Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MATA KULIAH

ASPEK HUKUM JASA KONSTRUKSI


Artikel Penyiapan dan Sertifikasi Tenaga Terampil (SKT) Jasa Konstruksi

Disusun Oleh:
Ardhi Bayu Nugroho 170523627067

PROGRAM S1 TEKNIK SIPIL


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
MARET 2020
PENYELENGGARAAN SKT DI INDONESIA

Abstrak

Tujuan sertifikasi kompetensi adalah memberikan pengakuan atas


kompetensi yang dimiliki oleh tenaga kerja. Namun, pada sektor konstruksi,
tenaga kerja konstruksi yang telah memiliki sertifikat kompetensi kerja masih
sedikit dibandingkan dengan jumlah total tenaga kerja konstruksi yang ada di
Indonesia. Jumlah tenaga kerja konstruksi yang memiliki sertifikat masih sedikit
yakni sampai dengan 2018, jumlah tenaga kerja yang bersertifikat sebesar 616
ribu orang yang terdiri atas 419 ribu tenaga kerja terampil dan 197 ribu tenaga
kerja ahli dari total tenaga kerja konstruksi sebesar 8,3 juta orang atau 7,4%.

PENDAHULUAN

Dunia konstruksi terus berubah seiring dengan perkembangan teknologi.


Oleh karenanya kecepatan perubahan teknologi harus bisa dikenali, dipelajari dan
dimengerti oleh SDM konstruksi Indonesia. dalam 4 tahun sebelumnya,
pembangunan infrastruktur menjadi fokus pemerintah dan pada tahun 2019 juga
dibarengi pengembangan SDM. Pada tahun 2019, Pemerintah Pusat berkolaborasi
dengan Pemerintah Daerah dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK)
menargetkan sebanyak 512.000 orang tenaga kerja konstruksi bersertifikat atau 10
kali lipat dari rata-rata capaian tahunan program sertifikasi dari 2015-2018,
sebanyak 50.000 orang sebagaimana sebelumnya diinstruksikan oleh Presiden
Joko Widodo.

sertifikasi kompetensi dilakukan untuk menghasilkan SDM atau tenaga


kerja konstruksi berkualitas. Hal itu sebagaimana tertuang pada Undang-Undang
Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 70 yang mengatur bahwa setiap
Pekerja Konstruksi yang bekerja di sektor Konstruksi wajib memiliki Sertifikat
Kompetensi Kerja. Pemerintah menyadari pentingnya peningkatan kapasitas SDM
masyarakat konstruksi Indonesia baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Dilansir laman Kementerian PUPR, Menteri Pekerjaan Umum dan


Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan akan menjalankan
Visi Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada Kabinet
Indonesia Maju priode 2020 – 2024.

Lima visi tersebut adalah mempercepat dan melanjutkan pembangunan


infrastruktur, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), undang investasi
seluas-luasnya untuk membuka lapangan pekerjaan, reformasi birokrasi, serta
penyerapan Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang fokus dan
tepat sasaran.

dalam melakukan pembangunan SDM pemerintah akan melakukan


pembangunan sarana pendidikan dan olahraga (sekolah, universitas, masjid,
stadion), pendidikan dan pelatihan vokasi, sertifikasi tenaga konstruksi, dan
pendirian Politeknik PU di Semarang.

Hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dapat diperoleh jika para


pelaku bidang jasa konstruksi memiliki kompetensi dan profesionalisme yang
tinggi sesuai bidang pekerjaannya. Salah satu upaya peningkatan kualitas
kompetensi dan profesionalisme adalah dengan sistem quality assurance dalam
bentuk sertifikasi. Sebagai tindak lanjut dari UU 18/1999, dalam Pasal 15 PP
28/2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, dinyatakan bahwa
tenaga kerja konstruksi harus mengikuti sertifikasi keterampilan kerja atau
sertifikasi keahlian kerja yang dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK).

PEMBAHASAN

Sertifikat Keterampilan adalah sertifikat yang diterbitkan LPJK dan


diberikan kepada tenaga terampil konstruksi yang telah memenuhi persyaratan
kompetensi berdasarkan disiplin keilmuan, kefungsian dan/atau keterampilan
tertentu. SKT sebagai persyaratan sertifikasi dan registrasi usaha jasa pelaksana
konstruksi (kontraktor) .

Hingga pada saat ini, terdapat sekitar 188 sertifikat dari berbagai bidang
Arsitek, Elektrikal, Mekanikal, Sipil, Tata Lingkungan serta yang lainnya yang
telah terbit. Kualifikasi tenaga terampil konstruksi terdiri ini biasanya dari Kelas I,
Kelas II, dan Kelas III.

Sertifikat Keterampilan ini juga bisa digunakan sebagai tindak lanjut


kepengurusan SBU atau Sertifikat Badan Usaha (SBU). Selain itu, biasanya
pengurusan sertifikat bisa diproses di tempat domisili atau berbagai daerah
tertentu. Juga, SKT ini juga bisa digunakan untuk tender dalam suatu proyek pada
bidang konstruksi yang akan dilakukan. Dengan adanya hal tersebut, tentu akan
lebih mudah dalam mengurusnya.

Kepemilikan SKT merupakan suatu kewajiban bagi para Tenaga Ahli,


terutama di bidang Konstruksi. Hal ini dikarenakan bahwa memiliki Sertifikat
Keahlian serta Keterampilan Kerja sudah tetcatat pada Peraturan Pemerintah
Indonesia, tepatnya pada UU Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999. Kepemilikan
SKT merupakan bentuk pertanggungjawaban serorang warga negara terhadap
keterampilan yang dimiliki juga sebagai warga Indonesia yang taat pada Negara.
Selain untuk menunjukan pertanggung jawaban terhadap negara, sertifikat
keterampilan ini juga adalah bagian dari bentuk pertanggungjawaban terhadap
masyarakat untuk memberikan jaminan supaya keahlian dan keterampilan yang
dimiliki tidak diragukan.

Kegiatan sertifikasi bertujuan agar tenaga kerja yang ada di Indonesia


termasuk di dalamnya tenaga kerja tingkatan tenaga terampil atau yang dikenal
sebagai tukang yang bekerja di jasa konstruksi memiliki pengakuan yang sahih
atas kompetensi yang dimilikinya. (KepMen NaKerTrans Nomor 31 Tahun 2014)
Pengakuan ini berupa sertifikat kompetensi kerja (Kusantati, 2012), (Mulyono &
Haryanto, 2012). Maka seharusnya tenaga kerja konstruksi wajib mengikuti
kegiatan tersebut (UU Nomor 2 tahun 2017). Namun kenyataan di lapangan
belum dilaksanakan sepenuhnya. Direktur Jendral Bina

Konstruksi Kementrian PUPR, Syarif Burhanudin mengatakan, baru


sekitar 10% atau 740.000 tenaga kerja konstruksi yang telah tersertifikasi dari 7,4
juta tenaga kerja konstruksi di seluruh Indonesia. Padahal pemerintah
menargetkan minimal jumlah tenaga kerja yang tersertifikasi di Indonesia dapat
mencapai minimal 3 juta orang. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa
masih minimnya tenaga kerja konstruksi yang telah memiliki sertifikat
kompetensi kerja. Penyebab minimnya tenaga kerja konstruksi yang telah
memiliki sertifikat kompetensi kerja dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 1 Faktor Penghambat Sertifikasi Kompetensi Kerja Bagi Tenaga


Terampil

Mayoritas reponden merasa keberatan dengan biaya pengurusan sertifikat


sebesar Rp 250.000 sehingga reponden enggan untuk melakukan sertifikasi
kompetensi kerja. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Adi &
Adillah (2012), yaitu biaya sertifikasi masih dianggap terlalu mahal.

Peningkatan kemampuan tenaga kerja konstruksi memerlukan upaya


pembinaan yang berkelanjutan agar menghasilkan tenaga kerja yang produktif dan
kompeten. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan keterampilan dan keahlian
melalui pelatihan yang berbasis pada kompetensi (Competency Based Training
/CBT). Dengan konsep pembinaan yang terarah, maka langkah yang perlu
dilakukan adalah menetapkan standar kompetensi kerja keterampilan/keahlian
tenaga kerja konstruksi menurut bidangnya masing-masing. Saat ini Pusat
Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi (Pus-bin KPK) Kementerian
Pekerjaan Umum, telah menghasilkan lebih dari 110 Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang konstruksi yang penekanannya pada
peningkatan kualitas dan profesionalitas tenaga kerja agar dapat diserap oleh pasar
kerja konstruksi.

Sertifikasi adalah proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan atas


kompetensi dan kemampuan dari seseorang, untuk memenuhi persyaratan
perundang-undangan melalui uji kompetensi (Nursyirwan, 2006 dan Moedjiman,
2007). Kompetensi merupakan salah satu akar permasalahan yang ada dalam
penyelenggaraan jasa konstruksi. Kompetensi sumber daya manusia yaitu tenaga
ahli dan terampil tentunya memerlukan persyaratan-persyaratan baku. Tujuan
sertifikasi adalah untuk memberikan jaminan terhadap keterampilan, kualitas dan
kemampuan kerja dari tenaga kerja konstruksi, sehingga mampu menghasilkan
produk konstruksi yang memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Adanya
sertifikasi ini diharapkan akan menjadi senjata ampuh bagi terbukanya akses-
akses kesempatan kerja di proyek konstruksi secara kompetitif di tingkat global
(Cahyono, 2005).

Evaluasi Penyelenggaraan Sertifikasi Keterampilan Kerja Konstruksi

Untuk mengukur tingkat keterampilan, maka setiap tenaga kerja


konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan yang didapat melalui ujian
sertifikasi keterampilan. Tujuan sertifikat adalah memberikan informasi objektif
kepada para pengguna jasa bahwa kompetensi tenaga kerja yang bersangkutan
memenuhi bakuan kompetensi yang ditetapkan untuk klasifikasi dan
kualifikasinya. UU No. 18/1999, tentang Jasa Konstruksi, menyatakan bahwa
semua pekerja konstruksi di Indonesia harus memiliki sertifikat kompetensi ahli
(SKA) atau sertifikat kompetensi terampil (SKT). Oleh sebab itu sudah
seharusnya seluruh tenaga kerja konstruksi baik yang bekerja di dalam maupun
luar negeri, mestinya berkewajiban untuk memiliki sertifikat. Dalam struktur jasa
konstruksi, tenaga kerja dikelompokkan menjadi tenaga ahli dan terampil, serta
buruh kasar. Kajian distribusi kelompok kerja tersebut memberikan data bahwa
kelompok tenaga ahli sekitar 8%, kelompok tenaga terampil sekitar 30%, dan
kelompok buruh kasar adalah sisanya.
Dua kelompok pertama berdasarkan UU 18/1999 dan PP 28/2000 wajib
memiliki sertifikat. Artinya, dari 4.397.000 jiwa pekerja konstruksi, sebanyak
1.671.000 jiwa wajib memiliki sertifikat. Namun faktanya, kinerja (performance)
penyelenggaraan sertifikasi terhadap tenaga ahli maupun tenaga terampil masih
memprihatinkan. Sampai saat ini baru 107.562 orang tenaga kerja konstruksi yang
bersertifikat (sekitar 6,46%). Jumlah tersebut terdiri atas 29.417 jiwa yang
memiliki sertifikat keahlian (SKA) dan 78.145 jiwa yang memiliki sertifikat
keterampilan kerja (SKT).

KESIMPULAN

Pemerintah telah berusaha dalam meningkatkan Keterampilan Sumber


Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Namun, dalam penerapannya kurang efektif
baik dari segi biaya, penjaminan mutu, pengakuan dengan pihak luar.

Tenaga terampil memiliki persepsi yang kurang baik terhadap sertifikasi


kompetensi kerja. Tenaga terampil menganggap bahwa biaya sertifikasi terlalu
mahal. Selain itu Ada beberapa permasalahan yang menyebabkan jumlah tenaga
kerja konstruksi yang bersertifikat masih sangat rendah, yaitu :

a. Tidak adanya jaminan mutu serta efek (pengaruh) di dalam


pelaksanaan pekerjaan bagi tenaga kerja yang telah mengikuti sertifikasi.

b. Tidak adanya ketentuan yang memaksa bagi tenaga kerja untuk


memiliki sertifikat keterampilan (tidak ada penegakan hukum), baik yang akan
bekerja di dalam negeri maupun ke luar negeri.

c. Biaya untuk sertifikasi dianggap mahal bagi tenaga kerja


konstruksi pada tingkatan tukang yang upahnya relatif rendah.

d. Sertifikat keterampilan yang dikeluarkan oleh Badan Sertifikasi


Kompetensi di Indonesia belum diakui oleh negara-negara pengguna tenaga kerja
asal Indonesia.
SARAN

Diperlukan implementasi strategi, koordinasi dan pengembangan


lebih lanjut untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja konstruksi. baik
dari segi biaya, penjaminan mutu, pengakuan dengan pihak luar.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, D., 2008. Kebijakan Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi,


www.seputarindonesia.com, Kamis 25 Maret 2020, diunduh 25 Maret
2020.

BPKSDM, 2006. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia Butuh Pengakuan,


www.bpksdm.pu.go.id, diunduh tanggal 25 Maret 2020.

Cahyono, A., 2005. Sertifikat Profesi, Kebutuhan atau Sekedar


Persyaratan, Consulting Edisi 06/VIII/2005, Semarang.

Febriarso, P., 2008. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja dengan


Metode Performance Prism, Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 340, 2007. Penetapan Standar


Kompetensi Kerja Tenaga Terampil dan Tenaga Ahli, Departemen
Pekerjaan Umum.

Kuruvila, S., and Chua, R., 2000. How Do Nations Develops Skills?
Lessons from The Skills Development Experiences of Singapore,
Working Paper, Cornell University.

Moedjiman, M., 2007. Badan Nasional Sertifikasi Pekerja Tonggak


Reformasi SDM di Indonesia, www.nakertrans.go.id, diunduh 25
Maret 2020.

Nursyirwan, Iwan, 2006. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia Perlu


Pengakuan, Buletin BPKSDM Departemen Pekerjaan Umum Vol. 3.

Anda mungkin juga menyukai