam yang memiliki sifat fisik
dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk
batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

9. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah
dari sisa tumbuh-tumbuhan.
10. Pertambangan Mineral adalah Pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih
atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah.

11. Pertambangan Batubara adalah Pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam
bumi, termasuk bitumen padat, gambut dan batuan aspal.

12. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi tahap penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan
serta pasca tambang.

b. Materi Pokok yang diatur :

Materi yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Riau nomor 17 tahun 2011
merupakan materi limpahan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya

c. KETENTUAN PIDANA :

Pasal 222

Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, atau IPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 51, Pasal 56, Pasal 58, Pasal 68 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 223

Pemegang IUP, atau IPR yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 81 huruf e, Pasal 85 ayat (4), Pasal 152 ayat
(1) dan ayat (2) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

d. KETENTUAN PERALIHAN :

Pasal 224
Semua izin pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan daerah ini,
dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya izin.

e. KETENTUAN PENUTUP :

Pasal 225

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun
1997 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Tata Cara Izin Usaha Pertambangan
Umum dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

Pasal 226

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Berau.

4. PENUTUP :

Ditetapkan di Tanjung Redeb Pada tanggal, 7 Oktober 2011 BUPATI BERAU, ttd H.
MAKMUR HAPK

Diundangkan di Tanjung Redeb pada tanggal 7 Oktober 2011 Plt. SEKRETARIS


DAERAH, ttd H. BAHARUDDIN HASYIM LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN BERAU TAHUN 2011 NOMOR 17
PENJELASAN KERANGKA ATAU BENTUK LUAR PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN UNTUK UNDANG-UNDANG & PERATURAN DAERAH
 
A.   JUDUL
1.   Judul peraturan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan.
2.   Judul peraturan menggunakan bahasa Indonesia baku;
3.   Judul peraturan tidak menggunakan istilah asing. Apabila harus menggunakan istilah
asing, maka dicari padanan kata dalam bahasa Indonesia baku.
4.   Tidak diperkenankan terdapat singkatan atau akronim dalam Judul peraturan.
5.   Judulditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa
diakhiri tanda baca.
 
B.   PEMBUKAAN
1.   Pembukaan Peraturan Kepala BPKP memuat:
a.    Jabatan Pembentuk Peraturan;
b.   Konsiderans;
c.    Dasar Hukum;
d.   Memutuskan;
e.    Menetapkan; dan
f.     Nama Peraturan Kepala BPKP.

2.   Di bawah nama Peraturan dicantumkan jabatan pembentuk Peraturan yang seluruhnya
ditulis dengan huruf kapital, yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanca baca
koma (,).

3.   Konsiderans
a.    Konsiderans diawali dengan kata Menimbang, yang dicantumkan setelah nama jabatan
dan diletakkan sebelah kiri marjin. Huruf awal ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda baca titik dua (:).
b.   Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar
belakang dan alasan pembuatan Peraturan.
c.    Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, maka tiap pokok pikiran harus
dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan satu kesatuan pengertian.
d.   Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad dan dirumuskan dalam satu kalimat
utuh yang diawali dengan kata "bahwa" yang ditulis dengan huruf kecil dan diakhiri dengan
tanda baca titik koma (;)
 
4.   Dasar Hukum
a.    Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat yang ditulis sejajar dengan Menimbang.
b.   Huruf awal kata Mengingat ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca
titik dua ( : ).
c.    Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan dan memuat peraturan
perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan tersebut atau yang
mempunyai kaitan langsung dengan materi yang akan diatur.
d.   Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
e.    Peraturan Kepala BPKP yang akan dicabut dengan Peraturan yang akan ditetapkan, tidak
dicantumkan sebagai dasar hukum.
f.     Undang-undang, Peraturan Pemerintah yang dijadikan dasar hukum perlu dilengkapi
dengan pencantuman Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara yang diletakkan di
antara tanda kurung ( ).
g.    Jika jumlah peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu,
maka urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan hirarki dan diurutkan secara
kronologis berdasarkan saat pengeluarannya.
h.   Jika dasar hukum memuat lebih dari satu peraturan perundang-undangan, maka tiap dasar
hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya yang diakhiri dengan tanda baca titik
koma (;).

5.   Memutuskan
Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya dengan huruf kapital, tanpa spasi antar huruf dan
diakhiri dengan tanda baca titik dua (:) serta diletakkan di tengah marjin.

6.   Menetapkan
a.    Kata Menetapkan dicantumkan sesudah MEMUTUSKAN yang letaknya disejajarkan ke
bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat.
b.   Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanca baca
titik dua (:).
7.   Nama Peraturan
Nama yang tercantum dalam judul Peraturan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan yang
didahului dengan pencantuman jenis Peraturan tanpa menyebutkan nomor dan tahun,
seluruhnya ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik (.).
 
C.   BATANG TUBUH
1.   Batang tubuh Peraturan yang bersifat mengatur memuat semua substansi (materi)
Peraturan yang dirumuskan dalam pasal-pasal.
2.   Pasal merupakan satuan aturan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu
kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
3.   Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata Pasal ditulis dengan
huruf kapital.
4.   Pasal dapat dirinci dalam beberapa ayat, yang masing-masing ayat diberi nomor urut
dengan angka Arab yang ditulis di antara tanda baca kurung ( ) tanpa diakhiri tanda baca titik
(.)
5.   Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat
utuh.
6.  Materi Peraturan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas
daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali
yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan
7. Pada umumnya materi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
a.    Ketentuan Umum.
b.   Materi Pokok yang Diatur.
c.    Ketentuan Peralihan (jika diperlukan).
d.   Ketentuan Penutup.

8.       Ketentuan Umum


a.    Ketentuan umum diletakkan dalam bab ke satu atau dalam pasal satu.
b.   Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.·        
c. Jika ketentuan umum berisi batasan pengertian, definisi, singkatan, atau akronim lebih dari
satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab.
d. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang
terdapat di dalam pasal-pasal selanjutnya.
e. Jika kata atau istilah hanya digunakan satu kali namun kata atau istilah itu diperlukan
pengertiannya, maka kata atau istilah itu diberi definisi pada pasal awal yang bersangkutan.

9.       Materi Pokok yang Diatur:


a.    Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab Ketentuan Umum atau Pasal
(-Pasal) ketentuan umum jika tidak ada pengelompokan dalam bab.
b.   Pembagian lebih lanjut kelompok materi ini didasarkan pada luasnya materi pokok yang
bersangkutan.
c.    Materi yang diatur dalam Peraturan Kepala BPKP merupakan materi limpahan dari
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.

10.   Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)


a.    ketentuan peralihan memuat penyesuaian keadaan yang sudah ada pada saat Peraturan
baru itu mulai berlaku agar Peraturan tersebut dapat berjalan lancar
b.   Ketentuan peralihan ditempatkan di antara pasal yang mengatur sanksi administratif dan
pasal penutup.
c.    Pada saat suatu Peraturan dinyatakan berlaku, pada Peraturan tersebut perlu diatur
hubungan hukum dan akibat hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun sesudah
Peraturan yang baru tersebut mulai berlaku atau segala tindakan hukum yang sedang
berlangsung atau belum selesai pada saat Peraturan yang baru dinyatakan berlaku, untuk
menyatakan bahwa tindakan hukum tersebut tunduk pada ketentuan Peraturan yang baru.
d.   Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan ini yang isinya memuat perubahan
12.   Ketentuan Penutup:
a.    Ketentuan penutup diletakkan pada pasal terakhir.
b.   Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:
Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan;
Pernyataan tidak berlaku, penarikan, atau pencabutan Peraturan yang telah ada;
Nama singkat apabila judul Peraturan terlalu panjang;
Saat mulai berlakunya Peraturan.
Ketentuan penutup dapat memuat pelaksanaan Peraturan yang bersifat:
Menjalankan, misalnya penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk
memberikan izin, mengangkat pegawai dan lain-lain;
Mengatur, misalnya pendelegasian kewenangan kepada pejabat dibawahnya untuk membuat
Peraturan lain yang pada hakekatnya merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan
tersebut.
 
D.  PENUTUP
1.   Penutup merupakan bagian akhir Peraturan, yang memuat penandatanganan
penetapan/pengundangan Peraturan.
2.   Penandatanganan penetapan/pengundangan Peraturan memuat:
a.    tempat dan tanggal penetapan;
b.   nama jabatan;
c.    tanda tangan pejabat;
d.   nama lengkap pejabat yang menandatangani.
3.   Rumusan tempat dan tanggal penetapan/pengundangan diletakkan di sebelah kanan
bawah.
4.   Setelah kata tempat dan tanggal tidak perlu diberi tanda baca titik dua (:)
5.   Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan secara
simetris di sebelah kanan di bawah tanggal penetapan/pengundangan.
6.   Nama pejabat tidak perlu gelar dan NIP.
7.   Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma (,).

Anda mungkin juga menyukai