Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

“ANAK YANG MENGALAMI AUTISM SPECTRUM DISORDER”

Disusun Oleh:
Kelompok 5 Kelas B

Fadhillah Aini (1910321019)

Nazri Sakinah (1910321031)


Maharani Syarifah (1910322005)

Dosen Pengampu :
Meria Susanti, M. Psi., Psikolog
Amatul Firdausa Nasa, M. Psi., Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Anak Yang Mengalami Autism
Spectrum Disorder” ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam tak lupa penulis ucapkan
untuk baginda Rasulullah SAW. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi ABK di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Univeristas Andalas.
Selanjutnya penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu Meria Susanti, M. Psi., Psikolog
dan Ibu Amatul Firdausa Nasa, M.Psi.,Psikolog selaku dosen pengampu mata kuliah.

Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
referensi buku dan jurnal sehingga dapat memperlancar penulis dalam proses penulisan
makalah. Penyusun berharap, makalah ini dapat memberikan manfaat untuk menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca. Penyusun sadar bahwa masih terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penyusun berharap kepada
pembaca agar dapat memberikan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Padang, 26 September 2022

Peyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................. 1

1.3 Tujuan.................................................................................................................................... 3

BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................................................... 3

2.1 What Are the Foundations of Autism Spectrum Disorders? ................................................ 3

2.1.1 A Brief History of Autism Spectrum Disorders? ........................................................... 3

2.1.2 Definitions of Autism Spectrum Disorders? .................................................................. 3

2.2 What Are the Causes and Characteristics of Autism Spectrum Disorders? .......................... 5

2.2.1 Causes of Autism Spectrum Disorders? ......................................................................... 5

2.2.2 Characteristics of Students Who Are Gifted and Talented............................................. 6

2.3 How Are Students With Autism Spectrum Disorders? ......................................................... 9

2.3.1 Identification ................................................................................................................... 9

2.3.2 Diagnosis ...................................................................................................................... 10

2.4 What and How Do I Teach Students With Autism Spectrum Disorders?........................... 10

iii
2.4.1 Instructional Content .................................................................................................. 10

2.4.2 Instructional Procedures ............................................................................................. 16

2.5 What Are Other Instructional Considerations for Students With Autism Spectrum
Disorders?.............................................................................................................................21
2.5.1 Instructional Environment .......................................................................................... 21

2.5.2 Instructional technology ............................................................................................. 25

2.6 What Are Some Considerations for the General Education Teacher? ................................ 27

BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 33

3.1 Kesimpulan......................................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 34

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di US hampir setengah dari siswa yang memiliki gangguan Autism Spectrum
Disorder (ASD) usia 6-21 tahun menghabiskan 40% atau lebih waktunya sekolah di
pendidikan umum (US Department of Education, 2006). Laporan dari Nation Research
Council (2001) tentang mendidik anak dengan ASD direkomendasikan agar anak-anak
tersebut mendapatkan instruksi khusus dalam pengajaran dan dimana instruksi tersebut
dapat berkembang kapanpun sesuai dengan tujuan pendidikan. Sehingga, diperlukan
penanganan yang tepat terutama dalam bidang pendidikan untuk anak dengan ASD. Tapi,
sebelum itu tentu saja kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana karakteristik anak
dengan ASD tersebut sebelum melakukan tindakan.

Karena, pihak-pihak yang mungkin saja terlibat dalam menangani anak dengan
ASD ini tentu saja bukan hanya pihak dari sekolah dan masih banyak pihak lainnya. Dan
tentunya setiap anak dengan ASD akan memiliki karakteristik yang berbeda-beda pula.
Untuk itu, makalah ini disusun berdasarkan sumber yang valid mengenai Autism
Spectrum Disorder (ASD).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dan bagaimana
sejarahnya?
2) Apa penyebab anak mengalami Autism Spectrum Disorder (ASD)?
3) Apa karakteristik anak yang mengalami Autism Spectrum Disorder (ASD)?
4) Bagaimana cara mengidentifikasi anak atau siswa yang mengalami Autism Spectrum
Disorder (ASD)?
5) Bagaimana sistem pengajaran atau intervensi yang diberikan untuk siswa Autism
Spectrum Disorder (ASD)?
6) Apa pertimbangan yang diberikan untuk mengajar anak Autism Spectrum Disorder
(ASD)?

1
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Menjelaskan pengertian Autism Spectrum Disorder (ASD) dan sejarahnya.
2) Menjelaskan penyebab anak mengalami Autism Spectrum Disorder (ASD).
3) Menjelaskan karakteristik anak yang mengalami Autism Spectrum Disorder (ASD).
4) Menjelaskan cara mengidentifikasi anak atau siswa yang mengalami Autism Spectrum
Disorder (ASD).
5) Menjelaskan sistem pengajaran atau intervensi yang diberikan untuk siswa Autism
Spectrum Disorder (ASD).
6) Menjelaskan pertimbangan yang diberikan untuk mengajar anak Autism Spectrum
Disorder (ASD).

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 What Are the Foundations of Autism Spectrum Disorders?


2.1.1 A Brief History of Autism Spectrum Disorders
Gangguang spektrum autisme (ASD) telah muncul sejak berabad-abad yang
lalu dan gangguan ini mulai diberil label pada pertengahan abad ke-20. Pada tahun
1911, psikiater Swiss bernama Eugen Bleuler menggunakan istilah autisme dalam
menggambarkan kondisi penyerapan diri yang diakibatkan karena hubungan sosial
yang tidak baik (Gupta, 2004).Pada tahun 1943, Leo Kanner menyebutkan istilah
“autisme infantil awal” yang mengambarkan fitur autisme pada anak-anak dan
kriteria diagnostik gangguan spektrum autisme baru diidentifikasi pada tahun 1956
(Kanner & Eisenberg, 1956). Pada tahun 1980, American Psychiatric Association
(APA) secara resmi mengakui bahwa autisme termasuk ke dalam sebuah gangguan.
Pada tahun 1990, Individuals with Disabilities Education Act resmi mengakui bahwa
gangguan autisme termasuk sebagai kecacatan.
Hans Asperger pada tahun 1944 menggambarkan bentuk perilaku memiliki
kesamaan dengan gangguan autisme yang disebut dengan "psikopati autistik", dan
pada awal tahun 1980-an gangguan ini dikenal dengan sindrom Asperger (Wing,
1981). Pada tahun 1966, seorang dokter dari Austria mengamati bentuk perilaku
tangan yang tidak biasa pada dua gadis di ruang tunggunya yang pada akhirnya
gangguan ini disebut dengan Sindrom Rett (Perry, 1991). Pada tahun 1994, APA
menambahkan dua jenis gangguan autism terbaru pada edisi keempat Manual
Diagnostik dan Statistik yaitu gangguan disintegratif masa kanak-kanak dan
gangguan perkembangan pervasif tidak ditentukan lain (APA, 1994).
2.1.2 Definitions of Autism Spectrum Disorders
1. Gangguan Autistik (Autisme)
Autisme dalam bahasa Yunani diartikan sebagai "hidup dalam diri
sendiri" (Gupta, 2004). Autisme ditandai dengan munculnya perilaku defisit
yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan
perilaku restriktif atau berulang. Permasalahan pada individu yang mengalami
autisme seperti adanya terlihat terhambatnya interaksi sosial, komunikasi, atau

3
permainan imajinatif sudah dapat dideteksi sebelum usia 3 tahun.
2. Sindrom Asperger
Sindrom asperger ditandai dengan adanya hambatan individu dalam
melakukan interaksi sosial dan pengembangan terhadap minat, keyakinan, dan
aktivitas yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi lainnya.
Seringkali sindrom Asperger dikatakan sebagai "autisme ringan". Perbedaan
mendasar antara autism dengan sindrom Asperger dapat dilihat pada
kemampuan dalam berkomunikasi dimana individu yang mengalami sindrom
Asperger tidak memiliki hambatan dalam hal tersebut. Selain itu, tidak adanya
ditemukan hambatan signifikan dalam kemampuan kognitif pada individu
dengan sindrom Asperger dimana hambatan ini ditemukan pada gangguan
autisme (APA, 2000).
3. Sindrom Rett
Sindrom Rett merupakan kelainan perkembangan pada saraf yang hanya
ditemukan pada anak perempuan. Gangguan ini mulai nampak pada rentang usia
setelah 18 bulan. Individu yang mengalami sindrom Rett menunjukkan
karakteristik tertentu yaitu hipotonia, hilangnya tonus otot; penurunan dalam
melakukan kontak mata; pertumbuhan kepala melambat; dan tidak menujukkan
minat pada aktivitas bermain. Selain itu, individu dengan sindrom Rett
menujukkan regresi perkembangan yang cepat diantara lain adalah meremas-
remas tangan, berjalan goyah, pernapasan tidak teratur, kesulitan makan dan
menelan, perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif yang sangat terbatas, dan
kejang.
4. Gangguan Disintegratif Anak
Gangguan disintegratif anak merupakan gangguan yang mengakibatkan
terjadinya kemunduran dalam perkembangan anak dan biasanya mulai dapat
terdeteksi mulai dari usia 2 hingga 10 tahun. Perkembangan yang mengalami
kemunduran diantara lain adalah perkembangan bahasa ekspresif atau reseptif,
keterampilan sosial atau perilaku adaptif, kontrol usus atau kandung kemih, atau
keterampilan bermain atau motorik seperti koordinasi. Diagnosis gangguan
disintegratif anak dapat diberikan ketika anak mengalami paling kurang dua dari
beberapa kemunduran perkembangan tersebut. Selain itu, individu yang
4
mengalami gangguan disintegratif anak biasanya mengalami defisit komunikasi
serta karakteristik perilaku yang konsisten dengan autisme.
5. Pervasive Development Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS)
Individu yang mengalami PDD-NOS menujukkan perilaku autistik
dimana individu memenuhi beberapa atau tidak semua kriteria-kriteria gangguan
pervasiv lainnya. Sebagai vcontoh adalah seorang individu mengalami hambatan
parah dalam melakukan komunikasi serta interaksi sosial namun tidak
menunjukkan bahwa adanya gangguan dalam pola perilaku yang restriktif dan
berulang.

2.2 What Are the Causes and Characteristics of Autism Spectrum Disorders?
2.2.1 Causes of Autism Spectrum Disorders
a. The Brain and Autism
Menurut ASA (2004), penyebab umum dari autism adalah adanya kelainan pada
struktur otak atau fungsi otak. Kelainan ini diketahui dapat diakibatkan karena
adanya pengaruh faktor genetik dan juga dapat diakibatkan karena adanya
pengaruh faktor lingkungan. Pada individu dengan autism jug diketahui memiliki
kelainan terhadap fungsi pada beberapa bagian otak diantara lain adalah sistem
limbik dan otak kecil. Sistem limbik merupakan area otak yang berfungsi dalam
pemrosesan emosi dan pembentukan ingatan. Otak kecil merupakan area otak yang
berfungsi dalam mengatur perhatian, modulasi sensorik, modulasi emosional, dan
inisiasi motorik dan perilaku. Bragdon dan Gamon (2000) menambahkan bahwa
individu dengan autism mengalami penurunan aliran darah di belahan otak kiri
dimana area ini berungsi dalam mengatur bahasa.
b. Genetic Causes of Autism
Genetik diketahui berperan pada gangguan autism. Sesama kembar identik dapat
memiliki kemungkinan sama-sama mengalami autisme hingga 60% dan pada
kembar fraternal diketahui bahwa kemungkinan sama-sama mengalami autism
adalah 5% (Ozonoff & Rogers, 2003). Selain itu, peluang individu melahirkan
anak dengan autism dikatakan lebih berpeluang tinggi yaitu 1 dari 20 anak.
Namun penyebab autism tidak hanya dipengaruhi oleh genetic semata karena
diketahui bahwa sebanyak 40% dari kembar identik tidak memiliki kelainan
5
tersebut.
c. Nongenetic Causes of Autism
Faktor lingkungan masih belum dapat diidentidikasi sebagai penyebab autism
namun pola asuh yang buruk bukan menjadi penyebab terjadinya autism.
Menurut ASA (2004), terdapat beberapa faktor yang berkemungkinan dapat
mengakibatkan gengguan autism diantara lain adalah adanya permasalahan saat
kehamilan dan persalinan seperti bayi tidak mendapatkan suplai oksigen yang
cukup, infeksi akibat virus tertentu, dan metabolism yang bekerja secara tidak
seimbang. Gillberg dan Coleman (2000) menambahkan bahwa perkembangan
autism juga dapat dipicu karena terjadinya kejang pada bayi.
2.2.2 Characteristics of Autism Spectrum Disorders
a. Social Characteristics of Autism
Salah satu ciri-ciri utama yang ditemukan pada individu dengan autism adalah
kesulitan dalam melakukan interaksi. Menurut Bragdon dan Gamon (2000),
individu yang mengalami gangguan autism pada masa kana-kanaknya akan
menunjukkan ketidaksukaan terhadap kasih sayang fisik seperti pelukan.
Individu dengan autism juga memiliki hambatan dalam membangun hubungan
dengan orang lain sehingga menyebabkan individu tersebut memiliki sedikit
teman (Gillberg & Coleman, 2000; NIMH, 2004). Menurut Johnson (2004),
individu dengan autism memiliki hambatan dalam perhatian bersama sehingga
akan berkurangnya kemampuan individu dalam berbagi minat atau kesukaan
dengan orang lain. Bragdon dan Gamon (2000) menjelaskan bahwa anak dengan
autism seringkali ditemukan memiliki kendala dalam respon sosial. Sebagai
contoh adalah anak tidak terlalu memberikan respon ketika orang tua memanggil
namanya. Individu dengan autism juga seringkali ditemukan memiliki hambatan
dalam melakukan kontak mata serta tidak dapat mengenali wajah orang lain
dengan mudah.
b. Communication Characteristics of Autism Spectrum Disorders
1. Deviations in Language Development
Keterhambatan dalam perkembangan bahasa seringkali ditemukan pada
individu dengan autism. Gillberg dan Coleman (2000) menjelaskan bahwa
anak dengan autism pada usia 2 tahun mungkin menggunakan beberapa kata,
6
namun seiring bertambahnya usia anak akan berhenti berbicara dalam kurun
waktu yang lama. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa anak autism bahkan
tidak akan pernah berbicara lagi. Ciri-ciri bahasa yang ditemukan pada
individu dengan autism diantara lain adalah echolalia (frasa yang diucapkan
orang lain akan ditiru atau diulang), palilalia (pengulangan terhadap kata-kata
sendiri), echopraxia (pengulangan terhadap gerakan tubuh orang lain), dan
neologisme (menggunakan kata-kata atau istilah yang maknanya dibuat-buat).
2. Deficits in Communicative Intent.
Indiviud yang mengalami gangguan autism seringkali ditemukan
mengalami kendala dalam menyampaikan makna yang dimaksudkan ketika
melakukan komunikasi. Gillberg dan Coleman (2000) juga menyebutkan
bahwa banyak ditemukan adanya kendala dalam penggunaan keterampilan
komunikasi nonverbal, seperti isyarat pada individu dengan autism.
c. Behavioural Characteristics of Autism
1. Repetitive and Stereotypic Behavior
Stereotip motorik atau gerakan motorik berulang seringkali ditemukan
individu dengan autism. Sebagai contoh adalah perilaku berulangkali
mengepakkan serta meremas-remas tangan dan bergoyang-goyang. Menurut
Handen dan Lubatsky (2005) ditemukan perilaku melukai diri sendiri pada
beberapa individu dengan autism seperti memukul, mencubit atau mencakar
diri sendiri. Selain itu, individu dengan autism juga dapat melakukan
aktivitas berulang dalam waktu yang lana seperti memutar-mutar roda
sepeda.
2. Extreme Need for a Routine
Individu dengan autism memiliki karakteristik perilaku yaitu membutuhkan
implikasi langsung terhadap instruksi dan rutinitas. Individu dapat
menunjukkan kemarahan dan frustasi ketika runitinas terganggu oleh hal
lain.
3. Unusual Preoccupation with Objects or Activities
Menurut Gillberg dan Coleman (2000), keterikatan yang kuat pada objek
dan aktivitas tertentu seringkali ditemukan pada individu dengan autism
seperti ketertarikan pada batu, mainan, terutama pada objek yang bulat,
7
berputar dan berkilau.
4. Specific Sensory and Motor Characteristics
Karakteristik yang berkaitan dengan fungsi sensorik dan motorik yang
seringkali ditemukan pada individu dengan autism menurut Gillberg dan
Coleman (2000) diantara lain adalah memberikan respon yang tidak biasa
pada rangsangan sensorik seperti suara, tingkat aktivitas yang tidak normal
seperti hiperaktivitas atau hipoaktivitas, kepekaan terhadap rasa sakit, panas,
atau dingin menurun, serta pola makan dan tidur yang tidak normal.
d. Cognitive Characteristics of Autism
1. Low IQ
Cacat intelektual seringkali dikaitkan dengan gangguan autism selama
beberapa tahun terakhir namun menurut penelitian setelahnya dikatakan bahwa
individu dengan autism yang mengalami kecacatan intelektual tidak mencapai
70% (La Malfa, Lassi, Bertelli, Salvini, & Placidi, 2004).
2. Difficulty in Executive Functioning
Individu dengan autism mengalami hambatan dalam menjalankan fungsi
eksekutif dimana hal ini mencakup perencanaan, mengalihkan perhatian, dan
penggunaan memori kerja. Menurut Hughes (2001) hal ini dapat menyebabkan
munculnya perilaku berulang, tidak dapat beradaptasi dengan baik pada situasi
baru diluar rutinitas, dan mengalami penurunan terhadap fleksibilitas berpikir.
3. Defi cits in Theory of Mind
Individu dengan autism akan mengalami hambatan dalam melihat suatu hal
dari perspektif atau sudut pandang orang lain (Bragdon & Gamon, 2000).
Menurut penjelasan Bragdon dan Gamon (2000) diketahui bahwa kemampuan
atribusi tingkat pertama pada individu dengan autism akan baru mulai
berkembang pada masa remaja atau bahkan tidak dapat mengembangkan
kemampuan ini sama sekali.
4. Strengths in Visual Skills
Keterampilan pemrosesan visual daripada keterampilan pemrosesan verbal
pada individu dengan autism diketahui lebih kuat meskipun adanya gangguan
pada perkembangan keterampilan kognitif (Ruble & Gallagher, 2004).

8
2.3 How Are Students With Autism Spectrum Disorders Identified?
2.3.1 Early Screening
Orang tua biasanya yang pertama mengidentifikasi bahwa anak mereka
berperilaku berbeda. Terkadang perilaku autisme terlihat sejak lahir; namun bisa juga
muncul tiba-tiba pada anak yang berkembang secara normal. Beberapa gejala
pertama yang terlihat pada bayi dengan autisme adalah karakteristik nonspesifik
seperti hiperaktif, kurang inisiatif, gangguan tidur serta makan. Orang tua umumnya
akurat dalam mengidentifikasi masalah perkembangan pada anak-anak mereka,
meskipun mereka mungkin tidak memahami sifat atau tingkat masalah yag dialami.

9
Instrumen skrining informal yang bisa dijadikan pedoman untuk skrining awal ASD
bisa dilihat pada gambar berikut.
2.3.2 Diagnosis
Diagnosis gangguan autism spectrum disorders membutuhkan kriteria untuk
gangguan tertentu yang harus dipenuhi. Biasanya hal ini ditentukan oleh dokter atau
psikolog. Untuk autisme, diagnosis biasanya tidak dapat dipastikan sampai anak
berusia sekitar 30 bulan. Sampai saat itu, sulit untuk menilai perilaku yang terkait
dengan autisme seperti hubungan teman sebaya yang buruk dan kemampuan
komunikasi yang terbatas. Diperkirakan bahwa 40% dari semua anak dengan
autisme menunggu setidaknya tiga tahun setelah identifikasi awal sampai diagnosis
yang jelas dibuat.
Langkah pertama dalam diagnosis adalah pemeriksaan medis menyeluruh.
Karena gejala autisme mirip dengan gangguan perkembangan lainnya, maka perlu
untuk "mengesampingkan" kondisi lain seperti gangguan komunikasi, gangguan
pendengaran, atau cacat intelektual. Sumber informasi lain yang dapat digunakan
untuk membantu membuat diagnosis diantaranya riwayat perkembangan, laporan
orang tua (dan guru), pengamatan langsung terhadap anak, dan pengujian formal
komunikasi dan fungsi intelektual.
Perkembangan anak harus mencakup bidang faktor fisik, faktor keluarga,
bahasa/komunikasi, perilaku sosial, dan pendidikan. Tes yang digunakan akan
sangat tergantung pada usia individu ketika diberikan. Ada juga skala penilaian yang
dirancang khusus untuk membantu mengidentifikasi individu dengan gangguan
spektrum autisme tertentu, seperti Childhood Autism Rating Scale dan Gilliam
Autism Rating Scale, meskipun diagnosis tidak boleh dibuat hanya dengan
menggunakan hasil instrumen ini.

2.4 What and How Do I Teach Students With Autism Spectrum Disorders?
2.4.1 Instructional Content
Untuk beberapa siswa dengan gangguan ASD, kurikulum pendidikan umum dengan
beberapa modifikasi akan sesuai. Namun tidak bagi yang lain, diperlukan adaptasi
besar, seperti pendekatan akademis yang lebih fungsional. Oleh karena itu, tidak ada

10
satu program yang akan memenuhi kebutuhan semua siswa pada autisme.
a. The Need for early Intervention
Intervensi dini memainkan peran yang sangat penting dalam
keberhasilan masa depan individu dengan gangguan autisme. Intervensi intensif
yang dimulai pada usia 3 tahun menghasilkan hasil yang jauh lebih baik untuk
anak-anak dengan autisme daripada intervensi yang dimulai setelah usia 5 tahun.
Selanjutnya, semakin dini intervensi dimulai (yaitu, sebelum usia 3), semakin
baik hasilnya.
Salah satu program intervensi awal pertama untuk memasukkan anak-
anak autis dengan typical children, Learning Experience Alternative Program
untuk Preschoolers and their Parents (LEAP). Kurikulum individual berbasis
ilmiah LEAP membahas bidang sosial, emosional, bahasa, perilaku adaptif,
kognitif, dan perkembangan fisik. LEAP memadukan pendekatan perilaku
dengan praktik yang sesuai dengan perkembangan anak. LEAP berfokus pada
peningkatan keterampilan anak- anak autisme dalam interaksi dan bermain
dengan teman sebayanya. Kurikulum terkenal dengan intervensi keterampilan
sosial yang dimediasi oleh teman. Rekan-rekan tipikal dilatih untuk merespon
dengan cepat dan tepat terhadap inisiasi oleh rekan-rekan mereka dengan
autisme. Mereka juga diajari bagaimana memulai interaksi dan mempertahankan
percakapan dengan teman sebayanya yang autisme.
Program model baru yang menyediakan layanan inklusif yang efektif
bagi anak-anak dengan autisme adalah Project DATA (Developmentally
Appropriate Treatment for Autism) dari University of Washington. Project
DATA menggabungkan praktik dari analisis perilaku terapan dan pendidikan
khusus anak usia dini. Anak-anak dengan autisme diintegrasikan ke dalam
program anak usia dini komprehensif berbasis universitas di mana interaksi yang
sukses dengan teman sebaya, kegiatan, dan materi difasilitasi oleh pendekatan
perilaku perkembangan yang berpusat pada keluarga dalam hal pengajaran dan
kurikulum. Meskipun program prasekolah adalah komponen utama dari
keseluruhan program, komponen perpanjangan waktu tambahan ditambahkan
untuk anak-anak dengan autisme. Pengajaran intensif yang sangat individual
berfokus pada peningkatan kemampuan anak-anak untuk mengakses lingkungan
11
prasekolah dan mengambil manfaat dari kurikulum dan strategi pengajaran
naturalistik. Misalnya, seorang anak perlu belajar bagaimana meniru, program
yang sangat eksplisit dalam tepuk tangan dapat dalam waktu yang lama dan
kemudian secara sistematis bergerak langkah demi langkah untuk menunjukkan
keterampilan meniru ini di kegiatan prasekolah pendidikan umum.

b. Functional Communication

Karena kesulitan komunikasi verbal dan nonverbal merupakan pusat diagnosis


dalam spektrum autisme, membantu anak mengembangkan keterampilan
komunikasi fungsional adalah elemen kunci dalam kurikulum. Anak-anak dengan
gangguan autisme sering mengembangkan komunikasi mereka sendiri termasuk
perilaku melukai diri sendiri serta amarah. Misalnya, jika seorang anak melihat
barang yang dia inginkan dan tidak dapat mengungkapkan keinginan ini secara
verbal, frustrasi dapat menyebabkan mengekspresikan keinginan melalui
berteriak, menendang, atau membenturkan kepala. Oleh karena itu butuh untuk
mengajarkan anak keterampilan komunikasi yang lebih konvensional untuk
mengekspresikan kebutuhan dan keinginan nya.

Komunikasi, baik verbal, gestural, atau gambar, adalah hal yang harus menjadi
komponen dasar dari setiap program pendidikan untuk siswa dengan autisme.
Semakin tinggi tingkat kompetensi komunikasi, semakin besar kemungkinan
siswa mengalami keberhasilan pendidikan. Sekarang ada banyak penelitian yang
mendukung penggunaan metode pengajaran naturalistik yang diprakarsai oleh
anak dan fokus pada minat anak untuk mendukung keterampilan komunikasi
fungsional. Metode-metode ini harus diselingi dan ditanamkan dalam lingkungan
alami, seperti ruang kelas, dan menggunakan penguat alami, seperti makanan
ringan.

c. Social Skills

Individu dengan gangguan autisme sering mengalami kesulitan dalam situasi


sosial. Misalnya, seorang anak dengan sindrom Asperger berfungsi dalam mata
pelajaran akademik tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan teman sebaya,
terus-menerus membuat komentar yang tidak pantas dan tampaknya tidak sensitif,
seperti "baju itu terlihat seperti seseorang yang menumpahkan mustard cokelat
12
yang menjijikkan di atasnya.” Atau siswa dengan autisme dapat bekerja dengan
baik dalam setting kelompok di kelas tetapi duduk sendiri dan terpisah dari anak-
anak lain di kafetaria. Tanpa pelatihan peningkatan interaksi sosial, siswa dengan
gangguan autisme rentan terhadap penolakan dan isolasi yang dapat menyebabkan
kegagalan dalam program pendidikan. Keterampilan sosial yang ditingkatkan
dapat bermanfaat bagi siswa tidak hanya di sekolah tetapi juga sepanjang hidup
mereka.

Agar efektif, pengajaran di bidang keterampilan sosial harus dilakukan setiap


hari dalam berbagai setting dan menggunakan kegiatan khusus untuk memenuhi
tujuan sosial individual sesuai dengan usianya. Misalnya, memasukkan minat
obsesif anak ke dalam kegiatan pembelajaran telah terbukti menjadi metode yang
efektif untuk meningkatkan keterlibatan dalam kegiatan, termasuk kegiatan sosial.
Jadi, jika seorang siswa autis yang tujuan sosialnya termasuk bekerja secara
kooperatif dengan orang lain saat ini terobsesi dengan kereta api, ia dapat
ditempatkan dalam kelompok belajar kooperatif yang telah diberi laporan tentang
pengembangan sistem perkeretaapian.

Salah satu keterampilan sosial yang terlalu sering diabaikan adalah kesadaran
akan kurikulum tersembunyi, atau konvensi sosial yang tidak tertulis dan
dipahami secara intuitif oleh teman sebaya. Setiap sekolah, ruang kelas, dan
masyarakat mengandung kurikulum tersembunyi. Kurikulum tersembunyi ini
mencakup banyak aturan tidak tertulis tentang cara bertindak, cara berbicara, cara
berpakaian, dan sebagainya yang kebanyakan orang tahu dan menerima begitu
saja, tetapi dapat menyebabkan kesulitan besar bagi siswa dengan gangguan
autisme.

Kurikulum tersembunyi termasuk menyadari harapan guru; mengembangkan


keterampilan menyenangkan guru; pengetahuan tentang siswa mana yang harus
berinteraksi dan mana yang harus dihindari; dan perilaku mana yang menarik
perhatian negatif dan mana yang menarik perhatian positif, dan dalam situasi apa.
Contohnya, di sekolah dasar, seorang siswa membawa bukunya ke sekolah dalam
tas ransel bukan tas kerja. Kurikulum tersembunyi seringkali perlu diajarkan dan
diinterpretasikan secara langsung bagi siswa dengan gangguan spektrum autisme.

13
Kaset video, gambar, kartun, permainan peran, dan bantuan yang diperantarai
teman sebaya dapat berguna dalam pengajaran langsung. Misalnya, melihat dan
mendiskusikan gambar kontras antara siswa sekolah dasar yang pergi ke sekolah
dengan ransel dan orang dewasa yang bekerja dengan tas kerja dapat membantu
siswa untuk memahami.

d. Cognitive and Academic Skill Development

Sebagian besar siswa dengan gangguan autisme membutuhkan dukungan


dalam pengembangan keterampilan kognitif. Misalnya, setelah menghitung
persentase yang telah dikuasai di kelas, siswa dapat ditugaskan untuk menerapkan
ini pada penjualan barang favorit yang diiklankan di koran dengan diskon 15%.
Karakteristik kognitif yang dapat mengakibatkan kesulitan akademik diantaranya
adalah keterampilan pemecahan masalah dan organisasi yang buruk; konkrit,
pemikiran literal; kesulitan membedakan informasi yang relevan dan tidak relevan;
minat yang obsesif dan sempit; dan status sosial yang rendah di antara rekan-rekan
mereka.

Misalnya, keterampilan organisasi yang buruk dapat menyebabkan kegagalan


untuk menyerahkan pekerjaan rumah karena siswa tidak meletakkannya di dalam
atau di dekat ranselnya ketika sudah selesai. Sebagai contoh lain, seorang siswa
yang secara obsesif tertarik pada planet mungkin begitu fokus pada keberadaan
planet dalam soal matematika sehingga pertanyaan yang diajukan terlewatkan.
Pemikiran literal yang konkret pernah menyebabkan seorang siswa dikeluarkan
dari kelas membaca karena berdiri dan bergerak di sekitar ruangan dengan buku
bacaannya setiap kali guru menyatakan “berkeliling ruangan membaca”.

e. Family Involvement

Salah satu dukungan yang paling bermanfaat secara universal untuk anak-anak
autisme dan keluarga mereka adalah komitmen untuk dukungan yang
komprehensif dan berpusat pada keluarga. Sebuah sistem dukungan yang berpusat
pada keluarga utnuk menangani kebutuhan dan keinginan keluarga abak autisme
daripada hanya menyediakan layanan yang telah ditentukan sebelumnya. Orang
tua dipandang sebagai sumber informasi dan mitra yang berharga dalam
pendidikan anak mereka. Mereka adalah peserta aktif dalam mengembangkan
14
rencana pendidikan anak mereka dan mungkin sangat terlibat dalam perawatan
anak mereka. Dalam sistem dukungan yang berpusat pada keluarga, orang tua
dilatih dalam prinsip-prinsip perilaku penting atau teknik pengajaran khusus yang
digunakan di sekolah dan dapat menjadi tutor yang sangat efektif. Mereka juga
dapat menjadi co-assesor dalam pendekatan analisis perilaku fungsional untuk
menentukan fungsi dari suatu perilaku dalam setting alami rumah.

f. Transition Planning
Beberapa siswa mungkin berencana untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi
dan akan membutuhkan rencana transisi yang berisi keterampilan penting untuk
memfasilitasi keberhasilan di perguruan tinggi. Rencana ini harus mencakup
pemahaman kebutuhan belajarnya dan jenis akomodasi yang membantu;
mengembangkan keterampilan advokasi diri; dan menegaskan keterampilan hidup
serta kemandirian sehari-hari yang akan dibutuhkan untuk berfungsi di asrama,
kafetaria, dan area kehidupan kampus lainnya.
Misalnya, seorang siswa dengan sindrom Asperger mungkin perlu mempelajari
isyarat untuk menentukan kapan waktu yang tepat atau tidak untuk menyela teman
sekamar, dan kapan waktunya untuk berhenti berbicara. Komponen penentuan
nasib sendiri, yang meliputi keterampilan membuat pilihan, keterampilan advokasi
diri, persepsi positif tentang kontrol dan kemanjuran, dan pengetahuan dan
kesadaran diri, tidak hanya relevan untuk mahasiswa terikat perguruan tinggi tetapi
juga penting bagi siswa yang akan mengejar pekerjaan setelah lulus.
Untuk siswa, rencana transisi juga perlu memasukkan pengalaman kerja dan
pengembangan keterampilan dan keterampilan yang berhubungan dengan
pekerjaan untuk waktu luang dan rekreasi. Bagi yang lain, fokus rencana transisi
mungkin pada pelatihan berbasis masyarakat dan perawatan diri. Rencana transisi
untuk siswa autis yang terikat pekerjaan melalui beberapa pengalaman kerja untuk
menentukan mana yang paling cocok untuknya. Penilaian lingkungan kerja, serta
keterampilan kerja, akan dimasukkan dalam rencana untuk membantunya
mencocokkan karakteristiknya sendiri dengan karakteristik tempat kerja.
Misalnya, siswa ini sangat sensitif terhadap suara, sehingga setting toko yang
bising mungkin bukan tempat kerja yang terbaik, tetapi ia memiliki toleransi yang
tinggi terhadap aktivitas yang berulang, sehingga pekerjaan lini perakitan mungkin
15
cocok. Keterampilan wawancara juga perlu dipelajari dan dipraktikkan.

2.4.2 Instructional Procedures


Tidak ada metode tunggal yang efektif secara universal untuk mengajar semua anak
dan remaja dengan gangguan autisme, dan menentukan intervensi yang tepat untuk
anak-anak dengan gangguan autisme adalah masalah yang kompleks. Praktik yang
efektif adalah praktik yang divalidasi secara ilmiah dan sesuai dengan kebutuhan
individu, lingkungan, dan keluarga.
a. Direct instruction
Instruksi langsung adalah prosedur yang efektif untuk mengajar siswa
dengan gangguan autisme. Pendekatan ini menggunakan prosedur langkah-
demi-langkah yang sangat terstruktur dengan pertanyaan yang sering,
pemodelan, dan praktik yang dipandu serta mandiri, semuanya didasarkan pada
analisis yang cermat terhadap tugas yang akan diajarkan. Ini juga
memungkinkan keterlibatan siswa yang tinggi, yang merupakan aspek kunci dari
program yang sukses untuk siswa dengan gangguan autisme. Instruksi langsung
dapat digunakan untuk mengajarkan komunikasi, keterampilan sosial, dan
keterampilan kognitif.
b. TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication
Handicapped Children)
Dikembangkan pada awal 1970-an oleh Eric Schopler, pendekatan TEACCH
adalah mengembangkan program seputar keterampilan, minat, dan kebutuhan
siswa autis. Hal ini memungkinkan penerapan berbagai metode pembelajaran,
tetapi prinsip utama dari pendekatan ini adalah untuk menghormati budaya autisme
dan mengubah lingkungan untuk beradaptasi dengan kebutuhan anak-anak autisme
dengan membuat lingkungan yang sangat terstruktur dan dapat diprediksi.
Lingkungan "ramah autisme" adalah lingkungan di mana siswa kurang terpapar
pada jenis rangsangan, seperti tingkat kebisingan yang tinggi atau kejadian yang
tidak terduga, yang dapat menyebabkan masalah perilaku.
Menciptakan lingkungan yang ramah autisme melibatkan pengorganisasian
lingkungan fisik, mengembangkan jadwal dan sistem kerja, dan menggunakan
materi visual yang memungkinkan siswa autis untuk menggunakan keterampilan
ini secara mandiri tanpa dorongan dan petunjuk orang dewasa. Meskipun
16
spesifikasi ruang kelas didasarkan pada kebutuhan individu siswa, ruang kelas
tipikal yang menggunakan pendekatan TEACCH akan berukuran besar, termasuk
kamar mandi, dan hanya memiliki satu pintu keluar. Kelas akan terletak jauh dari
bau kafetaria dan kebisingan gimnasium. Memiliki ruang penyimpanan yang
cukup, mungkin lemari built-in, dan banyak area kerja atau bermain yang ditandai
dengan baik. Area ini harus ditandai dengan selotip di lantai atau partisi. Setiap
area harus memiliki bahan yang mudah diakses dan ditandai dengan jelas dengan
ikon visual yang menunjukkan aktivitas apa yang akan terjadi di sana. Meja guru
dan meja siswa harus menghadap dinding kosong, dan jendela harus ditutup
dengan gorden. Setiap siswa harus memiliki cubbyhole atau loker untuk barang-
barang pribadi.
Memanfaatkan kekuatan khas siswa dengan gangguan autisme, isyarat visual
digabungkan di seluruh prosedur TEACCH. Misalnya, jadwal visual digunakan
untuk membantu memori berurutan dan setting waktu. Ini membantu siswa lebih
memahami apa yang diharapkan dari mereka, yang mengurangi tingkat
kecemasan mereka dan membantu mereka dalam transisi independen dari satu
aktivitas ke aktivitas lainnya. Jadwal dapat dirancang menggunakan berbagai
format, tergantung pada kebutuhan individu. Jadwal umum dengan isyarat
visual harus dipasang di dinding. Setiap siswa harus memiliki jadwal individu
dengan isyarat visual seperti menggambar atau foto.

c. Applied Behavior Analysis


Teknik analisis perilaku terapan (ABA) adalah prosedur yang paling
banyak divalidasi secara ilmiah yang digunakan untuk membawa perubahan
perilaku pada siswa dengan gangguan autisme. Berbeda dengan TEACCH, salah
satu tujuan ABA adalah mengubah individu autis untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan, bukan menyesuaikan lingkungan dengan individu, serta
membantu anak autisme untuk berbaur dengan teman-temannya. Tiga jenis
analisis perilaku terapan yang sering digunakan pada siswa autis adalah
pengajaran percobaan diskrit, pengajaran respons penting, dan pengajaran
insidental.
Salah satu pendekatan ABA yang paling banyak digunakan untuk

17
mengajar siswa dengan gangguan autisme adalah metode pengajaran percobaan
diskrit yang pertama kali diprakarsai oleh Lovaas pada tahun 1970-an sebagai
pendekatan untuk mengajar anak-anak dengan autisme. Percobaan diskrit adalah
serangkaian tindakan yang berisi stimulus atau anteseden, perilaku, dan
konsekuensi. Guru yang menggunakan pendekatan ini fokus pada pengajaran
keterampilan yang tidak dimiliki siswa, seperti cara konvensional untuk
mengkomunikasikan keinginan. Pengajaran umumnya akan terdiri dari
permintaan untuk melakukan suatu tindakan ("Katakan apa yang Anda
inginkan"), tanggapan dari anak ("krayon biru"), diikuti oleh reaksi dari guru
("Bagus! Ini krayon birunya". .”). Teknik yang digunakan dengan siswa dengan
gangguan emosi atau perilaku untuk meningkatkan atau menurunkan perilaku,
seperti positive and negative reinforcement, extinction, dan time-out, juga
berguna dalam mengajar siswa dengan gangguan autisme.
Prosedur yang dapat secara efektif mengurangi atau menghilangkan
perilaku yang tidak pantas seperti memukul atau berteriak adalah penilaian
perilaku fungsional (FBA). FBA digunakan untuk menentukan fungsi atau
tujuan suatu perilaku dengan menganalisis secara sistematis anteseden dari
perilaku—yaitu, kapan dan di mana perilaku itu terjadi. Berdasarkan hasil
penilaian, dikembangkan rencana intervensi perilaku yang sistematis yang berisi
rincian strategi yang akan digunakan dalam intervensi. Misalnya, jika teriakan
lebih sering terjadi ketika siswa telah duduk di satu tempat selama lebih dari 15
menit, istirahat yang direncanakan dapat dijadwalkan untuk mencegah
terjadinya perilaku tersebut.
Pengajaran insidental menerapkan ABA untuk keterampilan pra-
akademik yang diajarkan dalam kegiatan anak usia dini di prasekolah atau
setting rumah daripada duduk berhadap-hadapan dengan anak di meja dalam
setting klinis. Guru mengatur lingkungan belajar dengan menempatkan mainan
atau kegiatan yang disukai di depan mata, tetapi tidak dalam jangkauan. Setelah
anak menunjukkan minat dengan memberi isyarat atau meminta, guru
mendorong elaborasi. Misalnya, jika siswa meraih dan mengatakan “truk”, guru
bertanya, “Kamu mau truk warna apa?” Setelah siswa mengatakan “truk merah”,
dia diperbolehkan bermain dengan truk untuk waktu yang ditentukan. Baik
18
generalisasi dan interaksi sosial dipromosikan melalui pengajaran insidental.
Konsep dasar penataan tujuan pembelajaran seputar kegiatan sehari-hari dapat
dimodifikasi dan diterapkan pada peserta didik pada usia berapa pun.
d. Social Stories
Intervensi yang digunakan untuk mengatasi defisit keterampilan sosial pada
individu dengan gangguan autisme adalah penggunaan Cerita Sosial, seperti yang
dikembangkan oleh Carol Gray (1993). Cerita Sosial adalah cerita pendek dengan
kalimat sederhana dan ilustrasi opsional tentang situasi tertentu yang umum
ditemui. Cerita Sosial memanfaatkan informasi visual, seperti gambar garis,
gambar, atau foto, bersama dengan kata-kata tertulis, atau kata-kata tertulis saja,
untuk meningkatkan pemahaman tentang berbagai situasi sosial dan untuk
mengajarkan perilaku tertentu untuk digunakan saat berinteraksi dengan orang
lain. Cerita Sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan perubahan dan
peristiwa baru di rumah dan sekolah, dan untuk menjelaskan konsep dan situasi
sosial.
Misalnya, memberikan Cerita Sosial tentang perjalanan lapangan atau tempat
yang dikunjungi sebelum kunjungan lapangan terjadi, dapat meredakan kecemasan
anak dan membantunya dalam mengontrol. Cerita Sosial ditulis secara individual
untuk setiap anak dengan berbagai situasi sosial yang sulit, seperti menunggu
antrean makan siang di kafetaria dll. Cerita Sosial harus ditulis sesuai dengan
tingkat perkembangan kognitif anak. Caerita sosial biasanya mencakup empat
jenis kalimat, yaitu kalimat deskriptif, menggambarkan setting sosial dan perilaku
yang ditampilkan oleh individu dalam setting tertentu. Kalimat perspektif
menunjukkan reaksi orang lain terhadapa situasi. Kalimat afirmatif menjelaskan
pendapat atau nilai. Serta kalimat direktif membantu membimbing anak ke
perilaku yang sesuai saat berada dalam setting tertentu.
e. Unsupported Methods
Orang tua yang putus asa dapat mencari pengobatan atau pengobatan untuk
anak mereka yang memiliki gangguan autisme. Dalam pencarian ini, mereka
mungkin bersedia untuk mencoba apa saja termasuk terapi mahal, banyak di
antaranya yang tidak didukung oleh penelitian berbasis ilmiah. Kekhawatirannya
adalah bahwa keluarga dapat menghabiskan ribuan dolar untuk perawatan ini
19
sebagai pengganti perawatan yang sudah divalidasi. Contoh program populer yang
tidak didukung termasuk komunikasi yang difasilitasi, terapi lumba-lumba, terapi
hormon dll.
Sekarang ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa facilitated
communication (FC) tidak memiliki validitas ilmiah. FC adalah bentuk
komunikasi di mana "fasilitator" secara fisik mendukung tangan, pergelangan
tangan, siku, atau lengan anak saat anak menyusun pesan, baik dengan mengetik
atau menunjuk huruf di papan ketik atau papan abjad. Pada saat ini, FC tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada siswa dengan gangguan autisme.
Perawatan lain yang tidak didukung yang telah mendapatkan popularitas di
masyarakat adalah terapi lumba-lumba. Dalam perawatan ini, ketika anak
membuat respons yang benar terhadap pertanyaan target atau menunjukkan
keterampilan tertentu, anak tersebut dibawa ke dalam air oleh orang dewasa yang
berada di dekatnya sementara anak tersebut diizinkan berenang dengan atau
menunggangi lumba-lumba. Dikatakan bahwa ikatan unik dengan "makhluk
sensitif" ini mengarah pada peningkatan kecepatan belajar bagi siswa autis. Tidak
ada bukti bahwa penguat (lumba-lumba) terlibat dalam keberhasilan program ini.
Pengobatan lain yang tidak berdasar adalah pemberian sekretin, atau terapi
hormon. Sekretin adalah hormon gastrointestinal yang terutama diberikan untuk
tujuan diagnostik selama endoskopi. Itu datang ke permintaan sebagai pengobatan
untuk gangguan spektrum autisme setelah televisi dan media cetak menerbitkan
hasil dari serangkaian studi kasus oleh Horvath et al. (1998) di mana tiga anak autis
yang menjalani endoskopi diagnostik kemudian melaporkan perubahan perilaku.
Setelah publisitas ini, ribuan anak menerima perawatan secretin intravena. Namun,
setelah sejumlah studi klinis yang dirancang ditemukan teori bahwa karakteristik
autisme mungkin terkait dengan intoleransi gluten (protein dan sereal lainnya) dan
kasein (protein dari susu), yang mengarah pada keyakinan bahwa autisme dapat
dikendalikan oleh diet.
2.5 What Are Other Instructional Considerations for Students with Autism Spectrum
Disorders?
Apapun pendekatan yang diberikan untuk anak dengan ASD dalam progam
pendidikannya, tentu akan ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya adalah
20
lingkungan instruksional, yang dimana ini termasuk pada penataan dan pengelompokan
fisik, dan lainnya yang merupakan penggunaan teknologi instruksional. Tujuannya adalah
untuk komunikasi dan sosialisasi untuk menentukan lingkungan kelas terhadap anak ASD.
2.5.1 The Instructional Environment
Struktur dan rutinitas merupakan kunci dari pengaruh positif dari lingkungan
instruksional pada siswa ASD. Karena, banyak dari siswa ASD yang sangat terbiasa
dengan struktur dan rutinitas dan sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan
seperti jadwal yang tidak diumumkan sebelumnya, perubahan dan penataan ulang
perabotan, dan lain sebagainya. Dewan Riset Nasional (2001) mengatakan bahwa
anak-anak dengan ASD ini jarang menghabiskan waktu dan aktivitas yang berfokus
pada sosial ketika dalam situasi yang tidak terstruktur daripada yang dilakukan anak-
anak lain. Misalnya, saat berada ditaman bermain anak ASD lebih suka
menghabiskan waktunya sendiri atau bermain sendiri daripada bermain dengan
teman-temannya. Jika sebuah program terstruktur, mengamati siswa dalam kelas
selama 10 menit harus memungkinkan pengamat untuk mengidentifikasi apa yang
seharusnya dapat dilakukan oleh setiap siswa (Lovannone et al., 2003). guru harus
secara khusus mempertimbangkan struktur dalam merencanakan lingkungan fisik
dan strategi pengelompokan untuk bekerja dengan siswa ASD.

a. The Physical Arrangement


Dalam menentukan tata ruang kelas, guru harus mempertimbangkan
karakteristik siswa dengan ASD dan IEP dari masing-masing siswa. Dimana,
dalam menentukan tata ruang kelas juga harus mempertimbangkan usia siswa.
Ruang kelas untuk anak-anak ASD yang lebih muda harus berfokus pada
penyediaan lingkungan yang alami, dan untuk yang lebih tua harus menyediakan
lingkungan kelas yang berfokus pada penyediaan struktur dan rutinitas sebanyak
mungkin.
1) The Preschool Environment
Pada tahap ini, yang paling penting dari lingkungan instruksional
adalah lingkungan alami. Belajar di lingkungan alami, dimana anak
biasanya menghabiskan waktu, memungkinkan intervensi yang paling
efektif dalam meningkatkan inisiasi spontan komunikasi dan generalisasi

21
untuk anak kecil dengan gangguan ASD (National Research Council, 2001).
Lingkungan alami untuk anak-anak dibawah usia 3 tahun pada umumnya
adalah rumah, akan tetapi lingkungan lain juga memiliki potensial seperti
pusat penitipan anak dan lainnya. Memberikan intervensi di lingkungan
alami memungkinkan anak-anak untuk belajar keterampilan fungsional dan
bermakna dalam pengasuhan sehari-hari, bermain, dan interaksi sosial,
dengan pengaruh yang memediasi proses saat itu terjadi (Woods &
Wetherby, 2003).
Misalnya, intervensi yang menargetkan komunikasi dapat terjadi di
rumah selama waktu bermain dengan pengasuh. Untuk anak diatas usia 3
tahun, pendidikan prasekolah bisa menjadi salah satu lingkungan alami.
Lingkungan harus diatur untuk mendorong atau memberi isyarat kepada
anak untuk memulai ineraksi sosial dan harus memungkinkan anak untuk
mengakses penguat, objek, atau peristiwa alami yang diinginkan anak
(Woods & Wetherby, 2003).
2) Elementary and Secondary Classroom
Lingkungan kelass dasar dan menengah harus dirancang dengan
mengingat bahwa anak dengan ASD bergantung terhadap struktur dan
rutinitas, yang ditekanan pada kurangnya hal tersebut. Untuk itu, guru perlu
mempertimbangkan hal tersebut dengan menyusun kelas dengan banyak
strukrur dan rutinitas. Misalnya, tidak ada pemberitahuan mendadak
mengenai jadwal kelas, transisi antar kelas diberi jeda selama 2 menit, dan
lainnya. Diluar kelas, anak hendaknya diarahkan untuk mengikuti klub atau
kegiatan sosial yang terstruktur dengan baik agar kemampuannya dapat
mengimbangi keterampilan sosialnya (Saffran, 2002). Ada beberapa waktu
yang bermasalah terutama yang terjadi pada anak SMP dan SMA, antara
lain naik bus, pindah kelas, makan siang, pendidikan jasmani (olahraga),
ruang belajar, dan lainnya. Selama masa ini, tuntutan sosial menjadi lebih
kompleks, aturan untuk perilaku yang dapat diterima kurang jelas, dan
banyak dari siswa dengan ASD membutuhkan lebih banyak dukungan
(Adreon & Stella, 2001). Untuk itu diperlukan lebih banyak perhatian pada

22
kelas anak dengan ASD untuk memberikan dukungan selama periode tidak
terstruktur.
Selain itu, jadwal visual, bagan, dan kartu petunjuk dapat
memberikan dampak bagi siswa dengan ASD dan dapat digunakan untuk
membantu dan mendukung pembelajaran di kelas. Scott, Clarck, dan Brady
(2000) menyarankan bahwa struktur kelas dan tugas-tugas pembelajaran
harus secara visual dapat menjawab pertanyaan-pertanyan berikut:

i. Where do you want me to go?


ii. What do you want me to do?
iii. How will I know when I’m done?
iv. What do I do then?
v. What happen if I do it?
vi. What happen if I don’t do it?
vii. What happen if I don’t know how to do it?
Beberapa masalah perilaku di kelas mungkin terkait dengan
sensivitas terhadap suara bising. Penempatan anak di dalam kelas harus
mempertimbangkan hal tersebut dan menempatkan anak jauh dari
kebisingan yang berpotensi mengganggu (Grandin, 1995). Untuk
mwngurangi kebisingan yang sialami siswa, bisa juga dengan menggunakan
iPod sehingga dapat mengurangi perilaku steorotip berulang yang
23
digunakan anak untuk menyaring suara-suara yang berpotensi berbahaya.
Selain hal tersebut, siswa juga dapat menggunakan alternatif lain
seperti home base. Dimana home base ini merupakan salah satu tempat di
sekolah yang dapat digunakan untuk (1) melarikan diri dari tekanan guru,
teman sebaya, dan tuntutan instruksional; (2) mencegah amukan, amarah,
kemarahan, kehancuran, atau penutupan; atau (3) mendapatkan kendali
setelah amukan (Linn & Myles, 2004). Lokasinya mungkin bisa seperti
kantor konselor, ruang ahli patologi wicara-bahasa, dan lainnya.
b. Instructional Grouping
Menurut Dewan Riset Nasional (2001) belajar berkelompok menyediakan
lingkungan yang sangat baik untuk generalisasi dan pemeliharaan keterampilan,
yang diajarkan secara individu untuk pertama kali terhadap siswa dengan ASD.
Dengan menyusun tugas secara hati-hati agar siswa dengan ASD tidak berdekatan
dengan siswa yang berpotensi mengganggu mereka seperti siswa yang agresif,
akan tetapi dengan duduk berdekatan dengan teman sebaya juga bisa menjadia
penerjemah sosial bagi siswa (Hughes, et al., 1999; Saffran, 2002). Selain itu,
teman sebaya juga dapat mengambil banyak peran dalam kehidupan sekolah siswa,
baik dalam bidang akademik maupun sosial. Moyes (2001) mengatakan bahwa
teman sebaya bisa dijadikan teman istirahat, teman untuk naik angkutan umum,
teman pada pelajaran olahraga, teman pulang sekolah, atau teman dalam
mengerjakan tuga sekolah.
Interaksi yang terjalin antara anak dengan ASD dan orang dewasa tidak
mudah disamakan dengan interaksi dengan teman sebaya. Misalnya, bagaimana
cara seorng menanggapi permintaan dari orang dewasa tidak akan sama dengan
seperti ketika berbicara dengan teman sebayanya. Siswa dengan ASD mungkin
memiliki masalah dalam hal tersebut. Namun, teman sebaya yang tept telah
terbukti dapat menjadi tutor yang efektif ketika diajarkan strategi khusus untuk
memperoleh tanggapan sosial, bermain, dan komunikasif dari siswa. Dimana, tutor
teman sebaya tersebut harus diberikan pengarahan mengenai anak dengan ASD
terlebih dahulu (Simpson Myles, Sasso, & Kamps, 1997). Dimana ada salah satu
contoh tutor sebaya yaitu Classwide peer tutoring (CWPT), dimana konsep ini
terbukti berhasil diterapkan pada siswa dengan ASD (Maheady, Harper, &
24
Mallette, 2003). CWPT ini memperlihatkan para siswa yang bekerja dalam tim,
untuk mendapatkan poin, sementara para guru yang awalnya memiliki peran
sebagai “penyedia” bahan pelajaran menjadi fasilitator dan pemantau kegiatan
peer-teaching.
2.5.2 Instructional Technology
Teknologi instruksional paling sering digunakan pada siswa dengan ASD untuk
mendukung komunikasi. Dimana, teknologi komputer dapat menawarkan cara bagi
siswa dengan gangguan ASD yang lebih memilih komunikasi visual untuk belajar
secara visual. Untuk siswa dengan ASD yang memiliki masalah dengan komunikasi
verbal, ada juga berbagai teknologi yang tersedia untuk membantu mereka
berkomunikasi dan untuk menambah atau menggantikan cara komunikasi yang lebih
konvensional. Argumentati dan alternatif teknologi komunikasi yang sering digunakan
pada siswa dengan ASD meliputi Picture Exchange Communication System dan Voice
Output Communication Aids.
a. Computer Technology
Stokes (2006), mengatakan bahwa anak dengan ASD biasanya akan lebih
mudah memproses informasi visual daripada informasi pendengaran. Berdasarkan
hal tersebut, komputer dapat menjadi alat yang sangat menarik dan kuat bagi siswa
yang lebih menyukai informasi visual atau anak yang sulit dengan kontak
interpersonal. Video digital yang ada pada komputer menawarkan banyak
kemungkinan untuk mengajarkan keterampilan sosial dan fungsional (Ayres &
Langone, 2005). Akan tetapi, dari semua keunggulan yang ditawarkan anak
dengan ASD tetap harus dibatasi untuk menghindari dorongan obsesi potensial dan
membiarkan komputr menjadi pengganti kontak manusia (Saffran, 2002).
b. Augmentative and aleternative communication
Untuk anak-anak dengan ASD yang tidak memperoleh bahasa
fungsional atau kesulitan dalam memproses bahasa lisan, teknologi
Argumentative and Alternative Communication (AAC) dapat menjadi
komponen yang berguna dalam program pendidikan (National Research
Council, 2001). Dimana, komunikasi argumentatif ini merupakan penggunaan
alat bantu atau teknik apa pun yang melengkapi keterampilan komunikasi vokal
atau verbal yang ada, dan komunikasi alternatif mengacu pada teknik
25
komunikasi yang menggantikan keterampilan komunikasi vokal atau verbal.
AAC sering menggabungkan penggunaan sistem bahasa visual yang
memanfaatkan kekuatan pemrosesan visual dari siswa yang memiliki ASD.
Boardmaker (dari PCI Educational Products) adalah paket perangkat lunak
populer untuk menghasilkan gambar untuk simbol komunikasi karena
memungkinkan guru dan orang tua mengakses lebih dari 3.000 simbol gambar
yang dapat dilihat dan dicetak dalam beberapa bahasa.
Selain itu, sistem komunikasi dengan gambar lainnya yang banyak
digunakan adalah Picture Exchange Communication System (PECS), adalah
program perilaku sistematis yang mengajarkan anak-anak menggunakan gambar
untuk mengomunikasikan kebutuhan dan keinginan mereka dengan mendekati
mitra komunikasi dan menukar simbol dengan hal yang nyata (Frost & Bondy,
1994). Ada bukti bahwa PECS dapat meningkatkan perkembangan bahasa lisan
(Bondy & Frost, 1994: Charlop-Christy, Carpenter, Le, Leblanc, & Kellet,
2002). Selain itu, ada juga yang membuktikan bahwa alat bantu komunikasi
dengan suara (VOCA) dan dengan penggunaan perangkat lunak pada komputer
dapat digunakan secara efektif di sekolah pada siswa dengan ASD (Mirenda,
2003).
VOCA adalah perangkat elektronik meja yang menghasilkan suara
sintetis atau digital. Simbol grafis dapat digunakan dengan VOCA untuk
mewakili pesan yang diaktifkan ketika seseorang memilih simbol dari tampilan.
Banyak anak autis termotivasi untuk berkomunikasi dengan menggunakan
perangkat ini, terutama oleh umpan balik pendengaran yang segera diberikan
saat mereka menggunakan perangkat tersebut (Stokes, 2006). Namun, penting
bahwa orang tua, guru pendidikan khusus dan umum, dan ahli patologi wicara-
bahasa semua tahu bagaimana memprogram perangkat komunikasi dan
berkolaborasi pada penggunaan yang paling efektif dari mereka (CEC Today,
2002)..

2.6 What Are Some Considerations for the General Education Teacher?

Di US hampir setengah dari siswa yang memiliki gangguan ASD usia 6-21 tahun
menghabiskan 40% atau lebih waktunya sekolah di pendidikan umum (US Department of

26
Education, 2006). Laporan dari Nation Research Council (2001) tentang mendidik anak
dengan ASD direkomendasikan agar anak-anak tersebut mendapatkan instruksi khusus dalam
pengajaran dan dimana instruksi tersebut dapat berkembang kapanpun sesuai dengan tujuan
pendidikan. Inklusi pada siswa dengan ASD ini membutuhkan perencanaan yang sangat
matang dan kerjasama antara guru pendidikan umum, guru pendidikan khusus, spesialis, dan
keluarga.

Seperti yang diingatkan oleh Steven Shore, seorang penulis, mahasiswa doktoral, dan
pendidik khusus dengan sindrom Asperger, seorang anak yang melakukan pekerjaannya
sendiri di belakang kelas sementara siswa lain melakukan sesuatu yang sama sekali berbeda
bukanlah contoh inklusi (Brownell & Walther-Thomas, 2001). Salah satu model yang
menawarkan pedoman dan dukungan untuk memfasilitasi keberhasilan dalam inklusi adalah
model kolaborasi inklusi gangguan spektrum autisme (Simpson, de Boer-Ott, & Smith-Myles,
2003). Model ini memiliki lima komponen utama yang saling terkait dan menekankan
tanggung jawab dan pengambilan keputusan bersama di antara pendidik umum, pendidik
khusus, dan personel pendukung lainnya. Lima komponen tersebut, antara lain:

1) Modifikasi lingkungan dan kurikuum, yaitu dengan adanya ketersediaan SDM


pendukung yang terlatih dengan baik, pengurangan ukuran kelas, hubungan pemecahan
masalah yang kolaboratif, pelatihan inservice untuk guru pendidikan umum, penerapan
metode pengajaran yang tepat, ketersediaan para pendidik, dan waktu perencanaan guru
yang memadai.

2) Dukungan sikap dan sosial, yaitu strategi untuk menciptakan lingkungan yang menerima
siswa penyandang disabilitas, tenaga administrasi yang mendukung, sikap guru yang
positif, orangtua yang mendukung, penyebaran informasi tentang inklusi dan gangguan
ASD kepada teman sebaya dan orang dewasa, dan praktik interaksi sosial dalam metode
pelatihan.

3) Komitmen tim yang terkoordinasi, yaitu adanya tanggung jawab yang jelas dari semua
pihak yang terlibat dalam memberi pelayanan, komunikasi yang efektif, dan
pengambilan keputusan bersama.

4) Evaluasi yang berulang dalam praktik inklusi, yaitu penentuan kekuatan dan kelemahan
dalam penyampaian dan penerimaan kurikulum, pengaturan lingkungan, jumlah dan
27
jenis interaksi, tingkat partisipasi siswa, dan sikap guru pendidikan umum, para
pendidik, dan rekan-rekan.

5) Kolaborasi rumah dan sekolah, yaitu adanya partisipasi yang bermakna dari orangtua,
dukungan administratif yang sesuai, dan pelatihan orang tua dalam proses pendidikan
dan inklusi.
Karakteristik dan kebutuhan siswa dengan ASD perlu dipertimbangkan ketika
merencanakan strategi pembelajaran. Berikut ada beberapa saran dan strategi yang dapat
digunakan dalam kelas dengan siswa yang memiliki ASD.
Characteristic Suggestions
Insistence on sameness ❑ Provide predictable and safe environment

❑ Minimize transitions
❑ Offer consistent daily routine

❑ Avoid surprises; prepare the student for all environmental


changes in routine; use a
written or visual schedule to prepare him or her
❑ Allay fears of unknown by exposing him or her to new
activity, teacher, class, school,
camp beforehand and as soon as possible after informing
student (to avoid obsessing)
❑ Ensure consistent treatment and expectations from
everyone
Impairment in social ❑ Protect from bullying and teasing
interactions ❑ Educate peers on social problems as true disability
❑ Emphasize student’s strengths in cooperative learning
settings
❑ Teach the student what to say and how to say it

❑ Teach the student why an action or comment was


inappropriate

28
❑ Utilize a buddy system by providing a sensitive peer to
look out for student
❑ Encourage active socialization and limit time spent in
isolated pursuit of interests
❑ Do not take misbehavior personally; misbehavior is
usually an effort to survive confusing,
disorienting, or frightening experiences
Restricted range of ❑ Limit relentless discussion of fixations by providing
interests specific times when the topic may be discussed and questions
asked
❑ Praise student for simple, expected social behaviors such
as allowing others to speak
❑ Set firm expectations for completion of class work outside
his or her area of interest;
provide opportunities to pursue interests at another time
❑ Give assignments that link interests to the subject being
studied; use fixation to broaden interests
Academic difficulties ❑ If student is not learning, break task into smaller steps or
present it in several ways (e.g., visually, verbally, physically)
❑ Provide a highly individualized academic program
engineered to offer consistent successes
❑ Do not assume that the student understands something he
or she can parrot back
❑ Offer expanded explanations and try to simplify abstract
concepts; use visual cues
❑ Provide strategies for remembering deadlines or materials
(e.g., a picture of a pencil on
his notebook); praise student when he or she remembers
something previously forgotten

29
❑ Set firm expectations for quality of work

❑ Provide a great deal of practice and repetition of newly


learned skills
❑ Use mnemonic devices
❑ Allow student to use keyboarding when writing or allow
alternatives to writing
❑ Use graphic and visual organizers; highlight critical
information
Emotional vulherability ❑ Prevent outbursts by offering a high level of consistency;
prepare student for changes in daily routine
❑ Teach student how to cope; help him or her make a list of
steps that can be followed when upset
❑ Be calm, predictable, and matter of fact in interactions
with student, while clearly indicating patience and
compassion
❑ Be alert to changes in behavior that may indicate
depression; do not expect student to acknowledge that he or
she is sad or depressed; report to student’s therapist or make
a referral (adolescents are especially prone to depression)
❑ Identify a support staff member with whom the student
checks in at least once daily
❑ Provide a “safe-place” or “safe-person” for highly
stressful events
Communication ❑ Use and interpret speech literally; avoid idioms, double
problem meaning, sarcasm, nicknames, and cute names (Pal, Buddy,
Wise Guy)
❑ Remember that facial expressions and other social cues
may not work

30
❑ Avoid verbal overload; be clear; use shorter sentences if
student is not understanding
❑ Interrupt repetitive verbal arguments and/or repetitive
verbal questions; logical responses or arguing seldom stops
this behavior as it is usually the result of uncertainty about
something or someone in the environment. Try requesting
that student write down question or argument; write your
reply or you write it and ask that he or she reply.
❑ Do not rely on student to relay important messages to
parents. Frequent and accurate communication between
teacher and home is very important. Phone calls work best

Sangat penting bagi guru pendidikan umum belajar tentang isu-isu yang berkaitan
dengan identifikasi dan pendidikan selanjutnya dari siswa gifted dantalented. Beberapa
cara guru pendidikan umum dapat mendukung siswa gifted dan talented di kelas mereka
yaitu kenali anak berbakat, memberikan tantangan yang baru, beritahu orang tua anak
tentang akselerasi, minimalkan mengajar siswa terkait apa yang sudah mereka ketahui,
jadikan sekolah sebagai pengalaman bagi semua siswa termasuk yang paling cerdas. Guru
pendidikan umum harus menjadi akrab dengan karakteristik siswa ini dan melihat ketika
siswa melampaui kecerdasan superior, kemampuan verbal, atau keterampilan akademik
untuk mengidentifikasi siswanya.
Di kelas inklusi, guru pendidikan umum harus dimotivasi dan dilatih dengan baik,
serta harus mampu menangani kebutuhan pendidikan untuk siswa gifted dan talented
begitupun dalam membedakan kurikulum untuk memenuhi semua kebutuhan siswa yaitu
dengan mengidentifikasi tingkat akademik setiap siswa di kelas mereka. Terpenting adalah
kerjasama antara guru pendidikan umum, program pendidikan berbakat, dan khusus
program pendidikan. Asosiasi Nasional untuk Anak Berbakat (NAGC, 1998)
mengembangkan posisi untuk menangani area penting ini. Strategi untuk mendukung
proses kolaboratif meliputi:

1) Mendefinisikan ulang peran pendidik untuk program pendidikan berbakat


2) Memungkinkan waktu perencanaan kooperatif antara staf program umum
31
dan berbakat
3) Menyediakan jaminan untuk kontinuitas layanan
4) Menyediakan sumber daya untuk mendukung upaya kolaboratif

Guru yang berhasil bekerja dengan siswa berbakat biasanya sensitif terhadap orang lain,
fleksibel, antusias, dan inovatif. Guru juga tidak boleh terintimidasioleh siswa berbakat
mereka yang mungkin mengajukan pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawab oleh guru.
Selain itu, penting untuk menyadari bahwa beberapa siswa yang berbakat mungkin
memandang diri mereka berbeda dan mungkin memiliki karakteristik seperti harga diri
pribadi yang rendah atau perfeksionisme. Guru pendidikan umum perlu peka terhadap
kebutuhan emosional siswa dan memberikan peningkatan dukungan untuk membantu
mereka mencapai potensimerek dan hambatan yang mungkin mereka hadapi.

32
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Autisme ditandai dengan munculnya perilaku defisit yang dibagi menjadi tiga
kategori yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku restriktif atau berulang. Terdapat
faktor yang menjadikan seseorangmenderita autisme, yaitu faktor genetic, dan non genetik.
Karakteristik anak autisme bisa dilihat dari berdasarkan karakteristik sosial, komunikasi,
behavior, dan cognitive nya. Untuk mengidentifikasi anak dengan gangguan autisme
diperlukan dua tahap yaitu early screaning dan Diagnosis. Ada beberapa program
pendidikan yang bisa diberikan kepada anak dengan gangguan autisme diantaranya
Learning Experience Alternative Program untuk Preschoolers and their Parents (LEAP),
Project DATA (Developmentally Appropriate Treatment for Autism), dan lain sebagainya.
Oleh karena itu penting untuk menyediakan layanan pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan anak dengan gangguan autisme.

33
DAFTAR PUSTAKA

Taylor, R.L., Richards, S.B. (2009). Exceptional Students: Preparing Teachers for the 21st
Century. New York:McGraw Hill Education

34

Anda mungkin juga menyukai