Sejarah Hukum. Rizky Wahyudi (1913033021)
Sejarah Hukum. Rizky Wahyudi (1913033021)
Oleh :
Pasal 293 RUU KUHP mengatakan, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai
kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan
bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya bisa menimbulkan penyakit,
kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Pasal tersebut dianggap tidak adil karena hanya menjerat orang yang disuruh melakukan
perbuatan santet. Sedangkan si penyuruh yang seharusnya mendapat hukuman lebih berat,
justru lolos dari jeratan hukum.
Perbuatan Negatif
Santet dikenal juga dengan nama tenung dan teluh. Sejak lama santet diasosiasikan dengan
ilmu yang bersifat negatif atau merugikan orang lain. Konon, santet dilakukan dengan cara
memasukkan benda atau sesuatu ke tubuh orang lain dengan tujuan menyakiti. Benda itu
dikirim secara gaib oleh seseorang yang dianggap ahli. Dipercaya orang melakukan santet
karena dendam terhadap seseorang atau berniat menyingkirkan seseorang.
Selain ilmu hitam (untuk kejahatan), santet bisa merupakan ilmu putih (untuk kebaikan).
Namun dalam kehidupan sehari-hari, santet sering diselewengkan untuk berbuat kejahatan.
Misalnya, yang tadinya digunakan untuk menidurkan bayi yang rewel, dimanfaatkan untuk
menidurkan calon korbannya. Karena itu santet dianggap lebih banyak negatifnya daripada
positifnya.
Secara samar-samar santet sudah dikenal pada zaman dulu, yakni masa Kerajaan Sriwijaya.
Beberapa prasasti diketahui berisi sumpah dan kutukan (sapatha) terhadap orang-orang yang
tidak berbakti kepada raja. Prasasti Kota Kapur (686 Masehi), contohnya,
menyebutkan "...sebanyaknya orang yang berbuat jahat seperti menghilangkan orang,
membuat orang jadi sakit, membuat orang jadi gila, mengguna-guna orang, memantra-
mantrai orang,...dan sebagainya..., orang yang berlaku demikian akan dibunuh oleh
sumpah...". Menurut Hukum Pidana Kerajaan Sriwijaya, orang yang melakukan kejahatan
santet langsung dibunuh.
Dalam prasasti-prasasti Sriwijaya, siapa pun orang yang berbuat jahat akan termakan
sumpah. Makanya, pada Prasasti Telaga Batu (angka tahunnya belum diketahui) ada cerat
seperti “yoni” yang fungsinya untuk mengalirkan air. Pada waktu "upacara persumpahan"
dimulai, tampaknya prasasti tersebut disiram dari atas sehingga air mengalir ke bawah
membasahi tulisan dan melarutkan kalimat-kalimat sumpah. Di bagian bawah, air-air itu
ditampung oleh orang-orang yang menghadiri upacara, kemudian diminum. Di dalam prasasti
itu sendiri memang ada ungkapan (terjemahan), "....kamu akan dibunuh oleh sumpah ini yang
diminum olehmu....
Sayang belum ditemukan bukti adanya orang-orang yang mati karena melanggar sumpah.
Hanya penafsiran mengatakan bahwa Raja Sriwijaya adalah seorang politikus ulung untuk
meminimalisasi timbulnya pemberontakan.
Kerajaan Majapahit
Di Kerajaan Majapahit menenung merupakan salah satu bentuk kejahatan yang disebut tatayi.
Dikatakan, menenung sesama manusia akan dikenakan pidana mati. Tidak ada orang yang
terkecuali dari undang-undang tatayi ini. Menjatuhkan pidana mati kepada orang yang
melakukan tatayi adalah darma yang tak boleh dihindarkan oleh seorang raja. Jika
kesalahannya terbukti, harus dijatuhi pidana mati tanpa proses apapun (Perundang-undangan
Madjapahit, 1967, hal 75-76).
Berdasarkan artikel yang berjudul Kejahatan santet dalam hukum pidana zaman kerajaan
disini saya dapat menganalisis bahwa kejahatan santet yang kita kenal atau sering kita dengar
sampai hari ini ternyata sudah ada sejak zaman kerajaan Dimana hal tersebut dapat
dibuktikan dengan beberapa bukti sebagai contoh pada zaman kerajaan sriwijaya Santet
sudah dikenal hal tersebut dibuktikan dengan tertuangnya dalam prasasti kota kapur santet
diartikan sebagai perbuatan jahat yaitu dengan membuat orang sakit atau menghilangkan
orang lain, dan membuat orang gila dengan mantra mantra namun, pada zaman kerajaan
sriwijaya ini belum ditemukan nya kasus santet yang menyebabkan kematian berlanjut ke
zama kerajaan majapahit Kejahatan santet pada zaman kerajaan majapahit ini di kenal dengan
merenung dan pada zaman kerajaan majaphit ini pelaku kejahatan santet sendiri akan
mendapatkan hukuman yakni hukum pidana yaitu hukum mati.
Sedangkan penyelesaian dari saya adalah kejahatan santet seharusnya tidak dilakukan karena
hal tersebut sangat kejam apalagi sampai membuat orang lain kehilangan nyawa nya.dan
untuk masalah hukum pidana bagi pelaku santet yaitu hukum pidana mati pada zaman
kerajaan mungkin dianggap wajar dikarenakan pada zaman kerajaan belum ada hukum yang
mengatur hal tersebut namun masih berdasarkan perintah raja. Sedangkan untuk saat ini
hukum pidana mati bagi pelaku santet sangat tidak pantas untuk diberlakukan karena itu
melanggar HAM seseorang.
Sumber:
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/djuliantosusantio/kejahatan-
santet-dalam-hukum-pidana-zaman-kerajaan_592c98a7939773ab7f823a3c
Berdasarkan artikel yang saya baca dialas bahwa tindakan hukum pidana mati di indonesia
sudah dimulai sejak zaman belanda Dimana hukuman mati itu diberlakukan pertama kali
ketika ada seseorang yang membangkang VOC. Lalu pembangkang tersebut di ikat leher nya
ditiang gantungan dan dijerat lehernya lalu di pancung Dimana pada zaman belanda ini
hukuman pancung atau eksekusi mati ini dijadikan hiburan atau tontonan para pedagang
Dimana mereka selalu.beramai-ramai menonton kegiatan eksekusi mati tersebut.Ini
menandakan bahwa hukuman mati yang berlaku pada saat ini d indonesia Memang sudah
berlaku dari zaman kolonial tepatnya zaman belanda. Sedangkan penyelesaian dari saya
sendiri Hukum pidana mati yang seperti diterapkan oleh belanda pada zamannya itu sangat
tidak layak apabila diterapkan Dimana indonesia yang sekarang karena itu sangat kejam
tetapi menurut saya hukuman mati di Indonesia boleh diterapkan jika seseorang melakukan
kesalahan atau tindak pidana yang berat yang mungkin Menimbulkan banyak korban maka
hukuman mati itu bisa diterapkan.
SUMBER
https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/hukuman-mati-warisan-belanda-bwpQ