Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Dasar Hukum Nikah

Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ‫) النك اح‬, adapula yang
mengatakan perkawinan menurut istilah fiqih dipakai perkataan nikah dan
perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan.
Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi
pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar
katanya saja. Perkawinan adalah ;
‫عبارة عن العقد المشهور المشتمل على األركان والشروط‬
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-
rukun dan syarat-syarat.
Para ulama fiqih pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
‫ بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما‬ ‫عقد يتضمن ملك وطء‬
 Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan
badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah
atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.

Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah


pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang
telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah
ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)

3
4

2.2 Rukun Nikah


1. Wali
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:

‫اط ٌل‬
ِ َ‫ ب‬.ٌ‫اطل‬ ْ ‫ايُّ َما ا ْم َرأ ِة نُ ِك َح‬
ِ َ‫ فَنِ َك ُحهَا ب‬،‫ت ِب َغي ِْر ا ِذ ِن َولِ ْيهَا‬
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya
batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)

2.  Saksi
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:

‫اح االَّ بِ َولِي َو َشا ِه َديْ َع ْد ِل‬


َ ‫الَ نِ َك‬
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-
Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata :
“Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)

3. Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan
dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab
dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak
saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya:
“Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab
Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:

1. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.


2. Adanya Ijab Qabul.
3. Adanya Mahar.
4. Adanya Wali.
5

5. Adanya Saksi-saksi.

Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami


istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Kedua belah pihak sudah tamyiz.


2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul
tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap
ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qobul.

Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh


masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan
yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan
kata-kata kasar dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah
terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul


Muslim. “Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku
dengan putrimu yang bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu
dengan putriku yang bernama Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah
putrimu.”

4. Mahar (Mas Kawin)


Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk
menikahi seorang wanita. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-
laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak
milik istri secara penuh. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah
mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam
syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan
kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar
meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik
mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-
Hakim: 2692)
6

2.3 Khitbah (peminangan)

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita,
hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya. Apabila seorang lelaki
mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh
lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita
tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
ْ ‫الَ يَ ْخطُبُ ال َّر ُج ُل َعلَى ِخ‬
َ ‫طبَ ِة أَ ِخ ْي ِه َحتَّى يَ ْن ِك َح أَ ْو يَ ْت ُر‬
‫ك‬
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya
hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan
pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)

        Yang perlu diperhatikan oleh wali adalah :

Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau
ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia
memerhatikan perkara berikut ini:
1. Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya
lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga
menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda:
َّ‫ إِال‬،ُ‫ض ْو َن ِد ْينَ هُ َو ُخلُقَ هُ فَ َز ِّو ُج ْوه‬
َ ْ‫ب إِلَ ْي ُك ْم َم ْن تَر‬
َ َ‫فَ َس ا ٌد َع ِريْضٌ إِ َذا َخط‬
‫ض َو‬ ِ ْ‫تَ ْف َعلُوا تَ ُك ْن فِ ْتنَةٌ فِي ْاألَر‬

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama
dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian
menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak
melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
7

2. Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh


memaksanya.Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya
ia malu.

2.4 Hukum Nikah

Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima
yaitu:
1. Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah, sedangkan nafsunya telah
mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus
dalam praktek perzinahan.
2. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan
batin kepada calon isterinya, sedangkan nafsunya belum mendesak.
3.  Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai
kemampuan untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat
haram.
4.   Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu memenuhi
kebutuhan calon isterinya.
5.   Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alasan yang mewajibkan segera nikah
atau karena alasan yang mengharamkan untuk nikah.

2.5  Anjuran Islam

Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah dan ada banyak
hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :

1.         Sunnah Para Nabi dan Rasul

‫ول أَن يَ أْتِ َي بِآيَ ٍة إِالَّ بِ إِ ْذ ِن‬


ٍ ‫ك َو َج َع ْلنَا لَهُ ْم أَ ْز َواجًا َو ُذرِّ يَّةً َو َما َكانَ لِ َر ُس‬
َ ِ‫َولَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا ُر ُسالً ِّمن قَ ْبل‬
ٌ‫هّللا ِ لِ ُكلِّ أَ َج ٍل ِكتَاب‬
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak
bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah.
Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).
8

Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakan
sunnah para rasul : [1] Hinna',1 [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR.
At-Tirmizi 1080)

2.         Bagian dari Tanda Kekuasan Allah

ً‫ق لَ ُكم ِّم ْن أَنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُكم َّم َو َّدة‬
َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن َخل‬
َ ‫ت لِّقَ ْو ٍم يَتَفَ َّكر‬
‫ُون‬ َ ِ‫َو َرحْ َمةً إِ َّن فِي َذل‬
ٍ ‫ك آَل يَا‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)

3.         Salah Satu Jalan untuk Menjadi Kaya

َ ‫َوأَن ِكحُوا األَيَا َمى ِمن ُك ْم َوالصَّالِ ِح‬


‫ين ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َم ائِ ُك ْم إِن يَ ُكونُ وا فُقَ َراء‬
ِ ‫يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِمن فَضْ لِ ِه َوهَّللا ُ َو‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur :
32)

4.         Ibadah dan Setengah dari Agama

Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh
Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada
separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR.
Thabarani dan Al-Hakim 2/161).

5.         Tidak Ada Pembujangan dalam Islam

Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk


dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina
dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina. Tetapi di balik itu Islam juga
9

menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu
maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan,
bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu
kawin atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya
untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan
menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan
tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w,
dengan nada marah lantas ia berkata:
'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka
memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga,
mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan
kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu,
maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
ْ ‫ت َما أَ َح َّل هّللا ُ لَ ُك ْم َوالَ تَ ْعتَ ُد‬
َ‫وا إِ َّن هّللا َ ال‬ ْ ‫وا الَ تُ َحرِّ ُم‬
ِ ‫وا طَيِّبَا‬ ْ ُ‫ين آ َمن‬
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
َ ‫ي ُِحبُّ ْال ُم ْعتَ ِد‬
‫ين‬
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik
dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas,
karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas.
(QS. Al-Maidah: 87)

6.         Menikah itu Ciri Khas Makhluk Hidup

Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan
ciri dari makhluk hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluk-makhluk
ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.

َ ‫َو ِمن ُكلِّ َش ْي ٍء َخلَ ْقنَا َز ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر‬


‫ُون‬
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
10

2.6  Tujuan Nikah

Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan


syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini.
Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1.         Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

... ْ‫ب َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوج‬


ِ ‫يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk
menikah maka hendaknya ia menikah….”
2.         Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

‫ فَإِنِّي ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ُم اأْل ُ َم َم‬،‫تَ َز َّوج ُْوا ْال َو ُد ْو َد ْال َولُ ْو َد‬
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada
hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan
umat-umat yang lain.”
3.         Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya
dan pandangan isterinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan:

‫ك أَ ْز َكى لَهُ ْم إِ َّن‬ َ ‫ار ِه ْم َويَحْ فَظُ وا فُ ر‬


َ ِ‫ُوجهُ ْم َذل‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ين يَ ُغضُّ وا ِم ْن أَ ْب‬
َ ِ‫قُلْ لِ ْل ُم ْؤ ِمن‬
‫ظ َن‬ ْ َ‫ار ِه َّن َويَحْ ف‬
ِ ‫ْص‬َ ‫ت يَ ْغضُضْ َن ِم ْن أَب‬ِ ‫ َوقُلْ لِ ْل ُم ْؤ ِمنَا‬.‫ُون‬ َ ‫هللاَ َخبِي ٌر بِ َما يَصْ نَع‬
َ ‫فُر‬
‫ُوجه َُّن‬
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita
yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka
dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
11

2.7     Hikmah Nikah

1. Untuk menjaga kesinambungan generasi manusia.


2. Menjaga kehormatan dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara
syar'i.
3. Kerja sama suami-istri dalam mendidik dan merawat anak.
4. Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan
memperhatikan hak dan kewajiban.
2.8     Pemikiran Tentang Pencatatan Pernikahan di Indonesia.

Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada


tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya
peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang


pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Pasal 1 UU Perkawinan).

Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada


pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaannya itu
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan kepercayaannya
sudah dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan
perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah biaya yang mahal dan prosedur
berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan jejak dan bebas dari
tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk
perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan
tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah siri.
12

Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini
sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang
tidak tetap, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama
perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka
yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan
perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut
sama dengan anak yang lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut
hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai
hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak
mempunyai bapak.

Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan


perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti
kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan
dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan
dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan terjadinya
perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah
(penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.

2.9 Nikah Siri


             Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:
1.         Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia
(siri), dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena
menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin
memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-
ketentuan syariat.
2.        Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara.

             Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri adalah:


1.       Nikah siri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua
kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah
satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon pilihan mereka. Orang
13

tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu supaya tidak
diambil oleh orang lain.
2.        Nikah siri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu
atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah
mempunyai isteri atau suami yang resmi, tetapi ingin menikah lagi dengan
orang lain.
3.       Nikah siri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina.
Kekhawatiran karena hubungannya yang semakin hari semakin dekat,
menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang melanggar
syariah. Pernikahan siri dianggap sebagai jalan keluar yang mampu
menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya
zina.
4.         Nikah siri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan
secara sosial. Hal ini biasa dilakukan oleh para mahasiswa, disamping karena
khawatir terjadi zina, mereka masih kuliah, belum punya persiapan jika harus
terbebani masalah rumah tangga. Status pernikahan pun masih
disembunyikan supaya tidak menghambat pergaulan dan aktivitas dengan
teman-teman di kampus.
5.         Nikah siri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu
prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa
terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi dengan
komunitas jamaah tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau
pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk
urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya, pernikahan sudah
sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan, juga nikah siri dilakukan untuk
menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang berbelit-belit.
6.         Nikah siri dilakukan hanya untuk penjajakan dan menghalalkan hubungan
badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan
mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit di
persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat merendahkan posisi
perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan terhadap
lembaga pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
14

Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga,


dengan disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut UU ini, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1
UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan
terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9


tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan
untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan
selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun
1975” dengan dicatat di kantor catatan sipil. Pembahasan mengenai pernikahan di
bawah tangan ini menghasilkan dua jawaban:

1. Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara


resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak
dampak negatif atau mudharat.
2. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya
syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.
Dua jawaban di atas menunjukkan ketidaktegasan MUI dalam menanggapi
masalah nikah di bawah tangan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran
modern yang terus berjuang untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian
dari rukun nikah sehingga tidak terdapat kemudharatan dan dapat dijadikan
sebagai alat perlindungan terhadap wanita. Menurut Muhammad Quraish Shihab
setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia harus dicatatkan kepada
pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.
15

Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan


mengalami kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak
dapat menunjukkan bukti yang otentik tentang identitas pribadi seseorang.
Misalnya dalam keluarga, akta perkawinan mempunyai aspek hukum untuk
digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa kematian. Misalnya
seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga
orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris dari si
suami (yang meninggal).

Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah


isteri yang sah dari suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula
bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar
anak kandung yang sah (nasabnya kepada orang tuanya). Dalam hal ini, tidak
akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti otentik berupa akta perkawinan
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata lain, dapat dijelaskan
bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya
mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar
sebagai janda dari si suami yang telah meninggal dunia.

Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari


pencatatan nikah adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal
perkawinan dan nasab anak. Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber
adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum
dengan ayahnya pada saat terjadinya konflik dan pertengkaran yang berujung
dengan perceraian walau perceraian tersebut itu pun di bawah tangan juga.

2.10  Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.

Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :

1.    Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam
Indonesia secara nasional.
2.    Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke
daerah lain. (pasal 10)
16

Adapun tentang nikah di bawah tangan dijelaskan di dalam diskripsi


masalahnya bahwa nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah
“Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqih
(hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana
diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan


perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif (mudharat)
terhadap isteri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka
seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak
tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti
catatan resmi perkawinan yang sah.

Komisi fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan.


Selain untuk membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di
masyarakat. Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Nikah di
bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi
semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam). Namun,
nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan.

Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus


dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk
menolak dampak negatif atau al-mudharat (saddan li adz-dzari’ah). Pernikahan di
bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah,
tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak


secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum
dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah
memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat,
pernikahan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak luas,
antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
17

ِ َ‫اح َواضْ ِربُوا َعلَ ْي ِه بِ ْال ِغرْ ب‬


‫ال(رواه ابن ماجة عن‬ َ ‫أَ ْعلِنُوا هَ َذا النِّ َك‬
)‫عائشة‬
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).

ٍ ‫أَ ْولِ ْم َولَ ْو بِ َشا ٍة (رواه البخارى عن َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن ب ُْن َع ْو‬


)‫ف‬
Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor
kambing (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan,


pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan
tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara
muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan
dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan
dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak
yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan,
seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila


terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung
jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri
memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan
terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang
atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan
dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam
ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

ِ ‫الَ يُ ْن َك ُر تَ َغيُّ ُر ْاألَحْ َك ِام بِتَ َغي ُِّر ْاألَ ْز َم‬


‫ان‬
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.

Ibnu al-Qayyim menyatakan:


18

ِ ‫ب تَ َغي ُِّر ْاألَ ْز ِمنَ ِة َو ْاألَ ْم ِكنَ ِة َو ْاألَحْ َو‬


ِ ‫ال َوالنِّيَّا‬
‫ت‬ ْ ‫تَ َغيُّ ُر ْالفَ ْت َوى َو‬
ِ ‫اختِالَفُهَا بِ َح ْس‬
‫َو ْال َع َوائِ ِد‬
Perubahan  fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat,
keadaan, niat dan adat istiadat

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah


tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)

      Akad nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat
kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan,
mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk
dicatatkan.

Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau


kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya
apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan
tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan
hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan
anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu
prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
ٌ ‫لى الرَّ عِ َّي ِة َم ُن ْو‬
‫ط ِب ْال َمصْ لَ َحة‬ َ ‫صرُّ فُ ْاالِ َما ُم َع‬
َ ‫َت‬
Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan
kemaslahatan rakyatnya.
19

2.11      Hak Isteri atas Suami (yaitu hak isteri yang harus dipenuhi
oleh suami)
1)   Terkait kebendaan
Salah satunya adalah memberikan mahar. Karena mahar merupakan
keadilan dan keagungan bagi para wanita. Harta suami adalah harta isteri, harta
istri adalah miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
yang wajib, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa 4)
Kedua adalah memberikan belanja (nafkah). Memenuhi kebutuhan makan,
tempat tinggal, pakaian, pengobatan dan kadar nafkah yang harus diberikan
kepada isteri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.” (QS Al Baqarah 233)

2)   Hak bukan kebendaan (rohaniyah)


1. Mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah mereka (isteri-isterimu) secara baik. Kamu tidak menyukai
mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa 19)
2. Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati isterinya. Banyak
ditemukan suami yang menghardik isterinya karena tak bisa melampiaskan
kekesalan yang ada dalam hatinya.
3. Mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya
pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan dan mara
bahaya. Maka, jika dia adalah suami yang baik, dia tak akan pernah menjual
istrinya ke rumah-rumah bordil atau tampil seksi di depan umum hanya untuk
mendapatkan sesuap nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi seperti itu,
gugat cerailah, karena pernikahan seperti itu tak akan mendatangkan manfaat.
20

4. Mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suaminya.
5. Mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak. Kalau ada istri yang telah
menunaikan kewajibannya dengan baik sebagai maka suami TIDAK BOLEH
melarangnya untuk menghadiri majelis ilmu selama suami belum bisa
memenuhi kebutuhan tersebut.
6. Berlaku adil ketika melakukan poligami.

2.12 Hak Suami atas Isteri (Yaitu kewajiban yang harus dipenuhi
isteri kepada suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi isteri adalah hak yang sifatnya bukan benda,
karena isteri seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupkan kebutuhan hidup dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan isteri
tidak bekerja mencari nafkah. Hal ini dimaksudkan agar isteri dapat fokus
membina keluarga. Menjadi pengecualian jika tulang rusuk telah menjadi tulang
punggung keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar negeri
sedangkan suaminya diam di rumah, atau wanita sebagai janda yang dicerai atau
suaminya meninggal.
1. Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
2. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
3. Taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk melakukan
perbuatan maksiat.
4. Menjaga dirinya dan harta suaminya bila suaminya tidak ada di rumah.
5. Menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai suaminya.
Termasuk di dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya
ke rumah selama suami tidak ada.
6. Menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara
yang tidak enak didengar.
7. Tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang semakin
canggih izin lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media
yang lain.
21

2.13     Hak Bersama Suami Isteri


Telah dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja
dilarang untuk mendatangi isteri di saat haid, nifas,  ihram, dzihar (menyamakan
punggung isterinya seperti punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk
menggaulinya). Seorang suami yang mendzihar isterinya harus membayar kafarat
(denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut
jika ingin kembali pada isterinya.
1.      Hak untuk saling mendapatkan warisan.
2.      Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak.
3.      Suami isteri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan
warahmah. (Ar-Rum: 21)
4.      Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing
pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
5.      Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6.      Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7.      Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam rumah tangga
bagi suami isteri adalah memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir
dari pernikahan dan memelihara kehidupan pernikahan yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah.

Anda mungkin juga menyukai