Anda di halaman 1dari 4

4.

Kajian kebiaasan masyarakat batak dalam budaya dan pariwisata

Pengembangan Pariwisata Danau Toba, menjadi momentum bagi masyarakat


sekitaran Danau Toba menjadi agen (pelaku) dalam industri pariwisata. Masyarakat sekitaran
Danau Toba masih tergolong masyarakat sederhana, dengan nilai-nilai budaya yang masih di
pegang teguh. Masyarakat sekitaran Danau Toba sebagai agen (pelaku) pariwisata, harus
menjalin komunikasi yang harmonis dengan wisatawan.

Rencana Pemerintah yang ingin menjadikan Danau Toba sebagai wisata dunia seperti Bali,
terbukti dari Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola
Kawasan Pariwisata Danau Toba. Badan yang di bentuk pemerintah untuk bertanggung
jawab langsung kepada bapak Jokowi, bertujuan mempercepat pengembangan dan
pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba.

 Budaya Keramahan Masyarakat di Daerah Danau Toba

Danau Toba adalah danau terbesar di Asia Tenggara. Pembenahan Danau Toba menjadi
destinasi pariwisata dunia, tentunya akan melibatkan peran serta masyarakat sekitaran
Danau Toba. Terdapat tujuh kabupaten, yang berada di daerah kawasan Danau Toba.
Tujuh kabupaten yang berada di sekitar Danau Toba yaitu Kabupaten Dairi, Kabupaten
Simalungun, Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba
Samosir, Kabupaten Karo dan Kabupaten Tapanuli Utara. Ketujuh daerah tersebut
memiliki sebutan sebagai orang Batak, meskipun sekarang ada terjadi Pro dan Kontra
antara penamaan Batak di kalangan masyarakat tersebut.Sikap masyarakat Batak, akan
dipengaruhi dampak dari pengembangan industri Pariwisata Danau Toba. Dampak yang
akan terjadi dari Pariwisata adalah terjadinya kontak budaya. Kontak budaya adalah
pertemuan budaya yang berbeda. Salah satunya dari norma dan nilai di dalam masyarakat
Batak, akan berbenturan dengan budaya wisatawan.Daerah Simalungun di Pinggiran
Danau Toba, masih mempunyai nilai-nilai kesopanan untuk kebiasan berpakaian dan
gaya hidup.

Penelitian Saragih ( 2017 ) di pinggiran Danau Toba dengan judul Sirungkungan


Sebagai Desa Pariwisata, Masyarakat Sirungkungan menerima dan bersikap ramah
terhadap wisatawan, apabila para wisatawan tidak melanggar norma dan adat sitiadat di
daerah tersebut. Pun dalam berbicara tidak bisa sembarangan (  berbicara tidak sopan ),
tinggal satu rumah harus yang berstatus suami istri dan berpakaian sopan, berpakaian
sopan terutama bagi kaum perempuan. Berpakaian sopan bagi orang Batak adalah
memakai pakaian yang tidak seksi (celana di atas lutut kaki dan baju yang tidak
memperlihatkan sebagian payudara) kalau lagi berbaur dan keluar rumah.

Masyarakat Batak di sekitaran Danau Toba, masih tergolong masyarakat sederhana.


Sistem ekonomi orang Batak di sekitaran Danau Toba, mayoritas masih bertani dan
menangkap ikan di Danau Toba. Bahasa yang digunakan dalam sehari-hari adalah bahasa
lokal yakni bahasa Batak.

Bahasa Batak adalah bahasa yang selalu di pegang teguh oleh orang Batak, ketika
merantaupun orang Batak akan tetap berbahasa Batak ketika bersama dengan satu suku
mereka. Keakraban dengan masyarakat Batak, mudah terjalin apabila wisatawan mampu
berbahasa Batak. Masyarakat Batak selain terbuka terhadap orang luar, orang Batak juga
akan sangat mudah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Batak.
Keakraban dengan orang Batak terjalin dengan mudah melalui ikatan marga (klen). Saling
mengenalkan marga dalam budaya Batak di sebut sebagai "martarombo". Orang Batak sangat
bersemangat ketika "martarombo", karena mengenalkan asal usul marga orang Batak akan
mengetahui hubungan kekerabatan. Orang Batak akan langsung menganggap seseorang
keluarga, apabila mempunyai marga yang satu rumpun dengannya. Pun bila tidak satu
rumpun marga, orang Batak tetap terbuka dan menghormati masyarakat luar apabila budaya
Batak juga dihargai.

Bahasa orang Batak cenderung memakai kalimat dengan memakai kata rasa seperti, "yang
kurasakan", "menurut yang kurasakan", dan "dalam perasaanku". Kata "rasa" dalam bahasa
yang diungkapkan oleh orang Batak, mencerminkan orang Batak pada hakikatnya adalah
penuh dengan sentuhan perasaan hati. Orang Batak cenderung dalam menyikapi sebuah
fenomena, percaya kepada sebuah pengalaman yang sulit di rasionalkan dengan pikiran,
tetapi dirasakan sebagai sebuah pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang di rasakan oleh
orang Batak adalah pengalaman dari kisah nenek moyang mereka. Seperti asal muasal
terbentuknya Danau Toba orang Batak melalui cerita nenek moyang mereka, percaya bahwa
Danau Toba terbentuk akibat "seorang ayah yang marah terhadap anaknya, kemudian terjadi
bencana besar yang minciptakan Danau Toba". 

Cerita tersebut sulit untuk dibuktikan secara rasional hingga saat ini. Akan tetapi
orang Batak percaya kepada nenek moyangnya, sehingga cerita itu hidup dalam perasaan
orang Batak, meskipun seraca rasional sulit untuk dibuktikan. Masyarakat Batak sebagai tuan
rumah, masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal. Bahasa dan ucapan orang Batak,
dibentuk dan dipengaruhi oleh budaya lingkungan tempat tinggal masyarakat Batak.  Budaya
wisatawan ketika bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya orang Batak, akan
menimbulkan kesenjangan. Kesenjangan yang terjadi akibat kontak budaya, antara budaya
Batak yang berbeda dengan budaya wisatawan adalah penolakan wisatawan untuk tinggal di
daerah tersebut.

Seperti kasus dalam penelitian Andrew Causey ( 2006 ) di Samosir dengan judul
bukunya Danau Toba, meskipun wisatawan asing telah menyewa rumah warga dan tujuan
mereka hanya untuk berwisata. Masyarakat menolak mereka dan langsung berterus terang
kepada pemilik rumah mereka tinggal, untuk mengusir mereka dari tempat permukiman
mereka, karena telah melanggar adat istiadat masyarakat setempat.

 Membentuk Sikap Ramah Orang Batak

Sikap seorang "pelayan", sangat diperlukan oleh masyarakat Batak sebagai tuan rumah.
Keramahan orang Batak, tentunya menjadi sebuah alasan untuk keberlangsungan
pengembangan pariwisata Danau Toba. Nilai-nilai budaya dan kehidupan yang masih
sederhana, dengan sikap masyarakat Batak lebih suka berterus terang terhadap apa yang ingin
di sampaikan, meskipun ucapan tersebut menimbulkan sakit hati. Terlebih, apabila itu
melanggar norma dan nilai yang di anut oleh masyarakat setempat, supaya adat istiadat orang
Batak tidak ternodai.Wisatawan yang melakukan aktivitas hidup di dalam masyarakat Batak,
tentunya akan menjadi sorotan masyarakat setempat. aktivitas yang melanggar norma-norma
orang Batak akan di tegur ataupun ditolak berada di daerah orang Batak. Sifat orang Batak
yang berterus terang dan ditambah dengan suara yang lantang, akan membuat perasaan yang
kurang baik bagi wisatawan kalau di tegur.
Penelitian Andrew Causey ( 2006 ) di Samosir dengan judul bukunya Danau Toba,
menemukan sebuah kesenjangan kontak budaya terjadi antara budaya Eropa dengan budaya
orang Batak. Terdapat dua perempuan dan empat laki-laki orang Eropa, menyewa satu rumah
di tengah permukiman warga, mereka tinggal bersama dalam satu rumah tersebut. 

Mereka memakai baju dekil yang "tidak sopan" dan para laki-laki Eropa tesebut,
terkadang duduk menyamping dengan celana pendek rayon, sehingga sebagian dari kemaluan
mereka terlihat. Sehingga terjadi kemarahan tetangga rumah tempat orang-orang Eropa
tersebut, kepada pemilik rumah yang menyewakan kepada mereka. Kontak budaya yang
terjadi di dalam pariwisata agar mampu menciptakan keharmonisan, salah satu budaya harus
menerima budaya lain dengan sikap positif. Orang Batak sebagai tuan rumah yang
memegang teguh adat istiadat dan memiliki filosofi bahwa mereka adalah Raja di daerahnya,
tentunya sulit bagi orang Batak untuk menerapkan sikap seorang "pelayan".

Kehidupan orang Batak yang miskin maupun kaya, tidak menghapuskan paradigma
Raja dalam pemikiran orang Batak. Miskin maupun Kaya orang batak tetap adalah Raja
dalam pemikiranya. Pemikiran Raja di dalam budaya Batak, karena nenek moyang orang
Batak ataupun orang Batak sering menyebut "oppung" adalah Raja. Sehingga dalam
kepercayaan orang batak, keturunan Raja adalah tetap seorang raja tidak terlepas dia mau
kaya ataupun miskin, atau berpendidikan  maupun tidak berpenidikan. Paradigm Raja dalam
Budaya batak akan sulit membentuk sikap "pelayan"  untuk para wisatawan, karena Raja
sebagaimana adalah orang yang harus dilayani bukan melayani.

Kontak budaya yang terjadi dari ketidakmampuan salah satu  penganut budaya, untuk
menerima budaya lain akan menimbulkan sikap yang tidak harmonis atau tidak ada lagi
keramahan, namun hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial. Pentingnya pendidikan
pariwisata bagi tuan rumah dalam pariwisata, sangat berguna untuk tujunan keberhasilan
pariwsata tersebut. Wisatawan asing dengan kebiasan dan gaya hidup yang sudah
fundamental, sulit juga untuk mengubah kebiasaaan dan gaya hidup mereka, apalagi mereka
sudah membayar mahal untuk berkunjung ke suatu desitinasi wisata tertentu. Kebiasaan
hidup wisatawan Asing memakai celana pendek baik perempuan dan wanita, kemudian
beraktivitas keluar rumah dengan pakaian tersebut, mungkin adalah hal yang biasa dan tidak
ada sangkut pautnya dengan masalah moral. Akan  tetapi wisatawan Asing, berada di
lingkungan yang kebiasaan mereka itu berlawanan dengan norma dan adat istiadat daerah
setempat. Sikap budaya wisatawan Asing dengan membawa kebiasaan hidup mereka,
tentunya akan sulit bagi masyarakat setempat untuk bersikap ramah kepada mereka, jikalau
sudah ada kesenjangan akibat kontak budaya yang tidak harmonis.

Budaya Batak dan budaya wisatawan, salah satunya harus mengalami rekonstruksi dan
rekayasa budaya, guna menghapus dampak kesenjangan dari kontak budaya. Kebiasan dan
gaya hidup wisatawan, harus di seseuaikan dengan kebiasaan dan gaya hidup masyarakat
setempat. 

Hanya saja pemikiran wisatawan asing yang berlandaskan kepada rasional, sulit
mengubahnya. Pun wisatawan diberikan pendidikan akan penyesuaian budaya masyarakat
setempat, mungkin wisatawan akan sulit lagi menikmati proses kunjungan wisatanya, karena
menikmati pariwisata tidak sesuai dengan ekspresinya. Gaya hidup dan kebiasaan yang di
miliki wisatawan menjadi salah satu faktor untuk menikmati berwisata. Tentunya kebebasan
untuk mengekspresikan kebiasaan dan gaya hidup, menjadikan kepuasaaan tersendiri dalam
menikmati pariwisata.
Pembangunan Danau Toba menjadi destinasi pariwisata dunia, tentunya tidaklah mudah dan
secepat membalikkan telapak tangan. Kebudayaan Orang Batak adalah menjadi pondasi
dalam menciptakan wisata Dunia, karena dari kebudayaan akan membentuk sikap dan
tingkah laku masyarakat. 

Pembangunan hotel dan fasilitas infrastrukur bukanlah hal yang utama mencapai Danau Toba
sebagai destinasi Pariwisata dunia. Pondasi utama dalam pembangunan pariwisata adalah
pencapaian keharmonisan antara wisatawan dan masyarakat setempat, sehingga akan
menciptakan sikap ramah tuan rumah dengan wisatawan. Tersedianya Hotel dan fasilitas
lainnya akan mampu berfungsi dengan baik, apabila perkembangan pembangunan
manusianya sudah tercapai dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai