Anda di halaman 1dari 48

1.

Tuliskan nama obat generic dan paten pergolongan obat-obat precursor dan
obat-obat tertentu (Perhatikan golongan obatnya obat bebas, terbatas atau
keras)
Jawab :
OBAT-OBAT PREKURSOR
TABEL 1
1. Ephedrine
Nama Paten : Asmasolon (Golongan Obat Bebas Terbatas),
Poncolin (Golongan Obat Bebas Terbatas), Poncolin D (Golongan
Obat Bebas Terbatas), Aflucaps Forte (Golongan Obat Bebas
Terbatas), Nellco Special OBH (Golongan Obat Bebas Terbatas),
Asmadex (Golongan Obat Bebas Terbatas), Asmasolon (Golongan
Obat Bebas Terbatas), Neo Asma (Golongan Obat Bebas
Terbatas), Asthma Soho (Golongan Obat Bebas Terbatas), Neo
Napacin (Golongan Obat Bebas Terbatas), OBH Cap Merak
(Golongan Obat Bebas Terbatas), OBH Cap Merak Kids (Golongan
Obat Bebas Terbatas), OBH Combi Batuk Pilek (Golongan Obat
Bebas Terbatas), Etaflusin (Golongan Obat Bebas Terbatas),
Emkanadryl (Golongan Obat Bebas Terbatas), Oskadryl (Golongan
Obat Bebas Terbatas)
2. Ergometrine
Nama Paten : Metherinal (Golongan Obat Keras)
3. Ergotamine
Nama Paten : Bellaphen (Golongan Obat Keras), Cafergot
(Golongan Obat Keras), Ergotamin tartrat-kofein (Golongan Obat
Keras), Erifac (Golongan Obat Keras).
4. Norephedrine (fenilpropanolamin)
Nama Paten : Allerin (Golongan Obat Bebas Terbatas), Antiza
(Golongan Obat Bebas Terbatas), Brochifar/Brochifar Plus
(Golongan Obat Bebas Terbatas), Carolex (Golongan Obat Bebas
Terbatas), Collerin Expectorant (Golongan Obat Bebas Terbatas),
Decolgen (Golongan Obat Bebas), Decolsin (Golongan Obat Bebas
Terbatas), Dextrosin (Golongan Obat Bebas Terbatas), Dextrosin
Anak (Golongan Obat Bebas Terbatas), Fludane/Fludane
Forte/Fludane Plus (Golongan Obat Bebas), Flutamol (Golongan
Obat Bebas Terbatas), Fluzep (Golongan Obat Bebas Terbatas),
Lacoldin (Golongan Obat Bebas Terbatas), Lapisiv (Golongan Obat
Bebas Terbatas), Nalgestan (Golongan Obat Keras), Neozep Forte
(Golongan Obat Bebas Terbatas), Paratusin Syrup (Golongan Obat
Bebas Terbatas), Ponflu (Golongan Obat Bebas).
5. Pseudoephedrine
Nama Paten : Actifed (Golongan Obat Keras), Actifed Plus Cough
Suppressant (Golongan Obat Bebas Terbatas), Actifed Plus
Expectorant (Golongan Obat Bebas Terbatas), Aerius D-12
(Golongan Obat Keras), Alco/Alco Plus/Alco Plus DMP (Golongan
Obat Keras), Aldisa SR (Golongan Obat Keras), Eflin (Golongan
Obat Keras), Flurin (Golongan Obat Bebas Terbatas), Flurin DMP
(Golongan Obat Keras), Gifed Expectorant (Golongan Obat Keras),
Ikadryl Flu (Golongan Obat Bebas Terbatas), Lapifed (Golongan
Obat Keras), Lapifed DM (Golongan Obat Keras), Rhinos SR
(Golongan Obat Keras), Ryvel Plus (Golongan Obat Keras),
Tremenza Tab (Golongan Obat Keras), Triaminic Batuk & Pilek
(Golongan Obat Bebas Terbatas), Trifedrin (Golongan Obat Bebas
Terbatas), Trifedrin Cum (Golongan Obat Keras).

TABEL II

1. Acetone.
2. Anthranilic Acid.
3. Ethyl Ether.
4. Hydrochloric Acid.
5. Methyl Ethyl Ketone.
6. Phenylacetic Acid.
7. Piperidine.
8. Sulphuric Acid.
9. Toluene.
OBAT-OBAT TERTENTU

1. Tramadol
Nama Paten : Acetram (Golongan Obat Keras), Analtram
(Golongan Obat Keras), Contram 50 (Golongan Obat Keras),
Dolgesik (Golongan Obat Keras), Dotramol (Golongan Obat Keras),
Orasic (Golongan Obat Keras), Patral (Golongan Obat Keras),
Ultracet (Golongan Obat Keras), Zaldiar (Golongan Obat Keras).
2. Triheksifenidil
Nama Paten : Arkine (Golongan Obat Keras), Hexymer (Golongan
Obat Keras).
3. Klorpromazin
Nama Paten : Cepezet (Golongan Obat Keras).
4. Amitriptilin
Nama Paten : Amtriptilina HCl (Golongan Obat Keras) Trilin
(Golongan Obat Keras), Amitriptyline (Golongan Obat Keras).
5. Haloperidol
Nama Paten : Dores (Golongan Obat Keras), Haldol Decanos
(Golongan Obat Keras), Lodomer (Golongan Obat Keras).
6. Dextrometorfan
Nama Paten : Actifed Plus Cought Suppressant (Golongan Obat
Bebas Terbatas), Alco/Alco Plus (Golongan Obat Keras), Antiza
(Golongan Obat Bebas Terbatas), Bantif Child (Golongan Obat
Keras), Brochifar (Golongan Obat Bebas Terbatas), Decolsin
Suspensi (Golongan Obat Bebas Terbatas), Dextrosin (Golongan
Obat Bebas Terbatas), Fludane (Golongan Obat Bebas), Fludexin
Tab (Golongan Obat Keras), Sanaflu Plus Batuk (Golongan Obat
Bebas Terbatas), Triaminic Batuk & Pilek (Golongan Obat Bebas
Terbatas), Tuzalos (Golongan Obat Bebas Terbatas).
2. Buatlah ringkasan pengelolaan obat-obat prekursor dan obat-obat
tertentu.
Jawab :
PENGELOLAAN OBAT-OBAT PREKURSOR
 PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR 44 TAHUN 2010
TENTANG PREKURSOR

BAB IV PENGADAAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 6

1) Pengadaan Prekursor dilakukan melalui produksi dalam


negeri dan impor.

2) Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat


digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri non farmasi,
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3) Alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan dalam


pengadaan dan penggunaan Prekursor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri
dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Kedua

Produksi

Pasal 7

1) Prekursor hanya dapat diproduksi oleh industri yang telah


memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

2) Produksi Prekursor untuk industri farmasi harus dilakukan


dengan cara produksi yang baik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3) Prekursor untuk industri farmasi harus memenuhi standar
Farmakope Indonesia dan standar lainnya.

4) Prekursor untuk industri non farmasi harus memenuhi


persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 8

1) Setiap Prekursor wajib diberi label pada setiap wadah atau


kemasan.

2) Label pada wadah atau kemasan Prekursor sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar,
kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang
disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan,
ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau
kemasannya.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara


pelabelan Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait
sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Ketiga

Penyimpanan

Pasal 9

1) Prekursor wajib disimpan pada tempat penyimpanan yang


aman dan terpisah dari penyimpanan lain.

2) Prekursor yang disimpan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) harus dibuktikan diperoleh secara sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri
dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

BAB V

IMPOR DAN EKSPOR

Bagian Kesatu

Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor

Pasal 10

1) Impor dan ekspor Prekursor hanya dapat dilakukan oleh


badan usaha yang memiliki izin usaha importir atau eksportir.

2) Impor dan ekspor Prekursor harus dilengkapi dengan


dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3) Setiap melakukan kegiatan impor dan ekspor Prekursor harus


memperoleh Surat Persetujuan Impor atau Surat Persetujuan
Ekspor.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara


memperoleh Surat Persetujuan Impor atau Surat Persetujuan
Ekspor Prekursor untuk:

1. industri farmasi diatur oleh Menteri;

2. industri non farmasi diatur oleh menteri yang


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan; atau
3. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menggunakan Prekursor di bidang farmasi diatur oleh
Menteri, atau yang menggunakan Prekursor di bidang non
farmasi diatur oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

Bagian Kedua

Pengangkutan

Pasal 11

1) Setiap pengangkutan Prekursor harus disertai dan dilengkapi


dengan dokumen pengangkutan Prekursor yang sah.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan Prekursor


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri
dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Ketiga

Transito

Pasal 12

1) Transito Prekursor harus dilengkapi dengan dokumen


persetujuan impor atau persetujuan ekspor yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Setiap perubahan negara tujuan ekspor Prekursor pada


Transito, harus mendapat persetujuan dari:

1. pemerintah negara pengekspor Prekursor;

2. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor


Prekursor; dan
3. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Prekursor.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh


persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh
Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 13

1) Pengemasan dan pengemasan kembali Prekursor pada


Transito hanya dapat dilakukan pada Prekursor yang
kemasannya mengalami kerusakan.

2) Pengemasan dan pengemasan kembali Prekursor


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di
bawah pengawasan dan tanggung jawab pejabat yang
berwenang.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengemasan dan


pengemasan kembali Prekursor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri dan/atau menteri
terkait sesuai dengan kewenangannya.

BAB VI

PEREDARAN

Bagian Kesatu

Penyaluran

Pasal 14

1) Prekursor untuk industri non farmasi yang diproduksi dalam


negeri hanya dapat disalurkan kepada industri non farmasi,
distributor, dan pengguna akhir.
2) Prekursor untuk industri non farmasi yang diimpor hanya
dapat disalurkan kepada industri non farmasi, dan pengguna
akhir.

3) Prekursor untuk industri farmasi hanya dapat disalurkan


kepada industri farmasi dan distributor.

4) Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi, distributor atau


importir terdaftar dapat menyalurkan Prekursor kepada
lembaga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

5) Setiap kegiatan penyaluran Prekursor sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) harus dilengkapi
dengan dokumen penyaluran.

6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran Prekursor


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan
kewenangannya.

Bagian Kedua

Penyerahan

Pasal 15

1) Penyerahan Prekusor dalam rangka peredaran harus


dilakukan pencatatan.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerahan Prekursor


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri
dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

BAB VII

PENCATATAN DAN PELAPORAN


Pasal 16

1) Setiap orang atau badan yang mengelola Prekursor wajib


membuat pencatatan dan pelaporan.

2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-


kurangnya memuat:

1. jumlah Prekursor yang masih ada dalam persediaan;

2. jumlah dan banyaknya Prekursor yang diserahkan; dan

3. keperluan atau kegunaan Prekursor oleh pemesan.

3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib


dilaporkan secara berkala.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dan pelaporan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)
diatur secara terkoordinasi oleh Menteri dan/atau menteri
terkait sesuai dengan kewenangannya.

BAB VIII

PENGAWASAN

Pasal 17

Pengawasan terhadap penggunaan Prekursor dilakukan secara


terpadu dengan pembinaan dan pengendalian.

Pasal 18

1) Menteri, menteri terkait, dan lembaga lain yang mempunyai


tugas dan fungsi pengawasan terhadap segala kegiatan yang
berhubungan dengan Prekursor secara terkoordinasi
melakukan pengawasan sesuai dengan kewenangannya.

2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan


pada:

1. terpenuhinya Prekursor untuk kepentingan industri farmasi


dan non farmasi;

2. terpenuhinya Prekursor untuk kepentingan pendidikan,


pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
pelayanan kesehatan;

3. pencegahan terjadinya penyimpangan dan kebocoran


Prekursor;

4. perlindungan kepada masyarakat dari bahaya


penyalahgunaan Prekursor; dan

5. pemberantasan peredaran gelap Prekursor.

3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan oleh petugas pengawas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada


ayat (3), petugas pengawas berwenang:

a. melakukan pemeriksaan setempat dan/atau mengambil


contoh Prekursor pada sarana produksi, penyaluran,
penyimpanan dan peredaran;

b. memeriksa surat/dokumen yang berkaitan dengan


Prekursor; dan
c. melakukan pengamanan terhadap Prekursor yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini.

5) Petugas pengawas dalam melaksanakan setiap kegiatan


pengawasan harus dilengkapi dengan surat tugas sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri dan/atau menteri
terkait sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 19

1) Prekursor yang berasal dari produk tumbuh- tumbuhan atau


hewan dapat ditetapkan oleh Menteri sebagai bahan yang
berada di bawah pengawasan.

2) Dalam menetapkan Prekursor sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait.

Pasal 20

1) Dalam rangka pengawasan, Menteri dan menteri terkait dapat


mengambil tindakan administratif.

2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dapat berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis;

c. penghentian sementara kegiatan; atau

d. pencabutan izin.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh
Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan
kewenangannya.

BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21

Industri farmasi, industri non farmasi, Pedagang Besar Bahan


Baku Farmasi, distributor atau importir terdaftar, dan lembaga
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyesuaikan
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan Peraturan
Pemerintah ini.

 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEREDARAN, PENYIMPANAN,
PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA,
DAN PREKURSOR FARMASI

BAB II

PEREDARAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 3
Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari
Penyaluran dan Penyerahan.

Pasal 4

Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus


memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.

Pasal 5

1) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat


jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari
Menteri.

2) Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor


Farmasi dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.

3) Ketentuan mengenai tata cara untuk mendapat izin edar sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 6

1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi


Farmasi Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin
khusus dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2) Izin khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Izin Khusus Produksi Narkotika;
b. Izin Khusus Impor Narkotika; atau
c. Izin Khusus Penyaluran Narkotika.
3) Lembaga Ilmu Pengetahuan yang memperoleh, menanam,
menyimpan, dan menggunakan Narkotika dan/atau Psikotropika untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memiliki izin dari
Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi yang digunakan dalam


program terapi dan rehabilitasi medis dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Penyaluran

Paragraf 1
Umum

Pasal 8

Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib


memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya


dapat dilakukan berdasarkan:

a. surat pesanan; atau

b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk


pesanan dari Puskesmas.

2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya


dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau
Prekursor Farmasi.

3) Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis


Narkotika.

4) Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat


digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau
Prekursor Farmasi.

5) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
harus terpisah dari pesanan barang lain.

Paragraf 3

Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Dalam


Bentuk Bahan Baku

Pasal 13

1) Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan kimia


atau produk antara/produk ruahan hanya dapat dilakukan oleh PBF
yang memiliki izin IT Prekursor Farmasi kepada Industri Farmasi
dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
2) Penyaluran Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 3 terlampir.

Paragraf 4

Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Dalam


Bentuk Obat Jadi

Pasal 14

1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam


bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan oleh:

a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah;

b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,


Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan;

c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika


kepada Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotika;

d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi


Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik
Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia
atau Kepolisian; dan

e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi


Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik
milik Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.

2) Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit, Instalasi Farmasi


Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, PBF dapat menyalurkan Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas kepada Toko Obat.

Pasal 15

Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam


bentuk obat jadi oleh Industri Farmasi kepada PBF hanya dapat
dilakukan oleh Industri Farmasi pemilik izin edar.

Pasal 16
1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan
dari Apoteker penanggung jawab atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan, dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 1,
Formulir 2 dan Formulir 4 terlampir.

2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


untuk penyaluran kepada Instalasi Farmasi Pemerintah, surat
pesanan dapat ditandatangani oleh Apoteker yang ditunjuk.

3) Dalam hal penyaluran Prekursor Farmasi dari PBF kepada Toko Obat,
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Tenaga
Teknis Kefarmasian dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 4 terlampir.

Pasal 17

1) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang


dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi
Pemerintah harus dilengkapi dengan:

a. surat pesanan;

b. faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:

1. nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;

2. bentuk sediaan;

3. kekuatan;

4. kemasan;

5. jumlah;

6. tanggal kadaluarsa; dan

7. nomor batch.

2) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui jasa
pengangkutan hanya dapat membawa Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah yang tecantum dalam surat
pesanan, faktur, dan/atau surat pengantar barang yang dibawa pada
saat pengiriman.
Bagian Ketiga

Penyerahan

Paragraf 1

Umum

Pasal 18

1) Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya


dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi.

2) Dalam hal Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di
fasilitas pelayanan kefarmasian.

3) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara


langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.

4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk golongan obat bebas
terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.

Paragraf 3

Penyerahan Prekursor Farmasi

Pasal 22

1) Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh:

1. Apotek;

2. Puskesmas;

3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;

4. Instalasi Farmasi Klinik;

5. dokter; dan
6. Toko Obat.

2) Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat


keras kepada:

1. Apotek lainnya;

2. Puskesmas;

3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;

4. Instalasi Farmasi Klinik;

5. dokter; dan

6. pasien.

3) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi


Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi
golongan obat keras kepada pasien berdasarkan resep dokter.

4) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat keras sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat
dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Prekursor Farmasi
golongan obat keras berdasarkan resep yang telah diterima.

5) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh


Apotek kepada Apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan Toko Obat hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan kebutuhan harian Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas yang diperlukan untuk pengobatan.

6) Penyerahan Prekursor Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya


dapat dilakukan apabila diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik di
daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

1) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), ayat


(5), dan ayat (6) harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang
ditandatangani oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
penanggung jawab atau dokter yang menangani pasien dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7,
Formulir 8, dan Formulir 9 terlampir.

2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh
Apotek kepada Toko Obat, hanya dapat dilakukan berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 8 terlampir.

3) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada


pasien harus memperhatikan kerasionalan jumlah yang diserahkan
sesuai kebutuhan terapi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB III

PENYIMPANAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 24

Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan
kefarmasian harus mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.

Pasal 25

1) Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.

2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan


barang selain Narkotika.

3) Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk


menyimpan barang selain Psikotropika.

4) Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku


dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor
Farmasi dalam bentuk bahan baku.

Pasal 26

1) Gudang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)


harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang


dilengkapi dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci
yang berbeda;

b. langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;


c. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji
besi;

d. gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab; dan

e. kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan


pegawai lain yang dikuasakan.

2) Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus


memenuhi syarat sebagai berikut:

a. dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;

b. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji


besi;

c. mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;

d. kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung


jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan;
dan

e. tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker


penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk.

3) Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus


memenuhi syarat sebagai berikut:

a. terbuat dari bahan yang kuat;

b. tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang


berbeda;

c. harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk


Instalasi Farmasi Pemerintah;

d. diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum,


untuk Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan

e. kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung


jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

Pasal 27

Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib


memenuhi Cara Produksi Obat yang Baik, Cara Distribusi Obat yang
Baik, dan/atau standar pelayanan kefarmasian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Penyimpanan Prekursor Farmasi

Pasal 35

1) Industri Farmasi yang menggunakan Prekursor Farmasi dalam


bentuk bahan baku untuk memproduksi Prekursor Farmasi atau PBF
yang menyalurkan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku harus
memiliki tempat penyimpanan Prekursor Farmasi berupa gudang
khusus atau ruang khusus.

2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.

Pasal 36

1) Industri Farmasi yang memproduksi Prekursor Farmasi dalam bentuk


obat jadi, PBF yang menyalurkan Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadi, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus menyimpan
Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi dalam gudang
penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
2) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus menyimpan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi di tempat penyimpanan obat yang
aman berdasarkan analisis risiko.

BAB IV

PEMUSNAHAN

Pasal 37

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya


dilakukan dalam hal:

a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku


dan/atau tidak dapat diolah kembali;

b. telah kadaluarsa;

c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan


kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan,
termasuk sisa penggunaan;
d. dibatalkan izin edarnya; atau

e. berhubungan dengan tindak pidana.

Pasal 38

1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai


dengan huruf d dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi
Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi
Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat.

2) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang memenuhi


kriteria pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a
sampai dengan huruf d yang berada di Puskesmas harus
dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat.

3) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus


melakukan penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

4) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang


berhubungan dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 huruf e dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 39

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus


dilakukan dengan:

a. tidak mencemari lingkungan; dan

b. tidak membahayakan kesehatan masyarakat.

Pasal 40

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas


pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik
perorangan menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan
saksi kepada:

1. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan


Makanan, bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;
2. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Importir,
Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau
Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi; atau

3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai


Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau
Toko Obat.

b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan,


Dinas Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan
sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.

c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan


sebagaimana dimaksud pada huruf b.

d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk


bahan baku, produk antara, dan produk ruahan harus dilakukan
sampling untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang
berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.

e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat


jadi harus dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis
oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan.

Pasal 41

Dalam hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor


Farmasi dilakukan oleh pihak ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dan saksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b.

Pasal 42

1) Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas


pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
yang melaksanakan pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi harus membuat Berita Acara Pemusnahan.

2) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


paling sedikit memuat:

a. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;


b. tempat pemusnahan;

c. nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas


distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan
lembaga/dokter praktik perorangan;

d. nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain


badan/sarana tersebut;

e. nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


yang dimusnahkan;

f. cara pemusnahan; dan

g. tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas


distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/
dokter praktik perorangan dan saksi.

3) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada
Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 10 terlampir.

BAB V

PENCATATAN DAN PELAPORAN

Bagian Kesatu

Pencatatan

Pasal 43

1) Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek,


Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang
melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi.
2) Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan
dan/atau pengeluaran Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi.
3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling
sedikit terdiri atas:
1. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi;
2. jumlah persediaan;
3. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
4. jumlah yang diterima;
5. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
6. jumlah yang disalurkan/diserahkan;
7. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau
penyaluran/penyerahan; dan
8. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

4) Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan


ayat (2) harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan
dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor
dan/atau dokumen penyerahan.

Pasal 44

Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen


penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara
terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun.

Bagian Kedua

Pelaporan

Pasal 45

1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan


Prekursor Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan
laporan produksi dan penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi setiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan Kepala Badan.

2) PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan


Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat,
menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan
tembusan Kepala Badan/Kepala Balai.

3) Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan


menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.

4) Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan,


dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat
dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat.

5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat


(4) paling sedikit terdiri atas:

1. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,


dan/atau Prekursor Farmasi;

2. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;

3. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;

4. jumlah yang diterima;

5. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;

6. jumlah yang disalurkan; dan

7. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran


dan persediaan awal dan akhir.

6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,


Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib
membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan
penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai setempat.

7) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri


atas:

1. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,


dan/atau Prekursor Farmasi;

2. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;

3. jumlah yang diterima; dan

4. jumlah yang diserahkan.


8) Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat


(4) dan ayat (6) dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi secara elektronik.

10)Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat


(4) dan ayat (6) disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan
berikutnya.

11)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika,


Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur
Jenderal.

BAB VI

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 46

Menteri, Kepala Badan, Kepala Balai, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,


dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai dengan
tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.

Pasal 47

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai


sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

 PERATURAN BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN


NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAWASAN PENGELOLAAN
OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN
PREKURSOR FARMASI DI FASILITAS PELAYANAN
KEFARMASIAN

BAB II

PENGELOLAAN OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA


DAN PREKURSOR FARMASI
Bagian Kesatu

Persyaratan

Pasal 3

(1) Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang diedarkan


harus memiliki izin edar.

(2) Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang diedarkan


harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.

(3) Persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Pengelolaan

Pasal 4

Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor


Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian meliputi kegiatan sebagai
berikut:

a. pengadaan;

b. penerimaan;

c. penyimpanan;

d. penyerahan;

e. pengembalian;

f. pemusnahan; dan

g. pelaporan.

Pasal 5

1) Pengelolaan Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4


hanya dapat dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas.
2) Pengelolaan Bahan Obat oleh Apotek dan Puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk keperluan
peracikan (produksi sediaan secara terbatas).

3) Pengelolaan Bahan Obat oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk
keperluan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) dan untuk
keperluan memproduksi obat.

Pasal 6

1) Seluruh kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika,


Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian wajib berada di bawah tanggung jawab seorang
Apoteker penanggung jawab.

2) Dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat,


Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, Apoteker
penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker lain dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.

3) Kegiatan pengelolaan Obat dan Prekursor Farmasi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) oleh Toko Obat wajib berada di bawah
tanggung jawab seorang Tenaga Teknis Kefarmasian penanggung
jawab.

4) Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dan Apoteker lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki
SIPA di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut.

5) Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dan ayat (3) wajib memiliki SIPTTK di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian tersebut.

Pasal 7

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan pengelolaan obat, bahan obat,


narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan
kefarmasian harus sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.

Pasal 8

Kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan


Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib
dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Teknis Pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Bagian Ketiga

Pembinaan

Pasal 9

Dalam rangka pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan


Prekursor Farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan
pemantauan, pemberian bimbingan teknis, dan pembinaan terhadap
fasilitas pelayanan kefarmasian.

BAB III

PENGAWASAN

Pasal 10

1) Pengawasan terhadap Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika,


Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian dilaksanakan melalui pemeriksaan oleh Petugas.

2) Petugas dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), berwenang untuk:

a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan


pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil
contoh segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan
pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi;

b. membuka dan meneliti kemasan Obat, Bahan Obat, Narkotika,


Psikotropika dan Prekursor Farmasi;

c. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat


keterangan mengenai kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi, termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau

d. mengambil gambar dan/atau foto seluruh atau sebagian fasilitas


dan peralatan yang digunakan dalam pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.

3) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap Pengelolaan Obat,


Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dapat mengikutsertakan petugas
instansi lain yang terkait sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.

4) Jika Petugas tidak dilengkapi dengan surat perintah dan tanda


pengenal maka penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian
dapat melakukan penolakan terhadap pemeriksaan.

Pasal 11

Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut


diduga adanya pelanggaran pidana di bidang Obat dan Bahan Obat
termasuk pidana di bidang Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi, dilakukan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV

SANKSI

Pasal 12

1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7


dan Pasal 8 dikenai sanksi administratif berupa:

1. peringatan tertulis;

2. penghentian sementara kegiatan; atau

3. pencabutan izin.

2) Sanksi administratif berupa sanksi peringatan tertulis sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa peringatan atau
peringatan keras.

3) Sanksi administratif berupa sanksi pencabutan izin sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa rekomendasi kepada Dinas
Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau
Organisasi Perangkat Daerah penerbit izin.

PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA


DAN PREKURSOR FARMASI DI FASILITAS PELAYANAN
KEFARMASIAN

1. Pengadaan
1.1. Pengadaan Narkotika oleh Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus
bersumber dari Pedagang Besar Farmasi yang memiliki Izin
Khusus menyalurkan Narkotika.

1.2. Pengadaan Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi oleh


Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus bersumber dari Pedagang
Besar Farmasi.

1.3. Dikecualikan dari ketentuan angka 1.1 dan angka 1.2, pengadaan
Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi oleh
Puskesmas harus bersumber dari Instalasi Farmasi Pemerintah
Daerah.

1.4. Pengadaan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi


oleh Puskesmas, selain sesuai dengan ketentuan angka 1.3,
dapat juga bersumber dari Puskesmas lain dalam satu
kabupaten/kota dengan persetujuan tertulis dari Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah.

1.5. Pengadaan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi


bersumber dari Puskesmas lain sebagaimana dimaksud angka 1.4
dilakukan:

a. apabila di Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah terdapat


kekosongan stok Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi yang dibutuhkan;

b. hanya untuk kebutuhan maksimal 1 (satu) bulan;

c. dengan dilengkapi dokumen LPLPO terkait pengembalian


Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi dari
Puskesmas Pengirim ke Instalasi Farmasi Pemerintah
Daerah; dan

d. dengan dilengkapi dokumen LPLPO terkait penyaluran


Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi dari
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah ke Puskesmas
Penerima;

e. Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi dapat


langsung dikirimkan dari Puskesmas Pengirim ke Puskesmas
Penerima.

1.6. Pengadaan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi


harus dilengkapi dengan Surat Pesanan Narkotika sebagaimana
contoh yang tercantum dalam Formulir 1, Surat Pesanan
Psikotropika sebagaimana contoh yang tercantum dalam Formulir
2, atau Surat Pesanan Prekursor Farmasi sebagaimana contoh
yang tercantum dalam Formulir 3.

1.7. Dikecualikan dari ketentuan angka 1.6, pengadaan Narkotika,


Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi di Puskesmas harus
berdasarkan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) yang ditandatangani atau diparaf Apoteker Penanggung
Jawab dan ditandatangani Kepala Puskesmas.

1.8. Surat Pesanan dapat dilakukan menggunakan sistem elektronik.


Ketentuan surat pesanan secara elektronik sebagai berikut:

a. sistem elektronik harus bisa menjamin otoritas penggunaan


sistem hanya oleh Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian.

b. mencantumkan nama sesuai izin (disertai nomor izin) dan


mencantumkan alamat lengkap (termasuk nomor
telepon/faksimili bila ada) dan stempel sarana;

c. mencantumkan nama fasilitas distribusi pemasok beserta


alamat lengkap

d. mencantumkan nama, bentuk dan kekuatan sediaan, jumlah


(dalam bentuk angka dan huruf) da nisi kemasan (kemasan
penyaluran terkecil atau tidak dalam bentuk eceran) dari obat
yang dipesan;

e. memberikan nomor urut, nama kota dan tanggal dengan


penulisan yang jelas;

f. Surat Pesanan Narkotika, Surat Pesanan Psikotropika, Surat


Pesanan Prekursor Farmasi dibuat terpisah dari surat
pesanan untuk obat lain.

g. sistem elektronik yang digunakan harus bisa menjamin


ketertelusuran produk, sekurang kurangnya dalam batas
waktu 5 (lima) tahun terakhir.

h. Surat Pesanan elektronik harus dapat ditunjukan dan


dipertanggungjawabkan kebenarannya pada saat
pemeriksaan, baik oleh pihak yang menerbitkan surat
pesanan maupun pihak yang menerima menerima surat
pesanan.

i. harus tersedia sistem backup data secara elektronik.


j. sistem pesanan elekronik harus memudahkan dalam evaluasi
dan penarikan data pada saat dibutuhkan oleh pihak yang
menerbitkan surat pesanan dan/atau oleh pihak yang
menerima surat pesanan.

k. pesanan secara elektronik yg dikirimkan ke pemasok harus


dipastikan diterima oleh pemasok, yang dapat dibuktikan
melalui adanya pemberitahuan secara elektronik dari pihak
pemasok bahwa pesanan tersebut telah diterima.

l. Surat pesanan manual (asli) harus diterima oleh pemasok


selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari setelah adanya
pemberitahuan secara elektronik dari pihak pemasok bahwa
pesanan elektronik telah diterima.

1.9. Apabila Surat Pesanan dibuat secara manual, maka Surat


Pesanan harus:

a. asli dan dibuat sekurang-kurangnya rangkap 3 (tiga) serta


tidak dibenarkan dalam bentuk faksimili dan fotokopi. Dua
rangkap surat pesanan diserahkan kepada pemasok dan 1
(satu) rangkap sebagai arsip;

b. ditandatangani oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian


Penanggung Jawab, dilengkapi dengan nama jelas, dan
nomor Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)/ Surat Izin Praktik
Tenaga Teknis Kefarmasian (SIPTTK) sesuai ketentuan
perundang-undangan;

c. dicantumkan nama sarana sesuai izin (disertai nomor izin) dan


alamat lengkap (termasuk nomor telepon/faksimili bila ada)
dan stempel sarana;

d. dicantumkan nama fasilitas distribusi pemasok beserta alamat


lengkap;

e. dicantumkan nama, bentuk dan kekuatan sediaan, jumlah


(dalam bentuk angka dan huruf) dan isi kemasan (kemasan
penyaluran terkecil atau tidak dalam bentuk eceran) dari Obat
yang dipesan;

f. diberikan nomor urut, nama kota dan tanggal dengan


penulisan yang jelas;

g. Surat Pesanan Narkotika, Surat Pesanan Psikotropika, Surat


Pesanan Prekursor Farmasi dibuat terpisah dari surat
pesanan untuk obat lain.
h. sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

1.10. Apabila Surat Pesanan Narkotika, Surat Pesanan Psikotropika


dan/atau Surat Pesanan Prekursor Farmasi tidak dapat digunakan
karena suatu hal, maka Surat Pesanan tersebut harus diberi tanda
pembatalan yang jelas dan diarsipkan bersama dengan Surat
Pesanan Narkotika, Surat Pesanan Psikotropika dan/atau Surat
Pesanan Prekursor Farmasi lainnya.

1.11. Apabila Surat Pesanan tidak bisa dilayani baik sebagian atau
seluruhnya, harus meminta surat penolakan pesanan dari
pemasok.

1.12. Apabila pengadaan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor


Farmasi dilakukan melalui sistem pengadaan barang/jasa
pemerintah, termasuk e-purchasing maka:

a. Apoteker Penanggung Jawab menyampaikan daftar


kebutuhan Obat kepada pelaksana sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah;

b. Apoteker Penanggung Jawab menyampaikan Surat Pesanan


kepada pemasok;

c. jumlah pengadaan Narkotika, Psikotropika, dan/atau


Prekursor Farmasi tidak dalam jumlah eceran (kemasan
penyaluran terkecil);

d. pengadaan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor


Farmasi dilakukan oleh pelaksana sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah;

e. Apoteker Penanggung Jawab harus memonitor pelaksanaan


pengadaan obat pemerintah;

f. Apoteker Penanggung Jawab harus menyimpan salinan


dokumen e- purchasing atau dokumen pengadaan termasuk
Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK)/Surat Perintah Kerja (SPK)
lengkap beserta daftar obat dan jumlah obat yang akan
diadakan;

1.13. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yang tergabung di dalam satu


grup, maka pengadaan Surat Pesanan Narkotika, Surat Pesanan
Psikotropika dan/atau Surat Pesanan Prekursor Farmasi harus
dilakukan oleh masing-masing Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.

1.14. Arsip Surat Pesanan Narkotika, Surat Pesanan Psikotropika


dan/atau Surat Pesanan Prekursor Farmasi harus disimpan
sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun berdasarkan tanggal
dan nomor urut Surat Pesanan.

1.15. Arsip Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO)


disimpan sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun berdasarkan
urut bulan LPLPO.

1.16. Arsip Surat Pesanan Narkotika, Surat Pesanan Psikotropika atau


Surat Pesanan Prekursor Farmasi harus dipisahkan dengan arsip
Surat Pesanan produk lain.

1.17. Faktur pembelian Narkotika dan/atau Surat Pengiriman Barang


(SPB) Narkotika harus disimpan bersatu dengan Arsip Surat
Pesanan Narkotika.

1.18. Faktur pembelian Psikotropika dan/atau Surat Pengiriman Barang


(SPB) Psikotropika harus disimpan bersatu dengan Arsip Surat
Pesanan Psikotropika.

1.19. Faktur pembelian Prekursor Farmasi dan/atau Surat Pengiriman


Barang (SPB) Prekursor Farmasi harus disimpan bersatu dengan
Arsip Surat Pesanan Prekursor farmasi.

1.20. Surat penolakan pesanan dari Pedagang Besar Farmasi harus


diarsipkan menjadi satu dengan arsip Surat Pesanan.

1.21. Seluruh arsip harus mampu telusur dan dapat ditunjukkan pada
saat diperlukan.

2. Penerimaan

2.1. Penerimaan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi


oleh Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus berdasarkan Faktur
pembelian dan/atau Surat Pengiriman Barang yang sah.

2.2. Dikecualikan dari ketentuan angka 2.1, penerimaan Narkotika,


Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi oleh Puskesmas dari
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah harus berdasarkan Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).

2.3. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian hanya dapat melakukan


penerimaan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi
yang ditujukan untuk Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut
sebagaimana tertera dalam Surat Pesanan.
2.4. Penerimaan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi
di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker
Penanggung Jawab.

2.5. Bila Puskesmas tidak memiliki Apoteker Penanggung Jawab


sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2.4, penerimaan
dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian, tenaga medis atau
tenaga kesehatan lain yang ditunjuk oleh Kepala Puskesmas.

2.6. Bila Apoteker Penanggung Jawab berhalangan hadir, penerimaan


Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi dapat
didelegasikan kepada Tenaga Kefarmasian yang ditunjuk oleh
Apoteker Penanggungjawab. Pendelegasian dilengkapi dengan
Surat Pendelegasian Penerimaan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 9.

2.7. Pada saat penerimaan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi, Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus melakukan
pemeriksaan:

1. kondisi kemasan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi termasuk segel, label/penandaan dalam keadaan
baik;

2. kesesuaian nama Narkotika, Psikotropika dan/atau


Prekursor Farmasi, bentuk, kekuatan sediaan Obat, isi
kemasan antara arsip Surat Pesanan (SP)/ Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) dengan
obat yang diterima;

3. kesesuaian antara fisik Narkotika, Psikotropika dan/atau


Prekursor Farmasi dengan Faktur pembelian/ Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) dan/atau
Surat Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi:

a. Kebenaran nama produsen, nama pemasok, nama


Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi,
jumlah, bentuk, kekuatan sediaan, dan isi kemasan;

b. Nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.

2.8. Apabila hasil pemeriksaan ditemukan Narkotika, Psikotropika


dan/atau Prekursor Farmasi yang diterima tidak sesuai dengan
pesanan seperti nama, kekuatan sediaan Obat, jumlah atau
kondisi kemasan tidak baik, maka Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi harus segera dikembalikan pada saat
penerimaan. Apabila pengembalian tidak dapat dilaksanakan
pada saat penerimaan misalnya pengiriman melalui ekspedisi
maka dibuatkan Berita Acara yang menyatakan penerimaan tidak
sesuai dan disampaikan ke pemasok untuk dikembalikan.

2.9. Jika pada hasil pemeriksaan ditemukan ketidaksesuaian nomor


bets atau tanggal kedaluwarsa antara fisik dengan faktur
pembelian/ Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) harus dibuat
koreksi dan dikonfirmasi ketidaksesuaian dimaksud kepada pihak
pemasok.

2.10. Jika pada hasil pemeriksaan dinyatakan sesuai dan kondisi


kemasan obat baik maka Apoteker atau Tenaga Teknis
Kefarmasian yang mendapat delegasi wajib menandatangani
Faktur Pembelian/ Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO) dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) dengan
mencantumkan nama lengkap, nomor SIPA/SIPTTK dan stempel
sarana.

2.11. Apabila pengadaan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi dilakukan melalui sistem pengadaan barang/jasa
pemerintah maka:

1. penerimaan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi harus melibatkan Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian sebagai Panitia Penerimaan Barang dan Jasa
Pemerintah. Apabila Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
tidak termasuk dalam Panitia Penerima Barang, maka
penerimaan dilakukan oleh Apoteker Penanggungjawab atau
Tenaga Kefarmasian yang ditunjuk oleh Apoteker
Penanggungjawab.

2. penerimaan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi dari Pedagang Besar Farmasi dilakukan oleh Panitia
Penerimaan Barang dan Jasa Pemerintah;

3. Panitia Penerimaan Barang dan Jasa Pemerintah segera


menyerahkan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi kepada Apoteker Penanggung Jawab atau Tenaga
Kefarmasian yang ditunjuk oleh Apoteker Penanggungjawab;

4. Apoteker Penanggung Jawab wajib mendokumentasikan


salinan Berita Acara Serah Terima Barang dan Berita Acara
Penyelesaian Pekerjaan.

3. Penyimpanan
3.1. Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
harus:

1. Dalam wadah asli dari produsen.

2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a,


dalam hal diperlukan pemindahan dari wadah asli nya untuk
pelayanan resep, obat dapat disimpan di dalam wadah baru
yang dapat menjamin keamanan, mutu, dan ketertelusuran
obat dengan dilengkapi dengan identitas obat meliputi nama
obat dan zat aktifnya, bentuk dan kekuatan sediaan, nama
produsen, jumlah, nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.

3. Pada kondisi yang sesuai dengan rekomendasi dari industri


farmasi yang memproduksi Obat sebagaimana tertera pada
kemasan dan/atau label Obat sehingga terjamin keamanan
dan stabilitasnya.

4. terpisah dari produk lain dan terlindung dari dampak yang


tidak diinginkan akibat paparan cahaya matahari, suhu,
kelembaban atau faktor eksternal lain;

5. sedemikian rupa untuk mencegah tumpahan, kerusakan,


kontaminasi dan campur-baur; dan

6. tidak bersinggungan langsung antara kemasan dengan lantai.

7. dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas


terapi Obat serta disusun secara alfabetis.

8. memperhatikan kemiripan penampilan dan penamaan Obat


(LASA, Look Alike Sound Alike) dengan tidak ditempatkan
berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk
mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat

9. memperhatikan sistem First Expired First Out (FEFO)


dan/atau sistem First In First Out (FIFO)

3.2. Narkotika harus disimpan dalam lemari khusus penyimpanan


Narkotika.

3.3. Psikotropika harus disimpan dalam lemari khusus penyimpanan


Psikotropika.

3.4. Prekursor Farmasi harus disimpan di tempat yang aman


berdasarkan analisis risiko.
3.5. Analisis risiko sebagaimana dimaksud angka 3.4 antara lain
pembatasan akses personil, diletakkan dalam satu area dan
tempat penyimpanan mudah diawasi secara langsung oleh
penanggungjawab.

3.6. Lemari khusus penyimpanan Narkotika harus mempunyai 2 (dua)


buah kunci yang berbeda, satu kunci dipegang oleh Apoteker
Penanggung Jawab dan satu kunci lainnya dipegang oleh
pegawai lain yang dikuasakan.

3.7. Lemari khusus penyimpanan Psikotropika harus mempunyai 2


(dua) buah kunci yang berbeda, satu kunci dipegang oleh
Apoteker Penanggung Jawab dan satu kunci lainnya dipegang
oleh pegawai lain yang dikuasakan. Apabila Apoteker
Penanggung Jawab berhalangan hadir dapat menguasakan kunci
kepada pegawai lain.

3.8. Dalam hal Apoteker Penanggung Jawab sebagaimana dimaksud


angka 3.6 dan angka 3.7 berhalangan hadir, Apoteker
Penanggung Jawab dapat menguasakan kunci kepada pegawai
lain

3.9. Pegawai lain sebagaimana dimaksud angka 3.6, angka 3.7, dan
angka 3.8 adalah Apoteker atau Tenaga Teknis Kefarmasian.

3.10. Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud angka 3.6, angka 3.7,


dan angka 3.8 harus dilengkapi dengan Surat Kuasa yang
ditandatangani oleh pihak pemberi kuasa dan pihak penerima
kuasa.

3.11. Surat Kuasa harus diarsipkan sekurang-kurangnya selama 5


(lima) tahun.

3.12. Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi


harus dilengkapi dengan kartu stok, dapat berbentuk kartu stok
manual maupun elektronik.

3.13. Informasi dalam kartu stok sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika,


Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi;

2. Jumlah persediaan;

3. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;

4. Jumlah yang diterima;


5. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyerahan;

6. Jumlah yang diserahkan;

7. Nomor bets dan kedaluwarsa setiap penerimaan atau


penyerahan; dan

8. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

3.14. Jika pencatatan dilakukan secara elektronik, maka:

a. Harus tervalidasi, mampu telusur dan dapat ditunjukkan pada


saat diperlukan;

b. Harus mampu tertelusur informasi mutasi sekurang-kurangnya


5 (lima) tahun terakhir;

c. Harus tersedia sistem pencatatan lain yang dapat dilihat


setiap dibutuhkan. Hal ini dilakukan bila pencatatan secara
elektronik tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.

d. Harus dapat di salin/copy dan/atau diberikan cetak/printout

3.15. Pencatatan yang dilakukan harus tertib dan akurat.


3.16. Narkotika yang rusak dan/atau kedaluwarsa harus disimpan
secara terpisah dari Narkotika yang layak guna, dalam lemari
penyimpanan khusus Narkotika dan diberi penandaaan yang jelas.

4. Penyerahan

4.1. Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib


bertanggung jawab terhadap penyerahan Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi.

4.2. Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


Golongan Obat Keras kepada pasien hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter.

4.3. Resep yang diterima dalam rangka penyerahan Narkotika,


Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi wajib dilakukan
skrining.

4.4. Resep yang dilayani harus asli; ditulis dengan jelas dan
lengkap; tidak dibenarkan dalam bentuk faksimili dan fotokopi,
termasuk fotokopi blanko resep.
4.5. Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas hanya dapat
melayani resep Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi berdasarkan resep dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit
dan Puskesmas tersebut.

4.6. Resep harus memuat:

1. Nama, Surat Izin Praktik (SIP), alamat, dan nomor telepon


dokter;

2. Tanggal penulisan resep;

3. Nama, potensi, dosis, dan jumlah obat;

4. Aturan pemakaian yang jelas;

5. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien;

6. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep.

4.7. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian hanya dapat menyerahkan


Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi kepada
pasien.

4.8. Selain dapat menyerahkan kepada pasien, Apotek juga dapat


menyerahkan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi kepada:

1. Apotek lainnya,

2. Puskesmas,

3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit,

4. Instalasi Farmasi Klinik, dan

5. Dokter

4.9. Penyerahan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi sebagaimana dimaksud angka 4.8 huruf a sampai
dengan huruf d hanya dapat dilakukan apabila terjadi
kelangkaan stok di fasilitas distribusi dan terjadi kekosongan
stok di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut. Penyerahan
tersebut harus berdasarkan surat permintaan tertulis dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir
5 untuk penyerahan Narkotika/Psikotropika/Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras atau Formulir 7 untuk penyerahan
Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas yang
ditandatangani oleh Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian.

4.10. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4.8,


penyerahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras oleh Apotek kepada Apotek lainnya,
Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi
Farmasi Klinik hanya dapat dilakukan untuk memenuhi
kekurangan jumlah berdasarkan resep yang telah diterima.
Penyerahan tersebut harus berdasarkan surat permintaan
tertulis yang sah dan dilengkapi fotokopi resep yang disahkan
oleh Apoteker Penanggung Jawab.

4.11. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada


angka 4.8, Apotek dapat menyerahkan Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas kepada Toko Obat apabila terjadi
kelangkaan stok di fasilitas distribusi dan terjadi kekosongan
stok di Toko Obat tersebut. Penyerahan tersebut harus
berdasarkan surat permintaan tertulis dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 yang
ditandatangani oleh Tenaga Teknis Kefarmasian Penanggung
Jawab.

4.12. Kelangkaan stok sebagaimana dimaksud pada angka 4.9 dan


angka 4.11 dibuktikan dengan surat keterangan dari Dinas
Kesehatan Provinsi setempat yang menyatakan kelangkaan
stok tersebut terjadi di seluruh jalur distribusi di Provinsi
tersebut.

4.13. Penyerahan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas


Terbatas harus memperhatikan kewajaran dan kerasionalan
jumlah yang diserahkan sesuai kebutuhan terapi.

4.14. Penyerahan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas


Terbatas di luar kewajaran harus dilakukan oleh penanggung
jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.

4.15. Penyerahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi


Golongan Obat Keras ke Dokter sebagaimana dimaksud pada
angka 4.8 huruf e hanya dapat dilakukan dalam hal:

1. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan


Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi melalui
suntikan; dan/atau

2. dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil


yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4.16. Penyerahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras sebagaimana dimaksud pada angka 4.15
harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang
ditandatangani oleh Dokter dan dalam jumlah yang terbatas
sesuai peruntukan.

4.17. Surat Permintaan Tertulis yang diterima Apotek dalam rangka


penyerahan Obat wajib dilakukan skrining.

4.18. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus memerhatikan


penyerahan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas
dalam jumlah besar secara berulang dalam periode tertentu.

4.19. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dilarang mengulangi


penyerahan obat atas dasar resep yang diulang (iter) apabila
resep aslinya mengandung Narkotika.

4.20. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dilarang menyerahkan


Narkotika berdasarkan salinan resep yang baru dilayani
sebagian atau belum dilayani sama sekali apabila tidak
menyimpan resep asli.

4.21. Penyerahan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi,
termasuk dalam bentuk racikan obat.

4.22. Resep Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi


dengan permintaan iter dilarang diserahkan sekaligus.

4.23. Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika berdasarkan


resep yang ditulis oleh dokter yang berpraktek di provinsi yang
sama dengan Apotek tersebut, kecuali resep tersebut telah
mendapat persetujuan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota
tempat Apotek yang akan melayani resep tersebut.

4.24. Penggunaan resep dalam bentuk elektronik di dalam


penyerahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras di Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas diperbolehkan dengan
ketentuan:

1. Pelayanan resep elektronik hanya dapat diselenggarakan


oleh sarana yang mengeluarkan resep elektronik tersebut;

2. Tersedia sistem dokumentasi yang baik sehingga resep


elektronik mampu telusur dan dapat ditunjukkan pada saat
diperlukan.
4.25. Salinan resep adalah salinan yang dibuat dan ditandatangani
oleh apoteker menggunakan blanko salinan resep dan bukan
berupa fotokopi dari resep asli. Salinan resep selain memuat
semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, harus
memuat pula:

a. Nama, alamat, dan nomor surat izin sarana;

b. Nama dan nomor Surat Izin Praktek Apoteker;

c. Tanda det atau detur untuk obat yang sudah diserahkan;


tanda nedet atau ne detur untuk obat yang belum
diserahkan;

d. Nomor resep dan tanggal pembuatan;

e. Stempel sarana.

4.26. Dalam menyerahkan Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor


Farmasi berdasarkan resep, pada resep atau salinan resep
harus dicatat nama, alamat, dan nomor telepon yang bisa
dihubungi dari pihak yang mengambil obat.

4.27. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis Narkotika harus


disimpan terpisah dari resep dan/ atau surat permintaan tertulis
lainnya.

4.28. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis Psikotropika harus


disimpan terpisah dari resep dan/ atau surat permintaan tertulis
lainnya.

4.29. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis Prekursor Farmasi


harus disimpan terpisah dari resep dan/ atau surat permintaan
tertulis lainnya.

4.30. Resep yang di dalamnya tertulis Narkotika bersama


Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi harus disimpan
bergabung dengan resep Narkotika lainnya.

4.31. Resep yang di dalamnya tertulis Psikotropika bersama


Prekursor Farmasi harus disimpan bergabung dengan resep
Psikotropika lainnya.

4.32. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis harus mampu telusur
dan dapat ditunjukkan pada saat diperlukan.
4.33. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis disimpan sekurang-
kurangnya selama 5 (lima) tahun berdasarkan urutan tanggal
dan nomor urutan penerimaan resep.

4.34. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis yang telah disimpan
melebihi 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan.

4.35. Pemusnahan resep dilakukan dengan cara dibakar atau


dengan cara lain yang sesuai oleh Apoteker Penanggung
Jawab dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya seorang
petugas Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.

4.36. Pada pemusnahan resep, harus dibuat Berita Acara


Pemusnahan.

4.37. Pemusnahan resep wajib dilaporkan dengan melampirkan


Berita Acara Pemusnahan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dan tembusan Kepala Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat.

5. Pengembalian

5.1 Pengembalian Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi kepada pemasok harus dilengkapi dengan dokumen
serah terima pengembalian Narkotika, Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi yang sah dan fotokopi arsip Faktur Pembelian.

5.2 Setiap pengembalian Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor


Farmasi wajib dicatat dalam Kartu Stok.

5.3 Seluruh dokumen pengembalian harus terdokumentasi dengan


baik dan mampu telusur.

5.4 Dokumen pengembalian yang memuat Narkotika harus disimpan


terpisah dari dokumen pegembalian obat lainnya.

5.5 Dokumen pengembalian yang memuat Psikotropika harus


disimpan terpisah dari dokumen pegembalian obat lainnya.

5.6 Dokumen pengembalian yang memuat Prekursor Farmasi harus


disimpan terpisah dari dokumen pegembalian obat lainnya.

6. Pemusnahan

6.1 Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib


memastikan kemasan termasuk label Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi yang akan dimusnahkan telah
dirusak.

6.2 Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi


dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

7. Pelaporan

7.1 Pelaporan Pemasukan dan Penyerahan/Penggunaan Narkotika


dan Psikotropika dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.

Anda mungkin juga menyukai