Anda di halaman 1dari 7

USULAN SKRIPSI

EFEK PEMBERIAN FLUVOXAMINE SECARA MONOTERAPI DAN


KOMBINASI DENGAN ONDANSENTRON PRE-TREATMENT DAN
POST-TREATMENT PADA LAMBUNG MENCIT DENGAN GASTRIC
ULCER YANG DIINDUKSI STRES

MAHARDIAN RAHMADI M.Sc., Ph.D., Apt


ELMA OKTAVIA
PRATIWI
WAHYU AGUNG D

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA


DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peptic Ulcer Disease (PUD) atau tukak peptik adalah salah satu kelainan pada
saluran pencernaan yang ditandai dengan adanya kerusakan mukosa yang meluas ke
submukosa atau muskularis propia akibat adanya sekresi pepsin dan asam lambung. PUD
paling sering terjadi pada lambung (gastric ulcer) dan duedonum proksimal (duodenal
ulcer) serta jarang terjadi pada esofagus bagian bawah, duedonum distal, dan jejunum
(Fazalda et al., 2018 ; Kuna et al., 2019). Menurut data terbaru World Health
Organization (WHO) yang diterbitkan pada tahun 2017 diketahui jumlah kematian akibat
peptic ulcer di Indonesia mencapai 1,04% yang diperoleh dari angka kematian 17.494 per
100,000 penduduk (WHO, 2019). Data tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2011
yang menyebutkan bahwa jumlah kematian akibat peptic ulcer di Indonesia sebanyak
0,99% (WHO, 2011). Di Indonesia, berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2007,
gastric ulcer dan duedonum ulcer berada di urutan ke-14 pola penyakit yang
menyebabkan kematian untuk semua umur dengan proporsi kematian sebesar 1,7%
(Depkes RI, 2009).
Patofisiologi gastric ulcer dipahami sebagai suatu ketidakseimbangan antara
faktor agresif (seperti asam lambung, pepsin, leukotrin, maupun Reactive Oxygen
Species (ROS)) dengan faktor protektif (seperti prostaglandin (PG), aliran darah mukosa,
dan bikarbonat) (Berardi dan Welage, 2008; Ketuly et al., 2013). Beberapa faktor
gastric ulcer yang umum terjadi seperti infeksi XHelicobacter pylori, penggunaan obat
Non Steroidal Anti Inflammatory Drug (NSAID), dan stres (Berardi dan Welage, 2008)
serta faktor resiko lain seperti konsumsi alkohol, merokok, obesitas, dan konsumsi kopi
dapat memberikan efek pada ketidakseimbangan antara faktor agresif dan protektif
tersebut (Zatorski, 2017).
Bakteri H. pylori dapat menyebabkan terjadinya luka pada mukosa
gastroduodenal melalui a) merusak mukosa secara langsung, b) adanya respon terhadap
inflamasi, dan c) hypergrastrinemia dan peningkatan sekresi asam lambung (Berardi dan
Welage, 2008). Sedangkan obat-obat NSAID dapat menyebabkan kerusakan mukosa
lambung melalui dua cara, yaitu secara lokal (iritasi langsung) dan sistemik
(penghambatan sintesis prostaglandin) (Berardi & Welage, 2008; Lanas & Chan, 2017).
Selain karena infeksi Helicobacter pylori dan penggunaan NSAID, penyebab dari
gastric ulcer antara lain terjadi karena stres. Stres lebih umum terjadi pada kelompok
pasien yang depresi (Wiegner et al, 2015). Depresi adalah tipe gangguan mood, ditandai
dengan disregulasi emosional dan kesadaran yang menyebabkan tekanan pada pasien
(Hsu et al, 2015). Pada pasien yang depresi, stres tidak hanya memainkan peran utama
dalam patogenesis peptic ulcer tetapi juga terkait dengan pengaruh aksis Hipotalamus
Pituitary Adrenal (HPA) Axis. Depresi berkaitan dengan sistem gastrointestinal, hal ini
dibuktikan dengan depresi berkaitan dengan sindroma iritasi usus besar, kolitis
ulserativa, dyspepsia, dan penyakit gastroesophageal (Hsu et al, 2015). Depresi dapat
meningkatkan peptic ulcer, dimana kemungkinan terjadinya peptic ulcer pada populasi
yang didiagnosa mengalami depresi adalah 9,47% lebih tinggi dibandingkan populasi
yang tidak mengalami depresi (Hsu et al, 2015). Berdasarkan data tahun 2018
menunjukkan prevalensi depresi pada penduduk umur lebih dari sama dengan 15 tahun
di Indonesia adalah sebanyak 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia (Riskesdas, 2018).
Stres didefinisikan sebagai ancaman akut terhadap homeostasis suatu organisme.
Stres secara fisiologis akan meningkatkan aktivasi Hypotalamus Pituitary - Adrenal
(HPA) Axis, Aktivasi HPA axis akan mensekresi Corticotopin Releasing Factor (CRF)
berpengaruh pada sekresi Adrenocorticotropin Hormon (ACTH) yang merangsang
sekresi kortisol (Konturek et al, 2011), sehingga menyebabkan terjadinya hambatan
produksi prostaglandin, prostaglandin memiliki efek sitoprotreksi yaitu memperbaiki
aliran darah mukosa lambung (Klein-Nulend et al,1991). Selain pada bagian otak
hipotalamus, respon terhadap stres juga dapat dimodulasi oleh bagian otak seperti
hipocampus, amygdala, dan korteks prefrontal.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa obat antidepresan
memiliki efek dalam mengurangi terjadinya gastric ulcer. Antidepresan golongan
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) yaitu Fluvoxamine dapat mengurangi
gastric ulcer yang diinduksi stres dan dilihat melalui penurunan ulcer area, ulcer index,
ulcer score serta parameter biokimia seperti penurunan Lipid Peroxidation (LPO) dam
peningkatan Catalase (CAT), Superoxide dismutase (SOD) (Elsaed et al., 2018). Selain
itu, penelitian terbaru juga menunjukkan fluvoxamine dosis 50 mg/kg dan 100 mg/kg
dapat menurunkan indeks ulcer dan perdarahan intraluminal serta meningkatkan ekspresi
protein Hsp70, dimana protein ini merupakan salah satu marker pertahanan lambung.
Peningkatkan ekspresi protein Hsp70 tersebut terjadi karena adanya pengikatan reseptor
sigma-1 oleh fluvoxamine yang dapat merusak ikatan reseptor sigma-1 dengan Hsp70
(Khotib et al., 2019)
Pada hewan coba tikus, pemberian obat anti depresan golongan SSRI menurunkan
kondisi stres melalui hambatan aktivasi HPA Axis, karena SSRI dapat memperbaiki
kontrol umpan balik dengan cara meningkatkan jumlah dan fungsi Mineralcorticoid
receptor (MR) terutama di hippocampus (Pariante et al., 2004). Hambatan aktivasi HPA
Axis tersebut ditunjukkan dengan penurunan kadar kortikosteron dan peningkatan
sintesis prostaglandin pada jaringan lambung (Saxena dan Singh, 2011). Peningkatan
prostaglandin yang terjadi dapat meningkatkan pertahanan mukosa lambung (Matsui et
al., 2011) dan menurunkan resiko gastric ulcer. Hasil ini diperkuat dengan adanya
penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2015) dilaporkan bahwa pemberian SSRI
Fluvoxamine 50 mg/kg dan 100 mg/kg pre-treatment memiliki efek gastroprotektif
terhadap gastric ulcer yang diinduksi oleh stres dan NSAID yang ditandai dengan
penurunan nilai indeks ulcer dan skor perdarahan intraluminal. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa fluvoxamine terbukti menghambat terbentuknya ulcer pada lambung
yang ditunjukkan dengan adanya penurunan nilai ratio Bax/ Bcl -2 di jaringan lambung,
dimana Bax/ Bcl -2 berperan dalam proses apoptosis suatu jaringan (Fitriana, 2019).
Fluvoxamine merupakan salah satu obat antidepresan golongan SSRI yang
bekerja dengan cara melakukan blokade pada Serotonin transporter (SERT), sehingga
menyebabkan kadar serotonin ekstraseluler meningkat (Siesser et al., 2013). Pada
jaringan lambung, serotonin meningkat pada pemberian obat antidepresan SSRI secara
intraperitoneal (Sokar et al., 2016). Serotonin merupakan salah satu jenis neurotransmiter
yang dapat ditemukan pada otak dan lambung (pelepasan melalui sel enterochromaffin).
Serotonin memiliki banyak type reseptor (5-HT1 – 5-HT7), namun hanya beberapa yang
tersebar dalam lambung yaitu antara lain 5-HT1, 5-HT3, 5-HT4, dan 5-HT7 (Ponti,
2004). Reseptor 5-HT3 dan 5-HT4 di lambung memiliki peranan keterbalikan, pada
reseptor 5-HT3 yang diberikan agonist-nya terjadi ulcer. Sedangkan aktivasi reseptor 5-
HT4 oleh agonistnya menunjukkan aktivitas anti-ulcerogenik melalui alfa 7 nikotinik
reseptor asetilkolin dipicu oleh pelepasan asetilkolin (Kato et al, 2012). Di
lambung saraf vagus merupakan penyuplai rangsang motorik yang berperan pada
kontraksi dan sekresi. Terbukti dilakukan vagotomi dapat terjadi refleks penghambatan
sekresi asam lambung (Ellis, 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhu 2013
diketahui bahwa hewan coba yang diinduksi stres akan meningkatkan pelepasan
serotonin di amygdala, hypotalamus, hippocampus, dan prefrontal cortex, tetapi
pelepasan serotonin yang paling signifikan terjadi pada bagian hypocampus dan
amygdala (bagian ini sebagai pusat pengontrol stres). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Abdel Salam (2004) serotonin di otak berperan dalam mengaktivasi saraf
vagus sehingga pelepasan serotonin di otak akibat stress akan meningkatkan sekresi
asam lambung yang meningkatkan resiko gastric ulcer.
Adanya aktivasi reseptor 5-HT3 dapat meningkatkan aktivasi saraf vagus
gastrointestinal yang diketahui dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan dapat
mempengaruhi terbentuknya ulcer (Guo et al., 2012 ; Browning, 2015). Aktivasi vagus
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sekresi asam lambung, dimana adanya
aktivasi ini menyebabkan release asetilkolin yang bertindak pada reseptor muskarinik
M3 pada sel parietal. Selain itu, aktivasi pada vagus nerve juga menyebabkan pelepasan
pituitary adenylate cyclase activating polypeptide (PACAP) yang menghasilkan release
histamin dari ECL karena aktivitas spesifiknya terhadap reseptor PAC1. Release
histamin oleh ECL mengaktifkan reseptor histamnin H2 pada sel parietal. Pengaktifan
reseptor M3 dan H2 pada sel parietal tersebut merangsang sekresi HCl ke dalam lumen
dan dapat meningkatkan sekresi asam lambung (Phan et al., 2015). Sehingga aktivasi
pada reseptor 5-HT3 dihambat dengan diberikannya antagonis reseptor 5-HT3 yaitu
ondansetron yang diharapkan dapat menurunkan sekresi asam lambung dan dapat
sebagai antiulcer. Hasil tersebut diperkuat dengan adanya penelitian oleh Ramesh et al.,
(2009) yang menunjukkan pemberian antagonis reseptor 5-HT3 yaitu ondansetron
terbukti dapat menurunkan indeks ulcer, skor ulcer dan sekresi pepsin. Penelitian lain
juga memberikan hasil yang sama, yaitu ondansetron dapat sebagai anti-ulcerogenic
yang diamati melalui penurunan luka pada lambung (Kato et al., 2012).
Cara pemberian yang umum digunakan untuk administrasi larutan atau suspensi
pada mencit adalah melalui cara pemberian parenteral dan enteral. Yang termasuk dalam
pemberian secara parenteral antara lain injeksi subkutan, intraperitoneal, dan intravena
(Shimizu, 2000). Salah satu kelebihan dari Injeksi intraperitoneal adalah baik digunakan
untuk hewan ukuran kecil yang pemberian melalui injeksi intravena mempunyai akses
yang sulit dan dapat digunakan untuk memberikan cairan dalam jumlah besar dengan
aman. Meskipun cara pemberian intraperitoneal termasuk sebagai rute administrasi
parenteral, namun farmakokinetik dari obat yang diberikan secara intraperitoneal mirip
dengan pemberian oral, karena rute utama penyerapan adalah ke dalam pembuluh
mesenterika yang mengalir ke vena portal dan melewati hati (Turner et al, 2011).
Besarnya luas permukaan rongga peritoneal dan pasokan darah memungkinkan absorbsi
yang cepat (Shimizu, 2000). Rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi yang
luas sehingga obat dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan sistem saraf pusat (otak)
dengan cepat [CITATION FKU04 \l 14345 ]. Pemberian antidepresan SSRI secara
intraperitoneal dapat meningkatkan serotonin di lambung (Sokar et al, 2016). Sedangkan
cara pemberian Intracerebroventricular memungkinkan obat untuk dapat memasuki
sistem saraf pusat (otak) tanpa melalui sistemik. Tujuan pemberian obat dengan rute
Intracerebroventricular adalah untuk mem-bypass blood brain barrier dan mekanisme
lain yang membatasi distribusi obat ke otak (Cook et al, 2009).
Berdasarkan data-data diatas, adanya hambatan pada reseptor serotonin yaitu
5-HT3 yang juga sebagai antiulcer mungkin memiliki potensi dalam melindungi mukosa
lambung oleh SSRI yang mekanismenya hingga saat ini belum diketahui secara pasti
melibatkan reseptor serotonin type apa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
apakah pemberian antagonis reseptor 5-HT3 dapat mempengaruhi perlindungan mukosa
lambung oleh SSRI pada hewan yang mengalami gastric ulcer karena induksi stres, yang
diharapkan mampu memberikan informasi terkait mekanisme perbaikan mukosa
lambung oleh SSRI. Dan juga antara aktivasi reseptor 5-HT 3 oleh serotonin terhadap
perlambatan perbaikan gastric ulcer dengan pemberian antidepresan SSRI yang
meningkatkan pelepasan serotonin bila diberikan pasca perlakuan stres, dimana dengan
adanya aktivitas antiulcer dari antagonis reseptor 5-HT3 diduga dapat menurunkan efek
perlambatan perbaikan ulcer tersebut. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada penelitian
yang menghubungkan efek pemberian antagonis reseptor 5-HT3 dan antidepresan
fluvoxamine terhadap perbaikan mukosa lambung. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian mengenai efek pemberian antagonis reseptor 5-HT3 dan antidepresan
fluvoxamine terhadap perbaikan mukosa lambung dengan gastric ulcer yang diinduksi
stres.
Serta hingga saat ini belum diketahui apakah efek anti ulcer SSRI ini dipengaruhi
langsung oleh efeknya di otak, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk melihat
pengaruh efek rute pemberian SSRI langsung pada otak (I.C.V) dan membandingkannya
dengan rute sistemik (I.P) pada gastric ulcer yang diinduksi stres.

Anda mungkin juga menyukai