Tugas Biokimia Kelompok 4
Tugas Biokimia Kelompok 4
DOSEN PENGAJAR :
Rodhiansyah Djayasinga S.Pd,M.Si
DISUSUN OLEH :
Indah Lestari (1914301029)
Nabila Amanda Putri (1914301030)
Anissa Dian Utami (1914301031)
Yeni Handayani (1914301032)
Revina Lutfitawaliya (1914301033)
Naila Gifiria Apchatika (1914301034)
Sonia Paramita (1914301037)
Kristanti Wulandari (1914301038)
Olva Nugrahemi Triyono (1914301039)
M. Abduh Musyaffa (1914301041)
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
Jurnal.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Pengertian Penyakit Paru Obstruksi Kronis.................................................2
2.2 Epidemiologi................................................................................................2
2.3 Etiologi.........................................................................................................5
2.4 Patofisiologi.................................................................................................5
2.5 Gambaran Klinis............................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN...................................................................8
BAB IV PENUTUP...................................................................................................
3.1 Kesimpulan ................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................9
ii
Perbandingan Nilai Hormon Testosteron dan Growth Hormone pada
Berbagai Derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil
Muhammad Fachri*, Faisal Yunus*, Wiwien Heru Wiyono*, Aria Kekalih**
* Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
** Departemen Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Abstrak
Latar belakang: Terdapat hubungan antara gangguan kelenjar endokrin dan kelemahan otot pada pasien PPOK. Dua hormon yang dianggap
mempengaruhi yaitu growth hormone dan hormon testosteron.
Metode: Secara case control observational, dikumpulkan data dengan metode konsekutif dari kelompok pasien PPOK stabil dan orang sehat.
Data dikumpulkan sejak April 2009 sampai dengan Juli 2010 di Rumah Sakit Persahabatan. IGF-1 dan testosteron diperiksa dengan
menggunakan uji ELISA.
Hasil: Terdapat 28 pasien PPOK stabil sebagai kelompok kasus dan 28 subjek normal sebagai kontrol. Karakteristik umur, jenis kelamin dan
indeks massa tubuh antara kedua kelompok telah setara. Median nilai hormon testosteron pada pasien PPOK stabil yaitu 575 (170-1600)
ng/dL dan relatif lebih tinggi daripada kelompok kontrol: 520 (210-2010) ng/dL. Rerata nilai IGF-1 pasien PPOK stabil 98±27ng/mL dan
relatif lebih rendah dibanding kelompok kontrol:109±37ng/mL. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik.
Kesimpulan: Terdapat kecenderungan nilai growth hormone / IGF-1 lebih rendah dan nilai testosteron lebih tinggi pada pasien PPOK stabil
dibanding orang sehat yang setara umur tetapi tidak berbeda secara statistik. Walaupun penelitian ini belum dapat membuktikan adanya
perbedaan bermakna hormon testosteron dan growth hormone / IGF-1 namun hal tesebut masih diperdebatkan. (J Respir Indo. 2012; 32:208-
17)
Kata kunci: PPOK, growth hormone, IGF-1, testosteron.
Abstract
Introduction: There is a correlation between the disturbance of endocrine glands and muscular weakness in COPD patients. Two hormones
assumed to be affected are growth hormone and testosterone hormone.
Methods: In observational case control study, we collected data consecutively from stable COPD patients group and healthy people group.
Data was collected during June 2009-July 2010 in Persahabatan Hospital. We examined serum IGF-1 and testosterone using ELISA test.
Results: There were 28 stable COPD patients as case group and 28 normal subjects as control. The characteristic of age, sex and body mass
index between groups were comparable. Serum testosterone hormone level median in stable COPD patients was 575 (170-1600) ng/dL and
relatively higher than in the control group: 520 (210-2010) ng/dL. IGF-1 level mean in stable COPD was 98±27 ng/mL and relatively lower
than in control group: 109±37 ng/mL. However, the differences were not statistically significant.
Conclusion: Previous studies have found a decreasing trend of growth hormone/IGF-1 and increasing testosterone level in male COPD
patients compared to healthy person of the same age, though the differences were insignificant. This study supports the evidence that changes
of growth hormone and testosterone in male COPD patients is not relevant, nevertheless the controversy remains. (J Respir Indo. 2012;
32:208-17)
Keywords: COPD, growth hormone, IGF-1, testosterone.
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) masih menjadi
katnya kebiasaan merokok, meningkatnya usia harapan
masalah global di dunia. World Health Organization (WHO)
hidup manusia dan dapat di atasinya penyakit degeneratif
memperkirakan pada tahun 2020 PPOK menjadi urutan ke-3
lainnya serta kemajuan industri yang tidak dapat dipisahkan
di dunia penyebab angka kesakitan dan kematian baik di
dengan polusi udara dan lingkungan. Prevalens PPOK pada
negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang
populasi umum diperkirakan 1% dan meningkat secara
akibat mening-
bertahap hingga lebih 40% pada
2
1
kelompok umur di atas 40 tahun. Yunus dkk.
2
gambaran nilai growth hormone melalui perubahan nilai
melaporkan bahwa PPOK menduduki peringkat 5 dari jumlah insulin-like growth factor-I (IGF-1) dan hormon testos- teron
pasien yang berobat serta menduduki peringkat 4 dari jumlah pada penderita PPOK stabil.
pasien yang dirawat di RS Persahabatan dari tahun 1997 Penelitian dilakukan di poliklinik asma / PPOK RS
sampai tahun 1999. Diprediksi angka ini akan terus meningkat Persahabatan Jakarta / Departemen Pulmonologi dan Ilmu
karena paparan terus menerus dengan faktor risiko seperti Kedokteran Respirasi FKUI. Penelitian dimulai bulan April
merokok dan polusi serta semakin meningkatnya jumlah 2009 sampai dengan Juli 2010.
orang berusia lanjut oleh karena meningkatnya usia harapan Populasi adalah penderita PPOK stabil yang berobat ke
hidup orang Indonesia. Penyakit ini memberikan dampak yang poliklinik asma / PPOK RS Persahabatan Jakarta. Sampel
2
besar terhadap kualitas hidup penderita dan keluarga- nya. penelitian adalah penderita PPOK stabil sebagai kasus dan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupa- kan penyakit orang sehat sebagai kontrol yang masing-masing sesuai
yang ditandai dengan keterlibatan beberapa sel inflamasi. kriteria penerimaan dan penolakannya. Semua subjek diambil
Respons inflamasi melibatkan sel-sel inflamasi (neutrofil, secara konsekutif artinya semua penderita yang memenuhi
makrofag, limfosit T dan sel epitel) dan berbagai mediator kriteria penerimaan dan penolakan diambil sebagai sampel
inflamasi (leukotrien, prostaglandin, platelet activating factor, penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.
reactive oxygen species, kemokin, sitokin, growth factor,
endotelin, Kriteria inklusi:
• Kasus
neuropeptidase dan protease).
3,4
Saat ini terapi PPOK 1. Bersedia dengan sukarela mengikuti seluruh
umumnya terkonsentrasi pada disfungsi organ primer yaitu program penelitian dengan menandatangani formulir
paru. Terdapat hubungan antara organ primer dengan organ informed consent.
lainnya. Keluhan terbanyak pasien PPOK adalah sesak dengan 2. Penderita PPOK stabil dengan umur di atas 40 tahun.
penurunan kemampuan latihan, terkait dengan penurunan 3. Penderita PPOK yang terakhir minum steroid oral
5,6
fungsi otot. Prevalens pada keadaan ini meningkat 20% atau inhalasi 3 minggu sebelum penelitian.
dengan keadaan klinis stabil sampai 35% pada pasien yang 4. Penderita PPOK stabil baik laki-laki maupun
mendapatkan rehabilitasi paru. Kekurangan massa lemak perempuan yang datang ke poli asma / PPOK RS
bebas (fat free mass / FFM) terdapat pada pasien PPOK yang Persahabatan Jakarta
diduga disebabkan oleh gangguan energi atau metabolisme. • Kontrol adalah orang sehat dan tidak menderita PPOK
Ini sebagai bukti keterkaitan antara bertambahnya inflamasi dan memenuhi syarat seperti kriteria penerimaan untuk
sistemik dengan habisnya FFM. Sehingga gangguan pada kasus yaitu bersedia dengan sukarela mengikuti seluruh
sistem anabolik hormon mungkin juga merusak respons program penelitian dengan menandatangani formulir
anabolik yang dibutuhkan untuk kemampuan otot rangka. Jadi informed consent, umur di atas 40 tahun dan terakhir
terdapat hubungan gangguan endokrin terhadap kelemahan minum steroid oral atau inhalasi 3 minggu sebelum
dan kerusakan otot pada PPOK, misalnya gangguan growth penelitian.
hormone / IGF-1 dan hormon pada hipotalamic-pituitary-
7,8
gonad (contoh: testosteron). Kriteria eksklusi:
• Kasus
METODE 1. Penderita PPOK dengan penyakit paru lainnya dan
atau penyakit endokrin.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian dasar dengan desain
2. Penderita dengan ketergantungan steroid atau
penelitian kasus kontrol untuk melihat
membutuhkan steroid jangka panjang secara sistemik
atau inhalasi.
3. Penderita PPOK dengan penyakit diabetes melitus Tabel 1. Karakteristik dasar subjek berdasarkan kelompok kontrol dan
kasus
tipe 2.
• Kontrol yaitu menderita PPOK, penyakit paru Kelompok Kese-
lainnya, penyakit endokrin, diabetes melitus tipe 2 dan Karakteristik Kasus Kontrol taraan
Mean N % Mean N %
ketergantungan steroid atau membutuhkan
Jenis kelamin
steroid jangka panjang secara sistemik atau inhalasi. Laki-laki 28 100% 28 100%
Perempuan Umur
Pasien PPOK stabil dan orang sehat setelah dilakukan 40-60 62 65 0,380
> 60 12 42,9% 8 28,6%
anamnesis, riwayat merokok, pemeriksaan fisis, indeks massa Pendidikan 16 57,1% 20 71,4%
Tidak sekolah 0 0% 1 3,6%
tubuh, spirometri, analisis gas darah diseleksi untuk mencari SD 14 50,0% 6 21,4%
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien SLTP 5 17,9% 5 17,9%
SLTA 7 25,0% 13 46,4%
PPOK stabil dan orang D3/PT 10,7%
IMT 2 7,1% 3
22,71 21,14 0,084
sehat kemudian diminta kesediaannya untuk menjadi Kurus 1 3,6% 6 21,4%
Normal 22 78,6% 18 64,3%
subjek penelitian dan diminta untuk mengisi dan Gemuk 5 17,9% 4 14,3%
menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Indeks Brikman 0,004
Tidak merokok 2 7,1% 0 0%
Kedua kelompok subjek penelitian tersebut menjalani Ringan 2 7,1% 14 50,0%
Sedang 11 39,3% 13 46,4%
pemeriksaan hormon testosteron dan IGF-1 dengan Berat Status 13 46,4% 1 3,6%
pengambilan darah vena perifer dan dianalisis dengan ELISA merokok 0,001
Perokok 15 53,6% 4 14,3%
(enzime linked immunosorbent assay) test. Analisis data akan Bekas 11 39,3% 24 85,7%
Tidak PCO2 2 7,1% 0 0%
dilakukan secara univariant dan bivariant. Perhitungan < 35 0,384
analisis dengan menggunakan program SPSS 13. 6 21,4% 10 35,7%
35 - 45 20 71,4% 15 53,6%
> 45 2 7,1% 3 10,7%
PO2 0,001
HASIL < 80 3 10,7% 9 32,1%
80 - 100 9 32,1% 16 57,1%
Penelitian ini berhasil mengumpulkan 28 orang untuk tiap > 100 16 57,1% 3 10,7%
Derajat PPOK
kelompok kasus dan kontrol. Kedua kelompok subjek Normal 28 100% 0 0%
penelitan seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Umur pasien Ringan 0 0% 1 3,6%
Sedang 0 0% 16 57,1%
PPOK dengan rerata 65 tahun yang terdiri dari 20 orang Berat 0 0% 8 28,6
Sangat berat 0 0% 3 10,7%
berumur > 60 tahun dan 8 orang berumur 40 sampai dengan
60 tahun. Rerata umur kelompok kontrol adalah 62 tahun
sedang dan berat sedangkan pada pasien PPOK stabil
dengan 16 orang berumur > 60 tahun dan 12 orang berumur
40 sampai dengan 60 tahun. Pasien PPOK stabil subjek dan terbanyak indeks Brinkman ringan dan sedang. Hal ini
didukung secara statistik yang berbeda bermakna dengan p <
kontrol penelitian ini terbanyak dengan indeks massa tubuh
(IMT) normal yaitu 22 orang untuk kontrol dan 18 orang 0,05.
Nilai PCO2 pada kelompok kontrol umumnya sebanyak 20
pasien PPOK stabil. Secara statistik karakteristik umur dan
IMT pada kedua kelompok subjek penelitian terlihat tidak orang berkisar antara 35 sampai dengan 40 mmHg. Kelompok
bemakna dan karak- teristik jenis kelamin pada kedua pasien PPOK memiliki nilai PCO2 terbanyak berkisar antara
kelompok tersebut juga sama. Hal ini menunjukkan telah 35 sampai dengan 40 mmHg yaitu berjumlah 15 orang.
tercapai keseta- raan ketiga karakteristik pada kedua Perbandingan antara kedua kelompok subjek tersebut secara
kelompok subjek tersebut. Pada subjek kontrol lebih banyak statistik tidak berbeda bermakna. Pada penelitian ini
yang masih merokok dibanding bekas perokok yaitu 15 dan mendapatkan nilai PO2 kelompok kontrol umumnya sebanyak
11 orang. Indeks Brinkman pada subjek kontrol umumnya 16 orang yaitu di atas 100 mmHg dan kelompok kasus
terbanyak yaitu 16 orang yaitu berkisar antara 80 sampai
dengan 160
Tabel 2. Perbandingan hasil pemeriksaan spirometri dan analisis gas Tabel 3. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1
darah kelompok kontrol dan kasus. berdasarkan umur, IMT, indeks Brinkman, PCO2, PO2, dan derajat
Kelompok PPOK pada pasien PPOK stabil
Karakteristik Kasus Kontrol p Testos- IGF-1
teron
Mean St. dev Mean St. dev Karakteristik N % ng/dL p ng/mL p
ng/mL
IGF-1
Tidak 15 53,6% 574 122 100
11 39,3% 470 93
PCO2
2 7,1% 395 96
< 35
0,493 0,117
35 - 45
> 45 6 21,4% 488 117
20 71,4 513 111
PO2
< 80 2 3 10,7%
7,1% 690
453 57 96
80 - 100 9 32,1% 461 0,421 103 0,742
> 100 16 57,1% 566 113
0
N= 28 28
Kontrol Kasus
Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 Kelompok
Pada perbandingan testosteron antara kelom- pok kasus dan Gambar 1. Diagram Boxplot nilai IGF-1 pada kelompok kontrol dan
kasus
kontrol didapatkan bahwa testosteron pada kelompok kasus
mengalami cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok
kontrol namun pening- katan tersebut setelah diuji statistik 2000
IMT : Normal
IMT : Normal
*
1500 1
2
150
1 1
1000 7
ng/dL
Testosteron
5
IGF-I
ng/mL
100
500
50
0
Kontrol Kasus Kontrol Kasus
Kelompok Kelompok
Gambar 3. Diagram boxplot perbandingan nilai IGF-1 pada pasien Gambar 4. Diagram boxplot perbandingan nilai hormon testosteron
PPOK stabil IMT normal dengan kontrol IMT normal pada pasien PPOK stabil IMT normal dengan kontrol IMT normal
tabel ini juga menunjukkan hasil yang sama dengan tabel 8 adalah sesak dengan penurunan kemampuan latihan, terkait
dan masih tidak berbeda bermakna secara statistik. Gambar 5 dengan penurunan fungsi otot.
5,6
Prevalens pada keadaan ini
dan 6 yang masing-masing memperlihatkan perbedaan nilai
meningkat 20% dengan keadaan klinis stabil sampai 35%
hormon testosteron dan IGF-1 pada kasus dan kontrol dengan
pada pasien yang mendapatkan rehabilitasi paru. Kekurangan
IMT gemuk terlihat sedikit berbeda. Jadi keempat tabel
massa lemak bebas (fat free mass / FFM) terdapat pada pasien
tersebut yaitu tabel 6,7,8 dan 9 memperlihatkan pengaruh
PPOK yang diduga disebabkan oleh gangguan energi atau
IMT dengan kedua hormon tersebut tetapi pada penelitian ini
metabolisme. Ini sebagai bukti keterkaitan antara
tidak dapat menunjukkan perbedaan nilai kedua hormon
bertambahnya inflamasi sistemik dengan habisnya FFM.
tersebut pada kedua kelompok dengan IMT kurus. Hal ini
Gangguan pada sistem anabolik hormon diduga juga merusak
disebabkan subjek kontrol dengan IMT kurus hanya 1 orang
respons anabolik yang dibutuhkan untuk kemampuan otot
dan tidak bisa dilakukan perbandingan secara statistik.
rangka. Faktor-faktor tersebut mengindikasikan terdapatnya
hubungan gangguan endokrin terhadap kelemahan dan
PEMBAHASAN kerusakan otot pada PPOK, misalnya gangguan growth
Saat ini terapi PPOK umumnya terkonsentrasi pada disfungsi hormone / IGF-1 dan hormon pada aksis hipotalamic-
7,8
organ primer yaitu paru. Akhir-akhir ini berkembang polemik pituitary-gonad (contoh: testosteron).
bahwa terdapat hubungan antara organ primer dengan organ Penelitian ini yang membandingkan nilai hormon testosteron
lainnya serta terdapat efek sistemik PPOK. Keluhan terbanyak dan IGF-1 pada pasien PPOK stabil berbagai derajat dengan
pasien PPOK orang sehat sebagai kelompok kontrol, berhasil
mengumpulkan subjek penelitian sebanyak 28 orang untuk
Tabel 9. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 pada tiap kelompok. Kedua subjek penelitian ini telah setara pada
pasien PPOK stabil IMT gemuk dengan kontrol IMT gemuk karakteristik umur, jenis kelamin dan IMT. Perilaku merokok
Hormon Kelompok N Mean St. dev P pasien PPOK yang diwakili dengan status merokok dan
Testosteron Kontrol 5 608,00 166,1927 indeks Brinkman bila dibandingkan dengan kelompok kontrol
(ng/dL) Kasus 4 437,50 80,57088 0,104
IGF-1 Kontrol 5 120,66 40,85925 didapatkan berbeda bermakna secara statistik dan berarti tidak
(ng/mL) Kasus 4 94,025 11,97285 0,253
terjadi kesetaraan status merokok dan indeks Brinkman
800
175
700
Testosteron
ng/dL
600 150
IGF-I
ng/mL
500 125
400
100
300
75
Kontrol Kasus Kontrol Kasus
Kelompok Kelompok
Gambar 5. Diagram boxplot perbandingan nilai hormon testosteron
pada pasien PPOK stabil IMT gemuk dengan kontrol IMT gemuk Gambar 6. Diagram boxplot perbandingan nilai dan IGF-1 pada
pasien PPOK stabil IMT gemuk dengan kontrol IMT gemuk
antara kedua kelompok tersebut. Hal ini menjadi keterbatasan perbandingan kelompok kontrol dan kasus PPOK. Analisis
pada penelitian ini karena ketidakseta- raan perilaku merokok gas darah mendapatkan adanya perbedaan antara PO2 dan pH
yaitu status merokok dan indeks Brinkman berpeluang darah.
mengubah hasil nilai hormon testosteron dan IGF-1 di kedua
Nilai normal hormon testosteron dan IGF-1 untuk populasi
kelompok subjek penelitian. Pada penelitian ini, peneliti
orang Indonesia belum ada, yang ada adalah nilai rujukan
umumnya mendapatkan subjek penelitian dengan IMT
berdasarkan populasi penelitian di Amerika Serikat.
normal. Hal ini tidak dapat melihat nilai IGF-1 dan hormon
Penelitian ini menggunakan kontrol sebagai pembanding.
testosteron pada pasien PPOK stabil maupun kelompok
Kontrol pada penelitian ini tidak dapat mencerminkan nilai
kontrol dengan IMT kurang atau kaheksia.
normal hormon testosteron dan IGF-1 karena besar sampel
pada penelitian ini dihitung untuk penelitian case control dan
Karakteristik subjek penelitian
bukan untuk mencari nilai normal kedua hormon tersebut.
Rata-rata usia keseluruhan subjek penelitian ini adalah 64
Untuk mendapatkan nilai normal maupun prevalens nilai
tahun. Keseluruhan subjek penelitian pada kelompok kasus
hipogonadisme diperlukan penelitian tersendiri dan belum
berjenis kelamin laki-laki karena pada proses pengumpulan
terdapat publikasi untuk populasi orang Indonesia. Laghi
sampel hanya ditemukan seluruh- nya berjenis kelamin laki- 9
dkk. melakukan penelitian prevalens hipogonadime dan
laki sedangkan kelompok kontrol dikumpulkan seluruhnya
kualitas hidup pada pasien-pasien PPOK. Penelitian tersebut
juga berjenis kelamin laki-laki agar tercapai kesetaraan
mendapatkan bawah prevalens pada pasien PPOK stabil tidak
kelompok kasus dan kontrol. Tingkat pendidikan yang
berbeda bermakna dengan populasi umum (setara umur pada
terbanyak adalah SD dan SLTA. Hanya 2 orang (3,6%) subjek 9
kedua kelompok).
yang tidak merokok meskipun sebagian besar (62,5%) subjek
mengaku telah berhenti merokok. Besar sampel ini sudah
Nilai growth hormone melalui perubahan nilai IGF-1 pada
sesuai dengan perhitungan awal dan setara dengan penelitian
penderita PPOK stabil sesuai derajat penyakitnya
lain yang mempelajari hal yang serupa pada pasien-pasien
dibandingkan pada orang sehat
PPOK. Perilaku merokok di kelompok kontrol sebagian besar
Insulin-like growth factor-I diukur untuk menentukan
masih merokok dan di kelompok kasus sebagian besar sudah
nilai growth hormone sebagai penanda anabolik, karena
berhenti merokok. Kondisi status merokok serta indeks
penghitungan langsung growth hormone sangat tidak stabil
Brinkman pada kedua kelompok didapatkan tidak setara
karena sering berubah seiring dengan perubahan waktu yaitu
antara kedua kelompok. Hal ini penting karena dapat menjadi
pagi, siang, sore dan malam. Penelitian tentang IGF-1 masih
dasar perbedaan kadar hormon berkaitan dengan dugaan
sangat sedikit dan kecenderungan nilai IGF-1 pada pasien
pengaruh rokok terhadap kadar hormon.
PPOK stabil cenderung menurun dan secara statistik ada yang
menyatakan bermakna juga ada yang
Pada kelompok kasus yaitu subjek yang menyatakan tidak bermakna.
7
Creutzberg, dkk.
7
mengalami PPOK stabil didapatkan bahwa sebagian besar mengemukakan bahwa data yang ada mengindikasikan
berderajat sedang (57,1%) dan terdapat 30% subjek dengan terdapat nilai IGF-1 yang lebih rendah dibandingkan kontrol
PPOK derajat berat – sangat berat. Hasil pemeriksaan sesuai dengan kondisi penyakit kronik. Penurunan nilai IGF-
spirometri dan analisis gas darah mendapatkan bahwa 1 dipengaruhi usia, hipoksia kronik dan kebiasaan merokok
pemeriksaan KV dan KVP setara diantara kedua kelompok. pada pasien PPOK stabil. Perbedaan tersebut akan lebih
Perbedaan karakteristik bermakna pada pasien
didapatkan pada hasil pemeriksaan VEP1 serta dengan berat badan kurang dibandingkan dengan yang
VEP1/KVP dan ini merupakan hal yang wajar pada 7,8
memiliki berat badan normal.
Nilai hormon testosteron pada penderita PPOK stabil lebih berat pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok
derajat penyakitnya dibandingkan pada orang sehat kasus, dinilai dengan indeks Brinkman. Penelitian English
Hasil testosteron pada penelitian ini tidak sejalan dengan hasil dkk.
13
mendapatkan bahwa kelom- pok perokok memiliki
penelitian dan teori hipogonadisme (penurunan hormon nilai testosteron yang lebih tinggi dibandingkan bukan
10,11,12
testosteron) pada pasien PPOK akibat hipoksia. Diduga perokok. Walaupun demikian, didapatkan juga data bahwa
terdapat mekanisme lain yang mendasari perbedaan hasil bioavailabilitas testosteron tidak berbeda bermakna pada
testosteron pada pasien PPOK stabil setiap derajat dengan kedua kelompok dan dinyatakan bahwa inilah yang lebih
yang membedakannya dengan orang Indonesia yang diteliti bermakna secara klinis dibandingkan kadar testosteron dalam
ini dengan hasil penelitian di negara-negara maju. Hasil darah. Nilai hormon testosteron cenderung lebih rendah sesuai
8
penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Itoh, dkk. dengan tingkat kebiasaan merokok yang diwakilkan dengan
yang juga mendapatkan kadar testosteron yang lebih tinggi indeks Brinkman. Penyebab terjadinya hal tersebut tidak
pada pasien PPOK. Penjelasan lain yaitu bahwa pada dijelaskan lebih lanjut.
penderita PPOK stabil pada penelitian ini tidak memakai obat Nilai IGF-1 pada pasien PPOK stabil dalam penelitian ini
kortikostroid sistemik selama 3 minggu sehingga diduga hal cenderung lebih tinggi sesuai dengan semakin tingginya
ini mengembalikan produksi hormon testosteron ke posisi indeks Brinkman karena menurut literatur nilai IGF-1 sedikit
yang mendekati normal sehingga pasien PPOK stabil pada dipengaruhi oleh kebiasaan merokok tetapi lebih dipengaruhi
penelitian ini hasilnya cenderung lebih tinggi dari hasil nilai oleh pemakaian kortikosteroid sistemik jangka panjang. Pada
testosteron dibandingkan kontrol orang sehat. Hal ini sesuai pasien PPOK stabil dalam penelitian ini didapatkan nilai
10
dengan hasil penelitian Kamichke, dkk. hormon testosteron yang cenderung lebih rendah seiring
dengan lebih rendahnya IMT. Hal ini diduga disebabkan oleh
Hubungan umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok dan hipoksia kronik yang menyebabkan turunnnya produksi
IMT dengan IGF-1 dan hormon testosteron pada testosteron dan menurunkan massa otot sehingga menurunkan
penderita PPOK stabil setiap derajat. IMT. Mekanisme terjadinya kaheksia pada pasien PPOK
Pada penelitian ini terdapat nilai hormon testosteron pada diduga merupakan akibat penurunan nilai testosteron dan
pasien PPOK stabil yang cenderung lebih rendah sesuai IGF-
dengan umur pasien, semakin tua umur pasien makin 1. Suplementasi testosteron dan IGF-1 diharapkan sebagai
cenderung makin rendah nilai hormon testosteron. Hal ini solusi untuk menghilangkan kaheksia pada pasien PPOK.
14
sesuai dengan proses penuaan secara fisiologis manusia pada Penelitian ini merupakan yang pertama di Indonesia sehingga
hipofisis anterior sehingga akhirnya mengakibatkan produksi untuk sementara dapat mewakilkan populasi Indonesia dan
dapat digunakan sebagai rujukan data pada penelitian
selanjutnya.
12
hormon tersebut akan bekurang. Nilai IGF-1 pada
penelitian ini cenderung lebih rendah karena proses penuaan KESIMPULAN
7,8
namun diperkirakan lebih rendah lagi pada pasien PPOK.
1. Pengukuran nilai hormon testosteron dan IGF-1 pada
Selama penelitian ini hanya mendapatkan subjek penelitian
pasien PPOK stabil dan subjek kontrol laki-laki dengan
berjenis kelamin laki-laki sehingga tidak dapat dibandingkan
kesetaraan usia dan IMT.
dengan pasien PPOK perempuan.
2. Pada populasi penelitian didapatkan nilai IGF-1
Pengaruh kebiasaan merokok terhadap kadar testosteron dan
cenderung lebih rendah dari nilai IGF-1 pada subjek
IGF-1 masih kontroversial. Pada penelitian ini didapatkan
kontrol sedangkan nilai hormon testosteron
bahwa kebiasaan merokok
cenderung lebih tinggi dari nilai hormon tersebut pada
subjek kontrol.
3. Hasil pemeriksaan VEP1 dan VEP1/KVP spirometri dan pemeriksaan pH dan PO2 analisis gas
darah arteri menurun bermakna secara statistik pada pasien PPOK stabil dibandingkan pada subjek
kontrol.
4. Nilai hormon testosteron dan IGF-1 dipengaruhi oleh umur kebiasaan merokok, indeks massa
tubuh dan dipengaruhi juga oleh pemakaian kortikosteroid jangka lama pada pasien PPOK stabil
yang pada penelitian ini telah dieksklusi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fabbri LM, Luppi F, Beghge B, Rabe KF. Update in chronic obstructive pulmonary disease 2005.
Am J Respir Crit Care Med. 2006;173:1056-65.
2. Yunus F. Gambaran penderita PPOK yang dirawat di bagian Pulmonologi FKUI/RSUP
Persahabatan Jakarta. J Respir Indo. 2000;20:64-8.
3. Global initiative for chronic obstructive pulmonary disease. Pathogenesis, pathology and pathophy-
siology. In: Global strategy for diagnosis manage- ment and prevention of chronic obstructive lung
disease. Portland: NHLBI Publications; 2006.p. 29- 39.
4. Barners PJ. Chronic obstructive pulmonary disease. N Eng J Med. 2000;343:269-80.
5. Meek PM, Schwartzstein RM, Adam L. Dyspnea – mechanisms, assessment, and management: A
consensus statement. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159:321-40.
6. Hamilton AL, Killian KJ, Summers E, Jones NL. Muscle strength, symptom intensity, and exercise
capacity in patients with cardiorespiratory disorders. Am J Respir Crit Care Med. 1995;152:2021-
31.
7. Creutzberg EC, Casaburi R. Endocrinological disturbances in chronic obstructive pulmonary
disease. Eur Respir J. 2003;22:76s-80s.
8. Itoh T, Nagaya N, Yoshikawa M, Fukuoka A, Takenaka H, Shimizu Y, et al. Elevated plasma
ghrelin level in underweight patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir
Crit Care Med. 2004;170:879-82.
9. Laghi F, Turcu AA, Collins E, Segal J, Tobin DE, Jubran A, et al. Hypogonadism in men with
chronic obstructive pulmonary disease prevalence and quality of life. Am J Respir Crit Care Med.
2005;171:728-33.
10. Kamischke A, Kemper DE, Castel MA. testosteron levels in men with chronic obstructive
pulmonary disease with or without glucocorticoid therapy. Eur Respir J. 1998;11:41-5.
11. Karadag F, Ozcan H, Karul AB, Yilmaz M, Cildag O. Sex hormone alterations and systemic
inflammation in chronic obstructive pulmonary disease. Int J Clin Pract. 2009;63(2):275–81.
12. Ponholzer A, Plas E, Schatzl G, Struhal G, Brossner C, Mock K, et al. Relationship between
testosterone serum levels and lifestyle in aging men. The Aging Male. 2005;8:190–3.
13. English KM, Pugh PJ, Parry H, Nanette E. Scutt NE, Kevin S., et al. Effect of cigarette smoking
on levels of bioavailable testosterone in healthy men. Clin Sci. 2001;100: 661–5.
14. VanEeden SF, Sin DD. Chronic obstructive pulmo- nary disease: A chronic systemic
inflammatory disease. Respiration. 2008; 75:224–38.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.3 Etiologi
Terdapat beberapa faktor lingkungan dan endogen termasuk faktor
genetik yang berperan dalam berkembangnya penyakit paru obstruktif
kronis. Defisiensi enzim alfa 1 antitripsin merupakan faktor predisposisi
untuk berkembangnya PPOK secara dini.1 Alfa 1 antitripsin merupakan
sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, berfungsi dalam
melindungi paru-paru dari kerusakan.2Enzim ini berfungsi untuk
menetralkan tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzim ini rendah dan
asupan rokok tinggi maka akan mengganggu sistem kerja enzim tersebut
yang bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan. Defisiensi enzim ini
menyebabkan emfisema pada usia muda yaitu pada mereka yang tidak
merokok, onsetnya sekitar usia 53 tahun manakala bagi mereka yang
merokok sekitar 40 tahun.
Tanda obstruksi komplet saluran nafas atas yang mendadak sangat jelas.
Pasien tidak dapat bernafas, berbicara atau batuk dan pasien mungkin
memengang kerongkongannya seperti mencekik, agitasi, panic dan napas
yang tersengal-sengal dan diikuti sianosis. Dan apabila ada sumbatan
tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian dalam waktu 2-5
hari.
Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak nafas , sejak 2 hari
sebelum masuk RS pasien sesak terus menerus, dan sering batuk.
Keadaan umum Compos mentis, GCS : E4,V5,M6, suhu : 37C, T :
130/80mmHg, N : 104 x/menit, RR: 28x/menit
Pernafasan melalui : hidung + terpasang 02 kanule ( 2 liter/menit ).
Trachea tidak ada pembengkokan Cyanosis (-), dyspnea (+), batuk
lendir putih, darah( )Whezeeng (+) / (+), Ronchi (+) / (+) dada
simetris. Eliminasi urin : 400-500cc/hari, warna kuning, jernih, khas
amoniak. Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7
Tetes/menit. Spiritual Klien mengharapkan dengan perawatan yang
diberikan bisa sembuh dan yakin dengan pertolongan Tuhan bisa
sembuh, persepsi penyakitnya sebagai cobaan dalam hidup. Tetapi
pasien tidak dapat melakukan sholat di RS. Pemeriksaan Lab AGD : -
PH : 7,359 ( 7,35-7,45 ), PCO2 : 46,0 ( 35-45 ), PO2 : 115,0 ( 80-
104 ), HCO3 : 25, Sputum : BTA (-)
Therapi. Infus RL : Dex.5% 1:1/ 24 jam ( 7 tts/menit ),
Aminophylin 1 amp / 24 jam, - Tarbutalin 4x0,025 mg,
Ciprofloxasin 2x500 mg, Nebulezer 4x ( Atroven : Agua ) = 1:1,
Oksigen 2 liter / menit Diet TKTP.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami sesak nafas sejak 5 tahun yang lalu
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada yang mengalami sakit seperti
ini
8. Kebutuhan berpakaian
Sebelum sakit : Pasien ganti baju 2x sehari dan dapat berpakaian
sendiri.
Saat dikaji : Memakai pakaian dibantu oleh anaknya.
9. Kebutuhan Spiritual
Sebelum sakit : Pasien dapat melakukan ibadah solat 5 waktu
Saat dikaji : Pasien tidak bisa sholat di RS dan berkeyakinan
bahwa penyakitnya dapat sembuh karena
pertolongan Tuhan.
10. Kebutuhan berkomunikasi dan berhubungan
Sebelum sakit : Hubungan pasien dengan keluarga baik biasa
berkomunikasi dengan bahasa jawa.
Saat dikaji : Pasien mau berkomunikasi dengan perawat
dengan ditemani anaknya
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : compos mentis,TD 130/80mmHg, RR 28x/menit, suhu 37
C, N :104x/menit
2. Kepala
a. Kepala : Mesosephal
b. Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut,
c. Mata : Bulu mata tidak mudah dicabut, sklera tidak ikterik,
konjungtiva tidak anemis, palpebra dekstra udem dan
spasme, oedem pada kornea dekstra.
d. Hidung : Tampak terpasang kanul O2 (2L/menit)
e. Telinga : Besih, tidak ada serumen, reflek suara baik.
f. Mulut : Gigi kekuningan, lengkap, tidak ada stomatitis.
g. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada
pembengkakan pada trakhea
h. Ektremitas : Tidak ada oedem pada kedua ekstremitas atas dan bawah.
Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7 ttes/menit
3. Dada
a. Paru
1) Inspeksi
Bentuk dada simetris
Tampak RR 28x/menit
2) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada paru
Tidak ada nyeri tekan
3) Perkusi
Hipersonor
4) Auskultasi
Suara nafas wheezing dan kadang terdengar ronchi
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
AGD
a) PH = 7,359 (7,35-7,45)
b) PCO2 = 46,0 (35-45)
c) PO2 = 115,0 (80-104)
d) HCO3 = 25
Sputum BTA ( - )
2. Terapi
a) Terapi infus : RL Dextro 5 % 1:1/24 jam (7 tetes/menit)
b) Terapi injeksi :
Aminiphylin 1 amp/24 jam
Tarbulatin 4x0,025mg
Ciproflaxosin 2x 500 mg
c) Terapi Oksigen
Nebulizer 4x (atroven : agua) = 1:1 ,O2 2L/menit
d) Diet TKTP
E.Analisa Data
NO DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
1. DS : Pasien mengatakan sesak Hiperventilasi Ketidak efektifan
nafas sejak 5 tahun yang lalu. pola nafas
DO: ps. Tampak sesak
nafas/dispneu ,tampak
menggunakan alat bantu
pernafasan kanul O2 , RR: 28 x/m,
wheezing(+), Ronchi(+)
2. DS: ps. Mengatakan sering batuk Adanya mukus Bersihan jalan
DO: p stampak batuk , batuk nafas tidak efektif
tampak ada lendir putih
3. DS : pasien mengatakan kesulitan Gangguan
nafas Ventilasi perfusi pertukaran gas
DO: PCO: 46 ,PO2 : 115
F. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas bd hiperventilasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus
3. Gangguan pertukaran gas bd ventilasi perfusi
G.Intervensi
NO DX DIAGNOSA NOC NIC
E. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang
mengambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Penyakit Paru Obstruksi
Menahun (PPOM) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat pogresif nonreversibel atau reversibel parsial.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisima atau gabungan keduanya.
Data dari organisasi kesehatan dunia (WHO) meyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab
kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit-
penyakit paru obtruksi kronis sebanyak 80-90% (kasana,2011).
Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) terdiri dari : Bronkitis
Kronik, Emfisema. Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah : Batuk. Sputum putih atau
mukoi, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen, Sesak. Sesak
sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas. Diagnosa
Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola nafas bd hiperventilasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus
3. Gangguan pertukaran gas bd ventilasi perfusi
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/doc/129660827/Asuhan-Keperawatan-Pada-Pasien-
Ppok-Fixxxxx
https://www.scribd.com/doc/138237140/MAKALAH-PPOK