Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENGELOLAAN LINGKUNGAN MINYAK DAN GAS


“LIMBAH PADA PENGEBORAN MINYAK DAN GAS BUMI”

Disusun Oleh:

NAMA : Jefrianus Jaranika


NIM : 182104102350

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah lingkungan hidup tidak bisa lepas dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
(migas). Salah satu isu yang saat ini tengah mengemuka adalah masalah pengelolaan limbah
kegiatan pengeboran. Masalah tersebut mendapat sorotan tajam dari Kementerian Lingkungan
Hidup karena jumlah limbah dari industri hulu migas menempati urutan kedua terbanyak di
Indonesia.
Dari kacamata Kementerian Lingkungan Hidup, pengelolaan limbah kegiatan pengeboran
yang dilakukan selama ini masih mengacu pada pendekatan hirarki pengelolaan limbah secara
umum. Dalam pendekatan tersebut, pengelolaan limbah diawali dengan meminimalkan tingkat
toksisitas limbah, yang berarti pembuangan limbah (dumping) menjadi opsi terakhir. Padahal,
pengelolaan limbah harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, polluter pay principles,
ketersediaan teknologi, dan good governance.
Melihat permasalahan yang muncul, pengelolaan limbah hasil kegiatan pengeboran yang
berupa sisa lumpur dan serbuk bor harus dilakukan dengan tepat untuk mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan. Langkah ini diperlukan karena kegiatan pengeboran menjadi tulang
punggung kegiatan usaha hulu migas. Apabila pengelolaan limbah tidak dilakukan dengan benar,
kegiatan pengeboran bisa dihentikan karena dianggap membahayakan lingkungan. Padahal,
kegiatan pengeboran dilakukan tidak hanya untuk memenuhi target produksi migas tiap tahun,
tapi juga untuk menemukan cadangan baru.
Supaya kegiatan pengeboran tetap bisa berjalan tanpa menimbulkan dampak yang bisa
membahayakan lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup menyarankan digunakannya
Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah
Lumpur dan Serbuk Bor pada Kegiatan Pengeboran Minyak dan Gas Bumi sebagai acuan dalam
pengelolaan limbah. Peraturan tersebut juga digunakan sebagai referensi izin pembuangan
limbah kegiatan pengeboran lepas pantai.
Limbah lumpur minyak bumi (LMB) merupakan limbah akhir dari serangkaian proses dalam
industri pengilangan minyak bumi (Scora et al.,1997). Kegiatan operasinya dimulai dari
eksplorasi, produksi (pengolahan sampai pemurnian) sampai penimbunan dan berpotensi
menghasilkan limbah berupa lumpur minyak bumi (oily sludge) (Rossiana et al., 2007).
Lumpur bor dan serbuk bor merupakan limbah hasil dari pengeboran minyak dan gas.
Limbah ini termasuk pada limbah yan dapat merusak lingkungan sekitar. Oleh karena itu harus
dilakukan pengolahan yang dapat mengurangi dampak pencemaran pada lingkungan yang
dihasilkan dari pengeboran minyak dan gas ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber-sumber limbah pada pengeboran minyak yang terdapat di lingkungan?
2. Bagaimana dampak limbah pada pengeboran minyak bumi terhadap lingkungan?
3. Bagaimana metode pengolahan limbah pada pengeboran minyak bumi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sumber-sumber limbah pada pengeboran minyak yang terdapat di
lingkungan?
2. Untuk mengetahui dampak limbah pada pengeboran minyak bumi terhadap lingkungan?
3. Untuk mengetahui metode pengolahan limbah pada pengeboran minyak bumi?
 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sumber Limbah Minyak Bumi


Berdasarkan buku Pertamina (1986), sumber limbah cair minyak bumi berasal dari
kegiatan-kegiatan antara lain:
1. Air pendingin di kilang minyak, dimana bila terjadi kebocoran pada pipa pendingin,
bocoran minyak akan terbawa air.
2. Air sisa umpan boiler untuk pembangkit uap air.
3. Air sisa dari lumpur pembocoran.
4. Air bekas mencuci peralatan-peralatan dan tumpahan-tumpahan/ ceceran minyak di
tempat kerja.
5. Air hujan.
Perusahaan minyak menghasilkan limbah minyak dalam bentuk lumpur dari berbagai
lapangan produksi. Menurut Damanhuri (1996), lumpur adalah bahan berfase solid yang
bercampur dengan media air (liquid), namun tidak dapat disebut atau disamakan dengan air.
Sedangkan limbah lumpur minyak (oil sludge) adalah kotoran minyak yang terbentuk dari
proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang tidak dapat digunakan atau
diproses kembali dalam proses produksi. Kandungan terbesar dalam oil sludge adalah
petroleum hydrocarbon (Pertamina, 2001), yang dapat diolah dengan proses bioremediasi.
2.1.1 Perkiraan Minyak Bumi yang Masuk ke Lingkungan Laut
Keberadaan senyawa hidrokarbon di perairan berasal dari beberapa sumber, antara lain
dari biosintesis, geokimia, dan antropogenik. Menurut Farrington dan Meyers (1975) jumlah
senyawa hidrokarbon yang berasal dari biosintesis berkisar antara 1-10 juta ton per tahun,
dan menurut Mulyono (1988) senyawa hidrokarbon yang berasal dari rembesan geologi
adalah sekitar 0,6 juta ton per tahun. Sisanya berasal dari sumber antropogenik hasil
pengelolaan minyak bumi (pengolahan, tranportasi, dan pengeboran) (Marsaoli, 2004).
Senyawa aromatik dalam minyak lebih toksis dibandingkan dengan senyawa alkana.
senyawa aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzen, PAH bersifat toksis.
Kadar PAH yang relatif tinggi juga pernah ditemukan oleh beberapa peneliti (Maher et al.,
1979; Bagg et al., 1981), dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Ini
pola umum di mana PAH cenderung berkumpul dalam sedimen perairan yang dekat dengan
daerah perkotaan. Menurut Connel dan Miller (1981), PAH dapat berasal dari air buangan,
seperti buangan rumah tangga dan industri, sampah, dan aliran buangan kota, serta dalam
buangan atmosferik dari pembakaran bahan bakar fosil. Menurut Clark dan Macleod (1977)
hidrokarbon alifatis dan aromatis terdapat di seluruh estuari, daerah pantai, dan lingkungan
samudera dengan kadar tertinggi di daerah estuari dan habitat intertidal.
2.1.2 Sumber Limbah Solvent Acidity
Untuk mendukung kelancaran operasi kilang, baik BBM, non BBM, maupun
kilang paraxylene, tidak lepas dari sarana-sarana penunjang. Sarana tersebut antara lain
adalah Laboratorium Kilang yang telah mendapatkan sertifikat SNI 19-17025 berfungsi
sebagai pengontrol spesifikasi dan kualitas bahan baku serta produk antara maupun produk
akhir. Keberadaan fasilitas ini amat menentukan suatu keberhasilan perusahaan, terlebih pada
era perdagangan bebas. Karena itu laboratorium dilengkapi dengan fasilitas penelitian dan
pengembangan, sehingga produk yang dihasilkan terjaga kualitasnya, agar tetap mampu
bersaing di pasaran. Laboratorium Kilang Pertamina UP IV Cilacap yang bertugas sebagai
pengontrol spesifikasi dan kualitas produk Pertamina mempunyai tiga seksi laboratorium,
salah satunya adalah Laboratorium Lindungan Lingkungan dan Riset yang mempunyai tugas
antara lain memeriksa keasaman pada sampel pelumas, minyak bumi dan sebagian fraksi-
fraksinya. Dari pemeriksaan keasaman ini timbul limbah acidity yang tergolong pada limbah
B3 cair sebanyak 220 ml untuk setiap sampel/contoh (Susilo, 2006).
1. Pemeriksaan Keasaman (Conshohocken, 1999)
Pemeriksaan keasaman ini mencakup penentuan zat-zat yang bersifat asam didalam
minyak bumi dan pelumas, baik yang larut maupun agak larut dalam
campuran toluene  dan isopropyl alcohol. Untuk menentukan keasaman, contoh dilarutkan
dalam solvent acidity yang terdiri dari campurantoluene 50 %, isopropyl alcohol 49,5 %, dan
air 0,5 %. Pada larutan homogen yang terbentuk dititrasi pada suhu kamar dengan
larutanstandard basa dalam alcohol, sampai titik akhir yang ditandai dengan perubahan
warna larutan p-naphtholbenzein yang ditambahkan (warnanyaorange dalam suasana asam
dan hijau dalam suasana basa).
2. Arti dan Kegunaan
Hasil-hasil minyak bumi yang baru maupun bekas kemungkinan mengandung zat-zat
basa atau asam yang berada sebagai additive atau hasil degradasi yang terbentuk selama
penggunaannya, misalnya hasil oksidasi. Jumlah relatif dari zat-zat ini dapat ditentukan
dengan titrasi menggunakan asam atau basa. Angka keasaman adalah ukuran dari jumlah zat
yang bersifat asam dalam minyak, dalam kondisi pengujian. Angka ini sebagai pengendalian
kualitas dalam minyak mentah maupun pembuatan pelumas. Juga seringkali digunakan
sebagai ukuran degradasi pelumas dalam penggunaanya.
2.2 Dampak Pencemaran Limbah Minyak Bumi
Akibat-akibat jangka pendek dari pencemaran minyak bumi sudah banyak dilaporkan
(Connel dkk, 1981). Molekul-molekul hidrokarbon minyak bumi dapat merusak membran sel
yang berakibat pada keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel.
Ikan-ikan yang hidup di lingkungan yang tercemar oleh minyak dan senyawa hidrokarbon
akan mengalami berbagai gangguan struktur dan fungsi tubuh. Berbagai jenis udang dan ikan
akan beraroma dan berbau minyak, sehingga berkurang mutunya (Soesanto, 1973). Secara
langsung minyak dapat menimbulkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan oleh
kekurangan oksigen, keracunan karbondioksida dan keracunan langsung oleh bahan beracun
yang terdapat dalam minyak.
Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak ternyata dapat pula menimbulkan
beberapa masalah yang serius terutama bagi biota yang masih muda (Sumadhiharga, 1995).
Satu kasus yang menarik adalah usaha perikanan di Santa Barbara, California, yang
mengalami penurunan hasil perikanan setiap bulannya dari tahun 1965-1969. Penurunan
yang paling rendah terjadi ketika pelabuhan Santa Barbara dicemari oleh minyak buangan.
Kasus limbah minyak yang menyebabkan bau ikan tidak enak terjadi pada ikan-ikan yang
diolah di pelabuhan Osaka. Hal ini juga terjadi pada ikan-ikan belanak yang berasal dari
suatu tambak yang diisi air yang mengandung limbah minyak dari lapangan terbang Iwakuni.
Ikan belut dan ikan sebelah yang ditangkap beberapa kilometer dari pelabuhan Yokkaichi
juga berbau minyak karena masuknya limbah minyak dari pabrik minyak. Hasil penelitian
terhadap kedua jenis ikan tersebut dapat diketahui bahwa batas toleransi minyak pada air laut
berada antara 0,001-0,01 ppm. Apabila batas tertinggi kadar tersebut sudah terlewati maka
bau minyak mulai timbul (Nitta, 1970). Di beberapa tempat di Australia telah ditemukan
bahwa zat hidrokarbon dari minyak tanah terdapat pada ikan belanak yang diduga berasal
dari air limbah pabrik penggilingan minyak yang dibuang ke laut (Sidhu, 1970).
Seperti yang diungkapkan di atas bahwa senyawa hidrokarbon aromatik ini bersifat
racun, salah satunya adalah PAH yakni senyawa aromatik dengan dua atau lebih cincin
benzen. PAH yang larut pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm dapat menyebabkan keracunan pada
makhluk hidup( Connel dan Miller, 1981), sedangkan PAH dalam kadar rendah dapat
menurunkan laju pertumbuhan, perkembangan, dan makan makhluk perairan (Neff, 1979).
Keadaan ini telah diungkapkan oleh Connel dan Miller (1981) untuk ikan, hewan berkulit
keras dan moluska. Selain itu hidrokarbon minyak bumi yang terserap ke dalam tubuh biota
menimbulkan rasa yang menyengat dan memerlukan waktu tertentu untuk dapat hilang.
2.2.1 Minyak Menyebabkan Munculnya Gangguan Kesehatan Serius
Seperti halnya dengan bahan-bahan kimia, gangguan-gangguan kesehatan yang
disebabkan minyak mungkin sulit dibuktikan karena memang butuh waktu yang panjang
untuk menimbulkan dampak kesehatan warga.Tetapi, sebagian besar warga yang tinggal di
dekat lokasi pengeboran minyak dan kilang sudah terbiasa dengan polusi udara dan air dari
minyak.Mengebor untuk mendapatkan minyak, memprosesnya, dan membakar minyak
sebagai bahan bakar, semua kegiatan ini akan mendatangkan masalah-masalah kesehatan
serius.
2.2.2 Dampak Kesehatan Jangka Panjang
2.3.2.1 Minyak menyebabkan munculnya gangguan reproduksi
Menghirup uap atau menelan makanan atau cairan yang terkontaminasi minyak dan gas
dapat menyebabkan munculnya problem kesehatan reproduksi seperti siklus haid yang tidak
teratur, keguguran, meninggal dalam kandungan, dan cacat lahir. Masalah-masalah ini
mungkin punya tanda-tanda peringatan dini seperti nyeri lambung atau haid yang tidak
teratur.
2.3.2.2 Minyak menyebabkan kanker
Pemaparan secara periodik dengan gas dan minyak menyebabkan kanker.Anak-
anak yang tinggal di sekitar kilang lebih mungkin mendapatkan kanker darah (leukemia) dari
pada mereka yang tinggal jauh dari fasilitas tersebut. Orang-orang yang tinggal di kawasan
pengeboran minyak lebih mungkin mendapatkan kanker usus, kantong kemih, paru-paru
daripada mereka yang tinggal jauh dari lokasi pengeboran. Para pekerja di kilang-kilang
minyak punya resiko tinggi mengidap kanker mulut, usus, ulu hati, pankreas, jaringan sel,
prostat, mata, otak, dan darah.
Ketika Texaco mulai mengebor untuk mencari minyak di Ekuador, kanker tidak dikenal
di kawasan ini.Empat puluh tahun kemudian, pada 2 daerah minyak yang paling sering
dieksploitasi di Amazon, para penggerak kesehatan komunitas mensurvei 80 komunitas.
Mereka menemukan bahwa 1 dari 3 orang menderita sejenis kanker.
2.2.3 Tumpahan Minyak
Di mana ada minyak, di situ pasti ada tumpahan. Kapal-kapal dan truk bisa kecelakaan,
dan jalur pipa bisa bocor. Perusahaan bertanggung jawab untuk mencegah tumpahan dan
membersihkannya jika hal ini terjadi.
Ada pepatah “Minyak dan air tidak mungkin bercampur.” Tetapi, ketika minyak tumpah
ke air, bahan-bahan kimia yang berasal dari minyak tersebut pasti bercampur dengan air dan
menggenang didalam air untuk beberapa waktu. Lapisan minyak yang lebih tebal menyebar
di seluruh permukaan dan mencegah masuknya udara ke dalam air. Ikan, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan yang hidup di air tidak bisa bernafas. Ketika minyak tumpah ke dalam air,
bahan-bahan kimianya yang tertinggal di sana bisa membuat air tersebut tidak aman
diminum, bahkan setelah minyak yang kasat mata dikeluarkan.
Ketika minyak tumpah ke tanah, ia akan menghancurkan lapisan tanah dengan mendesak
udara keluar dan membunuh makhluk-makhluk hidup yang membuat lapisan tanah menjadi
sehat. Hal yang hampir serupa terjadi jika minyak mengenai kulit kita atau kulit khewan.
Minyak akan menutupi kulit dan menghalangi udara masuk. Racun-racun yang berasal dari
minyak juga meresap ke dalam tubuh melalui kulit, dan menimbulkan penyakit.
2.2.4 Dampak di Laut
Akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut adalah:
1. Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap
yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan.
Gumpalan taryang terbentuk dalam proses pelapukan minyak akan hanyut dan
terdampar di pantai.
2. Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu
reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun
subsel pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal
yaitu mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan
kematian secara langsung. Terumbu karangakan mengalami efek letal dan subletal
dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari
komunitasnya.
3. Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun
dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari
proses biodegradasi. Jika jumlah pitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang,
dan kerang juga akan menurun. Padahal hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia
karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein yang tinggi.
4. Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan
minyak di permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini
dikarenakan slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk
hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak,
terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan
isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya mati.

2.2.5 Dampak Limbah Solvent Acidity Terhadap Kesehatan


Limbah solvent acidity berasal dari buangan proses pemeriksaan keasaman, merupakan
limbah kimia cair yang terdiri dari campuranisopropyl alcohol, toluene dan sample, berwarna
gelap yang sangat berbahaya terhadap kesehatan (Imamkhasani, 1998). Bahaya isopropyl
alcohol terhadap kesehatan adalah :
1. Efek jangka pendek (akut) antara lain pada penghirupan konsentrasi 400 ppm dapat
menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan bagian atas.
2. Penghirupan lebih besar akan menyebabkan pusing dan mengganggu keseimbangan
tubuh.
3. Kontak dengan mata dapat menyebabkan iritasi, tetapi tidak pada kulit.
4. Bila terminum dapat menyebabkan muntah, diare dan hilang kesadaran.
5. Efek jangka panjang (kronis) antara lain bila terkena kulit dapat menyebabkan kulit
kering dan pecah-pecah. Nilai Ambang Batas : 200 ppm (500 mg/m3)-kulit; STEL =
250 ppm; Toksisitas : LD50 (tikus, oral) = 1870-6500 mg/kg.
2.3 Pengolahan Limbah Minyak Bumi
 Pengolahan limbah minyak bumi dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Pengolahan
secara fisika dilakukan untuk pengolahan awal yaitu dengan cara melokalisasi tumpahan
minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer
dengan perangkat pemompa ( oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima “reservoar” baik
dalam bentuk tangki ataupun balon dan dilanjutkan dengan pengolahan secara kimia, namun
biayanya mahal dan dapat menimbulkan pencemar baru. Pengolahan limbah secara biologi
merupakan alternatif yang efektif dari segi biaya dan aman bagi lingkungan. Pengolahan
dengan metode biologis disebut juga bioremediasi, yaitu bioteknologi yang memanfaatkan
makhluk hidup khususnya mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun
bahan pencemar (Lasari, 2010).
Secara umum beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak yang menjadi limbah
diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan bahan
kimia dispersan, dan washing oil (Anonim, 1994).
In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan laut, sehingga mengatasi
kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak
serta air laut yang terasosiasi. Teknik ini membutuhkan booms (pembatas untuk mencegah
penyebaran minyak) atau barrieryang tahan api. Namun, pada peristiwa tumpahan minyak
dalam jumlah besar sulit untuk mengumpulkan minyak yang dibakar. Selain itu, penyebaran
api sering tidak terkontrol.
Penyisihan minyak secara mekanis melalui 2 tahap, yaitu melokalisir tumpahan dengan
menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan
menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer.
Bioremediasi yaitu proses pendaurulangan seluruh material organik. Bakteri pengurai
spesifik dapat diisolasi dengan menebarkannya pada daerah yang terkontaminasi. Selain itu,
teknik bioremediasi dapat menambahkan nutrisi dan oksigen, sehingga mempercepat
penurunan polutan.
Penggunaan sorbent dilakukan dengan menyisihkan minyak melalui
mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan
absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa
minyak dari cair menjadi padat, sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus
memiliki karakteristik hidrofobik, oleofobik, mudah disebarkan di permukaan minyak, dapat
diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas,
jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan
sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon). Dispersan kimiawi
merupakan teknik memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet), sehingga
mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan minyak. Dispersan
kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan.
Washing oil yaitu kegiatan membersihkan minyak dari pantai.
Peralatan yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak:
 Booms merupakan alat untuk menghambat perluasan hambatan minyak.
 Skimmers yaitu kapal yang mengangkat minyak dari permukaan air.
 Sorbent merupakan spons besar yang digunakan untuk menyerap minyak.
 Vacuums yang khusus untuk mengangkat minyak berlumpur dari pantai atau
permukaan laut.
 Sekop yang khusus digunakan untuk memindahkan pasir dan kerikil dari minyak di
pantai.
Kegiatan huiu dan hilir industri minyak bumi tidak terlepas dari kemungkinan
pencemaran minyak di ke lingkungan, khususnya perairan dan sedimen. Salah satu metode
pengolahan limbah secara yang saat ini terus dikembangkan adalah bioremediasi yang
merupakan teknologi ramah lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis (Yani et
al., 2007).
Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak yang dapat dipilih
berdasarkan jenis minyak pencemar, konsentrasi minyak pencemar dan lokasi pencemaran,
yakni dibakar, diberi disperser dan kemudian dihisap kembali dengan skimmer untuk diolah
di kilang minyak, dan didegradasi dengan memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi
hidrokarbon. Bioremediasi, pengelolaan yang mengandalkan degradasi dengan
memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon, merupakan cara yang paling
ekonomis dan dapat diterima lingkungan. Bioremediasi dapat digunakan untuk mengatasi
masalah lahan tercemar minyak baik secara in situ maupun ex situ.
Biostimulation dan bioaugmentationmerupakan contoh pelaksanaan bioremediasi secara in
situ, sedangkan landfarming, biopile,dan composting merupakan contoh pelaksanaan
bioremediasi secara ex situ (Arifin et al., 2004).
Dalam pelaksanaan bioremediasi, baik secara in situ maupun ex situ, perlu dilakukan
pemantauan terhadap proses pengolahan dan hasil akhir pengolahan. Hal itu perlu dipantau
adalah kandungan minyak bumi dan/atau kandungan total hidrokarbon minyak bumi.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh
Minyak Bumi secara Biologis mensyaratkan kandungan total hidrokarbon minyak bumi yang
tidak lebih dan 15 % di awal proses bioremediasi. Selama proses bioremediasi, kandungan
total hidrokarbon minyak bumi perlu dipantau setidaknya setiap 2 minggu. Pemantauan
kandungan bensena, toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatic perlu
dilakukan di akhir proses bioremediasi. Kandungan total hidrokarbon minyak bumi di akhir
proses bioremediasi disyaratkan di bawah 1 %. Di akhir proses bioremediasi, kandungan
toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatik disyaratkan masing-masing
berada di bawah 10 ppm, sedangkan kandungan bensena disyaratkan berada di bawah 10
ppm.
Limbah industri minyak bumi (Oil sludge) yang berupa cairan dan padatan merupakan
obyek dalam makalah ini, limbah tersebut merupakan limbah bahan beracun dan berbahaya
(B3). Detoksifikasi dan degradasi limbah tersebut dapat dilakukan secara biologis yang aman
dan ramah lingkungan dengan menggunakan 3 jenis bakteri dan tumbuhan yang dikenal
dengan Fitoremediasi. Penggunaan eceng gondok untuk limbah cair dan sengon bermikoriza
untuk pengolahan dan penurunan zat organik dalam limbah padat diharapkan dapat
menunjang pengelelolaan limbah secara terpadu dan berkelanjutan di lingkungan industri
minyak pada khususnya dan umumnya bagi seluruh perindustrian (Rossiana et al., 2007).
Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk meminimalisasi dan
mendetoksifkasi polutan, karena tanaman mempunyai kemampuan menyerap logam dan
mineral yang tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan
tumbuhan dan mikroorganisme untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan adalah
pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat diaplikasikan
pada limbah organik maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas (Salt et al., 1998).
Menurut Corseuil & Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam menghadapi toksikan
adalah:
1. Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada tanaman
musiman, tanaman dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada musim yang cocok.
2. Ekslusi. Tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan mencegah penyerapan
sehingga tidak mengalami keracunan.
3. Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi berusaha
untuk meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukkan kelat
(chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
4. Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat berfungsi
pada konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim.
Tanaman meremediasi polutan organik melalui tiga cara, yaitu menyerap secara langsung
bahan kontaminan, mengakumulasi metabolisme non fitotoksik ke sel-sel tanaman, dan
melepaskan eksudat dan enzim yang dapat menstimulasi aktivitas mikroba, serta menyerap
mineral pada daerah rizosfer. Tanaman juga dapat menguapkan sejumlah uap air. Penguapan
ini dapat mengakibatkan migrasi bahan kimia ( Schnoor et al., 1995).
Tanaman melepaskan eksudatnya yang dapat membantu bioremediasi bahan organik oleh
mikroba agar bahan organik tersebut dapat diserap dan dimetabolisme dalam tubuh tanaman.
Penyerapan polutan berupa bahan organik dibatasi oleh mekanisme penyerapan oleh tanaman
dan jenis tanaman (Schnoor, 2000).
Tanaman dapat memperluas daerah perakaran menuju ke daerah yang terkena polutan
(EPA, 2000). Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman dengan bantuan air dan
CO2. Tanaman mengeluarkan sekret melalui akar eksudat akar sebesar 10 – 20% dari hasil
fotosintesis melalui eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses pertumbuhan dan
metabolisme mikroba maupun fungi yang hidup disekitar rizosfer. Beberapa senyawa
organik yang dikeluarkan melalui eksudat akar (misalnya phenolik, asam organik, alkohol,
protein) dapat menjadi sumber karbon dan nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba
yang dapat membantu proses degradasi senyawa organik. Sekret berupa senyawa organik
dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan aktivitas mikroba rhizosfer (Salt et al.,
1998).
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik dengan cara
biokimia dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritif organik yang dilakukan pada
permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan dimetabolisme atau diimobilisasi melalui
sejumlah proses termasuk reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000).
Tanaman sengon merupakan tanaman Leguminosae, sering digunakan sebagai tanaman
untuk reboisasi karena bersifat fast growing trees. Selain mempunyai dua nama latin yakni
Albizia falcataria (L) Forberg dan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, sengon
mempunyai nama daerah yang bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
program pemerintah berupa proyek “Sengonisasi” bagi daerah-daerah kritis yang rawan
bencara erosi (National Academy of Sciences, 1979). Manfaat penting dari penggunaan
mikoriza adalah asosiasi jamur dan tanaman berkemampuan sebagai biofertilizer,
mendetoksifikasi dan mendegradasi senyawa yang sukar diuraikan dalam tanah. Peranan
mikoriza dalam rizosfer adalah memfasilitasi pergerakan mineral tanah menuju tanaman.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di laboratorium, rumah kaca dan terakhir dalam
skala lapangan selama 6 bulan menunjukkan bahwa fitoremediasi limbah lumpur minyak
konsentrasi 20% dengan tanaman sengon (Paraserianthes Falcataria L. Nielsen) bermikoriza
yang mediumnya diinokulasi bakteri Pseudomonas mallei, Bacillus alvei danPseudomonas
sphaericus  potensial untuk dikembangkan.Tanaman sengon mengalami pertumbuhan baik
selama fitoremediasi. Hasil analisis setelah fitoremediasi menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kandungan minyak sampai 51,23% dan kandungan logam berat Cd, Cr, Pb, Cu,
Zn dan Ni.masing-masing sebesar 30,2%, 2,5%, 32,6%, 71,9%, 62,8% dan 47,09%.
(Rossiana, 2005).
Saat ini pengetahuan mengenai mekanisme fisiologi fitoremediasi mulai digabungkan
dengan biologi dan teknik untuk mengoptimalkan fitoremediasi sehingga terbagi menjadi
(Salt et al., 1998):
1. Fitoekstraksi : pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi polutan untuk memindahkan
logam berat atau polutan organik dari tanah dengan cara mengakumulasikannya di
bagian tumbuhan yang dapat dipanen.
2. Fitodegradasi : pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme untuk
mendegradasi polutan organik.
3. Rhizofiltrasi : pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap polutan, terutama logam
berat, dari air dan aliran limbah.
4. Fitostabilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi polutan dalam lingkungan.
5. Fitovolatilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan polutan. Pemanfaatan
tumbuhan untuk memindahkan polutan dari udara.
Penggunaan metode dan proses biologi dalam menurunkan kadar polutan yang bersifat
toksik terhadap lingkungan akibat adanya xenobiotik/zat yang menyebabkan pencemaran,
adalah nama lain dari bioremediasi (Baker & Herson, 1994). Bioremediasi merupakan salah
satu teknologi inovatif untuk mengolah kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba,
tanaman, enzim tanaman atau enzim mikroba (Gunalan, 1996).
Metode dan prinsip proses bioremediasi adalah biodegradasi yang dilakukan secara
aerob, oksigen dalam konsentrasi rendah akan mempengaruhi proses tersebut (Eweis, et
al.,1998). Pentingnya aerasi untuk memenuhi kekurangan oksigen berkaitan dengan kurang
efektifnya kerja enzim oksigenase dalam penguraian fraksi aromatik. Selain oksigen,
rendahnya kandungan nutrisi dalam medium akan membatasi pertumbuhan mikroorganisme
untuk mendegradasi.
Faktor penghambat bioremediasi adalah bahan yang akan diremediasi mengandung klorin
atau logam berat. Kandungan logam berat baik dalam lumpur minyak maupun dalam
medium pasca bioremediasi akan mempengaruhi penguraian bahan organik, karena akan
menghambat kerja enzim dan populasi mikroorganisme yang selanjutnya akan menjadi
kendala bagi pertumbuhan tanaman (Garcia et al., 1995).
Selain itu perlu ada upaya menghilangkan terlebih dahulu logam berat yang terdapat
dalam limbah dengan menggunakan adsorben sebelum proses bioremediasi. Penggunaan
pasir dan zeolit sebagai campuran dan adsorben alam penyerap logam berat merupakan
penanganan awal sebelum dilakukan proses lebih lanjut, sehingga kemungkinan adanya
proses inhibisi enzim oleh ion logam dapat diatasi.
Dalam bioremediasi penggunaan mikrooorganisme indigenous (indigen) saja masih
belum maksimum sehingga diperlukan inokulasi eksogenous  (eksogen) yang merupakan
kultur campuran (konsorsium) beberapa jenis bakteri atau jamur yang potensial dalam
mendegradasi pencemar tersebut (Udiharto & Sudaryono, 1999).
Sedangkan pengolahan limbah cair minyak bumi dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Incineration
Incineration adalah salah satu cara untuk menguraikan liquid wastes, dan dengan cara
dan alat yang didesain baik dapat menghasilkan effluent / limbah yang memenuhi
peraturan pencemaran.
Liquid waste dari sisi combustion  dapat dikelompokkan atas :
1. Combustible Liquids
2. Partially Combustible Liquids
Combustible liquids tidak dapat dikerjakan atau dibuang ke incinerator. Pada kelompok
pertama akan terdiri dari bahan-bahan yang mempunyai nilai yang cukup menunjang
pembakaran dalamcombustor, burner, atau alat lain yang menghasilkan CO2 dan H2O bila
dibakar. Kelompok kedua akan meliputi bahan-bahan yang sulit terbakar tanpa penambahan
bahan bakar. Bahan yang partially combustible mungkin mengandung mateial yang terlarut
dalam faseliquid, bila zat inorganik akan membentuk inorganik oxida.
Dalam pelaksaannya harus dialirkan udara secukupnya pada suhu diatas ignation
point agar terjadi pembakaran yang cepat dan menghasilkan CO2, N2 dan uap air. Karena
pembakaran akan lebih cepat dan lebih baik bila bahan dalam keadaan butir halus
maka atomizer  diperlukan untuk menginjeksikan waste liquids ke
incinerator  bila viscositinya memungkinkan.
1. Dilution (Liquid Waste Dispersion)
Suatu cara lain membuang cairan limbah yang dapat diterima adalah kembali ke
lingkungan dengan pengenceran secukupnya hingga tidak menimbulkan bahaya atau
peracunan terhadap lingkungan. Dengan perancangan subsurface disfersion system yang
baik, akan memungkinkan wadah penerima dapat menampung buangan secara memadai.
Beberapa peralatan yang dibutuhkan antara lain mencakup open end
pipesdengan nozzle  atau diffuser system yang terdiri dari sederetan pipa-pipa kecil dengan
lubang-lubang atau celah. Limbah harus dapat dibuang pada sudut yang baik terhadap aliran
air agar terencerkan atau terdispersi secara sempurna. Pipa dispersi harus ditempatkan
sedemikian rupa agar discharge point cukup jauh dari garis pantai, dengan demikian pabrik
dan water intake  akan terlindungi.
1. Deep Well Disposal
Cara ini dilakukan oleh industri yang banyak membuang limbah asam lemah dalam
jumlah besar. Limbah tersebut dipompakan ke dalam lapisan tanah sampai pada lapisan tanah
yang cocok untuk menampung limbah. Lapisan tanah dimana limbah ditampung harus lebih
rendah dari lapisan fresh water circulation, dan area tadi harus terisolasi oleh bahan yang
kedap air.
Lapisan sandstones, limestones  atau dolomite umumnya membentuk lapisan yang banyak
mengandung air asin, tetapi cukup baik sebagai tempat penampungan limbah cair. Sedangkan
lapisan yang mengandung minyak, gas, batubara dan belerang harus dijaga agar tidak
tercemar limbah. Lapisan yang kedap air harus berada diatas dan dibawah layer untuk
mencegah vertical escape dari buangan, atau dengan kata lain limbah harus ditempatkan
pada kedalaman tertentu. Penetapan area buangan harus ditetapkan sesuai dengan
keadaan subsurface geology, dimana daerah yang banyak batuan vulkanik dihindari karena
memungkinkan limbah lolos kepermukaan tanah atau badan air.
1. Secara Mikrobiologis
Limbah minyak bumi banyak mengandung unsur Hidrokarbon. Limbah Hidrokarbon cair
bersifat hidrofob dan mempunyai kerapatan lebih rendah dari air. Oleh sebab itu limbah ini
selalu terapung diatas air. Pembuangan limbah ke sungai akan menutupi permukaan air yang
mengakibatkan oksigen terlarut menurun, dan pada akhirnya tumbuh-tumbuhan air dan
hewan air dapat mati. Untuk penanganan limbah Hidrokarbon sebagai salah satu alternatif
adaalah dengan menggunakan mikroba.
Penanganan Limbah Hidrokarbon dimulai dengan pemisahan padatan dan pemisahan
minyak yang terdapat dalam limbah, dan selanjutnya dilakukan penanganan limbah secara
mikrobiologi untuk mendegradasikan Hidrokarbon dan senyawa organik lain. Efluent lebih
lanjut diolah secara kimiawi untuk menghilangkan senyawa fosfat dan nitrogen. Selanjutnya
logam-logam dan senyawa organik yang terlarut dipisahkan melalui proses filtrasi
dan absorbsi oleh karbon aktif. Efluent  sebelum dibuang, diklorinasikan untuk mematikan
mikroba patogen dan dinetralkan pH-nya sehingga aman bagi lingkungan.
Pengolahan limbah Hidrokarbon secara mikrobiologis dilakukan dengan proses aerob.
Oleh sebab itu dalam kolam-kolam pengolahan limbah diperlukan aerasi yang cukup agar
oksidasi Hidrokarbon berlangsung. Aerasi yang dilakukan adalah memasukkan oksigen ke
dalam limbah melalui proses pengadukan. Gabungan aerasi  dan pengadukan lebih cocok
karena permukaan limbah yang luas membuat kontak mikroba menjadi lebih besar dan
degradasi lebih efektif. Hidrokarbon tidak akan larut dalam air pada saat pengadukan. Untuk
memperbesar distribusi mikroba dalam limbah Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat
pengemulsi sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi
sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon dalam air. Selama degradasi, maka temperatur harus
diperhatikan. Temperatur akan naik dari suhu psikofilik (4-20 ºC) sampai mesofilik (20-40
ºC). Namun hal ini tidak banyak mempengaruhi aktivitas mikroba. pH limbah yang netral
atau sedikit asam kurang mempengaruhi aktivitas mikroba. Namun setelah dimetabolisme,
maka pH efluent menjadi asam. Oleh sebab itu perlu dinetralkan dengan kapur
(gamping)  setelah tahap klorinasi.
Menurut Sugiharto (1987), pengolahan limbah cair minyak bumi dilakukan dengan 2 cara
pengolahan pendahuluan (pre treatment), yaitu:
1. Pengambilan/ penyedotan minyak, dan menyaring kotoran atau sampah padat seperti
daun-daunan, plastic dan lain sebagainya.
2. Pengambilan pasir-pasir yang mengendap yang didapat dari proses pengolahan minyak
bumi yaitu lumpur/ sludge.
Proses pengambilan/ pengerukan pasir atau lumpur dilakukan setiap 3 bulan sekali dan
pasir atau lumpur yang telah dikeruk akan dibuang ke tempat khusus yang ada di sekitar
lokasi pengolahan limbah.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sumber limbah pada pengeboran minyak dan gas bumi adalah perkiraan minyak bumi yang
masuk ke lingkungan laut dan sumber limbah solvent acidity.
2. Dampak pencemaran limbah pada pengeboran minyak dan gas bumi yaitu :
- minyak menyebabkan munculnya gangguan kesehatan
- dampak kesehatan jangka panjang
- tumpahan minyak
- dampak di laut
3. Pengolahan limbah minyak dan gas bumi ada 3 yaitu pengolahan secara fisika, kimia dan
biologi.

3.2 Saran

Sebaiknya lebih dijelaskan lagi tentang macam-macam pengolahan yang ada. Agar para pembaca
lebih paham apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran akibat limbah yang
dihasilkan oleh pengeboran minyak dan gas bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. Oil, Water and Chocolate Mousse.(1994). Ottawa, Ontario: Environment Canada.
Pages 22-24.
Annual Book ASTM Standard, American Society for Testing and Materials, 1999. Volume 05.01
Petroleum Product and Lubricants (1), West Conshohocken, P.A.
Assegaf, 1993. Nilai Normal Faal Paru Orang Indonesia Pada Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa
Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987, Airlangga University Press.
Surabaya.
Baker, K.H & D. S. Herson. 1994. Bioremediation. USA : McGraw-Hill, Inc. 1-5, 12-30, 180-
181, 211-224.
BAPEDAL, 2001. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Badan Pengendali Dampak Lingkungan.
Jakarta.
Connel, D.W. & G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta. UI Press.
Corseuil, H.X & F.N. Moreno. 2000.Phytoremediation Potential Of Willow Trees For
Aquifers Contaminated With Ethanol-Blended Gasoline. Pergamon Press. Elsevier Science Ltd.
Damanhuri, E. (1993/1994). Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Bandung: Teknik
Lingkungan-ITB, Bandung.
Dhahiyat, Y. 1990. Kandungan Limbah Cair pabrik tahu dan pengolahannya dengan eceng
gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms). Jurnal Lingkungan & Pembangunan (Environment
& Development) Volume 11, Nomor 1. Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi seluruh
Indinesia. Jakarta.
D.W. Connel, G.J. Miller, CRC Crit. Rev. Environ. Control 11 (1981)105.
Eweis, J.B., S.J. Ergas., D.P.Y. Chang & E.D. Schroeder. 1998. Bioremediation Principles.
Singapore. WCB McGraw-Hill.
Garcia, C., J. L. Moreno, T. Hernandez & F. Costa. 1995. Effect Composting Sewage Sludges
Contaminated With Heavy Metals. J. Bioresource Technology, 53:13-19.
Gunalan. 1996. Penerapan Bioremediasi pada Pengelohan Limbah dan Pemulihan Lingkungan
Tercemar Hidrokarbon Petroleum. Majalah Sriwijaya. UNSRI. Vol 32, No 1.
G.J. Miller,J. Apll. Toxicol 2 (1982) 88.
 

Anda mungkin juga menyukai