Anda di halaman 1dari 23

Apr

10

ASKEP ILEUS OBSTRUKSI


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Ileus obstruksi  adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus
intestinal. Obstruksi usus dapat akut atau kronis, parsial atau total (komplit), keperahannya
tergantung pada usus yang terkena, derajat dimana lumen tersumbat dan khususnya derajar
dimana sirkulasi darah dalam dinding usus terganggu.
Ileus obstruktif adalah blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus, dan
makanan, dapat secara mekanis atau fungsional. Ileus obstruktif adalah kerusakan parsial atau
komplit ke arah depan dari isi usus. Obstruksi pada ileus sering terjadi karena mempunyai
segmen yang paling sempit. Ileus obstruksi adalah keadaan dimana usus terjadi sumbatan
mencegah aliran normal dari susu melalui saluran usus yang dapat bersifat parsial atau
komplit. Abstrak Ileus obstruktif merupakan gangguan pasase usus oleh sebab adanya
sumbatan atau obstruksi dan sebab lain yang menyebabkan menyempitnya atau tersumbatnya
lumen usus.

1.2  Rumusan Masalah


1.      Apa pengertian dari ileus obstruksi?

1.3  Tujuan Penulisan


1.      Agar mahasiswa tahu dan mengerti tentang ileus obstruksi
2.      Agar mahasiswa tahu dan mengerti patofisiologi ileus obstruksi
3.      Agar mahasiswa tahu dan mengerti tentang cara penanganan terhadap pasien dengan
penyakit ileus obstruksi
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Medik
1.      Definisi
a.       Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus pada traktus
intestinal (Price & Wilson, 2007).
b.      Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana
 merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus
(Sabara, 2007 dikutip dari (http://www.Files-of-DrsMed.tk ).
c.       Ileus obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran normal
isi usus sedangkan peristaltiknya normal (Reeves, 2005 dikutip dari (http://www.Files-of-
DrsMed.tk).
d.      Obstruksi Ilius adalah gangguan aliran isi usus yang bisa disebabkan oleh adanya mekanik
dan non mekanik sehingga terjadi askumuli cairan dan gas di lumen usus.
2.      Anatomi dan Fisiologi
a.       Anatomi
Usus halus membentang dari pylorus hingga katup ileosekal. Panjang usus halus
sekitar 12 kaki atau 3,6 meter . usus ini mengisi bagian tengah dan rongga abdomen. Ujung
proksimalnya berdiameter sekitar 3,8 cm tetapi makin kebawah garis tengahnya semakin
berkurang sampai menjadi sekitar dua cm. usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum dan
ileum.
Panjang duedonum sekitar 25 cm mulai dari pylorus sampai jejunum. Pemisahan duodenum
dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum treitz yaitu suatu pita muskulo fibrosa yang
berperan sebagai Ligamentum Suspensorium (penggantung). Sekitar 2/5 dari usus halus
adalah jejunum, Jejunum terletak diregio mid abdominalis sinistra dan ileum terletak di regio
mid abdominalis dextra sebelah bawah. Tiga  perlima bagian akhir adalah ileum. Masuknya
kimus kedalam usus halus diatur oleh spingther pylorus, sedangkan pengeluaran zat yang
telah tercerna kedalam usus besar yang diatur oleh katup ileus sekal. Katup illeus sekal juga
mencegah terjadinya refluk dari usus besar ke dalam usus halus. Apendik fermivormis yang
berbentuk tabung buntu berukuran sebesar jari kelingking terletak pada daerah illeus sekal
yaitu pada apeks sekum.
Dinding usus halus terdiri dari empat lapisan dasar yang paling luar dibentuk oleh
peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan visceral dan parietal. Ruang yang terletak
diantara lapisan-lapisan ini disebut sebagai rongga peritoneum. Omentum memilik lipatan-
lipatan yang diberi nama yaitu mesenterium yang merupakan lipatan peritoneum lebar
menyerupai kipas yang menggantung jejenum dan ileum dari dinding posterior abdomen, dan
memungkinkan usus bergerak dengan leluasa.  Omentum majus merupakan lapisan ganda
peritoneum yang menggantung dari kurva tura mayor lambung dan berjalan turun kedepan
visera abdomen. Omentum biasanya mengandung banyak lemak dan kelenjar limfe yang
membantu melindungi peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus merupakan lipatan
peritoneum yang terbentuk dari kurvatura lambung dan bagian atas duodenum menuju ke
hati, membentuk ligamentum suspensorium hepatogastrika dan ligamentum
hepatoduodenale .
            Usus halus mempunyai dua lapisan lapisan luar terdiri dari serabut serabut
longitudinal yang lebih tipis dan lapisan dalam terdiri atas serabut serabut sirkuler. Penataan
yang demikian membantu gerakan peristaltic usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas
jaringan ikat sedangkan lapisan mukosa bagian dalam tebal serta banyak mengandung
pembuluh darah dan kelenjar yang berfungsi sebagai absorbsi. Lapisan mukosa dan sub
mukosa membentuk lipatan-lipatn sirkuler yang disebut sebgai valvula coniventes atau
lipatan kercking yang menonjol kedalam lumen sekitar tiga sampai sepuluh millimeter. Villi
merupakan tonjolan-tonjolan mukosa seperti jari-jari yang jumlahnya sekitar 4 atau 5 juta
yang terdapat di sepanjang usus halus, dengan panjang 0,5 sampai 1,5 mm. Mikrovilli
merupakan tonjolan yang menyerupai jari-jari dengan panjang sekitar 1 mm pada permukaan
luar setiap villus. Valvula coni ventes vili dan mikrovilli sama sama-menambah luas
permukaan absorbsi hingga 1,6 juta cm2.
b.      Fisiologi
            Usus halus memepunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan  dan absorbsi bahan-
bahan nutrisi dan air. Proses pencernaan yaitu proses pemecahan makanan menjadi bentuk
yang dapat tercerna melalui kerja berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal. Proses
pencernaan dimulai dari mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, HCL, Pepsin, mucus dan
lipase lambung terhadap makanan yang masuk. Proses ini berlanjut dalam duodenum
terutama oleh kerja enzim-enzim pancreas yang menghindrolisis karbohidrat, lemak dan
protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Mucus memberikan perlindungan terhadap
asam sekeresi empedu dari hati membantu proses pemecahan dengan mengemulsikan lemak.
Sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pancreas.
Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaaan karbohidrat, lemak dan protein
melalui dinding usus kedalam sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh.
Selain itu juga diabsorbsi air, elektrolit dan vitamin. Walaupun banyak zat yang diabsorbsi
disepanjang usus halus namun terdapat tempat tempat absorbsi khusus bagi zat-zat gizi
tertentu. Absorbsi gula, asam amino dan lemak hampir selesai pada saat kimus mencapai
pertengahan jejunum. Besi dan kalsium sebagian besar diabsorbsi dalam duodenum dan
jejunum. Dan absorbsi kalium memerlukan vitamin D, larut dalam lemak (A,D,E,K) diabsorsi
dalam duodenum dengan bantuan garan-garam empedu. Sebagian besar vitamin yang larut
dalam air diabsorbsi dalam usus halus bagian atas. Absorbsi vitamin B12 berlangsung dalam
ileum terminalis melalui mekanisme transport usus yang membutuhkan factor intrinsic
lambung. Sebagian asam empedu yang dikeluarkan kantung empedu kedalam duodenum
untuk membantu pencernaan lemak akan di reabsorbsi dalam ileum terminalis dan masuk
kembali ke hati. Siklus ini disebut sebagai sirkulasi entero hepatic garam empedu, dan sangat
penting untuk mempertahankan cadangan empedu.
(Sabara, 2007 dikutip dari (http://www.Files-of-DrsMed.tk)
3.      Etiologi
a.       Adhesi (perlekatan usus halus)  merupakan  penyebab  tersering  ileus  obstruktif,  sekitar 50-
70%  dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal
sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi
berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya.
Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak.
b.      Hernia  inkarserata  eksternal ( inguinal, femoral, umbilikal, insisional,  atau  parastomal )
merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif, dan merupakan
penyebab tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia
interna (paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow) juga bisa
menyebabkan hernia.
c.       Neoplasma.Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen, sedangkan
tumor metastase atau tumor intra abdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui kompresi
eksternal.
d.      Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang
mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat
sebagai petunjuk awal adanya intususepsi.
e.       Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama masa
infeksi atau karena striktur yang kronik.
f.       Volvulus sering  disebabkan oleh  adhesi  atau  kelainan  kongenital, seperti  malrotasi  usus.
Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.
g.      Batu   empedu   yang    masuk   ke  ileus.  Inflamasi   yang   berat     dari   kantong   empedu
menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang menyebabkan
batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus
halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan
obstruksi.
h.      Striktur yang  sekunder yang berhubungan dengan  iskhemia, inflamasi,  terapi radiasi, atau
trauma operasi.
i.        Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan.
j.        Benda asing, seperti bezoar.
k.      Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre.
l.        Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon
kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium
 (Sabara, 2007 dikutip dari (http://www.Files-of-DrsMed.tk)
4.      Insiden
       Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus obstruksi
(Davidson, 2006 dikuti dari (http://www.Files-of-DrsMed.tk).
Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderita ileus obstruksi setiap tahunnya
(Jeekel, 2008 dikutip dari (http://www.Files-of-DrsMed.tk ).
Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat
inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank data Departemen
Kesehatan Indonesia.

5.      Jenis – jenis Obstruksi


Terdapat 2 jenis obstruksi :
a.       Obstruksi paralitik (ileus paralitik)
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi
kontrol otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan
kondisi tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.
b.      Obstruksi mekanik
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik. Obstruksi
mekanik digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu tempat obstruksi) dan
obstruksi lengkung tertutup (paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak dapat
didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan cepat, mengakibatkan penekanan
pebuluh darah, iskemia dan infark (strangulasi) sehingga menimbulkan obstruksi strangulate
yang disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini mengganggu suplai
darah, kematian jaringan dan menyebabkan gangren dinding usus.
 (Sabara, 2007 dikutip dari (http://www.Files-of-DrsMed.tk)
6.      Patofisiologi
Semua peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa
memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau non mekanik.
Perbedaan utama adalah pada obstruksi paralitik peristaltik dihambat dari permulaan,
sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten,
dan akhirnya hilang. Sekitar 6-8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari.
Sebagian besar cairan diasorbsi sebelum mendekati kolon. Perubahan patofisiologi utama
pada obstruksi usus adalah adanya lumen usus yang tersumbat, ini  menjadi tempat
perkembangan bakteri sehingga terjadi akumulasi gas dan cairan (70% dari gas yang
tertelan). Akumulasi gas dan cairan dapat terjadi di bagian proksimal atau distal usus.
Apabila akumulasi terjadi di daerah distal mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intra abdomen dan intra lumen. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya peningkatan
permeabilitas kapiler dan ekstravasasi air dan elektrolit di peritoneal. Dengan peningkatan
permeabilitas dan ekstravasasi menimbulkan retensi cairan di usus dan rongga peritoneum
mengakibatakan terjadi penurunan sirkulasi dan volume darah. Akumulasi gas dan cairan di
bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus sehingga terjadi distensi abdomen. Terjadi
penekanan pada vena mesenterika yang mengakibatkan kegagalan oksigenasi dinding usus
sehingga aliran darah ke usus menurun, terjadilah iskemi dan kemudian nekrotik usus. Pada
usus yang mengalami nekrotik terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan pelepasan
bakteri dan toksin  sehingga terjadi perforasi. Dengan adanya perforais akan menyebabkan
bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga terjadi sepsis dan peritonitis.
Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen adalah penurunan fungsi usus dan
peningkatan sekresi sehingga terjadi peminbunan di intra lumen secara progresif yang akan
menyebabkan terjadinya retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan
elektrolit. Bila hal ini tidak ditangani dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan
cairan dan elektrolit yang berlebih berdampak pada penurunanan curah jantung sehingga
darah yang dipompakan tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh tubuh sehingga terjadi
gangguan perfusi jaringan pada otak, sel dan ginjal. Penurunan perfusi dalam sel
menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang akan meningkatkan asam laktat dan
menyebabkan asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak akan menyebabkan hipoksia jaringan
otak, iskemik dan infark. Bila terjadi pada ginjal akan merangsang pertukaran natrium dan
hydrogen di tubulus prksimal dan pelepasan aldosteron, merangsang sekresi hidrogen di
nefron bagian distal sehingga terjadi peningaktan reabsorbsi HCO3- dan penurunan
kemampuan ginjal untuk membuang HCO3. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis
metabolic. (Price &Wilson, 2007)

WOC ILEUS
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
                                              
 

7.      Manifestasi Klinik


a.       Mekanik sederhana – usus halus atas
Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah, peningkatan
bising usus, nyeri tekan abdomen.
b.      Mekanik sederhana – usus halus bawah
Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat, bising usus meningkat, nyeri tekan
abdomen.
c.       Mekanik sederhana – kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir, kemudian terjadi
muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.
d.      Obstruksi mekanik parsial
Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya kram nyeri
abdomen, distensi ringan dan diare.
e.       Strangulasi
Gejala berkembang dengan cepat: nyeri hebat, terus menerus dan terlokalisir, distensi sedang,
muntah persisten, biasanya bising usus menurun dan nyeri tekan terlokalisir hebat. Feses atau
vomitus menjadi berwarna gelap atau berdarah atau mengandung darah samar. (Price
&Wilson, 2007)
  Terdapat 4 tanda  kardinal  gejala ileus obstruktif  (Winslet,  2002;  Sabiston,1995)
1.      Nyeri abdomen
2.      Muntah
3.      Distensi
4.      Kegagalan buang air besar atau gas(konstipasi).
  Gejala  ileus  obstruktif  tersebut  bervariasi  tergantung  kepada  (Winslet,2002; Sabiston,1995).
1.      Lokasi obstruksi
2.      Lamanya obstruksi
3.      Penyebabnya
4.      Ada atau tidaknya iskemia usus

8.      Pemeriksaan Penunjang


a.       Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
b.      Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid yang
tertutup.
c.       Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah, peningkatan hitung SDP
dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase karena
iritasi pankreas oleh lipatan usus.
d.      Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolic.
( Brunner and Suddarth, 2002 ) dan ( Sabara, 2007 dikutip dari http://www.Files-of-
DrsMed.tk )
9. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan,
menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok
bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus
kembali normal.
a.       Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda vital, dehidrasi dan
syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan
keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon
terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda - tanda vital dan jumlah urin yang
keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube
(NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila
muntah dan mengurangi distensi abdomen.
b.      Farmakologis
Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis.
Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
c.       Operatif          
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis
sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang
disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau
pertimbangan untuk dilakukan operasi: Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu simple
obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi
maka reseksi intestinal sangat diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan
bedah yang dilakukan pada obstruksi ileus:
1)      Koreksi sederhana (simple correction).
Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya
pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2)      Tindakan operatif by-pass.
Membuat saluran usus baru yang “melewati” bagian usus yang tersumbat, misalnya pada
tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3)      Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi, misalnya pada
Ca stadium lanjut.
4)      Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus untuk
mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinoma colon, invaginasi,
strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan
tindakan operatif  bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan
penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja,
kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis. 
(Sabara, 2007 dikutip dari (http://www.Files-of-DrsMed.tk ).
10.  Komplikasi
a.       Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada
organ intra abdomen.
b.      Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat.
c.       Syok-dehidrasi, terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
d.      Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, karena absorbsi toksin
dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra
abdomen.
e.       Pneumonia aspirasi dari proses muntah,
f.       Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit pada usus.
g.      Kematian ( Brunner and Suddarth, 2002 ) dan ( Sabara, 2007 dikutip dari (http://www.Files-
of-DrsMed.tk ).

2.2  Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1.      Pengkajian
1)      Identitas klien
Nama               : Ny. R
Umur               : 36 tahun
Jenis kelamin   : perempuan
Suku/Bangsa   : Banjar/Indonesia
Agama             : islam
Pendidikan      : SMU
Alamat            : Jl. Veteran Gang Prona I RT 24 No. 30 Banjarmasin
Diagnosa medis : Ileus obstruksi       
Penanggung jawab: Tn. H(suami)

2)      Keluhan utama pasien


Nyeri pada daerah luka post operasi.

3)      Riwayat penyakit sekarang (sesuai pola PQRST)


Klien masuk RS tanggal 28 Mei 2003 jam 18.00 Wita dan langsung dilakukan operasi cyto
jam 21.00 Wita. Saat pengkajian tanggal 29 Mei 2003 klien mengeluh nyeri pada daerah luka
post operasi seperti diiris-iris dan ditusuk-tusuk, nyeri terasa sampai ke samping kiri/ kanan
perut nyeri lebih terasa apabila klien melakukan pernafasan perut. Nyeri ilang apabila klien
tenang dan tidak merasa tegang pada daerah perut. Intensitas nyeri ± 3 – 5 menit.

4)      Riwayat penyakit dahulu.


Klien pernah menderita penyakit yang sama dengan riwayat operasi 2 kali yaitu pada tahun
2001 di RSUD Ulin, 2002 di RS Islam dan yang terakhir di RSUD Ulin, tidak ada riwayat
hypertensi, penyakit menular ataupun keganasan.

5)     Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada diantara anggota keluarga yang mengalami sakit seperti klien, tidak ada diantara
keluarga yang mempunyai riwayat hypertensi, penyakit menular atau keganasan.

  Diagnostik Test
1)      Pemeriksaan sinar X: akan menunjukkan kuantitas abnormal   dari gas dan cairan dalam
usus.
2)      Pemeriksaan simtologi
3)      Hb dan PCV: meningkat akibat dehidrasi
4)      Leukosit: normal atau sedikit meningkat
5)      Ureum dan eletrolit: ureum meningkat, Na+ dan Cl-  rendah
6)      Rontgen toraks: diafragma meninggi akibat distensi abdomen
7)      Rontgen abdomen dalam posisi telentang: mencari penyebab (batu empedu, volvulus,
hernia).
8)      Sigmoidoskopi: menunjukkan tempat obstruktif.  (Doenges, Marilynn E, 2000)

Pemeriksaan fisik pada pasien ileus obstruksi


1.      Inspeksi
Dapat  ditemukan  tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan  turgor  kulit  maupun  mulut  dan  lidah  kering.  Pada  abdomen
harus  dilihat  adanya distensi, parut abdomen,  hernia dan massa abdomen.
Terkadang  dapat  dilihat  gerakan  peristaltik  usus  (Gambar  2.4)  yang  bisa
bekorelasi  dengan  mulainya  nyeri  kolik  yang  disertai  mual  dan  muntah. Penderita 
tampak  gelisah  dan  menggeliat  sewaktu  serangan  kolik (Sabiston, 1995; Sabara, 2007)
2.      Palpasi
Pada  palpasi  bertujuan  mencari  adanya  tanda  iritasi  peritoneum
apapun  atau  nyeri  tekan,  yang  mencakup  ‘defance  musculair’  involunter
atau  rebound  dan  pembengkakan  atau  massa  yang  abnormal  (Sabiston, 1995; Sabara,
2007).
3.      Auskultasi
Pada  ileus  obstruktif  pada  auskultasi  terdengar  kehadiran  episodik
gemerincing  logam  bernada  tinggi  dan  gelora  (rush’)  diantara  masa
tenang.  Tetapi setelah  beberapa  hari   dalam  perjalanan  penyakit dan usus
di  atas  telah  berdilatasi,  maka  aktivitas  peristaltik  (sehingga  juga  bising
usus)  bisa  tidak  ada  atau  menurun  parah.  Tidak  adanya  nyeri  usus  bisa
juga  ditemukan  dalam  ileus  paralitikus  atau  ileus  obstruksi  strangulata
(Sabiston, 1995).
 Bagian  akhir  yang  diharuskan  dari  pemeriksaan  adalah  pemeriksaan  rektum
dan  pelvis.  Ia  bisa  membangkitkan  penemuan  massa  atau  tumor  serta  tidak
adanya  feses  di  dalam  kubah  rektum  menggambarkan  ileus  obstruktif  usus
halus.  Jika  darah  makroskopik  atau  feses  postif  banyak  ditemukan  di  dalam
rektum,  maka  sangat  mungkin  bahwa  ileus  obstruktif  didasarkan  atas  lesi
intrinsik  di  dalam  usus  (Sabiston,  1995).  Apabila  isi  rektum  menyemprot;
penyakit Hirdchprung (Anonym, 2007).
2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak adequat dan
ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya mual, muntah, demam
dan diaforesis.
b.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
c.       Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
d.      Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus.
e.       Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
f.       Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
(Doengoes, Marilynn E. 2000) dan ( Sabara, 2007 dikutip dari http://www.Files-of-
DrsMed.tk )

3. Perencanaan Keperawatan
a.       Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak adequat dan
ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya mual, muntah, demam
dan diaforesis.
Tujuan :
Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi, Mempertahankan hidrasi adekuat dengan bukti
membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler baik, tanda-tanda vital
stabil, dan secara individual mengeluarkan urine dengan tepat.
        Kriteria hasil:
1.      Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD: 110/70 -120/80 mmHg)
2.      Intake dan output cairan seimbang
3.      Turgor kulit elastic
4.      Mukosa lembab
5.      Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K: 3,5-5,5 mmol/L, Cl: 94-111
mmol/L).
Intervensi Rasional
1.  Kaji kebutuhan cairan pasien 1.  Mengetahui kebutuhan cairan pasien.

2.  Perubahan yang drastis pada tanda-


2.  Observasi tanda-tanda vital: N, TD, P, tanda vital merupakan indikasi
S kekurangan cairan.
Intervensi Rasional
3.  kekurangan cairan dan elektrolit dapat
mempengaruhi tingkat kesadaran dan
3.  Observasi tingkat kesadaran dan tanda- mengakibatkan syok.
tanda syok 4.  Menilai fungsi usus

5.  Menilai  keseimbangan cairan


4.  Observasi bising usus pasien tiap 1-2
jam 6.  Menilai keseimbangan cairan dan
5.  Monitor intake dan output secara ketat elektrolit
6.  Pantau hasil laboratorium serum7.  Meningkatkan  pengetahuan pasien dan
elektrolit, hematokrit keluarga serta kerjasama antara
7.  Beri penjelasan kepada pasien dan perawat-pasien-keluarga.
keluarga tentang tindakan yang8.  Memenuhi  kebutuhan cairan dan
dilakukan: pemasangan NGT dan elektrolit pasien.
puasa.
8.  Kolaborasi dengan medik untuk
pemberian terapi intravena

b.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
Tujuan :
 Berat badan stabil dan nutrisi teratasi.
         Kriteria hasil :
1.      Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.       
2.      Berat badan stabil.
3.      Pasien tidak mengalami mual muntah. 

Intervensi Rasional
1.  Tinjau faktor-faktor individual1.    Mempengaruhi pilihan intervensi.
yang mempengaruhi kemampuan
untuk mencerna makanan, mis:
status puasa, mual, ileus paralitik
setelah selang dilepas. 2.     Menentukan kembalinya
2.     Auskultasi bising usus; palpasi   peristaltik ( biasanya dalam 2-4 hari
Intervensi Rasional
abdomen; catat pasase flatus. ).
3.  Identifikasi kesukaan 3.    
/ Meningkatkan kerjasama pasien
ketidaksukaan diet dari pasien. dengan aturan diet. Protein/vitamin
Anjurkan pilihan makanan tinggi C adalah kontributor utuma untuk
protein dan vitamin C. pemeliharaan jaringan dan
perbaikan. Malnutrisi adalah fator
dalam menurunkan pertahanan
terhadap infeksi.
4.     Sindrom malabsorbsi dapat
terjadi setelah pembedahan usus
4.  Observasi terhadap terjadinya halus, memerlukan evaluasi lanjut
diare; makanan bau busuk dan  dan perubahan diet, mis: diet
berminyak. rendah serat.
5.     Mencegah muntah. Menetralkan
atau menurunkan pembentukan
5.  Kolaborasi dalam pemberian asam untuk mencegah erosi
obat-obatan sesuai indikasi: mukosa dan kemungkinan ulserasi.
Antimetik, mis: proklorperazin
(Compazine). Antasida dan
inhibitor histamin, mis: simetidin
(tagamet).

c.       Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan :
pola nafas menjadi efektif
         Kriteria hasil :
pasien memiliki pola pernafasan: irama vesikuler, frekuensi: 18-20x/menit

Intervensi Rasional
1.  Observasi TTV: P, TD, N,S 1.      Perubahan pada pola nafas akibat
adanya distensi abdomen dapat
mempengaruhi peningkatan hasil
TTV.
Intervensi Rasional

2.  Kaji status pernafasan: pola,


2.      Adanya distensi pada abdomen
frekuensi, kedalaman dapat menyebabkan perubahan pola
nafas.
3.  Kaji bising usus pasien 3.      Berkurangnya/hilangnya bising
usus menyebabkan terjadi distensi
abdomen sehingga mempengaruhi
pola nafas.
4.  Tinggikan kepala tempat tidur 40-
4.      Mengurangi penekanan pada paru
60 derajat akibat distensi abdomen.
5.  Observasi adanya tanda-tanda
5.      Perubahan pola nafas akibat
hipoksia jaringan perifer: cianosis adanya distensi abdomen dapat
menyebabkan oksigenasi perifer
terganggu yang dimanifestasikan
dengan adanya cianosis.
6.  Monitor hasil AGD 6.      Mendeteksi adanya asidosis
respiratorik.
7.  Berikan penjelasan kepada
7.      Meningkatkan pengetahuan dan
keluarga pasien tentang penyebab kerjasama dengan keluarga pasien.
terjadinya distensi abdomen yang
dialami oleh pasien
8.  Laksanakan program medic
8.      Memenuhi kebutuhan oksigenasi
pemberian terapi oksigen pasien

d.      Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola eliminasi kembali normal.
         Kriteria hasil:
Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari, dengan konsistensi lembek, BU normal: 5-35 x/menit,
tidak ada distensi abdomen.
Intervensi Rasional
1.  Kaji dan catat frekuensi, warna1. Mengetahui  ada atau tidaknya
Intervensi Rasional
dan konsistensi feces kelainan yang terjadi pada
eliminasi fekal.
2.  Auskultasi bising usus 2. Mengetahui normal atau tidaknya
pergerakan usus.

3.  Kaji adanya flatus 3. Adanya flatus menunjukan


perbaikan fungsi usus.
4.  Kaji adanya distensi abdomen 4. Gangguan motilitas usus dapat
menyebabkan akumulasi gas di
dalam lumen usus sehingga terjadi
distensi abdomen.
5.  Berikan penjelasan kepada pasien 5. Meningkatkan pengetahuan pasien
dan keluarga penyebab terjadinya dan keluarga serta untuk
gangguan dalam BAB meningkatkan kerjasana antara
perawat-pasien dan keluarga.
6.  Kolaborasi dalam pemberian 6. Membantu dalam pemenuhan
terapi pencahar (Laxatif) kebutuhan eliminasi

e.  Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan :
rasa nyeri teratasi atau terkontrol

         Kriteria hasil:


pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat dapat
ditoleransi, menunjukkan relaks.

Intervensi Rasional
1.      Observasi TTV: N, TD, HR, P
1.      Nyeri hebat yang dirasakan
tiap shif pasien akibat adanya distensi
abdomen dapat menyebabkan
peningkatan hasih TTV.
2.      Kaji keluhan nyeri, karakteristik
2.      Mengetahui kekuatan nyeri yang
dan skala nyeri yang dirasakan dirasakan pasien dan menentukan
Intervensi Rasional
pesien sehubungan dengan adanya tindakan selanjutnya guna
distensi abdomen mengatasi nyeri.
3.      Berikan posisi yang nyaman:
3.      Posisi yang nyaman dapat
posisi semi fowler mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan pasien
4.      Ajarkan dan anjurkan tehnik
4.      Relaksasi dapat mengurangi rasa
relaksasi tarik nafas dalam saat nyeri
merasa nyeri
5.      Anjurkan pasien untuk
5.      Mengurangi nyeri yang
menggunakan tehnik pengalihan dirasakan pasien.
saat merasa nyeri hebat.
6.      Kolaborasi dengan medic untuk
terapi analgetik 6.      Analgetik dapat mengurangi rasa
nyeri

f.       Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


Tujuan:
Kecemasan teratasi.
         Kriteria hasil :
pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan  mendemonstrasikan
keterampilan koping positif.
Intervensi Rasional
1.      Observasi adanya peningkatan
1.      Rasa cemas yang dirasakan
kecemasan: wajah tegang, gelisah pasien dapat terlihat dalam
ekspresi wajah dan tingkah laku.
2.      Kaji adanya rasa cemas yang
2.      Mengetahui  tingkat kecemasan
dirasakan pasien pasien.
3.      Berikan penjelasan kepada
3.      Dengan mengetahui tindakan
pasien dan keluarga tentang yang akan dilakukan akan
tindakan yang akan dilakukan mengurangi tingkat kecemasan
sehubungan dengan keadaan pasien dan meningkatkan
penyakit pasien kerjasama
4.      Berikan kesempatan pada pasien
4.      Dengan mengungkapkan
Intervensi Rasional
untuk mengungkapkan rasa takut kecemasan akan mengurangi rasa
atau kecemasan yang dirasakan takut/cemas pasien
5.      Pertahankan lingkungan yang
tenang dan tanpa stres. 5.      Lingkungan yang tenang dan
nyaman dapat mengurangi stress
pasien berhadapan dengan
6.      Dorong dukungan keluarga dan penyakitnya
orang terdekat untuk memberikan6.      Support system dapat mengurani
support kepada pasien rasa cemas dan menguatkan pasien
dalam memerima keadaan
sakitnya.
(Doengoes, Marilynn E. 2000) dan ( Sabara, 2007 dikutip dari (http://www.Files-of-
DrsMed.tk )

4.                  Evaluasi
Hasil yang diharapkan sesuai diagnose keperawatan
1.      Tidak ada atau nyeri abdomen berkurang
2.      Menunjukkan tanda-tanda keseimbangan cairan elektrolit
3.      Membuat pola eliminasi sesuai kebutuhan fisik dan gaya hidup dengan ketetapan jumlah dan
konsistensi
4.      Mendapat nutrisi yang optimal
5.      Tidak adanya depresi pernafasan
6.      Tidur/istirahat tidak ada gangguan
7.      Tidak mengalami komplikasi dengan suhu batas normal
8.      Menunjukkan rileks dan tidak cemas
9.      Memperoleh pemahaman dan pengetahuan tentang proses penyakitnya
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana
merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi
usus. Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa
memandang apakah obtruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional.
Perbedaan utamanya pada obstruksi paralitik dimana peristaltik dihambat dari permulaan,
sedangkan pada obstruksi mekanis peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten,
dan akhirnya hilang.
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dana gas (70 % dari
gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intra lumen, yang menurunkan pengaliran air
dan natrium dari lumen usus ke darah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. Mechanical Intestinal Obstruction. http://www.Merck.com. ( Diakses 20  Agustus


2011)
Author :Nova Faradilla, S. Ked  Files of DrsMed – FK UNRI, ileus obstruksi.
http://www.Files-of-DrsMed.tk.  (Diakses 20 Agustus 2011)
Alief. M, dkk, (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI.
Black & Hawk, (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Managemen for Positive
Outcomes. Fifth Edition, Vol 1. St. Louis Missouri: Mosby.
Brunner & Suddarth, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Alih bahasa Agung
Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC.
Donna Ignatavician, (2006). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri:
Elsevier Sounders
Lewis Heitkemper Diksen, (2007). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri:
Mosby Elsevier.
Price &Wilson, (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi  6,
Volume1. Jakarta: EGC.
Rahayu Rejeki handayani, bahar asril. Buku ajar ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen
Pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jilid III edisi
IV ; 2007. 1405-1410

Anda mungkin juga menyukai