Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH BIOKIMIA

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS

DOSEN PENGAJAR :
Rodhiansyah Djayasinga S.Pd,M.Si

DISUSUN OLEH :
Indah Lestari (1914301029)
Nabila Amanda Putri (1914301030)
Anissa Dian Utami (1914301031)
Yeni Handayani (1914301032)
Revina Lutfitawaliya (1914301033)
Naila Gifiria Apchatika (1914301034)
Sonia Paramita (1914301037)
Kristanti Wulandari (1914301038)
Olva Nugrahemi Triyono (1914301039)
M. Abduh Musyaffa (1914301041)

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG


PRODI SARJANA TERAPAN JURUSAN KEPERAWATAN
TANJUNGKARANG
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang di berikan dosen dengan judul
“Penyakit Paru Obstruksi Kronis”.
Tujuan kami menyusun makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata
kuliah “Biokimia” guna untuk mengetahui dan lebih memahami tentang
“Penyakit Paru Obstruksi Kronis” yang telah di berikan oleh dosen.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih belum
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang masih berhubungan
dengan makalah ini sangat kami harapkan untuk menyempurnaan
makalah ini.

Bandar Lampung, 26 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
Jurnal.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Pengertian Penyakit Paru Obstruksi Kronis.................................................2
2.2 Epidemiologi................................................................................................2
2.3 Etiologi.........................................................................................................5
2.4 Patofisiologi.................................................................................................5
2.5 Gambaran Klinis............................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN...................................................................8
BAB IV PENUTUP...................................................................................................
3.1 Kesimpulan ................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................9

ii
Perbandingan Nilai Hormon Testosteron dan Growth Hormone pada
Berbagai Derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil
Muhammad Fachri*, Faisal Yunus*, Wiwien Heru Wiyono*, Aria Kekalih**
* Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
** Departemen Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak
Latar belakang: Terdapat hubungan antara gangguan kelenjar endokrin dan kelemahan otot pada pasien PPOK. Dua hormon yang dianggap
mempengaruhi yaitu growth hormone dan hormon testosteron.
Metode: Secara case control observational, dikumpulkan data dengan metode konsekutif dari kelompok pasien PPOK stabil dan orang sehat.
Data dikumpulkan sejak April 2009 sampai dengan Juli 2010 di Rumah Sakit Persahabatan. IGF-1 dan testosteron diperiksa dengan
menggunakan uji ELISA.
Hasil: Terdapat 28 pasien PPOK stabil sebagai kelompok kasus dan 28 subjek normal sebagai kontrol. Karakteristik umur, jenis kelamin dan
indeks massa tubuh antara kedua kelompok telah setara. Median nilai hormon testosteron pada pasien PPOK stabil yaitu 575 (170-1600)
ng/dL dan relatif lebih tinggi daripada kelompok kontrol: 520 (210-2010) ng/dL. Rerata nilai IGF-1 pasien PPOK stabil 98±27ng/mL dan
relatif lebih rendah dibanding kelompok kontrol:109±37ng/mL. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik.
Kesimpulan: Terdapat kecenderungan nilai growth hormone / IGF-1 lebih rendah dan nilai testosteron lebih tinggi pada pasien PPOK stabil
dibanding orang sehat yang setara umur tetapi tidak berbeda secara statistik. Walaupun penelitian ini belum dapat membuktikan adanya
perbedaan bermakna hormon testosteron dan growth hormone / IGF-1 namun hal tesebut masih diperdebatkan. (J Respir Indo. 2012; 32:208-
17)
Kata kunci: PPOK, growth hormone, IGF-1, testosteron.

Comparison of Serum Testosterone and Growth Hormone in Stable Chronic Obstructive


Pulmonary Disease Patients

Abstract
Introduction: There is a correlation between the disturbance of endocrine glands and muscular weakness in COPD patients. Two hormones
assumed to be affected are growth hormone and testosterone hormone.
Methods: In observational case control study, we collected data consecutively from stable COPD patients group and healthy people group.
Data was collected during June 2009-July 2010 in Persahabatan Hospital. We examined serum IGF-1 and testosterone using ELISA test.
Results: There were 28 stable COPD patients as case group and 28 normal subjects as control. The characteristic of age, sex and body mass
index between groups were comparable. Serum testosterone hormone level median in stable COPD patients was 575 (170-1600) ng/dL and
relatively higher than in the control group: 520 (210-2010) ng/dL. IGF-1 level mean in stable COPD was 98±27 ng/mL and relatively lower
than in control group: 109±37 ng/mL. However, the differences were not statistically significant.
Conclusion: Previous studies have found a decreasing trend of growth hormone/IGF-1 and increasing testosterone level in male COPD
patients compared to healthy person of the same age, though the differences were insignificant. This study supports the evidence that changes
of growth hormone and testosterone in male COPD patients is not relevant, nevertheless the controversy remains. (J Respir Indo. 2012;
32:208-17)
Keywords: COPD, growth hormone, IGF-1, testosterone.

PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) masih menjadi
katnya kebiasaan merokok, meningkatnya usia harapan
masalah global di dunia. World Health Organization (WHO)
hidup manusia dan dapat di atasinya penyakit degeneratif
memperkirakan pada tahun 2020 PPOK menjadi urutan ke-3
lainnya serta kemajuan industri yang tidak dapat dipisahkan
di dunia penyebab angka kesakitan dan kematian baik di
dengan polusi udara dan lingkungan. Prevalens PPOK pada
negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang
populasi umum diperkirakan 1% dan meningkat secara
akibat mening-
bertahap hingga lebih 40% pada

2
1
kelompok umur di atas 40 tahun. Yunus dkk.
2
gambaran nilai growth hormone melalui perubahan nilai
melaporkan bahwa PPOK menduduki peringkat 5 dari jumlah insulin-like growth factor-I (IGF-1) dan hormon testos- teron
pasien yang berobat serta menduduki peringkat 4 dari jumlah pada penderita PPOK stabil.
pasien yang dirawat di RS Persahabatan dari tahun 1997 Penelitian dilakukan di poliklinik asma / PPOK RS
sampai tahun 1999. Diprediksi angka ini akan terus meningkat Persahabatan Jakarta / Departemen Pulmonologi dan Ilmu
karena paparan terus menerus dengan faktor risiko seperti Kedokteran Respirasi FKUI. Penelitian dimulai bulan April
merokok dan polusi serta semakin meningkatnya jumlah 2009 sampai dengan Juli 2010.
orang berusia lanjut oleh karena meningkatnya usia harapan Populasi adalah penderita PPOK stabil yang berobat ke
hidup orang Indonesia. Penyakit ini memberikan dampak yang poliklinik asma / PPOK RS Persahabatan Jakarta. Sampel
2
besar terhadap kualitas hidup penderita dan keluarga- nya. penelitian adalah penderita PPOK stabil sebagai kasus dan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupa- kan penyakit orang sehat sebagai kontrol yang masing-masing sesuai
yang ditandai dengan keterlibatan beberapa sel inflamasi. kriteria penerimaan dan penolakannya. Semua subjek diambil
Respons inflamasi melibatkan sel-sel inflamasi (neutrofil, secara konsekutif artinya semua penderita yang memenuhi
makrofag, limfosit T dan sel epitel) dan berbagai mediator kriteria penerimaan dan penolakan diambil sebagai sampel
inflamasi (leukotrien, prostaglandin, platelet activating factor, penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.
reactive oxygen species, kemokin, sitokin, growth factor,
endotelin, Kriteria inklusi:
• Kasus
neuropeptidase dan protease).
3,4
Saat ini terapi PPOK 1. Bersedia dengan sukarela mengikuti seluruh
umumnya terkonsentrasi pada disfungsi organ primer yaitu program penelitian dengan menandatangani formulir
paru. Terdapat hubungan antara organ primer dengan organ informed consent.
lainnya. Keluhan terbanyak pasien PPOK adalah sesak dengan 2. Penderita PPOK stabil dengan umur di atas 40 tahun.
penurunan kemampuan latihan, terkait dengan penurunan 3. Penderita PPOK yang terakhir minum steroid oral
5,6
fungsi otot. Prevalens pada keadaan ini meningkat 20% atau inhalasi 3 minggu sebelum penelitian.
dengan keadaan klinis stabil sampai 35% pada pasien yang 4. Penderita PPOK stabil baik laki-laki maupun
mendapatkan rehabilitasi paru. Kekurangan massa lemak perempuan yang datang ke poli asma / PPOK RS
bebas (fat free mass / FFM) terdapat pada pasien PPOK yang Persahabatan Jakarta
diduga disebabkan oleh gangguan energi atau metabolisme. • Kontrol adalah orang sehat dan tidak menderita PPOK
Ini sebagai bukti keterkaitan antara bertambahnya inflamasi dan memenuhi syarat seperti kriteria penerimaan untuk
sistemik dengan habisnya FFM. Sehingga gangguan pada kasus yaitu bersedia dengan sukarela mengikuti seluruh
sistem anabolik hormon mungkin juga merusak respons program penelitian dengan menandatangani formulir
anabolik yang dibutuhkan untuk kemampuan otot rangka. Jadi informed consent, umur di atas 40 tahun dan terakhir
terdapat hubungan gangguan endokrin terhadap kelemahan minum steroid oral atau inhalasi 3 minggu sebelum
dan kerusakan otot pada PPOK, misalnya gangguan growth penelitian.
hormone / IGF-1 dan hormon pada hipotalamic-pituitary-
7,8
gonad (contoh: testosteron). Kriteria eksklusi:
• Kasus
METODE 1. Penderita PPOK dengan penyakit paru lainnya dan
atau penyakit endokrin.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian dasar dengan desain
2. Penderita dengan ketergantungan steroid atau
penelitian kasus kontrol untuk melihat
membutuhkan steroid jangka panjang secara sistemik
atau inhalasi.
3. Penderita PPOK dengan penyakit diabetes melitus Tabel 1. Karakteristik dasar subjek berdasarkan kelompok kontrol dan
kasus
tipe 2.
• Kontrol yaitu menderita PPOK, penyakit paru Kelompok Kese-

lainnya, penyakit endokrin, diabetes melitus tipe 2 dan Karakteristik Kasus Kontrol taraan
Mean N % Mean N %
ketergantungan steroid atau membutuhkan
Jenis kelamin
steroid jangka panjang secara sistemik atau inhalasi. Laki-laki 28 100% 28 100%
Perempuan Umur
Pasien PPOK stabil dan orang sehat setelah dilakukan 40-60 62 65 0,380
> 60 12 42,9% 8 28,6%
anamnesis, riwayat merokok, pemeriksaan fisis, indeks massa Pendidikan 16 57,1% 20 71,4%
Tidak sekolah 0 0% 1 3,6%
tubuh, spirometri, analisis gas darah diseleksi untuk mencari SD 14 50,0% 6 21,4%
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien SLTP 5 17,9% 5 17,9%
SLTA 7 25,0% 13 46,4%
PPOK stabil dan orang D3/PT 10,7%
IMT 2 7,1% 3
22,71 21,14 0,084
sehat kemudian diminta kesediaannya untuk menjadi Kurus 1 3,6% 6 21,4%
Normal 22 78,6% 18 64,3%
subjek penelitian dan diminta untuk mengisi dan Gemuk 5 17,9% 4 14,3%
menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Indeks Brikman 0,004
Tidak merokok 2 7,1% 0 0%
Kedua kelompok subjek penelitian tersebut menjalani Ringan 2 7,1% 14 50,0%
Sedang 11 39,3% 13 46,4%
pemeriksaan hormon testosteron dan IGF-1 dengan Berat Status 13 46,4% 1 3,6%
pengambilan darah vena perifer dan dianalisis dengan ELISA merokok 0,001
Perokok 15 53,6% 4 14,3%
(enzime linked immunosorbent assay) test. Analisis data akan Bekas 11 39,3% 24 85,7%
Tidak PCO2 2 7,1% 0 0%
dilakukan secara univariant dan bivariant. Perhitungan < 35 0,384
analisis dengan menggunakan program SPSS 13. 6 21,4% 10 35,7%
35 - 45 20 71,4% 15 53,6%
> 45 2 7,1% 3 10,7%
PO2 0,001
HASIL < 80 3 10,7% 9 32,1%
80 - 100 9 32,1% 16 57,1%
Penelitian ini berhasil mengumpulkan 28 orang untuk tiap > 100 16 57,1% 3 10,7%
Derajat PPOK
kelompok kasus dan kontrol. Kedua kelompok subjek Normal 28 100% 0 0%
penelitan seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Umur pasien Ringan 0 0% 1 3,6%
Sedang 0 0% 16 57,1%
PPOK dengan rerata 65 tahun yang terdiri dari 20 orang Berat 0 0% 8 28,6
Sangat berat 0 0% 3 10,7%
berumur > 60 tahun dan 8 orang berumur 40 sampai dengan
60 tahun. Rerata umur kelompok kontrol adalah 62 tahun
sedang dan berat sedangkan pada pasien PPOK stabil
dengan 16 orang berumur > 60 tahun dan 12 orang berumur
40 sampai dengan 60 tahun. Pasien PPOK stabil subjek dan terbanyak indeks Brinkman ringan dan sedang. Hal ini
didukung secara statistik yang berbeda bermakna dengan p <
kontrol penelitian ini terbanyak dengan indeks massa tubuh
(IMT) normal yaitu 22 orang untuk kontrol dan 18 orang 0,05.
Nilai PCO2 pada kelompok kontrol umumnya sebanyak 20
pasien PPOK stabil. Secara statistik karakteristik umur dan
IMT pada kedua kelompok subjek penelitian terlihat tidak orang berkisar antara 35 sampai dengan 40 mmHg. Kelompok
bemakna dan karak- teristik jenis kelamin pada kedua pasien PPOK memiliki nilai PCO2 terbanyak berkisar antara
kelompok tersebut juga sama. Hal ini menunjukkan telah 35 sampai dengan 40 mmHg yaitu berjumlah 15 orang.
tercapai keseta- raan ketiga karakteristik pada kedua Perbandingan antara kedua kelompok subjek tersebut secara
kelompok subjek tersebut. Pada subjek kontrol lebih banyak statistik tidak berbeda bermakna. Pada penelitian ini
yang masih merokok dibanding bekas perokok yaitu 15 dan mendapatkan nilai PO2 kelompok kontrol umumnya sebanyak
11 orang. Indeks Brinkman pada subjek kontrol umumnya 16 orang yaitu di atas 100 mmHg dan kelompok kasus
terbanyak yaitu 16 orang yaitu berkisar antara 80 sampai
dengan 160
Tabel 2. Perbandingan hasil pemeriksaan spirometri dan analisis gas Tabel 3. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1
darah kelompok kontrol dan kasus. berdasarkan umur, IMT, indeks Brinkman, PCO2, PO2, dan derajat
Kelompok PPOK pada pasien PPOK stabil
Karakteristik Kasus Kontrol p Testos- IGF-1
teron
Mean St. dev Mean St. dev Karakteristik N % ng/dL p ng/mL p

KV % 89 16 86 14 0,457 Mean Mean


KVP
Jenis % Laki-laki88
kelamin 15 80 15 0,067
VEP1 % 87 18 53 17 <0,001 28 100% 575 98
VEP1/KVP 78 4 50 13 <0,001 Perempuan 0 0% 0 0
PCO2 37,8 4,4 36,8 7,8 0,563 Umur 0,657 0,981
PO2 103 18 87 14 <0,001 40-60 8 28,6% 614 98
pH 7,422 0,086 7,414 0,056 <0,001 > 60 20 71,4% 559 98
HCO3 24,2 3,9 23,6 3,2 0,547 IMT 0,409 0,755
BE 0,1 4,8 -0,9 3,2 0,382 Kurus 6 21,4% 692 92
SatO2 97,5 1,2 97,7 7,7 0,876 Normal 18 64,3% 566 101
Gemuk 4 14,3% 438 94
Indeks Brikman 0,779 0,495
Ringan 14 50,0% 613 96
mmHg. Uji statistik memperlihatkan hasil berbeda bemakna Sedang Berat 13 46,4% 542 98
(p = 0,01) pada perbandingan nilai PO2 kedua kelompok Status merokok 1 3,6% 470 130
Perokok 4 14,3% 918 0,008 75 0,068
tersebut. Pada tabel tersebut juga terlihat pasien PPOK stabil Bekas 24 85,7% 517 102
Tidak PCO2 0 0%
terbanyak berderajat sedang yaitu 16 orang (57,1%). < 35 0,045 0,953
Hasil pemeriksaan spirometri dan analisis gas darah 10 35,7% 431 96
35 - 45 15 53,6% 699 99
mendapatkan bahwa pemeriksaan KV dan KVP setara antara > 45 3 10,7% 428 102
PO2 0,389 0,200
kedua kelompok. Perbedaan karakteristik didapatkan pada < 80 9 32,1% 668 103
hasil pemeriksaan VEP1 serta VEP1/KVP dan ini 80 - 100 16 57,1% 508 91
> 100 3 10,7% 650 120
merupakan hal yang wajar pada perbandingan kelompok Derajat PPOK
Ringan 1 3,6% 390 0,384 76 0,640
kontrol dan kasus PPOK. Analisis gas darah mendapatkan Sedang 16 57,1% 649 95
perbedaan antara PO2 dan pH darah. Perbedaan nilai VEP1 Berat 8 28,6% 526 103
Sangat berat 3 10,7% 370 111
dan VEP1/KVP
serta PO2 dan pH darah tersebut didukung secara meningkat pada PPOK derajat ringan, paling tinggi
statistik juga bermakna dengan p < 0,001. pada PPOK derajat sedang dan sedikit menurun pada PPOK
Tabel 3 menjelaskan perbandingan nilai hormon testosteron derajat sedang. Hal ini berbeda dengan nilai IGF- 1 pada
berdasarkan umur, IMT, indeks Brinkman, cenderung setiap karakteristik subjeknya yang dapat dilihat dari tabel 3.
menurun sesuai dengan meningkatnya derajat dari setiap Nilai IGF-1 cenderung meningkat berdasarkan indeks
karakteristik subjek tersebut. Nilai hormon testosteron pada Brinkman, PCO2, PO2 dan derajat PPOK stabil tetapi bila
subjek dengan PO2 dalam rentang nilai normal yang berdasarkan umur dan IMT relatif sama.
cenderung lebih rendah dibandingkan pada subjek tersebut Tabel 4 menjelaskan tentang perbandingan nilai hormon
dengan rentang nilai yang lebih tinggi dan lebih rendah adalah testosteron dan IGF-1 berdasarkan umur, IMT, indeks
cenderung sama. Tabel tersebut juga menjelaskan nilai Brinkman, PCO2 dan PO2 pada kontrol. Nilai hormon
hormon testosteron pada subjek dengan nilai PO2 dalam testosteron cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan
rentang nilai normal yang cenderung lebih tinggi derajat umur, PO2, dan PCO2 tetapi kesemuanya secara
dibandingkan pada subjek tersebut dengan rentang nilai yang statistik tidak bermakna. Nilai IGF- 1 berdasarkan derajat PO2
lebih tinggi dan lebih rendah yang cenderung cenderung menurun tetapi
sama. Nilai hormon testosteron pada setiap derajat cenderung meningkat sesuai derajat PCO2 dan
PPOK stabil cederung bervariasi, cenderung paling rendah perubahannya tidak sesuai dengan meningkatnya derajat
pada PPOK derajat sangat berat, sedikit karakteristik subjek lainnya.
Tabel 4. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 Tabel 5. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 pada
berdasarkan umur, IMT, indeks Brinkman, PCO2 dan PO2 pada kelompok kontrol dan kasus
kontrol.
Kelompok
Testos- ng/dL Hormon Kontrol Kasus p
IGF-1
teron p ng/mL p
Karakteristik N % Mean St. dev Mean St. dev
Mean Mean Testosteron ng/dL 520 209 575 291 0,561
Laki-laki 28 100% 520 109 IGF-1 ng/mL 109 37 98 27 0,225
Jenis kelamin
Perempuan 0 0% 0 0
Umur 0,784 0,320
40-60 12 42,9% 508 117
200
> 60 16 57,1% 530 103
IMT 0,571 0,722
Kurus 1 3,6% 570 116
Normal 22 78,6% 498 106
Gemuk 5 17,9% 608 121
Indeks Brikman 0,214 0,961
Ringan 2 7,1% 710 113
Sedang 11 39,3% 447 108
Berat 13 46,4% 572 111
Status merokok
Perokok Bekas 0,321 0,116

ng/mL
IGF-1
Tidak 15 53,6% 574 122 100
11 39,3% 470 93
PCO2
2 7,1% 395 96
< 35
0,493 0,117
35 - 45
> 45 6 21,4% 488 117
20 71,4 513 111
PO2
< 80 2 3 10,7%
7,1% 690
453 57 96
80 - 100 9 32,1% 461 0,421 103 0,742
> 100 16 57,1% 566 113

0
N= 28 28
Kontrol Kasus
Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 Kelompok
Pada perbandingan testosteron antara kelom- pok kasus dan Gambar 1. Diagram Boxplot nilai IGF-1 pada kelompok kontrol dan
kasus
kontrol didapatkan bahwa testosteron pada kelompok kasus
mengalami cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok
kontrol namun pening- katan tersebut setelah diuji statistik 2000

mendapatkan hasil tidak berbeda bermakna (Uji t tidak


berpasangan, p = 0,561). Untuk pemeriksaan IGF-1
didapatkan bahwa pada kelompok kasus mengalami
penurunan dibandingkan dengan kontrol, meskipun uji
statistik juga mendapatkan hasil tidak berbeda bermakna (Uji t 35
Testosteron
ng/dL

tidak berpasangan, p = 0,225).


1000
Tabel 6 menjelaskan tentang perbandingan nilai hormon
testosteron dan IGF-1 pada pasien PPOK stabil IMT kurus
dengan kontrol. Jumlah kontrol pada tabel tersebut sebanyak
28 orang yang merupakan jumlah semua kontrol. Terlihat
perbedaan yang tidak bermakna secara statistik kedua
hormon tersebut pada perbandingan kasus dan kontrolnya
0 27
tetapi nilai hormon testosteron cenderung lebih tinggi pada
N= 28 28
kasus dengan IMT kurus. Nilai IGF-1 terlihat lebih rendah Kontrol Kasus

pada kasus Kelompok


Gambar 2. Diagram Boxplot nilai testosteron pada kelompok kontrol
dan kasus
dibandingkan kontrol. Tabel 8 menjelaskan tentang perbandingan nilai hormon
Nilai hormon testosteron yang cenderung lebih tinggi pada testosteron dan IGF-1 pada pasein PPOK stabil IMT normal
kasus dengan IMT normal dibanding semua kelompok dengan kelompok kontrol IMT normal. Dalam tabel tersebut
kontrol, terlihat dalam tabel 7. Kasus PPOK dengan IMT terlihat kecenderungan nilai IGF-1 yang cenderung lebih
sedang yang dibandingkan dengan semua kelompok kontrol rendah dibandingkan pada kontrolnya. Sedangkan nilai
pada nilai IGF-1 dalam tabel 7 juga memperlihatkan hasil hormon testosteron masih cenderung meningkat bila
yang sama dengan tabel 6 yaitu cenderung lebih rendah. dibanding dengan kontrol. Pada tabel 8 ini, kedua kelompok
Perbedaan nilai kedua hormon tersebut dalam tabel 7 masih subjek penelitian telah disamakan berdasarkan karakteristik
tidak berbeda bermakna secara statistik. Jadi dapat diketahui IMT yang normal. Apabila perbandingan tersebut dilakukan
bahwa terdapat kecenderungan hasil yang sama pada tabel 6 perhitungan secara statistik masih menunjukkan hasil yang
dan 7 walaupun jumlah kelompok kasus yang lebih sedikit tidak bermakna. Hal ini tampak lebih jelas ditunjukkan pada
dibandingkan dengan seluruh jumlah kelompok kontrol yang kedua gambar diagram Bloxplot yaitu gambar 3 dan 4.
ada. Perbedaan nilai hormon testosteron pada gambar 3 dan IGF-1
pada gambar 4 terlihat hanya sedikit berbeda dan sesuai
Tabel 6. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 pada pasien dengan ketidakbermaknaan perbedaannya secara statistik.
PPOK stabil IMT kurus dengan kontrol.
Hormon Kelompok N Mean St. dev p Tabel 9 menunjukan perbandingan nilai hormon
Testosteron
(ng/dL)
Kontrol 28 520,3571 208,9033 0,075 testosteron dan IGF-1 pada pasien PPOK stabil IMT gemuk
Kasus IMT kurus 6 691,6667 194,1563
IGF-1 dengan kelompok kontrol IMT gemuk. Pada
Kontrol 28 108,8107 37,05103 0,296
(ng/mL)
Kasus IMT kurus 6 92,03333 21,99952

Tabel 8. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 pada


Tabel 7. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 pada pasien PPOK stabil IMT normal dengan kontrol IMT normal
pasien PPOK stabil IMT normal dengan kontrol.
Hormon Kelompok N Mean St. dev p Hormon Kelompok N Mean St. dev p
Testosteron Kontrol 28 520,3571 208,9033 0,572 Testosteron Kontrol 22 498,18 219,9705
(ng/dL) IMT normal 18 566,0000 335,6544 (ng/dL) Kasus 18 566,00 335,6544 0,477
IGF-1 Kontrol 28 108,8107 37,05103 0,486 IGF-1 Kontrol 22 105,79 37,43743
(ng/mL) IMT normal 18 101,0778 31,42426 (ng/mL) Kasus 18 101,07 31,42426 0,673

IMT : Normal
IMT : Normal
*
1500 1
2
150

1 1
1000 7
ng/dL
Testosteron

5
IGF-I
ng/mL

100

500

50

0
Kontrol Kasus Kontrol Kasus
Kelompok Kelompok

Gambar 3. Diagram boxplot perbandingan nilai IGF-1 pada pasien Gambar 4. Diagram boxplot perbandingan nilai hormon testosteron
PPOK stabil IMT normal dengan kontrol IMT normal pada pasien PPOK stabil IMT normal dengan kontrol IMT normal
tabel ini juga menunjukkan hasil yang sama dengan tabel 8 adalah sesak dengan penurunan kemampuan latihan, terkait
dan masih tidak berbeda bermakna secara statistik. Gambar 5 dengan penurunan fungsi otot.
5,6
Prevalens pada keadaan ini
dan 6 yang masing-masing memperlihatkan perbedaan nilai
meningkat 20% dengan keadaan klinis stabil sampai 35%
hormon testosteron dan IGF-1 pada kasus dan kontrol dengan
pada pasien yang mendapatkan rehabilitasi paru. Kekurangan
IMT gemuk terlihat sedikit berbeda. Jadi keempat tabel
massa lemak bebas (fat free mass / FFM) terdapat pada pasien
tersebut yaitu tabel 6,7,8 dan 9 memperlihatkan pengaruh
PPOK yang diduga disebabkan oleh gangguan energi atau
IMT dengan kedua hormon tersebut tetapi pada penelitian ini
metabolisme. Ini sebagai bukti keterkaitan antara
tidak dapat menunjukkan perbedaan nilai kedua hormon
bertambahnya inflamasi sistemik dengan habisnya FFM.
tersebut pada kedua kelompok dengan IMT kurus. Hal ini
Gangguan pada sistem anabolik hormon diduga juga merusak
disebabkan subjek kontrol dengan IMT kurus hanya 1 orang
respons anabolik yang dibutuhkan untuk kemampuan otot
dan tidak bisa dilakukan perbandingan secara statistik.
rangka. Faktor-faktor tersebut mengindikasikan terdapatnya
hubungan gangguan endokrin terhadap kelemahan dan
PEMBAHASAN kerusakan otot pada PPOK, misalnya gangguan growth
Saat ini terapi PPOK umumnya terkonsentrasi pada disfungsi hormone / IGF-1 dan hormon pada aksis hipotalamic-
7,8
organ primer yaitu paru. Akhir-akhir ini berkembang polemik pituitary-gonad (contoh: testosteron).
bahwa terdapat hubungan antara organ primer dengan organ Penelitian ini yang membandingkan nilai hormon testosteron
lainnya serta terdapat efek sistemik PPOK. Keluhan terbanyak dan IGF-1 pada pasien PPOK stabil berbagai derajat dengan
pasien PPOK orang sehat sebagai kelompok kontrol, berhasil
mengumpulkan subjek penelitian sebanyak 28 orang untuk
Tabel 9. Perbandingan nilai hormon testosteron dan IGF-1 pada tiap kelompok. Kedua subjek penelitian ini telah setara pada
pasien PPOK stabil IMT gemuk dengan kontrol IMT gemuk karakteristik umur, jenis kelamin dan IMT. Perilaku merokok
Hormon Kelompok N Mean St. dev P pasien PPOK yang diwakili dengan status merokok dan
Testosteron Kontrol 5 608,00 166,1927 indeks Brinkman bila dibandingkan dengan kelompok kontrol
(ng/dL) Kasus 4 437,50 80,57088 0,104
IGF-1 Kontrol 5 120,66 40,85925 didapatkan berbeda bermakna secara statistik dan berarti tidak
(ng/mL) Kasus 4 94,025 11,97285 0,253
terjadi kesetaraan status merokok dan indeks Brinkman

IMT : Gemuk IMT : Gemuk


900 200

800
175
700
Testosteron
ng/dL

600 150
IGF-I
ng/mL

500 125

400
100

300
75
Kontrol Kasus Kontrol Kasus
Kelompok Kelompok
Gambar 5. Diagram boxplot perbandingan nilai hormon testosteron
pada pasien PPOK stabil IMT gemuk dengan kontrol IMT gemuk Gambar 6. Diagram boxplot perbandingan nilai dan IGF-1 pada
pasien PPOK stabil IMT gemuk dengan kontrol IMT gemuk
antara kedua kelompok tersebut. Hal ini menjadi keterbatasan perbandingan kelompok kontrol dan kasus PPOK. Analisis
pada penelitian ini karena ketidakseta- raan perilaku merokok gas darah mendapatkan adanya perbedaan antara PO2 dan pH
yaitu status merokok dan indeks Brinkman berpeluang darah.
mengubah hasil nilai hormon testosteron dan IGF-1 di kedua
Nilai normal hormon testosteron dan IGF-1 untuk populasi
kelompok subjek penelitian. Pada penelitian ini, peneliti
orang Indonesia belum ada, yang ada adalah nilai rujukan
umumnya mendapatkan subjek penelitian dengan IMT
berdasarkan populasi penelitian di Amerika Serikat.
normal. Hal ini tidak dapat melihat nilai IGF-1 dan hormon
Penelitian ini menggunakan kontrol sebagai pembanding.
testosteron pada pasien PPOK stabil maupun kelompok
Kontrol pada penelitian ini tidak dapat mencerminkan nilai
kontrol dengan IMT kurang atau kaheksia.
normal hormon testosteron dan IGF-1 karena besar sampel
pada penelitian ini dihitung untuk penelitian case control dan
Karakteristik subjek penelitian
bukan untuk mencari nilai normal kedua hormon tersebut.
Rata-rata usia keseluruhan subjek penelitian ini adalah 64
Untuk mendapatkan nilai normal maupun prevalens nilai
tahun. Keseluruhan subjek penelitian pada kelompok kasus
hipogonadisme diperlukan penelitian tersendiri dan belum
berjenis kelamin laki-laki karena pada proses pengumpulan
terdapat publikasi untuk populasi orang Indonesia. Laghi
sampel hanya ditemukan seluruh- nya berjenis kelamin laki- 9
dkk. melakukan penelitian prevalens hipogonadime dan
laki sedangkan kelompok kontrol dikumpulkan seluruhnya
kualitas hidup pada pasien-pasien PPOK. Penelitian tersebut
juga berjenis kelamin laki-laki agar tercapai kesetaraan
mendapatkan bawah prevalens pada pasien PPOK stabil tidak
kelompok kasus dan kontrol. Tingkat pendidikan yang
berbeda bermakna dengan populasi umum (setara umur pada
terbanyak adalah SD dan SLTA. Hanya 2 orang (3,6%) subjek 9
kedua kelompok).
yang tidak merokok meskipun sebagian besar (62,5%) subjek
mengaku telah berhenti merokok. Besar sampel ini sudah
Nilai growth hormone melalui perubahan nilai IGF-1 pada
sesuai dengan perhitungan awal dan setara dengan penelitian
penderita PPOK stabil sesuai derajat penyakitnya
lain yang mempelajari hal yang serupa pada pasien-pasien
dibandingkan pada orang sehat
PPOK. Perilaku merokok di kelompok kontrol sebagian besar
Insulin-like growth factor-I diukur untuk menentukan
masih merokok dan di kelompok kasus sebagian besar sudah
nilai growth hormone sebagai penanda anabolik, karena
berhenti merokok. Kondisi status merokok serta indeks
penghitungan langsung growth hormone sangat tidak stabil
Brinkman pada kedua kelompok didapatkan tidak setara
karena sering berubah seiring dengan perubahan waktu yaitu
antara kedua kelompok. Hal ini penting karena dapat menjadi
pagi, siang, sore dan malam. Penelitian tentang IGF-1 masih
dasar perbedaan kadar hormon berkaitan dengan dugaan
sangat sedikit dan kecenderungan nilai IGF-1 pada pasien
pengaruh rokok terhadap kadar hormon.
PPOK stabil cenderung menurun dan secara statistik ada yang
menyatakan bermakna juga ada yang
Pada kelompok kasus yaitu subjek yang menyatakan tidak bermakna.
7
Creutzberg, dkk.
7

mengalami PPOK stabil didapatkan bahwa sebagian besar mengemukakan bahwa data yang ada mengindikasikan
berderajat sedang (57,1%) dan terdapat 30% subjek dengan terdapat nilai IGF-1 yang lebih rendah dibandingkan kontrol
PPOK derajat berat – sangat berat. Hasil pemeriksaan sesuai dengan kondisi penyakit kronik. Penurunan nilai IGF-
spirometri dan analisis gas darah mendapatkan bahwa 1 dipengaruhi usia, hipoksia kronik dan kebiasaan merokok
pemeriksaan KV dan KVP setara diantara kedua kelompok. pada pasien PPOK stabil. Perbedaan tersebut akan lebih
Perbedaan karakteristik bermakna pada pasien
didapatkan pada hasil pemeriksaan VEP1 serta dengan berat badan kurang dibandingkan dengan yang
VEP1/KVP dan ini merupakan hal yang wajar pada 7,8
memiliki berat badan normal.
Nilai hormon testosteron pada penderita PPOK stabil lebih berat pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok
derajat penyakitnya dibandingkan pada orang sehat kasus, dinilai dengan indeks Brinkman. Penelitian English
Hasil testosteron pada penelitian ini tidak sejalan dengan hasil dkk.
13
mendapatkan bahwa kelom- pok perokok memiliki
penelitian dan teori hipogonadisme (penurunan hormon nilai testosteron yang lebih tinggi dibandingkan bukan
10,11,12
testosteron) pada pasien PPOK akibat hipoksia. Diduga perokok. Walaupun demikian, didapatkan juga data bahwa
terdapat mekanisme lain yang mendasari perbedaan hasil bioavailabilitas testosteron tidak berbeda bermakna pada
testosteron pada pasien PPOK stabil setiap derajat dengan kedua kelompok dan dinyatakan bahwa inilah yang lebih
yang membedakannya dengan orang Indonesia yang diteliti bermakna secara klinis dibandingkan kadar testosteron dalam
ini dengan hasil penelitian di negara-negara maju. Hasil darah. Nilai hormon testosteron cenderung lebih rendah sesuai
8
penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Itoh, dkk. dengan tingkat kebiasaan merokok yang diwakilkan dengan
yang juga mendapatkan kadar testosteron yang lebih tinggi indeks Brinkman. Penyebab terjadinya hal tersebut tidak
pada pasien PPOK. Penjelasan lain yaitu bahwa pada dijelaskan lebih lanjut.
penderita PPOK stabil pada penelitian ini tidak memakai obat Nilai IGF-1 pada pasien PPOK stabil dalam penelitian ini
kortikostroid sistemik selama 3 minggu sehingga diduga hal cenderung lebih tinggi sesuai dengan semakin tingginya
ini mengembalikan produksi hormon testosteron ke posisi indeks Brinkman karena menurut literatur nilai IGF-1 sedikit
yang mendekati normal sehingga pasien PPOK stabil pada dipengaruhi oleh kebiasaan merokok tetapi lebih dipengaruhi
penelitian ini hasilnya cenderung lebih tinggi dari hasil nilai oleh pemakaian kortikosteroid sistemik jangka panjang. Pada
testosteron dibandingkan kontrol orang sehat. Hal ini sesuai pasien PPOK stabil dalam penelitian ini didapatkan nilai
10
dengan hasil penelitian Kamichke, dkk. hormon testosteron yang cenderung lebih rendah seiring
dengan lebih rendahnya IMT. Hal ini diduga disebabkan oleh
Hubungan umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok dan hipoksia kronik yang menyebabkan turunnnya produksi
IMT dengan IGF-1 dan hormon testosteron pada testosteron dan menurunkan massa otot sehingga menurunkan
penderita PPOK stabil setiap derajat. IMT. Mekanisme terjadinya kaheksia pada pasien PPOK
Pada penelitian ini terdapat nilai hormon testosteron pada diduga merupakan akibat penurunan nilai testosteron dan
pasien PPOK stabil yang cenderung lebih rendah sesuai IGF-
dengan umur pasien, semakin tua umur pasien makin 1. Suplementasi testosteron dan IGF-1 diharapkan sebagai
cenderung makin rendah nilai hormon testosteron. Hal ini solusi untuk menghilangkan kaheksia pada pasien PPOK.
14

sesuai dengan proses penuaan secara fisiologis manusia pada Penelitian ini merupakan yang pertama di Indonesia sehingga
hipofisis anterior sehingga akhirnya mengakibatkan produksi untuk sementara dapat mewakilkan populasi Indonesia dan
dapat digunakan sebagai rujukan data pada penelitian
selanjutnya.
12
hormon tersebut akan bekurang. Nilai IGF-1 pada
penelitian ini cenderung lebih rendah karena proses penuaan KESIMPULAN
7,8
namun diperkirakan lebih rendah lagi pada pasien PPOK.
1. Pengukuran nilai hormon testosteron dan IGF-1 pada
Selama penelitian ini hanya mendapatkan subjek penelitian
pasien PPOK stabil dan subjek kontrol laki-laki dengan
berjenis kelamin laki-laki sehingga tidak dapat dibandingkan
kesetaraan usia dan IMT.
dengan pasien PPOK perempuan.
2. Pada populasi penelitian didapatkan nilai IGF-1
Pengaruh kebiasaan merokok terhadap kadar testosteron dan
cenderung lebih rendah dari nilai IGF-1 pada subjek
IGF-1 masih kontroversial. Pada penelitian ini didapatkan
kontrol sedangkan nilai hormon testosteron
bahwa kebiasaan merokok
cenderung lebih tinggi dari nilai hormon tersebut pada
subjek kontrol.
3. Hasil pemeriksaan VEP1 dan VEP1/KVP spirometri dan pemeriksaan pH dan PO2 analisis gas
darah arteri menurun bermakna secara statistik pada pasien PPOK stabil dibandingkan pada subjek
kontrol.
4. Nilai hormon testosteron dan IGF-1 dipengaruhi oleh umur kebiasaan merokok, indeks massa
tubuh dan dipengaruhi juga oleh pemakaian kortikosteroid jangka lama pada pasien PPOK stabil
yang pada penelitian ini telah dieksklusi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fabbri LM, Luppi F, Beghge B, Rabe KF. Update in chronic obstructive pulmonary disease 2005.
Am J Respir Crit Care Med. 2006;173:1056-65.
2. Yunus F. Gambaran penderita PPOK yang dirawat di bagian Pulmonologi FKUI/RSUP
Persahabatan Jakarta. J Respir Indo. 2000;20:64-8.
3. Global initiative for chronic obstructive pulmonary disease. Pathogenesis, pathology and pathophy-
siology. In: Global strategy for diagnosis manage- ment and prevention of chronic obstructive lung
disease. Portland: NHLBI Publications; 2006.p. 29- 39.
4. Barners PJ. Chronic obstructive pulmonary disease. N Eng J Med. 2000;343:269-80.
5. Meek PM, Schwartzstein RM, Adam L. Dyspnea – mechanisms, assessment, and management: A
consensus statement. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159:321-40.
6. Hamilton AL, Killian KJ, Summers E, Jones NL. Muscle strength, symptom intensity, and exercise
capacity in patients with cardiorespiratory disorders. Am J Respir Crit Care Med. 1995;152:2021-
31.
7. Creutzberg EC, Casaburi R. Endocrinological disturbances in chronic obstructive pulmonary
disease. Eur Respir J. 2003;22:76s-80s.
8. Itoh T, Nagaya N, Yoshikawa M, Fukuoka A, Takenaka H, Shimizu Y, et al. Elevated plasma
ghrelin level in underweight patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir
Crit Care Med. 2004;170:879-82.
9. Laghi F, Turcu AA, Collins E, Segal J, Tobin DE, Jubran A, et al. Hypogonadism in men with
chronic obstructive pulmonary disease prevalence and quality of life. Am J Respir Crit Care Med.
2005;171:728-33.
10. Kamischke A, Kemper DE, Castel MA. testosteron levels in men with chronic obstructive
pulmonary disease with or without glucocorticoid therapy. Eur Respir J. 1998;11:41-5.
11. Karadag F, Ozcan H, Karul AB, Yilmaz M, Cildag O. Sex hormone alterations and systemic
inflammation in chronic obstructive pulmonary disease. Int J Clin Pract. 2009;63(2):275–81.
12. Ponholzer A, Plas E, Schatzl G, Struhal G, Brossner C, Mock K, et al. Relationship between
testosterone serum levels and lifestyle in aging men. The Aging Male. 2005;8:190–3.
13. English KM, Pugh PJ, Parry H, Nanette E. Scutt NE, Kevin S., et al. Effect of cigarette smoking
on levels of bioavailable testosterone in healthy men. Clin Sci. 2001;100: 661–5.
14. VanEeden SF, Sin DD. Chronic obstructive pulmo- nary disease: A chronic systemic
inflammatory disease. Respiration. 2008; 75:224–38.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obstruksi saluran napas paru dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang
terdapat pada lumen, dinding atau di luar saluran napas. Kelainan pada
lumen dapat disebabkan oleh sekret atau benda asing. Pada dinding saluran
napas, kelainan bisa terjadi pada mukosanya akibat peradangan, tumor,
hipertrofi dan hiperplasi akibat iritasi kronik; dapat juga terjadi kelainan
yang menimbulkan bronkokonstriksi otot polos. Berbagai kelainan di luar
saluran napas yang dapat menimbulkan obstruksi adalah penekanan oleh
tumor paru, pembesaran kelenjar dan tumor mediastinum.

Dua penyakit paru obstruktif yang sering menjadi masalah dalam


penatalaksanaannya adalah penyakit asma bronkial dan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Asma bronkial didefinisikan sebagai suatu
sindrom klinik yang ditandai oleh hipersensitivitas trakeobronkial terhadap
berbagai rangsangan. Penyakit paru obstruktif kronik adalah kelainan yang
ditandai oleh uji arus ekspirasi yang abnormal dan tidak mengalami
perubahan secara nyata pada observasi selama beberapa bulan. PPOK
merupakan penyakit yang memburuk secara lambat, dan obstruksi saluran
napas yang terjadi bersifat ireversibel oleh karena itu perlu dilakukan usaha
diagnostik yang tepat, agar diagnosis yang lebih dini dapat ditegakkan,
bahkan sebelum gejaladan keluhan muncul sehingga progresivitas penyakit
dapat dicegah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang di maksud dengan penyakit paru obstruksi kronis?
2. Bagaimana etiologi dan patofisiologi pada penyakit paru obstruksi kronis?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit paru obstruksi kronis?
1.3 Tujuan Masalah
1. Agar mahasiswa mengetahui tentang penyakit paru obstruksi kronis
2. Agar mahasiswa mengetahui tentang etiologi dan patofisiologi pada
penyakit paru obstruksi kronis
3. Agar mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan tentang penyakit paru
obstruksi kronis

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Penyakit paru obstruksi kronis (COPD) merupakan suatu istilah yang


sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang belangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Bronchitis kronik, emfisema, dan
asma bronchial membentuk kesatuan yang disebut COPD. Agaknya ada
hubungan etiologi dan sekuensial antara bronchitis kronik dan emfisema,
tetapi tampaknya tak ada hubungan antara kedua penyakit itu dengan
asma. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan
semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan
penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan
pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang
menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok,
polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.
2.2 Epidemiologi

Insidensi PPOK penduduk negeri belanda adalah 10-15% pria dewasa,


5% wanita dewasa dan 5% anak-anak. Faktor resiko yang utama adalah
rokok, perokok mempunyai resiko 4 kali lebih besar dari pada bukan
perokok, dimana faal paru cepat menurun. Penderita pria : wanita = 3-
10 : 1

Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan faktor alergi dan


hiperaktifitas bronkus. Didaerah perkotaan. Insidensi PPOK 1 ½ kali
lebih banyak dari pada di pedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak
sering batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua sering timbul
emfisema.

2.3 Etiologi
Terdapat beberapa faktor lingkungan dan endogen termasuk faktor
genetik yang berperan dalam berkembangnya penyakit paru obstruktif
kronis. Defisiensi enzim alfa 1 antitripsin merupakan faktor predisposisi
untuk berkembangnya PPOK secara dini.1 Alfa 1 antitripsin merupakan
sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, berfungsi dalam
melindungi paru-paru dari kerusakan.2Enzim ini berfungsi untuk
menetralkan tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzim ini rendah dan
asupan rokok tinggi maka akan mengganggu sistem kerja enzim tersebut
yang bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan. Defisiensi enzim ini
menyebabkan emfisema pada usia muda yaitu pada mereka yang tidak
merokok, onsetnya sekitar usia 53 tahun manakala bagi mereka yang
merokok sekitar 40 tahun.

Hiperresponsivitas dari saluran napas ditambah dengan faktor merokok


akan meningkatkan resiko untuk menderita Penyakit paru obstruktif
kronis disertai dengan penurunan fungsi dari paru-paru yang drastis.
Selain itu, hiperaktivitas dari bronkus dapat terjadi akibat dari
peradangan pada saluran napas yang dapat diamati pada bronkitis kronis
yang berhubungan dengan merokok. Hal ini dapat menimbulkan
terjadinya ‘remodelling’ pada saluran napas yang memperparahkan lagi
obstruksi pada saluran napas pada penderita penyakit paru obstruktif
kronis.

Faktor lingkungan seperti merokok merupakan penyebab utama disertai


resiko tambahan akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota.
Sebagian pasien mengalami asma kronis yang tidak terdiagnosis dan
tidak diobati.1 Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk
selain hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah, gangguan
pertumbuhan paru pada janin, dan status sosioekonomi rendah.
2.4 Patofisiologi

Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK.


Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag
dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih
banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini
melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru.
Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun
tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease
yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan
PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti
superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah
diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis
karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease.

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel


bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan
fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan
terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis,
proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh
batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen
structural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan
sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru
dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada
saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan
obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis
lainnya yang karakteristik untuk PPOK.

Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau


kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan
menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara
ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang
tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd),
menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi
biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang
kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi
resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini
gagal, dan terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien
dengan PPOK berat.

2.5 Gambaran Klinis


Gejala cardinal dari PPOK adalah batuk dan ekspektorasi, dimana
cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan
adanya pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif,
pada awalnya intermitten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring
waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi
tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi
bakteri respiratorik.

Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan


berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan
terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat
semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara. Pada penyakit
yang moderat hingga berat , pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan
penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan
hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang
berkomplikasi menjadi hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda
gagal jantung kanan (termasuk distensi vena sentralis, hepatomegali, dan
edema tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada jari bukan ciri khas
PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada ganguan
lainnya, terutama karsinoma bronkogenik

Tanda obstruksi komplet saluran nafas atas yang mendadak sangat jelas.
Pasien tidak dapat bernafas, berbicara atau batuk dan pasien mungkin
memengang kerongkongannya seperti mencekik, agitasi, panic dan napas
yang tersengal-sengal dan diikuti sianosis. Dan apabila ada sumbatan
tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian dalam waktu 2-5
hari.

Kondisi klinis yang berhubungan dengan obstruksi saluran napas akut


adalah :

1. Penyebab obstruksi oleh karena gangguan fungsional depresi sistem


saraf pusat (Trauma kepala, kecelakaan serebrovaskular, gagalnya
system kardiorespiratori, syok, hipoksia, overdosis obat, enselopati
oleh karena proses metabolik)

2. Abnormalitas neuromuscular dan system saraf tepi (Recurrent


laryngeal nerve palsy (pasca operasi, inflamasi atau infiltrasi tumor),
obstrukstive sleep apnoe, spasme laring, miatenia gravis, gullain
bare polyneuritis, spasme pita suara oleh karena hipokalasemia)

3. Penyebab obstruksi oleh karena gangguan mekanis aspirasi benda


asing

4. Infeksi (Epiglottis, selulitis retropharangeal atau abses, angina


ludwig’s, difteri dan tetanus, trakeitis bacterial, laring otrakeo
bronkitis)
5. Edem laring

6. Perdarahan dan haematom (Pasca operasi, terapi antikoangulan)

7. Trauma (luka nakar)

8. Neoplasma (Karsinoma laring, faring, dan trakheobronkiahal,


poliposis pita suara)

9. Kogenital (Vascular rings, laryngeal webs, laryngocele)


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Tn.S 56 Th masuk 3 Maret 2013 $ Diagnosa PPOK, jenis kelamin


Laki-laki Agama Islam pekerjaan Tani, Pendidikan SD. Alamat
Sendang Kulon. Alasan di rawat Sesak napas Keluhan utama : Sesak dan
batuk Riwayat keluhan utama: riawayat penyakit dahulu: Sesak napas
sejak 5tahun yang lalu. Riwayat penyakit sekarang : Sejak 2 hari sebelum
masuk Rumah Sakit pasien sesak terus-menerus akhirnya keluarga
membawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Soetomo Surabaya.
Riwayat kesehatan keluarga tidak ada keluarga yang menderita penyakit
seperti ini. Riwayat kesehatan lain : Pasien pernah merokok, dan berhenti
sejak sakit kurang lebih 5 tahun yang lalu.
Observasi dan Pemeriksaan Fisik CM, GCS : 456, Keadaan umum :
lemah Tanda-tanda vital : S= 37 oC, T= 130/80mmHg, Nadi= 104x/m,
RR= 28x/m. Pernafasan melalui : hidung + terpasang 02 kanule ( 2
liter/menit ). Trachea tidak ada pembengkokan Cyanosis (-), dyspnea (+),
batuk lendir putih, darah( )Whezeeng (+) / (+), Ronchi (+) / (+) dada
simetris. Eliminasi urin : 400-500cc/hari, warna kuning, jernih, khas
amoniak. Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7 Tetes/menit.
Spiritual Klien mengharapkan dengan perawatan yang diberikan bisa
sembuh dan yakin dengan pertolongan Tuhan bisa sembuh, persepsi
penyakitnya sebagai cobaan dalam hidup. Tetapi pasien tidak dapat
melakukan sholat di RS. Pemeriksaan Lab AGD : - PH : 7,359 ( 7,35-
7,45 ), PCO2 : 46,0 ( 35-45 ), PO2 : 115,0 ( 80-104 ), HCO3 : 25,
Sputum : BTA (-).
Therapi. Infus RL : Dex.5% 1:1/ 24 jam ( 7 tts/menit ), Aminophylin 1
amp / 24 jam, - Tarbutalin 4x0,025 mg, Ciprofloxasin 2x500 mg,
Nebulezer 4x ( Atroven : Agua ) = 1:1, Oksigen 2 liter / menit Diet
TKTP.
A. PENGKAJIAN
Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Alamat : Sendang Kulon
Keluhan Utama : sesak dan batuk

Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak nafas , sejak 2 hari
sebelum masuk RS pasien sesak terus menerus, dan sering batuk.
Keadaan umum Compos mentis, GCS : E4,V5,M6, suhu : 37C, T :
130/80mmHg, N : 104 x/menit, RR: 28x/menit
Pernafasan melalui : hidung + terpasang 02 kanule ( 2 liter/menit ).
Trachea tidak ada pembengkokan Cyanosis (-), dyspnea (+), batuk
lendir putih, darah( )Whezeeng (+) / (+), Ronchi (+) / (+) dada
simetris. Eliminasi urin : 400-500cc/hari, warna kuning, jernih, khas
amoniak. Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7
Tetes/menit. Spiritual Klien mengharapkan dengan perawatan yang
diberikan bisa sembuh dan yakin dengan pertolongan Tuhan bisa
sembuh, persepsi penyakitnya sebagai cobaan dalam hidup. Tetapi
pasien tidak dapat melakukan sholat di RS. Pemeriksaan Lab AGD : -
PH : 7,359 ( 7,35-7,45 ), PCO2 : 46,0 ( 35-45 ), PO2 : 115,0 ( 80-
104 ), HCO3 : 25, Sputum : BTA (-)
Therapi. Infus RL : Dex.5% 1:1/ 24 jam ( 7 tts/menit ),
Aminophylin 1 amp / 24 jam, - Tarbutalin 4x0,025 mg,
Ciprofloxasin 2x500 mg, Nebulezer 4x ( Atroven : Agua ) = 1:1,
Oksigen 2 liter / menit Diet TKTP.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami sesak nafas sejak 5 tahun yang lalu
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada yang mengalami sakit seperti
ini

B. Pengkajian Pola Virginia Handerson


1. Pola Pernafasan
Sebelum sakit : Pasien dapat bernafas dengan normal dan tidak
menggunakan alat bantu pernafasan .
Saat dikaji : Pasien mengeluh sesak nafas dan tampak
terpasang O2 kanul (2 liter/ menit)
2. Pola Nutrisi
Sebelum sakit : Pasien makan 3x sehari dengan menu nasi, sayur
dan lauk
Saat dikaji : Saat dirawat di rumah sakit, makan ¼ porsi pada
menu yang disajikan di rumah sakit pada tyap
kali jadwal makan
3. Kebutuhan Eliminasi
Sebelum sakit : BAB 1x sehari, fesesnya lunak, warna kuning
dan BAK lancar , warna jernih kekuningan
Saat dikaji : BAB 1x sehari, fesesnya lunak, warna kuning
dan BAK lancar , warna jernih kekuningan
4. Gerak dan keseimbangan
Sebelum sakit : Pasien dapat melakukan aktivitas tanpa gangguan
Saat dikaji : Pasien tampak keseimbangannya terganggu
karenatidak bisa bernafas
5. Kebutuhan Istirahat dan tidur
Sebelum sakit : Pasien biasa tidur 8 jam sehari dan bangun pada
pukul 05.00
Saat dikaji : Malam hari kadang terbangun karena sesak nafas
dan batuk
6. Personal Hygiene
Sebelum Sakit : Mandi 2x sehari dan gosok gigi mandiri.
Saat dikaji : Pasien mandi dengan di seka oleh istrinya pagi dan
sore, serta gosok gigi.
7. Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Sebelum sakit : Pasien merasa aman dan nyaman jika bersama
keluarga dan istrinya
Saat dikaji : Pasien mengeluh tidak nyaman karena sering
sesak nafas dan batuk

8. Kebutuhan berpakaian
Sebelum sakit : Pasien ganti baju 2x sehari dan dapat berpakaian
sendiri.
Saat dikaji : Memakai pakaian dibantu oleh anaknya.
9. Kebutuhan Spiritual
Sebelum sakit : Pasien dapat melakukan ibadah solat 5 waktu
Saat dikaji : Pasien tidak bisa sholat di RS dan berkeyakinan
bahwa penyakitnya dapat sembuh karena
pertolongan Tuhan.
10. Kebutuhan berkomunikasi dan berhubungan
Sebelum sakit : Hubungan pasien dengan keluarga baik biasa
berkomunikasi dengan bahasa jawa.
Saat dikaji : Pasien mau berkomunikasi dengan perawat
dengan ditemani anaknya

11. Temparatur tubuh


Sebelum sakit : Pasien biasa memakai pakaina tipis jika panas
begitu juga sebaliknya
Saat dikaji : Pasien suhunya normal S : 37 C
12. Kebutuhan bekerja
Sebelum sakit : Pasien adalah seorang petani
Saat dikaji : Pasien hanya berbaring ditempat tidur.
13. Kebutuhan bermain dan rekreasi
Sebelum sakit : Pasien tidak biasa bermaian ataupun rekreasi
Saat dikaji : Pasien tidak bisa pergi kemana - mana, hanya
tetangganya sering menjenguk di RS untuk
menghibur.
14. Kebutuhan Belajar
Sebelum Sakit : Pasien tidak tahu tentang penyakit PPOK yang
dideritanya
Saat dikaji : Pasien sudah tahu tentang penyakit yang
dideritanya karena penjelasan perawat.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : compos mentis,TD 130/80mmHg, RR 28x/menit, suhu 37
C, N :104x/menit
2. Kepala
a. Kepala : Mesosephal
b. Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut,
c. Mata : Bulu mata tidak mudah dicabut, sklera tidak ikterik,
konjungtiva tidak anemis, palpebra dekstra udem dan
spasme, oedem pada kornea dekstra.
d. Hidung : Tampak terpasang kanul O2 (2L/menit)
e. Telinga : Besih, tidak ada serumen, reflek suara baik.
f. Mulut : Gigi kekuningan, lengkap, tidak ada stomatitis.
g. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada
pembengkakan pada trakhea
h. Ektremitas : Tidak ada oedem pada kedua ekstremitas atas dan bawah.
Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7 ttes/menit
3. Dada
a. Paru
1) Inspeksi
Bentuk dada simetris
Tampak RR 28x/menit
2) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada paru
Tidak ada nyeri tekan
3) Perkusi
Hipersonor
4) Auskultasi
Suara nafas wheezing dan kadang terdengar ronchi

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
AGD
a) PH = 7,359 (7,35-7,45)
b) PCO2 = 46,0 (35-45)
c) PO2 = 115,0 (80-104)
d) HCO3 = 25
Sputum BTA ( - )
2. Terapi
a) Terapi infus : RL Dextro 5 % 1:1/24 jam (7 tetes/menit)
b) Terapi injeksi :
Aminiphylin 1 amp/24 jam
Tarbulatin 4x0,025mg
Ciproflaxosin 2x 500 mg
c) Terapi Oksigen
Nebulizer 4x (atroven : agua) = 1:1 ,O2 2L/menit
d) Diet TKTP
E.Analisa Data
NO DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
1. DS : Pasien mengatakan sesak Hiperventilasi Ketidak efektifan
nafas sejak 5 tahun yang lalu. pola nafas
DO: ps. Tampak sesak
nafas/dispneu ,tampak
menggunakan alat bantu
pernafasan kanul O2 , RR: 28 x/m,
wheezing(+), Ronchi(+)
2. DS: ps. Mengatakan sering batuk Adanya mukus Bersihan jalan
DO: p stampak batuk , batuk nafas tidak efektif
tampak ada lendir putih
3. DS : pasien mengatakan kesulitan Gangguan
nafas Ventilasi perfusi pertukaran gas
DO: PCO: 46 ,PO2 : 115

F. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas bd hiperventilasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus
3. Gangguan pertukaran gas bd ventilasi perfusi

G.Intervensi
NO DX DIAGNOSA NOC NIC

1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Airway Management


pola nafas bd tindakan keperawatan 1. Posisikan pasien
hiperventilasi 2x24 jam masalah untuk
(00032) ketidakefektifan pola memaksimalkan
nafas teratasi ventilasi
Kriteria : 2. Lakukanfisiotera
1. RR normal 16-24 pi dada jikaperlu
2. Adanya kesimetrisan 3. Keluarkansekret
ekspansi dada denganbatukatau
3. Tidak menggunakan suction
otot nafas tambahan 4. Auskultasisuaran
4. Tidak ada pernafasan afas,
cuping hidung saat catatadanyasuara
beraktifitas tambahan
5. Tidak ada nafas 5. Aturintakeuntukc
pendek airanmengoptima
lkankeseimbanga
n.
6. Monitor respirasi
dan status O2
7. Berikanbronkodi
lator bila perlu
(amonophilin 1
amp/24 jam)
2 Bersihan jalan Setelah dilakukan Airway Management
nafas tidak tindakan keperawatan Intervensi :
efektif bd 2x24 jam masalah 1. Posisikan
adanya mukus bersihan jalan nafas tidak pasien untuk
efektif dapat teratasi memaksimalkan
Kriteria : ventilasi
1. RR normal 2. Lakukan
2. Tidak ada kecemasan fisioterapi dada
3.Mampu membersihkan jika perlu
secret 3. Berikan
4. Tidak ada hambatan minum hangat
dalam jalan nafas kepada pasien
5. Tidak ada batuk 4. Ajarkan batuk
efektif
5. Auskultasi
suara nafas, catat
adanya suara
tambahan

3 Gangguan Setelah dilakukan Monitoring


pernafasan :
pertukaran gas tindakan keperawtan 2x24
1. Monitor rata-rata,
bd ventilasi jam masalah gangguan
ritme, kedalaman,
perfusi pertukaran gas teratasi
dan usaha
Kriteria :
pernafasan
Status pernafasan:
2. Monitor pola
pertukaran gas
nafas :bradipnea,
1. Kemudahan bernafas
takipnea,
2. tidak ada sesak nafas
3. Palpasi
dalam istirahat
kesimetrisan
3. tidak ada sesak nafas
ekspansi paru
saat beraktivitas
4. Perkusi dada
4.Tidak ada kelelahan
anteriordan
5.Tidak ada sianosis
posterior dari apeks
6.PaCO2 DBN (35-45)
sampai bawah
7.PaO2 DBN (80-104)
5. Auskultasi suara
pernafasan, catat
area yang
mengalami
penurunan ventilasi
dan adanya suara
tambahan
6. Monitor adanya
dispnea dan
kejadian yang
meningkatkan dan
memperburuk
keadaan pasien
7.tidur menyamping
untuk mencegah
aspirasi

E. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang
mengambarkan kriteria hasil yang diharapkan.

BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Penyakit Paru Obstruksi
Menahun (PPOM) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat pogresif nonreversibel atau reversibel parsial.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisima atau gabungan keduanya.
Data dari organisasi kesehatan dunia (WHO) meyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab
kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit-
penyakit paru obtruksi kronis sebanyak 80-90% (kasana,2011).
Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) terdiri dari : Bronkitis
Kronik, Emfisema. Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah : Batuk. Sputum putih atau
mukoi, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen, Sesak. Sesak
sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas. Diagnosa
Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola nafas bd hiperventilasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus
3. Gangguan pertukaran gas bd ventilasi perfusi

DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/doc/129660827/Asuhan-Keperawatan-Pada-Pasien-
Ppok-Fixxxxx
https://www.scribd.com/doc/138237140/MAKALAH-PPOK

Anda mungkin juga menyukai