Anda di halaman 1dari 5

Aisyah Shafira Muthmainnah

XI MIA 2

Tugas Fikih

A. MACAM MACAM ISTIHSAN

1.         Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas jalli kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada khiyas
khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut.
Alasan yang kuatdimaksudkan disini adalah kemaslahatan.
Contoh : Menurut Hanafiyah burung buas dipandang najis dan haram dimakan
dagingnya karena diqiyaskan dengan binatang buas. Karena itu pula air sisa minumannya
termasuk najis. Akan tetapi, penetapan istihsan tidak menjadikannya sebagai najis,
meskipun air sisa minuman binatang buas tetap najis karena air tersebut dipandang
bercampur dengan air liur binatang buas. Ini karena binatang buas minum dengan cara
lidahnya yang menjilat air, sedangkan burung buas hanya paruhnya yang menyedot air,
sehingga air liurnya tidak tersisa pada air tersebut.
2.         Istihsan Istitsna’i
Istihsan istitsna’ ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum
yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum yang bersifat khusus.
Dalam jenis ini dibagi beberapa macam bagian lagi:
a. Menurut Mazhab Hanafi
Dalam Mazhab Hanafi istihsan dibagi kepada lima macam yaitu:
 Istihsan dengan Nashsh    (  ‫)اإلستحسان بالنص‬
Ialah penyimpangan suatu ketentuan hokum berdasarkan ketetapan qiyas
kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash
al-Kitab dan Sunnah (ketentuan hukum umum kekhusus).

Contoh istihsan istitsna’i berdasarkan nashsh Al-Qur’an


Berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang wafat, padahal menurut
ketentuan umum, ketika orang telah wafat ia tidak lagi terhadap hartanya karena telah
beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh
Al-Qur’an, antara lain surah an-Nisa’(4): 12:
‫من بعدوصيّة يوصين بها أودين‬
“ Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar
utangnya.”

Contoh istihsan istitsna’i berdasarkan nashsh sunnah


Tidak batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal
menurut ketentuan umum, makan dan minum membatalkan puasa. Nyatanya
ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadits.
‫عن أبي هريرةرضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا صلّى اهللا عليه وسلّم من نسي وهو صائم فأكل أوثرب‬
‫فاْيت ّم صومه فإنّما أطعمه اهللا وسقاه‬
“ Dari Abu Hurairahr.a, katanya, Rasulullah SAW bersabda:” Barangsiapa yang
lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan
mimun kepadanya”.

 Istihsan dengan Ijma’( ‫االستحسان بااإلجماع‬ )


Ialah meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan
karena ijma’.Hal ini terjadi karena adanya fatwa mujtahid atas suatu peristiwa
yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang telah ditetapkan, atau
para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan oleh manusia
(masyarakat), yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah
ditetapkan. Contohnya boleh melakukan transaksi istitna’ ( seseorang bertransaksi
dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu ), padahal
menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap barang
yang belum ada. Rasulullah SAW, bersabda:
‫التبع ماليس عندك‬
“ jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu”.
Berdasarkan hadits diatas dapat disimpulkan bahwa transaksi  tersebut
batal karena objek transaksinya belum ada.Akan tetapi istihsan
memperbolehkannya kerena sejak dulu proses tersebut sudah berlangsung dan
tidak ada larangan dari seorang ulama pun(alasannya demi memelihara kebutuhan
masyarakat, dan menghindarkan kesulitan ).

B. MACAM MACAM MASLAHAH MURSALAH


1.   Maslahah Dharuriah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya
kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelah
kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat
dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara,
yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

2.   Maslahah Hajjiyah
Maslahah hajjiyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait
dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan.
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan
kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalah dan bidang
jinayat.

3.   Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang
dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Tahsiniyah ini juga masuk dalam lapangan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat.
Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu
melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian
yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa
menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak pada gilirannya akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama. 

C. MACAM MACAM ISTISHAB


1.      Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah
            Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah
boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh
pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing
orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang
menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan
perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak
boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum.
2.   Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
            Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung
terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu
apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya
dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan
dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu
apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari
masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut.
(HR. Muslim dan Abu Hurairah).
            Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu
Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
            Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan
hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa
dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.
            Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila
didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa hukum itu masih tetap
berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.
            Sedangkan Ulama Malikiah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa
kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka
dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu atas
keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal
dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.
3.      Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil
yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil
nasakh (yang membatalkannya).
            Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban
berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi
umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut
ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil
berdasarkan kaidah bahasa.
4.      Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i.
            Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya
syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat
manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang
menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat
berkewajiban untuk  mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka
tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat.
Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalam bentuk ini
hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang
akan datang.
            Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti
ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada
maupun hukum yang akan datang.
5.      Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’
itu diperselisihkan.
Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya
para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang
boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada
air, apakah shalat harus dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh
membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah
apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai
adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian
berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat
dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk
berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait
dengan hukum sah nya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan
tersedianya air.
Contoh Istihsab yaitu :
 Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka
berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama
berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin
dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum
yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishab.

Anda mungkin juga menyukai