Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK RADIOGRAFI 2

FARING, LARING DAN TRAKEA

Oleh Kelompok 4:
1. Agi Febrian Trihadijaya P1337430214062
2. Ary Lasminar Firdani P1337430214089
3. Fauziatul Aulia Choirunnisa P1337430214043
4. Hardiyanti Putri Habiba P1337430214058
5. Muhammad Dzaky Irawan P1337430214068
6. Muhammad Indzar Cahyaning Sulthon P1337430214014
7. Ni Made Jatasya Dewadatta P1337430214026
8. Nila Melinda P1337430214071
9. Nur Safarotul Laeli P1337430214005
10. Retno Novia Masithoh P1337430214039
11. Syafiuddin Nizar P1337430214017
12. Viky Putra Pamungkas P1337430214025

Kelas: 1C

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
PRODI D-IV TEKNIK RADIOLOGI
2015
I. ANATOMI

Pernafasan bagian atas, meliputi hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus.
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membrane mukosa bersilia. Ketika
masuk ronga hidung, udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan
fungsi utama mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet.
Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mucus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar mukosa.
Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung,
sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mucus. Gerakan silia mendorong lapisan
mucus ke posterior didalam rongga hidung, dank e superior didalam sistem pernafasan bagian
bawah menuju ke faring. Dari sini partikel halus akan tertelan atau dibatukkan keluar. Lapisan mucus
memberikan air untuk kelembaban, dan banyaknya jaringan pembuluh darah dibawahnya akan
menyuplai panas ke udara inspirasi. Jadi udara inspirasi telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga
udara yang mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan
kelembabannya mencapai 100%.
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari rangkaian cincin
tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita suara. Ruang berbentuk
segitiga diantara pita suara (yaitu glotis) bermuara kedalam trakea dan membentuk bagian antara
saluran pernafasan atas dan bawah.

Gambar 1.1 Letak anatomi faring, laring, trakea Gambar 1.2 Anatomi organ saluran pernafasan

1.1.Faring
Bagian sebelah atas faring dibentuk oleh badan tulan sfenoidalis dan sebelah dalamnya
berhubungan langsung dengan esophagus. Pada bagian belakang faring dipisahkan dari vertebra
servikalis oleh jaringan penghubung, semntara dinding depannya tidak sempurna dan berhubungan
dengan hidung, mulut dan laring. Faring dibagi kedalam tiga bagian, nasofaring yang terletak
dibelakang hidung, orofaring yang terletak dibelakang mulut dan laringofaring yang terletak
dibelakang laring.
Nasofaring adalah bagian faring yang terletak di belakang hidung diatas spalatum yang
lembut. Pada dinding posterior terdapat lintasan jaringan limfoid yang disebut tonsil faringeal yang
biasanya disebut adenoid. Jaringan ini kadang-kadang membesar dan menutupi faring serta
menyebabkan pernafasan mulut pada anak-anak. Tubulus auditorium terbuka dari dinding lateral
nasofaring dan melalui tabung tersebut udara dibawa ke bagian tengah telinga. Nasofaring dilapisi
membrane mukosa bersilia yang merupakan lanjutan dari membrane yang melapisi bagian hidung.
Orofaring terletak di belakang mulut diwah palatum lunak, dimana dinding lateralnya saling
berhubungan. Diantara lipatan dinding ini, ada yang disebut arkus palate-glosum yang merupakan
kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsilpalatum. Orofaring merupakan bagian dari sistem
pernafasan dan sistem pencernaan, tetapi tidak dapat digunakan untuk menelan dan bernafas
secara bersamaan. Saat menelan, pernafasan berhenti sebentar dan orofaring terpisah sempurna
dari nasofaring dengan terangkatnya palatum. Orofaring dilapisi oleh jaringan epitel berjenjang.

Gambar 1.3 Crossectioonal anatomi faring

1.2.Laring
Laring merupakan lanjutan bagian bawah orofaring dan bagian atas trakea. Disebelah atas
laring terletak tulang hyoid dan akar lidah. Otot leher terletak didepan laring dan dibelakang laring
terletak laringofaring dan vertebra servikalis. Pada sisi lain terdapat lubang kelenjar tiroid. Laring
disusun oleh beberapa tulang rawan tidak beraturan yang dipersatukan oleh ligament dan
membrane-membran.
Tulang rawan tiroid dibentuk oleh dua lempeng tulang rawan datar yang digabungkan
bersama kebagian depan untuk membentuk tonjolan laryngeal atau adam’s apple (buah jakun).
Disebelah atas tonjolan laring tersebut terdapat suatu noktah tiroid. Tulang rawan tiroid pada pria
lebih besar daripada wanita. Bagian atas dilapisi oleh epitel berjenjang dan bagian bawahnya oleh
epitel bersilia.
Tulang rawan krikoideus terletak dibawah tulang rawan tiroid dan berbentuk seperti suatu
cincin bertanda pada bagian belakangnya. Tulang tersebut membentuk dinding lateral dan posterior
laring dan dilapisi oleh epitel bersilia.
Epiglotis adalah tulang rawan berbentuk daun yang terikat pada bagian dalam bagain depan
dinding tulang rawan tiroid, dibagian bawah noktah tiroid. SElama proses menelan, laring bergerak
kea rah atas dan kearah depan, sehingga laring yang terbuka tersebut dapat ditahan oleh epiglottis.
Tulang rawan aritenoid adalah sepasang piramida kecil yang dibentuk oleh tulang rawan
hialin. Tulang rawan ini terletak pada ujung atas sebelah laur tulang rawan krikoideus dan ligament
suara menyatu pada tulang rawan tersebut. Tulang rawan ini membentuk dinding posterior laring.
Tulang hyoid dan tulang rawan laringeus digabungkan oleh ligament dan membrane. Salah
satunya ialah membrane krikotiroid, sekelilingnya menyatu dengan sisi atas tulang rawan krikoid dan
memiliki batas sebelah atas yang bebas, yang tidak sirkular seperi batasan sebelah bawah, tetapi
membentuk dua garis paralel yang melintas dari depan kebeakang. Kedua batasan parallel tersebut
adalah ligament suara (vocal ligament). Mereka terikat pada bagian tengah tulang rawan tiroid
disebelah depan dan pada tulang rawan aritenoid pada bagian belakang dan mengandung banyak
jaringan elastic. Ketika otot intrinsic lain menggantikan posisi tulang rawan aritenoid, ligament suara
ditarik bersama, menyempitkan celah diantara mereka. Apabila udara digerakkan melalui celah
sempit yang disebut chink selama ekspirasi, ligament suara bergetar dan menghasilkan bunyi. Nada
dari bunyi yang dihasilkan tergantung pada panjang dan kekencangan ligament. Tekanan yang
meningkat menghasilkan not yang lebih tinggi sedangkan tekanan yang lebih kendur menghasilkan
not yang lebih rendah. Suara bergantung kepada tenaga yang menyebabkan udara terhisap.
Perubahan suara menjadi kata-kata yang berbeda tergantung pada gerakan mulut, lidah, bibir dan
otot muka.

Gambar 1.4 Anatomi laring Gambar 1.5 Anatomi epiglotis

1.3.Trakea
Trakea dimulai dari bagian bawah laring dan melewati bgaian depan hidung menuju dada.
Trakea dibagi atas bagian kiri dan kanan bronkus utama yang sejajar dengan vertebrae thoraciae
yang kelima. Panjangnya sekitar 12 cm. istmus kelenjar tiroid memotong bagian depan trakea dan
lengkung aorta terletak disebelah bawahnya dengan “manubrium sternum” didepannya. Esophagus
terletak dibelakan trakea, memisakannya dari badan vertebra torasik. Pada sisi-sisi lain trakea
terdapat paru-paru, dengan lobus kelenjar tiroid disebelah atasnya. Dinding trakea tersusun atas
otot involunter dan jaringan fibrosa yang diperkuat oleh cincin tulang rawan hialin yang tidak
sempurna. Defisiensi dalam tulang rawan terlertak pada bagian belakang, dimana trakea
bersentuhan dengan esophagus. Ketika suatu bolus makanan ditelan, esophagus mampu
mengembang tanpa gangguan, tetapi tulang rawan mempertahankan kepatenan jalan nafas. Trakea
dihubungkan dengan epithelium yang mengandung sel-sel goblet yang menyekresi mucus. Silia
membersihkan mucus dan partikel-partikel asing yang dihisap ke arah laring

.
Gambar 1.6 Anatomi trakea
II. PATOLOGI

2.1. Laringitis
Radang pada laring. Radang pada laring. Penderita serak atau kehilangan suara. Penyebabnya
antara lain karena infeksi, terlalu banyak merokok, minum alcohol, atau banyak bicara.

Gambar 2.1 Patologi laringitis dan CT-Scan laringitis

2.2. Faringitis
Radang pada faring akibat infeksi oleh bakteri Streptococcus. Tenggorokan sakit dan tampak
berwarna merah, rasa haus dan kering pada tenggorokan, kadang bersamaan dengan pembesaran
tonsil. Penderita hendaknya istirahat dan diberi antibiotik.

Gambar 2.2 Patologi faringitis dan citra radiograf faringitis

2.3. Kanker Laring


Kanker Laring adalah keganasan pada pita suara,
kotak suara (laring) atau daerah lainnya di
tenggorokan. Kanker di laring hampir selalu merupakan
karsinoma sel skuamosa. Ia kanker yang biasa terjadi
pada perokok.
2.4. Epliglotitis
Epligotitis adalah suatu infeksi epiglottis, yang bisa
menybabkan penyumbatan saluran pernafasan.

Gambar 2.4 Citra radiograf epligotitis

2.5. Retropharyngeal Abses


Retropharyngeal abses adalah infeksi tenggorokan
seperti radang tenggorokan dan tonsil yang disebabkan oleh
serangan bakteri pada jaringan tenggorokan, sehingga dapat
mengganggu jalannya system pernafasan.

Gambar 2.5 Citra radiograf retropharyngeal abses

2.6. Acute laryngotracheobronkitis


Acute laryngotracheobronkitis adalah inflamasi yang
menginfeksi laring, trakea, dan bronkus. Infeksi ini ditandai
dengan adanya kumulan muskus yang dapat menyumbat
jalannya pernafasan.

Gambar 2.6 Citra radiograf acute laryngotracheobronkitis


III. TEKNIK RADIOGRAFI

3.1. Persiapan Pasien


1. Meminta kepada pasien untuk melepaskan aksesoris di sekitar daerah pemeriksaan seperti
anting-anting, kalung, jepit rambut, dll.
2. Menjelaskan prosedur pemeriksaan.
3. Mensimulasikan penggunaan alat proteksi radiasi.
4. Mengkonfirmasikan apakah sudah paham tentang penggunaan alat proteksi radiasi.
5. Membantu memakaikan alat proteksi radiasi

3.2.Alat dan Bahan


1. Pesawat Sinar-X
2. Computed Radiography
3. IP 18x24 cm (untuk faring dan laring) IP 24x30 cm (untuk trakea)
4. Gonad shield
5. Softbag
6. Marker
7. Grid/ bucky

3.3.Teknik Pemeriksaan
1. Proyeksi AP Faring dan Laring
 PP : Supine di atas meja pemeriksaan
 PO : a. Mengatur MSP tubuh tepat
pada pertengahan meja
pemeriksaan,
b. Mengatur kedua bahu simetris,
c. Mengatur tepi atas kaset
setinggi auricle,
d. Meletakkan pertengahan kaset
setinggi C4 atau jakun,
e. Kepala hiperekstensi dan
pandangan lurus kedepan, agar
tidak superposisi antara
mandibula dengan area
laryngeal
 CR : Horizontal tegak lurus terhadap IP
 CP : Pada C4 atau jakun
 FFD : 100 cm
 FE : 65 kV, 20 mAs (pada saat eksposi, melakukan ponasi “i”)
 Soft tissue teknik
2. Proyeksi Lateral Faring dan Laring
 PP : Berdiri menyamping pada salah satu sisi yang diperiksa dekat dengan kaset
 PO : a. Mengatur MSP tubuh
sejajar dengan bidang grid
b. Tepi atas kaset setinggi dengan
auricle
c. Tekan bahu dan letakkan tangan
pada posterior tubuh
d. Pandangan lurus kedepan
 CR : Horizontal tegak lurus IP
 CP : Pada C4 atau jakun
 FFD : 120 cm
 FE : 68 kV, 20 mAs
 Soft tissue teknik

3. Proyeksi AP Trakea
 PP : Erect perpendicular dengan kepala posterior dan bahu sejajar tegak lurus.
 PO : a. MSP perpendicular dengan grid
b. Istirahatkan dagu dengan acanthiomeatal
perpendicular dengan kaset
c. Batas atas kaset 3-4 cm di bawah MAE
 CP : C4 setinggi jugular notch
 CR : Perpendicular dengan kaset
 FFD : 120 cm
 Kaset : 24x30 cm
 FE : 53- 54 kvp, 10-12 mAs
 Soft tissue teknik

4. Proyeksi Lateral
 PP : Erect/duduk tegak bila memungkinkan
 PO : a. Letakkan anterior laring dan trakea
sejajar pada cervikal dan vertebra thorakal
b. Rotasikan shoulder ke posterior dengan
kedua lengan tangan ke bawah, letakkan
tangan dibelakang tubuh
 CP : C6 atau C7 (diantara pertengahan prominent
di tiroid dan jugular notch)
 CR : Horisontal Tegak lurus dengan kaset
 FFD : 180 cm
 FE : 53-54 kVp, 10-12 mAs
 Soft tissue teknik dan inspirasi perlahan.
3.4. Kriteria Radiograf
1. Proyeksi AP Faring dan Laring
1) Kolimasi meliputi sebagian os occipitale
sampai vertebrae cervical ke-7
2) Semua bagian laring dan faring terlihat jelas
3) Tidak overlap pada laring dengan
mandibula
4) Leher tidak rotasi
5) Atur densitas radiografi pada gambaran
dari struktur pharyngolaryngeal

Gambar 3.5 Kriteria


citra radiograf proyeksi
AP faring dan laring

2. Proyeksi Lateral Faring dan Laring


1) Terlihat soft tissue pada structur
pharyngelaryngeal
2) Tidak ada superposisi trakea terhadap bahu
3) Tidak terjadi superposisi bahu dengan laring
4) Superimpose bayangan mandibular
5) Gambaran udara pada faring dan laring

Gambar 3.6 Kriteria citra radiograf proyeksi lateral faring dan


laring

3. Proyeksi AP Trakea
1) Tampak udara pada laring dan tracea dari cervical
3 – thoracal 4 tervisualisasi pada cervical 5
2) Terlihat vertebra cervicalis sampai vertebra
thoracalis
3) Tidak ada rotasi pada sternum
Gambar 3.7 Kriteria citra radiograf proyeksi AP trakea

4. Proyeksi Lateral Trakea


1) Terlihat laring, faring, dan trakea
2) Tampak udara pada laring dan tracea dari
cervical 3 – thoracal 4 tervisualisasi pada
cervical 5
3) Terlihat vertebra cervicalis sampai vertebra
thoracalis
4) Tidak ada rotasi pada sternum

Gambar 3.8 Kriteria citra radiograf proyeksi lateral trakea


IV. KRITISI RADIOGRAF

4.1.Hasil Radiograf

Hasil 1 Hasil 2

Hasil 4
Hasil 3

Gambar 4.1 Hasil radiograf faring, laring dan trakea


4.2.Aspek Positioning
1. Proyeksi AP Trakea
Posisi pasien sudah true AP sehingga posisi objek terlihat baik sehingga hasil radiograf
sudah memenuhi syarat kriteria radiograf. Hal ini ditandai dengan proc. Spinosus cervikal
pada satu garis lurus dan angulus mandibula sejajar.
2. Proyeksi Lateral Trakea
Posisi pasien sudah true lateral dan posisi objek sudah berada di pertengahan film sehingga
hasil radiograf sudah memenuhi syarat kriteria radiograf. Hal ini ditandai dengan corpus
servikal pada satu garis lurus. Namun posisi kepala pasien kurang ekstensi dan shoulder
pasien kurang ditarik ke kebelakang, sehingga bagian angulus mandibula superposisi
dengan vertebrae cervikal dan shoulder menutupi rongga trakea. Hal ini disebabkan pasien
pada praktik ini merupakan phantom, yang mana bentuk phantom sudah fix dan tidak dapat
di rubah.
3. Proyeksi AP Faring dan Laring
Posisi pasien sudah true AP dan objek sudah berada di pertengahan film sehingga hasil
radiograf sudah memenuhi kriteria radiograf. Hal ini ditandai dengan angulus mandibula
sejajar dan corpus servikal pada satu garis lurus. Namun kepala pasien kurang sektensi
sehingga mandibula superposisi dengan v. Servikal, hal ini dikarenakan pasien pada praktik
kali ini ialah phantom.
4. Proyeksi Lateral Faring dan Laring
Posisi pasien sudah true lateral dan objek sudah berada di pertengahan film sehingga hasil
radiograf sudah memenuhi kriteria radiograf. Hal ini ditandai dengan corpus servikal berada
pada satu garis lurus. Namun kepala pasien kurang ekstensi sehingga mandibula superposisi
dengan vertebrae servikal.

4.3.Kualitas Radiograf
1. Proyeksi AP Trakea
Dengan menggunakan Exposure Factor 65 kVp, 20 mAs kurang cukup untuk
memperlihatkan objek trakea, karena hasil radiograf tidak menunjukkan densitas dan
kontras yang cukup. Pada kriteria radiograf objek trakea harus terlihat sebagai radiolucent
(warna kehitaman), namun pada hasil praktek objek trakea tidak begitu terlihat, hal ini bisa
disebabkan karena phantom yang digunakan tidak terdapat rongga udara pada daerah
sekitaran tulang cervikal dan dapat juga disebabkan oleh faktor pesawat karena
menggunakan pesawat Lab. 1.
2. Proyeksi Lateral Trakea
Dengan menggunakan Exposure Factor 63 kVp, 32 mAs sudah cukup untuk memperlihatkan
objek trakea, karena hasil radiograf sudah dapat memperlihatkan densitas dan kontras yang
cukup. Namun gambaran radiolucent trakea tidak begitu terlihat, hal ini dapat disebabkan
karena tidak adanya rongga udara pada phantom.
3. Proyeksi AP Faring dan Laring
Dengan menggunakan Exposure Factor 65 kVp, 40 mAs sudah cukup untuk memperlihatkan
objek faring dan laring. Namun gambaran radiolucent pada rongga faring laring tidak begitu
terlihat, hal ini mungkin disebaban karena pasien pada praktik kali ini ialah phantom. Dan
mungkin dikarenakan posisi kaset yang kurang ke atas menyebabkan nasofaring terpotong.
4. Proyeksi Lateral Faring dan Laring
Dengan menggunakan Exposure Factor 63 kVp, 32 mAs sudah cukup untuk memperlihatkan
objek faring dan laring. Namun gambaran radiolucent tidak begitu terlihat, hal ini mungkin
disebabkan karena pasien pada praktik kali ini ialah phantom. Dan kolimasi kurang lebar
sehingga bagian nasofaring terpotong.

4.4.Saran
1. Proyeksi AP Trakea
Mencoba menggunakan pesawat Lab. lain agar mendapatkan kontras dan densitas yang
maksimal dengan faktor eksposi yang sama pula. Dan jangan lupa untuk meletakkan marker
pada bagian kaset yang terkolimasi, sehingga marker tidak terpotong.
2. Proyeksi Lateral Trakea
Jangan lupa untuk mengekstensikan kepala pasien dan menarik shoulder pasien ke belakang
pada pasien yang sesungguhnya agar mandibula tidak superposisi dengan vertebrae cervikal
dan shoulder tidak menutupi rongga trakea.
3. Proyeksi AP Faring dan Laring
Jangan lupa untuk mengekstensikan kepala pasien pada pasien yang sesungguhnya agar
mandibula tidak superposisi dengan objek. Dan jangan lupa untuk mengatur kaset dengan
baik agar seluruh bagian objek seperti nasofaring dapat masuk terproyeksikan pula.
4. Proyeksi Lateral Faring dan Laring
Jangan lupa untuk mengekstensikan kepala pasien pada pasien yang sesungguhnya agar
mandibula tidak superposisi dengan vertebrae servikal. Dan mengatur luas kolimasi dengan
baik agar bagian objek seperti nasofaring tidak terpotong.
V. KASUS MEDIS

Seorang pria berumur 40 tahun dibawa ke departemen THT rawat jalan dengan sejarah 10 hari
batuk kering, demam, dan nyeri tenggorokan. Dia juga melaporkan penurunan berat badan 5 kg
selama 8 minggu sebelumnya. Pemeriksaan fisik tidak mengungkapkan limfadenopati servikal.
Laringoskopi langsung mengungkapkan edema difus dan pembengkakan pada laring supraglottic dan
epiglotis, konsisten dengan laringitis supraglottic dan epiglotitis. Kedua pita suara yang hyperemic,
dan lesi nodular yang dicatat pada ventrikel mukosa laring bilateral.
Radiografi lateral leher menunjukkan penebalan epiglotis dan lipat aryepiglottic (Gambar 5.1).
Penyelidikan laboratorium menunjukkan tingkat sedimentasi eritrosit mengangkat (ESR) dari 80 mm
pada jam pertama. Produksi sputum adalah minim, dan pemeriksaan dahak negatif untuk BTA (AFB).
Diagnosis klinis presumtif epiglottitis akut dibuat dan pasien dimulai pada azitromisin oral. Namun, ia
tidak membaik dan batuk memburuk, menjadi produktif di alam selama 10 hari ke depan.
Sebuah rontgen dada polos (CXR) dan CT scan leher dan dada dilakukan. Hasil CXR
menunjukkan lesi infiltratif reticulonodular bilateral di zona atas (Gambar 5.2). Kontras
disempurnakan CT scan leher dilakukan pada 16-slice scanner (GE LightSpeed ™, General Electric,
USA). Ini mengungkapkan penebalan dan peningkatan epiglotis dan kedua lipatan aryepiglottic, yang
fossae pyriform, dan kedua pita suara, termasuk komisura anterior (Gambar 5.3 dan 5.4). Ada pola
anterior dominan keterlibatan, dengan latar belakang menyebar beberapa, fokus, rendah redaman
daerah dan pemusnahan dari pesawat lemak paralaryngeal. Tersebar kelenjar getah bening leher
rahim berukuran sedang juga mencatat (Gambar 5.3A). CT scan dada (tidak ditampilkan)
membenarkan temuan CXR dan menunjukkan infiltrat fibronodular apikal bilateral. Pemeriksaan
dahak diulang dan positif untuk basil asam-cepat.

Gambar 5.1 Radiografi lateral leher Gambar 5.2 AP rontgen dada menunjukkan lesi
menunjukkan epiglotis menebal (panah infiltratif reticulonodular (panah) di kedua zona atas.
panjang) dan jaringan pra-epiglottic (panah
pendek).
Gambar 5.3 Axial CT scan kontras ditingkatkan. Pada tingkat supraglottic (A) ada penebalan jaringan
lunak dan peningkatan baik lipatan aryepiglottic dan sinus piriformis (panah putih), dengan kiri
dalam simpul kelompok serviks getah bening (panah hitam). Pada tingkat pita suara palsu, ada
penebalan dan peningkatan dalam jaringan lunak paralaryngeal bilateral (panah). Pada tingkat glotis
(C) ada penebalan jaringan lunak yang meluas ke komisura anterior (panah).

Gambar 5.4 Diformat ulang koronal kontras ditingkatkan CT scan menunjukkan bilateral, menebal,
meningkatkan lipatan aryepiglottic dan supraglottic jaringan lunak laring, dengan pemusnahan dari
lemak paralaryngeal (panah). Diformat ulang sagital kontras ditingkatkan CT scan menunjukkan
menebal, meningkatkan epiglotis (panah putih), dan jaringan lunak pra-epiglottic (panah hitam)

Berdasarkan temuan ini diagnosis laring dan reaktivasi paru TB dibuat dan pasien dimulai pada
empat-obat terapi anti-TB standar. Secara klinis ia merespon dengan baik terhadap pengobatan, dan
dengan 3 minggu ia bebas dari gejala. Laringoskopi menunjukkan resolusi perubahan inflamasi
supraglottic dan ia keluar dari rumah sakit dengan instruksi untuk menyelesaikan pengobatan anti-
TB. Pasien tetap stabil pada kunjungan rutin tindak lanjut selama 1 tahun.

Sumber: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3249944/

5.1. Jenis Kasus


Pasien pria berumur 40 tahun dengan diagnosa pertama laringitis supraglotic dan epiglotitis,
dan diagnosa akhir TB paru.
5.2. Teknik Pemeriksaan
Teknik pemeriksaannya dilakukan dengan cara foto X-ray konvensional dengan proyeksi
lateral faring dan laring, kemudia dilanjutkan foto thorax AP serta didukung dengan pemeriksaan CT-
Scan.

5.3. Pembahasan Kasus Medis


Pada kasus tersebut, pasien pria berumur 40 tahun, pasien dilakukan pemeriksaan X-ray
konvensional pada faring dan laring dengan proyeksi lateral, proyeksi ini sama dan sudah terdapat
pada teknik pemeriksaan faring dan laring. Dikarenakan pemeriksaan X-ray konvensional belum
dapat memperlihatkan patologi objek dengan detail serta adanya dugaan patologi lain sehingga
dilakukan x-ray thorax AP dan didukung dengan menggunakan CT-Scan. Setelah pemeriksaan
dilakukan, pasien yang awalnya didiagnosa laringitis superglotis dan epiglotitis mendapatkan hasil
diagnosa akhir bahwa pasien mengidap TB Paru yang mana bateri TB menyebabkan infeksi pada
epiglotis laring.
VI. KESIMPULAN

1. Hasil radiograf sudah memenuhi standar teknik pemeriksaan, hanya saja perlu selalu mengingat
untuk mengekstensikan kepala pasien pada poroyeksi AP dan lateral dan menarik shoulder
pasien kebelakan pada proyeksi lateral. Perlunya meningkatkan faktor eksposi untuk
menghasilkan kontras dan densitas yang cukup pada proyeksi AP trakea maupun laring dan
faring.
2. Kasus medis yang didapatkan sudah sesuai dengan jenis-jenis patologi yang sudah dipaparkan
penulis, yaitu patologi laringitis dan eppiglotitis (diagnosa awal).
3. Penegakan diagnose pada kasus sudah sama dengan teknik pemeriksaan faring dan laring yang
telah dipraktekkan yaitu proyeksi lateral untuk memperlihatkan patologi laringitis dan
epiglotitis.
Pertanyaan Bapak Agung:
“Seperti apa gammbaran khas dari patologi paringitis dan/atau laringitis?”

Jawab:
“Gambaran khas dari patologi laringitis ialah tampak radiopaque pada rongga laring yang
seharusnya rongga laring berwarna radiolucent. Gambaran patologi laringitis sudah terdapat pada
kasus medis laporan pada gambar 5.1.”
REFERENSI

Anatomi dan Fisiologi: http://nursekita.blogspot.com/2011/04/anatomi-dan-fisiologi-pernafasan-


bagian.html
Clark’s Positioning in Radiography 12th Edition.
Merrill’s Atlas of Radiographic Positions & Radiologic Procedures Volume. 2 Tenth Edition.
Textbook of Radiographic Positioning and Related Anatomy Seventh Edition.
Medical Case Report: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3249944/
Smith, Frank Long. Radiograpic Posisitioning & Procedures

Anda mungkin juga menyukai