“Kepemimpinan”
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perilaku Organisasi
Dosen Pengampu : Dr. Diana Sulianti K. Tobing, SE., M.Si
Oleh : Kelompok 2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan
karunia-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan penulisan makalah ini tepat pada
waktunya. Penyusunan makalah ini dibuat untuk tugas pengantar manajemen.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Diana Sulianti K. Tobing, SE., M.Si. selaku dosen perilaku organisasi yang telah
memberi tugas ini.
2. Teman-teman yang telah mendukung penulis.
Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
menambah pengetahuan. Akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar
tulisan ini menjadi lebih sempurna.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR .............................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ii
BAB I PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Kepemimpinan..........................................................................1
1.2 Bentuk Kepemimpinan ...............................................................................1
1.3 Teori Situasional Kepemimpinan...............................................................3
1.4 Pemimpin Transformasional dan Karisma...............................................8
1.5 Gender, Budaya, dan Gaya Kepemimpinan..............................................5
STUDI KASUS ........................................................................................................10
PEMBAHASAN STUDI KASUS ...........................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................12
1
BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi, menggerakkan, dan
mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai
tujuan tertentu.
Selain definisi yang telah disebutkan, kepemimpinan memiliki cakupan yang lebih
luas dan memerlukan penjelasan yang rinci.
a. Proses. Kepemimpinan merupakan suatu proses, dan disamakan dengan proses produksi
dalam sistem manajemen. Proses produksi kepemimpinan meliputi masukan, proses, dan
keluaran kepemimpinan.
2
b. Pemimpin. Inti dari kepemimpinan adalah pemimpin yang setiap organisasi atau sistem
sosial memiliki sebutan atau predikat yang berbeda. Dalam kepemimpinan politik, pemimpin
disebut raja, ratu, presiden, ketua DPR, dsb. Pada kepemimpinan bisnis, pemimpin disebut
sebagai direktur, chief excecutive official.
c. Visi. Untuk dapat menjadi pemimpin seseorang harus mempunyai visi mengenai sistem
sosial yang diingininya. Visi adalah apa yang diharapkan, apa yang diinginkan, apa yang
ingin dicapai pada masa yang akan datang. Visi sebagai pernyataan tentang tujuan organisasi
yang diekspresikan dalm produk dan pelayanan yang ditawarkan,produk yang ditanggulangi,
kelompok masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang diperoleh aerta aspirasi dan cita-cita
masa depan.1
d. Memengaruhi. Memengaruhi adalah proses mengubah sikap, perilaku, mindset, pola pikir,
pendapat, dan sebagainya agar mau dan mampu bergerak ke arah pencapaian visi dan misi
sistem sosial.
f. Merealisasi visi. Tuuan utama kepemimpinan adalah merealisasi visi dari pemimpin dan
pengikutnya. Keberhasilan dari kepemimpinan dan kepengikutan ditentukan oleh tercapainya
visi. Akan tetapi, visi dapat dijabarkan isinya berdasarkan perkembangan waktu. Oleh karena
it, keberhasilan pencapaian visi sukar diukur secara matematik.
Bentuk atau tipe kepemimpinan adalah gaya atau corak kepemimpinan yang
dibawakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Gaya seorang
pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
faktor pendidikan, faktor pengalaman, faktor usia, faktor karakter, tabiat atau sifat yang ada
pada diri pemimpin tersebut. Orang yang ambisius untuk menguasai setiap situasi, apabila
menjadi pemimpin akan bersifat otoriter. Orang yang bersifat kebapakan, apabila menjadi
pemimpin akan menjalankan kepemimpinan yang bertipe paternalistik. Pemimpin yang tidak
menguasai bidang tugas yang menjadi wewenangnya akan menyerahkan segala sesuatunya
kepada para bawahan, sehingga gaya kepemimpinannya bersifat laisser faire.
Teori yang dikemukakan Robert House ini berdasar pada suatu asumsi bahwa
kepemimpinan yang efektif melibatkan penyeleksian gaya yang paling sesuai dengan variabel
situasional tertentu. Variabel tersebut meliputi: kemampuan pegawai untuk mengerjakan
tugas, kebutuhan yang ada padanya serta karakteristik tugas.
(Sumber: Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan 2007. Manajemen. Bandung: Bumi Aksara)
4
Istilah gaya kepemimpinan adalah sama dengan cara yang digunakan pemimpin di
dalam mempengaruhi para pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku
yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain. Gaya kepemimpinan yang sering diketahui adalah gaya kepemimpinan otokratis
dan gaya demokratis. Kepemimpinan otokratis dipandang sebagai gaya yang berdasar atas
kekuatan posisi dan penggunaan otoritas. Sementara gaya demokratis dikaitkan dengan
kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan.
(Sumber : Thoha, Miftah. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. 2014. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada)
Robert House mengemukakan ada empat gaya kepemimpinan yang menjadi perilaku seorang
pemimpin, yakni:
Dengan karakteristik: pemimpin memberi kesempatan kepada bawahan untuk mengetahui apa
yang menjadi harapan pemimpinnya dan pemimpin tersebut menyatakan kepada bawahannya
tentang bagaimana untuk dapat melaksanakan suatu tugas. Dengan gaya ini mengandung arti
bahwa pemimpin berorientasi pada hasil.
Dengan karakteristik: usaha pemimpin untuk mendekatkan diri dan bersikap ramah serta
menyenangkan perasaan bawahannya. Hersey dan Blanchard (Life Cycle Theory) telah
mengembangkan teorinya dengan memodifikasi perilaku pemimpin yang berorientasi pada
tugas dan berorientasi pada hubungan. Dari perpaduan perilaku tersebut menghasilkan gaya-
gaya kepemimpinan.
5
(Sumber: Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan 2007. Manajemen. Bandung: Bumi Aksara)
Dari berbagai leteratur dapat ditemukan berbagai tipe kepemimpinan, antara lain : (1)
tipe otokratis, (2) tipe laisser faire, (3) tipe paternalistik, (4) tipe militeristik, (5) tipe
demokratis, dan (6) tipe open leadership.
1. Tipe Otokratis : Otokratis berasal dari kata otokrat, dari kata autos dan kratos. Autos berarti
sendiri, dan kratos berarti kekuatan atau kekuasaan (power). Ciri-ciri tipe otokratis:
2. Tipe Laisser Faire : Tipe laisser faire pada umumnya dijalankan oleh pemimpin yang tidak
mempunyai kehalian teknis. Ciri-ciri Tipe Laisser Faire:
3. Tipe Paternalistik : Tipe paternalistik adalah tipe kepemimpinan yang bersifat kebapakan.
Pemimpin bertindak sebagai bapak yang selalu memberikan perlindungan kepada para
bawahan dalam batas-batas kewajaran. Ciri-ciri Tipe Paternalistik:
4. Tipe Militeristis : Tipe militeristis tidak hanya terdapat di dalam kalangan militer saja,
tetapi banyak pemimpin instansi non-militer (sipil) yang menerapkan kepemimpinan dengan
tipe militeristis. Ciri- ciri Tipe Militeristis:
6. Tipe Open Leadership : Tipe open leadership sebenarnya hampir sama dengan tipe
demokratis.ciri Tipe Open Leadership yaitu perbedaanya terletak dalam pengambilan
keputusan. pimpinan memang memberikan kesempatan kepada para bawahan untuk
memberikan saran, tetapi keputusan tetap di tangan pimpinan
a. Pemimpin yang berorientasi tinggi terhadap tugas dan rendah terhadap hubungan,
bergaya instruksi (telling).
b. Pemimpin yang berorientasi tinggi terhadap tugas dan tinggi terhadap hubungan,
bergaya konsultasi (selling).
c. Pemimpin yang berorientasi tinggi terhadap hubungan dan rendah terhadap tugas,
bergaya pertisipasi (participating).
d. Pemimpin yang berorientasi rendah terhadap hubungan dan rendah terhadap tugas
pengaruh terhadap individu dan kelompok tapi bergantung pula terhadap tugas, pekerjaan atau
fungsi yang dibutuhkan secara keseluruhan. Jadi pendekatan kepemimpinan situasional
fokus pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik. Dari cara pandang ini,
seorang pemimpin agar efektif ia harus mampu menyesuaikan gayanya terhadap tuntutan
situasi yang berubah-ubah. Teori kepemimpinan situasional bertumpu pada dua konsep
fundamental yaitu: tingkat kesiapan/kematangan individu atau kelompok sebagai pengikut
dan gaya kepemimpinan.
berikut :
Ciri atau sifat gaya kepemimpinan memerintah (Insruktif) ini dalam memberi pengarahan-
pengarahan secara rinci dan pengawasan secara ketat Gaya ini sangat mungkin efektif
diterapkan terhadap orang (bawahan) yang tidak mampu dan tidak mau memegang tanggung
jawab untuk melakukan suatu tugas, karena tidak mempunyai kemampuan atau karena tidak
percaya diri. Gaya ini disebut gaya “memerintah” karena ditandai oleh peran bawahan yang
diberikan oleh sang pemimpin yang kemudian memerintahkan bawahan untuk melaksanakan
tugasnya dengan penjelasan yang terinci tentang apa, bagaimana, kapan, dan dimana tugas itu
dilakukan.
Gaya kepemimpinan seperti ini diterapkan pada orang-orang (bawahan) yang mampu tapi
tidak mau melakukan suatu tugas. Ketidakmauan mereka seringkali merupakan akibat dari
ketidakpercayaan diri atau rasa tak bisa. Ciri atau sifat gaya kepemimpinan “melibatkan”
(partisipatif) ini adalah
Gaya kepemimpinan seperti ini diterapkan pada orang-orang (bawahan) yang mampu dan
mau memegang tanggung jawab suatu tugas.
9
(Sumber: Atika Syam. 1996. The influence of Situasional Leadership and Reward on State
Vocational. Jambi)
Salah satu faktor situasional yang akan semakin berpengaruh terhadap efektivitas
kepemimpinan dalam dekade mendatang adalah relasi antara pemimpin dan pengikut. Esensi
reasi tersebut adalah interaksi antar pribadi yang terbeda motivasi dan potensi kekuasaan,
termasuk di dalamnya keterampilan, dalam rangka mencapai tujuan bersama. Interaksi ini
memiliki dua bentuk, yaitu kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional
(Gibson, et al., : 1991; Kreitner & Kenicki, 1992; Stoner, I995-, Wren, 1995; Yulk, 1989).
Gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal
peran,perilaku,mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
Sejumlah orang masih beranggapan bahwa perempuan masih kurang cocok untuk untuk
menduduki posisi kepemimpinan. Bahkan dalam masyarakat tradisional, perempuan masih
ditolak untuk menjadi pemimpin. Walaupun secara undang-undang menyatakan bahwa hak
perempuan sama dengan laki-laki, tetapi pada kenyataannya masih ada perbedaan gender.
10
Gender dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi. Istilah seks (jenis kelamin)
mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu
pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan.
(Sumber: Santrok, J. W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:
Erlangga)
Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Perubahan ciri dan sifat-sifat yang terjadi
dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tampat disebut konsep gender.
(Sumber: Fakih, M. 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar)
Menurut Wirawan (2013: 503) cara untuk membandingkan antara kepemimpinan laki-
laki dan perempuan adalah dengan membandingkan karakteristik atau sifat keduanya ketika
melaksanakan kepemimpinannya. Penelitian menyimpulkan bahwa wanita cenderung lebih
banyak menggunakan kepemimpinan partisipatif dan transformasional jika dibandingkan
dengan laki-laki, Konsep gender adalah konstruksi social,sehingga perbedaan jenis kelamin
tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan dalam penelitian juga dinyatakan bahwa tidak
ada perbedaan efektivitas antara kepemimpinan perempuan dengan kepemimpinan laki-laki.
Menurut Tjitra, Panggabean, dan Murniati (2012: 18), Budaya diartikan sebagai
seperangkat keyakinan, nilai, norma, aturan, dan tradisi yang dihayati dan dimiliki bersama
oleh sekelompok orang pada wilayah dan kurun waktu tertentu. Gaya kepemimpinan yang
efektif tidak bersifat universal. Gaya pemimpin dalam mengarahkan, memotivasi, dan
mengomuniasikan perubahan ternyata tidak sama pada setiap budaya. Hal ini menyadarkan
kita mengapa pemimpin yang sukses di suatu negara kemudian akan gagal ketika memimpin
di negara lain. Efektivitas gaya kepemimpinan ternyata sifatnya kontekstual. Ini artinya
efektivitas gaya kepemimpinan terkait erat dengan nilai-nilai masyarakat atau kelompok
dimana pemimpin dibesarkan. Pemimpin menerima penanaman nilai dan moral baik dari
keluarga maupun lingkungan sekitar tempat dia dibesarkan. Misalnya seorang pemimpin
dibesarkan dengan tuntutan kepatuhan pada figur otoritas sepeti guru, orangtua, atau figure
11
yang memiliki posisi, maka ia akan mengembangkan pemahaman kalau inilah harapannya
berelasi dengan orang lain dan aka diterapkan pada gaya kepemimpinannya kelak. Budaya
inilah yang akan dipegang sebagai patokan benar atau salah termasuk dalam mengarahkan
cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak. Patokan ini merupakan sistem orientasi bagi
dirinya ketika berhadapan dengan lingkungan. Misalnya dalam mengembangkan dan
menuntut perilaku bawahan yang dipimpinnya.
(Sumber: Tjitra, Hora dkk. 2012. Pemimpin dan Perubahan. Jakarta : PT Elex Media
Komputindo.)
KASUS
(Sumber: Iswara N Raditya. Kasus Jaksa Agung Tunjukkan Disfungsi Kepemimpinan. 2003.
Tempo)
Pembahasan Tanggapan Studi Kasus
Oknum Jaksa Terjerat Korupsi, ICW Desak Jaksa Agung Mundur
13
CNN Indonesia
Minggu, 30/06/2019 07:07
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Jaksa Agung
HM Prasetyo untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Hal itu karena Prasetyo dianggap
gagal memastikan korps Adhyaksa yang dipimpinnya terbebas dari praktik korupsi. "Jaksa
Agung harus bertanggung jawab atas kejadian korupsi di tubuh Kejaksaan. Karena peristiwa
ini sudah berulang, maka Jaksa Agung sebaiknya mengundurkan diri karena telah gagal
memastikan Kejaksaan bebas dari korupsi," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui
siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com. Berdasarkan data ICW dalam kurun waktu
2004 - 2018, setidaknya ada tujuh Jaksa yang terlibat praktik rasuah dan terjaring oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini, menurut Kurnia, menandakan bahwa proses
pengawasan di internal Kejaksaan tidak berjalan secara maksimal.
Kurnia mengungkapkan modus korupsi yang dilakukan oleh oknum Jaksa memiliki
pola. Mulai dari 'janji' pemberian Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dan
Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2), pemilihan Pasal dalam surat dakwaan
yang lebih menguntungkan terdakwa, serta pembacaan surat tuntutan yang hukumannya
meringankan terdakwa. Terakhir, KPK menetapkan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi
DKI Jakarta Agus Winoto sebagai tersangka dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan
Negeri Jakarta Barat tahun 2019. Selain itu, dua oknum jaksa yang ikut terjaring operasi
tangkap tangan (OTT), yakni Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas, diserahkan
penanganannya kepada Kejaksaan Agung.
Dari tangan Yadi, KPK menyita uang senilai Sin$8.100. Dia diketahui merupakan
perantara suap Sendy Perico (Pengusaha) kepada Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi
DKI Jakarta Agus Winoto. Sementara itu, KPK menyita uang sebesar Sin$20.874 dan
US$700 dari tangan Yuniar. Terkait hal tersebut, Kurnia keberatan. Menurut dia, terdapat tiga
argumentasi yang menguatkan dan mendukung bahwa KPK merupakan lembaga yang paling
tepat untuk menangani kasus korupsi penegak hukum. Pertama, berdasarkan pasal 11 huruf a
Undang-undang KPK, disebutkan bahwa KPK memiliki kewenangan dalam menangani
perkara yang melibatkan aparat penegak hukum. "Pada operasi yang KPK (tangani), beberapa
oknum yang tertangkap memiliki latar belakang sebagai Jaksa. Maka, KPK secara yuridis
mempunyai otoritas untuk menanganinya lebih lanjut," tutur dia.
Kemudian, dalam UU KPK juga, lembaga antirasuah itu secara gamblang disebut
sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Oleh karena itu, terang Kurnia,
14
tidak boleh ada lembaga atau pihak mana pun yang mengintervensi penegakan hukum yang
sedang ditangani KPK. "Apabila dalam penanganan perkara ada pihak yang mencoba
intervensi, dapat dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum (obstruction of
justice) dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun," ujar Kurnia. Selanjutnya,
Kurnia meminta agar Kejaksaan Agung mengurungkan niat untuk menangani oknum jaksa
yang terjerat OTT. Sebab, menurut dia, penanganan perkara harus terbebas dari konflik
kepentingan. "Sebaiknya Jaksa Agung melakukan perbaikan di internal. Karena penangkapan
oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta adalah bentuk penyelematan integritas
Kejaksaan di mata publik," ungkap dia. Setidaknya, lanjut dia, langkah KPK dapat dimaknai
juga sebagai upaya bersih-bersih internal Kejaksaan dari pihak-pihak yang mencoreng
martabat Kejaksaan.
(rhs/lav)
BAB II PENUTUP
2.1 Kesimpulan
15
2.2 Saran
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis, maka
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar lagi, disarankan kepada pembaca untuk
membaca literatur-literatur yang telah dilampirkan pada daftar rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
16
Thoha, Miftah. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. 2014. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
Santrok, J. W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga
Fakih, M. 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar