Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

DAMPAK PANDEMI COVID-19 PADA ANAK DENGAN


AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)

Pembimbing:
dr. Lenny Gustaman, Sp.KJ (K)

disusun oleh:
Steven Yulius Usman (202006010061)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN ATMA JAYA
RUMAH SAKIT KHUSUS DAERAH DUREN SAWIT
PERIODE 4 OKTOBER – 30 OKTOBER 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Dampak Pandemi Covid-19 pada Anak Dengan
Autism Spectrum Disorder (ASD)”. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk dalam
menyelesaikan pembelajaran dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Rumah
Sakit Khusus Daerah Duren Sawit pada periode 04 Oktober – 30 Oktober 2021.
Penulis menyadari referat ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak,
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih, terutama kepada dr. Lenny
Gustaman, Sp.KJ (K), selaku pembimbing dan penguji, seluruh dosen baik di Rumah Sakit Atma
Jaya dan Rumah Sakit Khusus Daerah Duren Sawit, serta teman-teman yang telah mendukung
terlaksananya penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk memperbaiki kekurangan referat ini di
kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat dan penulis mengucapkan terima
kasih.

Jakarta, 27 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. 01
KATA PENGANTAR ............................................................................................. 02
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 03

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………… 04


1.1.
Latar Belakang ……………………………………………………………. 04

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… 05


2.1. Austism Spectrum Disorder (ASD)………………………………………… 05
2.1.1. Definisi Austism Spectrum Disorder (ASD)………………………......... 05
2.1.2. Epidemiologi Austism Spectrum Disorder (ASD)………… …………… 05
2.1.3. Etiopatofisiologi Austism Spectrum Disorder (ASD)……… …………… 06
2.1.4. Klasifikasi Austism Spectrum Disorder (ASD)…………………………. 08
2.1.5. Manifestasi Klimis Austism Spectrum Disorder (ASD) ………………….. 09
2.1.6. Penegakan Diagnosis Austism Spectrum Disorder (ASD) ………………. 12
2.1.7. Tatalaksana Austism Spectrum Disorder (ASD) ………………………. 22

2.2. Pandemi COVID-19 ………………………………………………………… 25


2.2.1. Dampak Negatif Pandemi COVID-19 terhadap anak dengan ASD…......... 26
2.2.2. Dampak Positif Pandemi COVID-19 terhadap anak dengan ASD…......... 29
2.2.3. Dampak Pandemi COVID-19 terhadap orang tua/caregiver anak dengan ASD 30
2.2.4. Solusi bagi orang tua/caregiver anak dengan ASD pada masa pandemi..... 31

BAB 3 KESIMPULAN ……….………………………………………………… 33

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 34

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar
Belakang
Pandemi COVID-19 resmi dinyatakan oleh World Health Organization pada tanggal
11 Maret 2020 sebagai suatu kejadian outbreak di masyarakat, dengan virus jenis beta
coronavirus tipe baru, resmi diberi nama 2019 novel Coronavirus (2019-nCoV) dan
penyakitnya disebut COVID-19. Sejak diumumkan pertama kali ada di Indonesia, kasus
COVID-19 meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu sehingga memerlukan perhatian. Pada
prakteknya di masa pandemi, tatalaksana COVID-19 diperlukan kerjasama semua profesi
untuk menanganinya, salah satunya dilakukan upaya untuk menanggulanginya bersama
dengan melakukan kerja dan kegiatan belajar-mengajar melalui daring dari rumah untuk
semua masyarakat di Indonesia. 1
Autisme spectrum disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autisme adalah
gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan defisit dalam komunikasi sosial dan
2, 3, 4
interaksi sosial di samping pola perilaku dan minat yang terbatas dan berulang. Pada
tahun 2013, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th ed. (DSM-5)
mengelompokkan diagnosis payung ASD, mengkonsolidasikan lima gangguan sebelumnya
terpisah: gangguan autistik, sindrom Asperger, gangguan perkembangan pervasif yang tidak
spesifik (Pervasive Developmental Disorder-Not Otherwise Specified/PDD-NOS), gangguan
disintegratif masa anak (Childhood Disintegrative Disorder/Sindrom Heller) dan Sindrom
Rett. 2,4
Anak dengan gangguan spectrum autisme (ASD) mempunyai tantangan utama
berupa perubahan rutinitas, dimana sehari-harinya anak dengan ASD memiliki kebiasaan
untuk mengulangi kegiatan sehari-harinya secara repetitif, oleh karena itu, kebutuhan
adaptasi selama pandemi COVID-19 mungkin membawa masalah besar bagi pasien dan
keluarga, terutama dalam hal isolasi sosial. Anak dengan ASD tidak biasa dengan adanya
perubahan rutinitas sehingga mengalami perubahan sikap dan perilaku. 5 Secara keseluruhan,

4
dibandingkan sebelum pandemi, masalah perilaku dilaporkan lebih banyak, sehingga
membuat orang tua menjadi kesulitan dalam mengurus anak dengan ASD. 6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Austism Spectrum Disorder (ASD)


2.1.1. Definisi Austism Spectrum Disorder (ASD)
Autisme spectrum disorder atau Gangguan Spektrum Autisme adalah
gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan adanya penurunan terutama
dalam komunikasi dan interaksi sosial, serta terdapat pola perilaku dan minat yang
2, 3, 4
terbatas dan berulang. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi yang sulit
dipahami oleh orang lain (tidak dapat berkomunikasi verbal dan non verbal) dan
sulit dalam memahami emosi dan perasaan orang lain. 2
Autisme pertama kali dideskripsikan oleh Leo Kanner pada tahun 1943,
sebagai gangguan pada anak yang memiliki masalah yang berhubungan dengan
orang lain dan kepekaan yang tinggi terhadap perubahan di lingkungannya. 2

2.1.2. Epidemiologi Austism Spectrum Disorder (ASD)


Studi pada tahun 2010, secara global jumlah kasus autism spectrum
disorder mencapai 52 juta atau mencapai prevalensi sebesar 7.6 per 1000 jiwa.
Prevalensi ASD global pada pria mencapai 4 kali lipat lebih tinggi daripada
7
prevalensi ASD global pada wanita (8,2 vs 2,0 per 1000 jiwa). World Health
Organization menyatakan 1 dari 160 anak di dunia menderita gangguan autisme. 3
Data dari Centre of Disease Control (CDC) dalam “Community Report on Autism 2016”,
prevalensi autisme di Amerika adalah 1 dari 68 anak atau 1.5% dari anak usia 8 tahun. 8
Saat ini di Indonesia belum ada data statistik jumlah penyandang autis,
namun penyandang autisme diperkirakan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat
dari angka kunjungan di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa pada klinik tumbuh
kembang anak yang cukup bermakna dari tahun ke tahun.9 Indonesia yang

5
memiliki jumlah penduduk sebesar 237,5juta dengan laju pertumbuhan penduduk
1.14% diperkirakan memiliki angka penderita ASD sebanyak 4 juta orang. 7

2.1.3. Etiopatofisiologi Austism Spectrum Disorder (ASD)


Sampai saat ini, etiologi masih belum pasti, namun ada beberapa teori
tentang penyebab autisme; 10
2.1.3.1. Teori Psikososial
Menurut Kanner, pertimbangan atas pengaruh psikogenik seperti;
1. Orang tua yang emosional, kaku dan obsesif dalam mengasuh anak
akan menciptakan atmosfer yang kurang bahkan dingin. 10
2. Hostilitas yang tidak disadari oleh orang tua menyebabkan adanya
trauma pada anak, dengan hasil akhir penarikan diri dari sosial. 10

2.1.3.2. Teori Biologis


1. Faktor Genetik
 Pada anak kembar satu telur ditemukan sekitar 36-89%.
 Pada saudara kandung ditemukan sekitar 2.5-3%.
 Hubungan mengenai autism dan Sindom fragile-X (keadaan
abnormal pada kromosom X) ditemukan 0-20%
- Kumpulan berbagai gejala seperti retardasi mental ringan
sampai berat, kesulitan belajar, daya ingat jangka pendek
buruk, fisik abnormal pada 80% laki-laki dewasa,
gangguan perilaku dan gambaran autistik. 10
2. Faktor perinatal :
 fetal distress, konsumsi obat tertentu, komplikasi waktu menjalani
persalinan, anemia pada janin, dan gangguan pernapasan. 10
3. Faktor neuroanatomi
 Pada anak autisme mempunyai serebrum lebih besar, dengan sel-
sel neuron yang jauh menjadi lebih banyak. (bobot otak yang lebih
besar dan jumlah sel saraf otak prefrontal 67 persen lebih banyak
daripada anak-anak normal). 10,11

6
- Pada anak penyandang autisme, wilayah korteks frontal,
yang terdiri dari korteks prefrontal dan korteks temporal
tidak dapat berfungsi secara sempurna. 10,11
- Korteks frontal memiliki bagian prefrontal yang
merupakan pusat kognitif berupa fungsi eksekutif terkait
dengan emosi, penilaian, kretivitas, dan berbicara.
Sedangkan bagian lobus temporal menjalankan fungsi 
mendengar, penguasaan bahasa, dan interprestasi suara. 10,
11

- Otak penyandang autisme juga bermasalah pada girus


fusiform. Bagian ini berfungsi untuk mengenali wajah.
 Adanya defisit selektif dalam ransangan sosial yang
dinamis (video dan titik-light display orang,
bergerak bentuk geometris), tetapi tidak gambar
statis, di wilayah lateral yang fungsional lokal dari
girus fusiform kanan, termasuk daerah fusiform
wajah. 12
- Volume hipokampus dan sistem limbik tidak normal, dicek
dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI), hasilnya
menunjukkan volume hipokampus meningkat dan struktur
limbik yang lebih besar daripada normal. 10, 11
 Gangguan dari neurotransmitter
- Neurotransmiter yang berpengaruh pada terjadinya
gangguan perilaku adalah dopamin, norepinefrin,
serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin. 10, 13
- Defisiensi atau kekurangan fungsional sinyal GABAergic
dikaitkan dengan epilepsi, autisme, dan gangguan
neuropsikiatri lainnya. 10,13
 Teori Imunologi dan Infeksi Virus. 10

7
2.1.4. Klasifikasi Austism Spectrum Disorder (ASD)
Berdasarkan Diagnostic Manual of Mental Disorder-IV Text Revision
(DSM-IV-TR), autisme terdiri dari 5 subdiagnosis yaitu:
1) Gangguan autistik,
2) Sindrom Asperger,
3) Gangguan perkembangan pervasif yang tidak spesifik (Pervasive
Developmental Disorder-Not Otherwise Specified/PDD-NOS),
4) Gangguan disintegratif masa anak (Childhood Disintegrative
Disorder/Sindrom Heller) dan
5) Sindrom Rett.
Gangguan tersebut ditandai dengan tiga gejala utama yaitu:
1) defisit kemampuan interaksi sosial,
2) defisit kemampuan komunikasi, dan
3) perilaku berulang serta minat yang terbatas. 4

Pada tahun 2013, American Psychiatric Association melakukan perubahan


DSM-IVTR menjadi Diagnostic Manual of Mental Disorder-5 (DSM-5). Istilah
gangguan perkembangan pervasif tidak lagi digunakan, diganti dengan autism
spectrum disorders (ASD) atau gangguan spektrum autisme (ASD).
Berdasarkan DSM-5 gejala ASD hanya dibagi menjadi 2 yaitu:
1) gangguan komunikasi sosial atau interaksi sosial,
2) adanya perilaku restriktif (terbatas) dan repetitive (berulang-ulang).
Gangguan spektrum autisme, mencermikan karakteristik klinis yang luas, tidak
lagi dibagi menjadi beberapa subtipe. Gangguan spektrum autisme, mencermikan
karakteristik klinis yang luas, tidak lagi dibagi menjadi beberapa subtipe. 2, 4

Berdasarkan derajat keparahan, ASD dibagi menjadi; 4


1. Level 1

8
Level paling ringan. Anak masih bisa berkomunikasi, namun sesekali perlu dipantau
bagaimana cara berinteraksi dan komunikasi sosialnya. Selain itu, sesekali
gangguan perilakunya muncul.

2. Level 2
Sudah mulai ada gangguan, sehingga ia mulai sukar untuk melakukan kontak mata.
Meski begitu, anak masih mampu diarahkan.

3. Level 3
Level paling berat. Di sini, anak sama sekali tidak bisa berinteraksi dan juga memiliki
gangguan perilaku.

2.1.5. Manifestasi Klinis Austism Spectrum Disorder (ASD)

9
Gejala klinis ASD dapat diketahui sejak dini, namun sering tidak jelas dan
sulit diketahui oleh orangtua. Gejala klinis ASD tampak pada usia 18 bulan,
sehingga sebagian besar dibawa orangtuanya ke tenaga kesehatan pada saat usia
15 bulan atau 18 bulan dengan keluhan keterlambatan bicara. 14
Onset usia ASD bervariasi dan sering berhubungan dengan beratnya
gangguan. Gejala dijumpai lebih awal dari 12 bulan bila gejala yang dialami
terlalu berat, atau lebih dari 24 bulan bila gejala ringan. Beberapa anak dengan
ASD menunjukkan regresi pada kemampuannya pada usia 15 bulan dan 24 bulan,
jarang terjadi regresi setelah usia 24 bulan. 14
1. gangguan perhatian (tidak bisa menunjuk, menyatakan, atau menunjukkan
benda untuk berbagi kepada orang lain, atau gagal mengikuti perintah
seseorang atau kontak mata)
2. Gambaran patognomonis ASD tidak ada, namun adanya defisit sosial
merupakan gambaran dini yang dijadikan red flags ASD.
3. Gambaran inti ASD;
 defisit kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, restriktif (terbatas),
repetitif (diulang-ulang),
 pola perilaku, minat, aktivitas dan ketertarikan yang stereotipik.
4. Keterlambatan bicara, bahasa yang diulang-ulang, meniru ucapan seseorang
tanpa tujuan komunikasi (ekolali), kata yang terlepas tiba-tiba, dan kata
tertentu yang disukai
 Defisit pre-speech dapat muncul sebelum munculnya gejala klasik,
meliputi:
- kurangnya gerak tubuh yang sesuai,
- kurangnya ekspresi tubuh yang menunjukkan kehangatan,
- kurangnya interaksi terhadap vokalisasi yang biasa diucapkan antara
orangtua dan bayi (yang biasanya sudah dikenali bayi pada anak usia
6 bulan),
- Anak kurang mengenali ibunya (atau ayah, atau pengasuh),
- tidak memedulikan panggilan,
- belum babbling pada usia 9 bulan,

10
- tidak ada atau menurunnya gesture pre-speech,
- kurangnya ekspresi diri,
- kurang tertarik atau respon terhadap situasi/pernyataan sehari-hari. 14

Pada penderita ASD yang lebih tua;

 Kejanggalan yang ditemukan biasanya hanya pada saat permainan spontan


dengan teman sebayanya, seringkali dikatakan berperilaku aneh oleh
teman-teman sebayanya. 14
 Pada usia yang lebih besar lagi, berperilaku sebagai anak pendiam.
- dalam bidang kognitif, anak dengan ASD sering menunjukkan
kemampuan lebih pada perintah visual-spasial, namun menunjukkan
kekurangan pada kemampuan verbal.
- Anak kesulitan menunjukkan tahapan emosi dan seringkali tidak dapat
menunjukkan empati.
- Perilaku ritual (terus diulang) dan kompulsif muncul pada usia anak-
anak dini seperti menikmati spinning (berputar), banging (memukul-
mukul barang), dan sangat suka permainan menyiram air.
- Perilaku obsesif kompulsif seringkali ditemukan, seperti menderetkan
barang, dan seringkali anak yang lebih besar memiliki keterikatan
dengan benda kesayangannya.
- Anak ASD dengan gangguan intelektual berat seringkali memiliki
perilaku membahayakan diri sendiri.
- Perilaku stereotipi, tidak mampu berperilaku santun, dan menunjukkan
ekspresi negatif bila berhadapan dengan lingkungan yang tidak
disukai.
- Mengubah susunan perabotan, pindah ke rumah baru, atau bahkan
mengubah waktu makan atau mandi dapat menyebabkan kepanikan
atau tantrum.
- Perilaku stereotipi atau repetitif termasuk stereotipi motorik sederhana
(misalnya bertepuk tangan, mengibaskan jemari), penggunaan obyek

11
repetitif (misalnya memutar koin, menyusun mainan), dan bicara
repetitif (misalnya ekolali).
- Defisit motorik sering dijumpai, seperti gaya berjalan aneh, janggal,
dan kelainan motorik lainnya (misalnya berjalan jinjit). Perilaku
melukai diri sendiri (misalnya membenturkan kepala, siku), perilaku
merusak, dan gangguan intelektual lebih sering dijumpai. 14

2.1.6. Penegakan Diagnosis Austism Spectrum Disorder (ASD)


 American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan untuk melakukan
skrining pada semua anak dengan menggunakan instrumen terstandarisasi
pada interval waktu tertentu (usia 9 bulan, 18 bulan dan 24 bulan atau usia 30
bulan saat kunjungan ke tempat kesehatan).2

 Anak dengan ASD biasanya mulai bergejala ketika berusia 18-24 bulan ketika
anak dihadapkan pada situasi sosial yang menguji keterbatasan mereka dalam
menunjukkan pola komunikasi sosial yang wajar. Bentuk kekhawatiran orang
tua pada tahap usia ini amat bervariasi dan bergantung pada usia anak ketika
mereka menyadari adanya ketidakwajaran. Anak-anak biasanya dibawa ke
dokter umum atau spesialis anak dengan masalah keterlambatan atau regresi
perkembangan dan bicara, maupun perilaku dan pola permainan yang tak
sesuai dengan usianya. 15, 16, 17

 Pada usia lebih lanjut, anak-anak biasanya memiliki masalah akademik,


kecanggungan sosial dan gangguan perilaku yang cukup serius serta
mengganggu hubungan dalam keluarga. Anak-anak yang baru dicurigai
mengalami ASD pada usia lebih dewasa biasanya telah menunjukkan
indikator gejala sejak usia 2 tahun namun cenderung dianggap sebagai bagian
dari pola perkembangan normal. Hal ini mungkin berhubungan dengan
anggapan orang tua atau pengasuh anak bahwa kemandirian yang tinggi,
kemampuan memahami gerak mekanik, dan ketajaman pengamatan pada usia
dini tersebut merupakan indikator pertumbuhan normal tanpa terlalu

12
memperhatikan apakah pencapaian motorik tersebut turut diimbangi dengan
pola perilaku dan kemampuan sosial yang sesuai usianya. Oleh sebab itu,
pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun, pertanyaan anamnesis perlu
diarahkan secara retrospektif terhadap pencapaian perkembangan motorik,
bahasa, kemampuan sosial dan perilaku ketika ia berusia 18-24 bulan. 16, 17

Anamnesis
Anamnesis mengandalkan informasi dari orang tua penderita ASD, terutama
mencakupi;

1. Interaksi sosial (kemampuan bicara atau bahasa, dan kemampuan bermain)


2. Informasi mengenai adanya penyakit penyerta (termasuk kelainan genetik),
3. riwayat tumbuh kembang, riwayat saat kehamilan hingga persalinan, serta
riwayat keluhan serupa dalam keluarga untuk mencari faktor risiko yang
berhubungan. 15, 16, 17

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Autisme Menurut Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorders-V (DSM-V) 4

Memenuhi kriteria A, B, C, dan D (masa kini ataupun pada masa lampau);


A. Hendaya persisten pada komunikasi dan interaksi sosial dalam semua
konteks, tidak berdasarkan keterlambatan perkembangan umum, yang
bermanifestasi dari 3 hal berikut
1. Hendaya pada hubungan timbal balik secara emosional dan sosial
2. Hendaya pada perilaku komunikasi nonverbal yang digunakan untuk
interaksi sosial
3. Hendaya dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan sebaya
sesuai tingkat perkembangan
B. Pola perilaku, minat, dan aktivitas stereotipik berulang dan terbatas
yang bermanifestasi setidaknya 2 dari hal berikut
1. Stereotip atau pengulangan dalam bahasa, gerakan motorik, ataupun
penggunaan suatu objek.

13
2. Kepatuhan terhadap rutinitas, pola ritual, kebiasaan verbal ataupun nonverbal
atau sangat kesulitan terhadap perubahan.
3. Sangat kaku, memiliki ketertarikan tetap terhadap sesuatu sehingga terlihat
abnormal dalam segi intensitas ataupun tingkat konsentrasi.
4. Reaksi yang kurang atau berlebihan terhadap ransangan sensoris ataupun
ketertarikan tidak biasa dari ransangan sensoris lingkungan.
C. Gejala harus muncul pada usia dini (semuanya tidak akan muncul, sampai
saat tuntutan sosial melebihi kapasitas yang terbatas).
D. Keseluruhan gejala membatasi dan mengganggu secara fungsional
setiap hari.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak dengan kecurigaan autism spectrum
disorder serupa dengan pemeriksaan fisik anak pada umumnya, antara lain
pemeriksaan antropometri, evaluasi tumbuh kembang, evaluasi pada kemampuan
bicara atau bahasa, interaksi sosial, dan kemampuan bermain. 16

Penilaian Domain Interaksi Sosial

Karakteristik gangguan komunikasi sosial yang sangat berkaitan antara


lain ketidakmampuan anak dalam menunjukkan minat, membagi perhatian, dan
mengikuti pandangan mata lawan bicaranya.

1. Ketika namanya dipanggil, anak sangat mungkin tidak berespons dan sering
disalahartikan sebagai suatu bentuk gangguan pendengaran.
2. Ekspresi wajah yang terbatas, khususnya tersenyum dan gestur tertentu yang
jarang ditunjukkan seperti mengangguk, menggeleng, melambaikan tangan,
tepuk tangan, juga patut dicurigai sebagai bentuk keterbatasan interaksi sosial
pada ASD.
3. Jarang menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungan di sekitarnya maupun
berbagi kebahagiaan dengan orang tuanya, misalnya tidak pernah menunjuk

14
mainan yang ia sukai atau tidak pernah menunjuk hal baru yang menarik di
dekatnya). 16

Identifikasi Bentuk Gangguan Berbahasa

Anak dengan ASD biasanya tidak mampu menunjukkan kompensasi


keterbatasan berbahasa seperti menggunakan gerak tubuh atau mimik untuk
menyampaikan keinginannya. Bentuk bahasa verbal yang diungkapkan anak
dengan ASD biasanya berupa jargon yang tak berarti, neologisme,
ekolalia, prosody, dan keterbatasan dalam memulai percakapan. Segala
keterbatasan tersebut menyebabkan anak dengan ASD tidak mampu berinteraksi
dua arah dengan leluasa. 16, 17

Observasi Perilaku Repetitif dan Persisten

Aktivitas yang dilakukan individu dengan ASD biasanya bersifat repetitif


dan terbatas. Perilaku motorik yang repetitif tersebut dapat bermanifestasi sebagai
ayunan tangan yang tak bertujuan, jentikan jari, benturan kepala kepada suatu
benda padat, dan gerakan memutar tubuh. Perilaku repetitif juga dapat
ditunjukkan sebagai minat yang terbatas pada mainan jenis tertentu dan menyusun
mainan dalam pola tertentu secara berulang-ulang. Hal ini juga dapat disertai
ekolalia susulan, yakni duplikasi bahasa verbal dari lingkungan sekitar (misalnya,
orang dewasa lain maupun suara dari radio atau televisi) yang kemudian
diucapkan terus-menerus tak lama setelah sumber suara asli muncul. Selain itu,
individu dengan ASD biasanya sangat persisten dengan pola lingkungan atau
aktivitas yang sama dan apabila hal tersebut diubah akan menimbulkan rasa tidak
nyaman atau bahkan distres serius yang bermanifestasi sebagai temper tantrum.  15,
16

Pemeriksaan Pada ASD dengan Pola Regresi

Pada 20-30% kasus ASD, pasien dapat berada dalam fase regresi atau
stasis. Hal ini ditandai oleh penurunan kemampuan perkembangan yang

15
sebelumnya telah dicapai dan biasanya mempengaruhi kemampuan berbahasa
pada usia 18-24 bulan. Kemampuan motorik biasanya tidak terpengaruh namun
orang tua dapat melaporkan adanya perubahan pola makan dan tidur, munculnya
perilaku repetitif, dan penurunan kemampuan interaksi sosial. Adanya pola regresi
kemampuan sosial pada anak berusia di bawah 3 tahun sangat berkaitan dengan
diagnosis ASD walaupun penyebabnya belum diketahui. Apabila regresi autistik
terjadi pada anak berusia di atas 3 tahun atau disertai regresi fungsi motorik,
evaluasi lanjutan perlu dilakukan untuk menguji apakah terdapat kemungkinan
suatu penyakit neurodegeneratif seperti sindrom Rett atau Landau Kleffner yang
juga berkaitan dengan ASD. 16

Skrining Autism Spectrum Disorder

Skrining terhadap autism spectrum disorder dapat dilakukan dengan


menggunakan instrumen skrining seperti Modified-Checklist for Autism in
Toddlers (M-CHAT) yang diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. M-CHAT
merupakan instrumen skrining yang valid dalam mengenali tanda dan gejala
autisme pada anak berusia 18-24 bulan. 18

M-CHAT merupakan instrumen skrining dua tahap untuk menilai risiko


ASD. Hasil skrining positif atau kekhawatiran orang tua tentang kemungkinan
adanya ASD pada anak mengisyaratkan bahwa pasien mungkin memerlukan
rujukan untuk evaluasi formal lanjutan. 18

Tabel 1. Kuesioner M-CHAT Adaptasi Bahasa Indonesia


Isi kuesioner sesuai dengan perilaku yang selalu dilakukan anak sehari-hari. Jika
perilaku tersebut jarang (misalnya Anda hanya melihatnya satu atau dua kali)
pilihlah jawaban Tidak. 18

16
Apakah anak Anda senang
(menikmati) bila diayun-ayun,
diguncang-guncang di atas kedua
1. lutut Anda? Ya Tidak
Apakah anak Anda tertarik untuk
2. bermain dengan anak lain? Ya Tidak
Apakah anak Anda suka
memanjat benda-benda, misalnya
3. tangga? Ya Tidak
Apakah anak Anda senang bila
diajak bermain cilukba atau petak
4. umpet? Ya Tidak
Apakah anak Anda pernah
bermain pura-pura, misalnya
berbicara menggunakan telepon
atau merawat boneka-bonekanya
5. atau bermain pura-pura lainnya? Ya Tidak
Apakah anak Anda pernah
menggunakan jari telunjuknya
untuk menunjuk,
6. untuk meminta sesuatu? Ya Tidak
Apakah anak Anda pernah
menggunakan jari telunjuknya
untuk menunjuk, untuk
menyatakan bahwa
7. dia tertarik pada sesuatu? Ya Tidak
Apakah anak Anda mampu
bermain dengan menggunakan
alat permainan kecil (seperti
mobil-mobilan atau balok-balok),
tidak sekedar dimasukkan ke
dalam mulut, dimainkan tanpa
8. tujuan atau dibuang-buang? Ya Tidak
Apakah anak Anda pernah
membawa benda-benda kepada
Anda (orang tua) untuk
9. menunjukkan sesuatu? Ya Tidak
10. Apakah anak Anda pernah Ya Tidak
menatap mata Anda selama satu

17
detik atau lebih?
Apakah anak Anda pernah
tampak sangat sensitif terhadap
suara, misalnya dengan cara
menutup telinga, menangis, atau
11. berteriak? Ya Tidak
Apakah anak Anda tersenyum
sebagai respon terhadap wajah
12. Anda atau senyuman Anda? Ya Tidak
Apakah anak Anda meniru
Anda? Misalnya Anda membuka
mulut pada saat Anda menyuapi
makan anak Anda, apakah anak
13. Anda menirukan? Ya Tidak
Apakah anak Anda memberikan
14. respons jika namanya dipanggil? Ya Tidak
Jika Anda menunjuk ke suatu
benda atau alat permainan,
apakah anak Anda melihat ke
arah benda yang Anda tunjuk
15. tersebut? Ya Tidak
16. Apakah anak Anda bisa berjalan? Ya Tidak
Apakah anak Anda ikut melihat
17. benda yang sedang Anda lihat? Ya Tidak
Apakah anak Anda
menggerakkan jari-jari tangannya
dengan cara yang tidak biasa di
18. dekat wajahnya? Ya Tidak
Apakah anak Anda mencoba
untuk menarik perhatian Anda
terhadap kegiatan yang sedang
19. dilakukannya? Ya Tidak
Pernahkah Anda berpikir bahwa
20. anak Anda tuli? Ya Tidak
Apakah anak Anda memahami
21. apa yang dikatakan orang? Ya Tidak
22. Apakah anak Anda kadang- Ya Tidak

18
kadang menatap dengan tatapan
kosong atau melihat sekitar
ruangan (matanya mengembara)
tanpa tujuan?
Apakah anak Anda melihat
wajah Anda untuk mengetahui
reaksi Anda pada saat dia sedang
menghadapi sesuatu yang tidak
23. biasa? Ya Tidak

Interpretasi dan Skoring Hasil Skrining M-CHAT 18

Berikut adalah daftar respons gagal dari tiap pertanyaan M-CHAT. Huruf yang
dicetak tebal adalah item kritis.

1. Tidak 5. Tidak 9. Tidak 13. Tidak 17. Tidak 21. Tidak


2. Tidak 6. Tidak 10. Tidak 14. Tidak 18. Ya 22. Ya
3. Tidak 7.Tidak 11. Ya 15. Tidak 19. Tidak
4. Tidak 8. Tidak 12. Tidak 16. Tidak 20. Ya 23. Tidak

Hasil dianggap gagal bila terdapat 2 atau lebih item kritis gagal atau bila gagal 3
atau lebih pada item apa saja. Anak dengan hasil gagal harus dievaluasi lebih dalam
dan dirujuk ke spesialis untuk evaluasi perkembangan lebih lanjut. Perlu
diperhatikan bahwa tidak semua anak yang gagal ketika skrining akan didiagnosis
dengan autism spectrum disorder. 18

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang rutin tidak disarankan sebagai bagian dari evaluasi
diagnostik pasien yang dicurigai dengan autism spectrum disorder. Pemeriksaan
radiologi, biomarker darah, dan tes urine tidak disarankan untuk dilakukan secara
rutin dalam menunjang diagnosis ASD. 19
Pemeriksaan genetik sesuai ketersediaan fasilitas kesehatan dapat
dipertimbangkan apabila terdapat tampilan dismorfik, kelainan kongenital, dan

19
keterbatasan intelektual pada saat anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu,
pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) boleh dipertimbangkan apabila pasien
dicurigai memiliki komorbiditas berupa epilepsi. 19

20
21
2.1.7. Tatalaksana Austism Spectrum Disorder (ASD)
Penanganan anak ASD terutama ditujukan untuk perbaikan gejala inti ASD yaitu
perbaikan interaksi sosial, komunikasi, merencanakan dan menyiapkan agar
dapat masuk sekolah, membuat hubungan yang bermakna dengan teman
sebayanya, meningkatkan ketrampilan jangka panjang dalam kemandirian.
1) Memaksimalkan kemampuan fungsional kemandirian,
2) Mencapai kualitas hidup yang maksimal,
3) Meminimalkan gejala,
4) Memfasilitasi proses belajar dan pembelajaran,
5) Sosialisasi,
6) Mengurangi perilaku maladaptif,
7) Edukasi dan suport keluarga. 2, 14

Berbagai intervensi yang dapat dilakukan pada ASD yaitu;


1) intervensi psikososial;
intervensi perkembangan perilaku dini secara intensif yaitu memperbaiki
kemampuan sosial dan penggunaan serta keterampilan bahasa. Berbagai
teknik intervensi ini al: UCLA/Lovaas-based model; Early Start Denver
Model (ESDM); Parent training approaches. 2, 14

22
2) pendekatan ketrampilan sosial;
strategi terapi yang diberikan kepada anak ASD bersama-sama dengan teman
sebayanya untuk memberikan keterampilan memulai percakapan sosial,
memberi salam memulai bermain, dan membagi perhatian, termasuk
pengenalan dan pengaturan emosi. 2, 14

3) intervensi perilaku;
Intervensi perilaku (behavioral interventions/BIs) dan terapi perilaku-kognitif
(cognitive-behavioral therapy/CBT) merupakan terapi yang bertujuan untuk
menurunkan perilaku repetitif yang dapat merugikan atau melukai dirinya. 2, 14

4) intervensi edukasional;
terapi utama untuk ASD dalam mengembangkan kemandirian dan tanggung
jawab personal anak. Terapi ini juga untuk meningkatkan kemampuan
bersosialisasi, adaptasi, komunikasi, dan mengurangi perilaku yang
mengganggu, serta meningkatkan kemampuan untuk melakukan berbagai
kegiatan pada berbagai lingkungan yang berbeda. Intervensi edukasi meliputi
pembelajaran terstruktur memperbaiki kesulitan anak dalam kemampuan
persepsi, respon sosial melalui analisis perilaku, kemampuan bahasa,
keterampilan membaca, kontak mata, ekspresi wajah dan ekspresi emosi.
Berbagai metode yang digunakan dalam program edukasi al.: Applied
Behavior Analysis (ABA); Treatment Education of Autistic and
Communication-related Handicapped Children (TEACCH); Broadbased
approaches; developmental models; Computer-based approaches and virtual
reality; terapi bicara dan bahasa; social skills instruction; terapi okupasi dan
integrasi sensorik. 2, 14

5) Intervensi psikofarmakologi. (bukan terapi primer)


Terapi farmakologi lebih bertujuan untuk memperbaiki kerusakan atau
gangguan yang berhubungan dengan gejala perilaku dibandingkan dangan
gejala inti ASD.

23
Terapi farmakologi diberikan jika terdapat gejala perilaku iritabilitas, agresi,
temper tantrum, perilaku melukai atau merugikan diri sendiri, hiperaktif,
impulsif, dan gangguan perhatian.
- Risperidone merupakan obat lini pertama yang paling banyak diberikan
untuk mengatasi iritabilitas pada anak ASD,
- Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), obat antipsikotik atipikal, dan
antihipertensi agonis α2 merupakan obat yang sering diresepkan.
- Medikamentosa juga diberikan untuk terapi penyakit akut, gangguan tidur
yang dialami, kelainan psikologi atau psikiatri yang dialami, serta masalah
lain yang juga terjadi, seperti pemberian obat anti epilepsi. 2, 14

Complementary and alternative medicine (CAM) merupakan terapi yang


digunakan sebagai dengan terapi konvensional.

- Terapi CAM dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu:


1) Intervensi non biologi seperti terapi musik; yoga; dolphin-assisted
therapy,
2) Terapi biologi seperti pemberian melatonin; vitamin C; multivitamin;
asam lemak esensial; asam amino carnosine dan carnitine; detoksifikasi
(terapi kelasi); diet bebas gluten/kasein; terapi gastrointestinal (enzim
pencernaan, anti fungal, probiotik, diet bebas jamur). 2, 14

24
2.2. Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 resmi dinyatakan oleh World Health Organization pada
tanggal 11 Maret 2020 sebagai suatu kejadian outbreak di masyarakat dunia, dengan
virus jenis betacoronavirus tipe baru, resmi diberi nama 2019 novel Coronavirus (2019-
nCoV) dan penyakitnya disebut COVID-19. Virus corona ini menjadi patogen penyebab
utama outbreak penyakit pernapasan. Virus ini adalah virus RNA rantai tunggal (single-
stranded RNA) yang dapat diisolasi dari beberapa jenis hewan, terakhir disinyalir virus
ini berasal dari kelelawar kemudian berpindah ke manusia. Pada mulanya transmisi virus
ini belum dapat ditentukan apakah dapat melalui antara manusia-manusia. Jumlah kasus

25
terus bertambah seiring dengan waktu. Akhirnya dikonfirmasi bahwa transmisi
pneumonia ini dapat menular dari manusia ke manusia. 1
Sejak diumumkan pertama kali ada di Indonesia, kasus COVID-19 meningkat
jumlahnya dari waktu ke waktu sehingga memerlukan perhatian. Pada prakteknya di
masa pandemi, tatalaksana COVID-19 diperlukan kerjasama semua profesi untuk
menanganinya, salah satunya dilakukan upaya untuk menanggulanginya bersama dengan
melakukan kerja dan kegiatan belajar-mengajar melalui daring dari rumah untuk semua
masyarakat di Indonesia. Selanjutnya, banyak negara memberlakukan lockdown,
menutup sekolah dan tempat kerja, belajar dan kerja secara virtual, menegakkan langkah-
langkah jaga jarak, dan menerapkan pembatasan langkah-langkah yang mencegah
individu untuk pergi ke tempat publik, termasuk Indonesia. 1

2.2.1. Dampak Negatif Pandemi COVID-19 terhadap anak dengan Austism


Spectrum Disorder (ASD)
Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) mempunyai tantangan
utama berupa perubahan rutinitas, dimana sehari-harinya anak dengan ASD
memiliki kebiasaan untuk mengulangi kegiatan sehari-harinya secara repetitif,
oleh karena itu, kebutuhan adaptasi selama karantina pandemi COVID-19
mungkin membawa masalah besar bagi pasien dan keluarga, dimana akan terjadi
suatu perubahan kegiatan sehari-harinya, terutama dalam hal isolasi kegiatan dan
bersosial. Pandemi COVID-19 menyebabkan situasi sosial yang berubah dapat
meningkatkan kesulitan bagi individu ASD, terutama banyak individu yang bisa
menjadi stress, cemas, dan perubahan emosi lainnya dikarenakan kegiatan sehari-
harinya yang berubah signifikan dengan cepat. 20
Dampak negatif yang cukup besar pada anak-anak yang biasanya
berkembang psikologis, sosial, dan kesejahteraan fisik. Dari hasil penelitian jurnal
Arab Saudi, anak dengan ASD mengalami perubahan tingkah keparahan
penyakitnya, diakibatkan adanya perubahan rutinitas sehari-hari akibat pandemi
COVID-19. 20
Penelitian oleh Amorim, dkk. menyatakan dari 99 orang responden 43
orang anak dengan ASD mengalami perubahan perilaku secara signifikan

26
sementara 56 variable kontrol tidak mengalami perubahan sama sekali. Salah satu
alasannya yaitu adanya pembatasan kegiatan, seperti dalam hal kegiatan
ekstrakurikuler di sekolahnya, namun sekarang tidak bisa melakukan dikarenakan
karantina COVID-19, contoh lain seperti sekarang harus membiasakan diri untuk
rajin mencuci tangan agar terhindar dari kuman. Anak dengan ASD tidak biasa
dengan adanya perubahan rutinitas sehingga mengalami perubahan sikap dan
perilaku. Pada penelitian ini yang dilaporkan orang tua, perubahan sikap pada
anak lebih kearah cemas (417%), menjadi sensitif / iritabble (16.7%), obsesif
(11.1%), sikap bermusuhan (hostility) (5.6%) dan impulsive (2.8%). Pada
penelitian ini didapatkan hubungan antara karantina dengan manajemen emosi
5
anak dengan ASD. Anak ASD bukan hanya tidak mampu mengungkapkan
perasaannya namun belum mampu mengelola perasaannya sehingga
mengeluarkan reaksi dari emosi negatifnya yang tidak dapat tersalurkan. Reaksi
yang ditunjukkan berupa sikap-sikap destruktif yang terkadang dapat merugikan
diri sendiri, bahkan orang lain.21
Pada awalnya keluarga berpendapat bahwa dengan kegiatan serba
dirumah, bisa membuat anak dengan ASD menjadi jauh dari stressor dan
membuat mereka lebih tenang. Namun dengan adanya sekolah belajar via daring,
membuat perubahan rutinitas yang signifikan untuk anak dengan ASD. Hal ini
diakibatkan karena pada anak dengan ASD memiliki obsesi dengan rutinitas
sehari-hari yang repetitif, tidak fleksibel, sehingga banyak dari anak dengan ASD
yang mendapatkan komplikasi masalah kesehatan mental setelah menjalani
pandemi COVID-19. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan adanya hubungan
antara perubahan perilaku dengan mempertahankan rutinitas sehari-hari, dan juga
tidak didapatkannya hubungan antara karantina dengan hubungan keluarga dan
perkembangan diri.5
Penelitian lain menunjukkan, 55% orang tua mengatakan bahwa anak
mereka menjadi lebih agresif, 26% mengatakan tics anak mereka meningkat atau
tics baru muncul, 29% mengatakan keterampilan komunikasi anak mereka
memburuk, dan 44% dan 33% orang tua melaporkan tidur dan perubahan nafsu
makan, masing-masing. 22

27
28
Hasil perhitungan multivariate dengan ANOVA untuk subskala ABC
sebagai variable dependen pada dua titik waktu (sebelum dan selama pandemi).
Hasil menyatakan bahwa semua subskala ABC berbeda signifikan antara dua
titik waktu (p< 0,001). 22
Jumlah jam anak-anak tidur menurun secara signifikan dari sebelum
hingga selama Covid-19.Tingkat hipersensitivitas peserta juga meningkat secara
signifikan dari sebelum pandemi hingga masa pandemi. Individu dengan ASD
sebagian besar tidak dapat memahami COVID-19, beradaptasi dengan langkah
menjaga jarak dan tinggal di rumah, dan untuk melakukan kebersihan yang
relevan dengan persyaratannya. Tantangan spesifik ASD, seperti hipersensitivitas,
bisa berdampak pada status pemakaian tmasker, dan ini dapat mengakibatkan
mencegah mereka untuk berhati-hati karena anak-anak dengan ASD rentan
terhadap COVID-19. 22

29
2.2.2. Dampak Positif pandemi COVID-19 terhadap anak dengan Austism Spectrum
Disorder (ASD)
Dari hasil penelitian jurnal Arab Saudi, dengan adanya pandemi COVID-
19, kebanyakan orang tua jadi lebih sering berada di rumah dan memperhatikan
anaknya. Beberapa anakm emiliki emosi yang campur aduk karena mereka juga
merasa senang dan santai menghabiskan waktu bersama keluarga mereka selama
lockdown. 20
Di sisi lain juga terlihat adanya 83.8% anak dengan ASD selama
karantina tetap mempertahankan rutinitas sehari-hari, 71.7% juga diberikan
5
beberapa tugas, dan 52.5% hal-hal baru.

2.2.3. Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Orang tua atau Caregiver Anak
dengan Austism Spectrum Disorder (ASD)
Studi oleh Collezi, dkk. mengatakan bahwa orang tua melaporkan
kesulitan dalam mengatur makanan anak mereka (23%), otonomi (31%), waktu
luang (78,1%), dan kegiatan terstruktur (75,7%). Untuk setiap aktivitas, dirasakan
lebih sulit daripada sebelum wabah darurat. Secara keseluruhan, dibandingkan
sebelum pandemi, masalah perilaku dilaporkan lebih banyak intens (35.5%) dan
lebih sering (41,5%) pada sebagian besar individu ASD. 6
Efek lain dari pandemi COVID-19 juga menyebabkan anak autis dan
orang tua mengalami tantangan dalam melaksanakan pembelajaran di rumah
akibat tidak ada asuhan pengajaran dari sekolah khusus secara langsung, Dalam
kesehariannya, interaksi yang terjalin antara orang tua dengan anak autisme masih
cukup terbatas. Orang tua kesulitan untuk berinteraksi dengan anak karena
perilaku anak autisme yang cenderung menyendiri dan menghindari interaksi
sosial. Ketidakmampuan anak autisme dalam berbicara dan berbahasa juga

30
menyulitkan orang tua untuk melibatkan anak dalam interaksi antarpersonal,
terutama dalam membimbing anak saat kegiatan belajar mengajar. Kendala lain
bagi orang tua untuk memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh anak dan
kesulitan untuk membantu jika anak menghadapi masalah. 21
Dampak dari kondisi autisme yang dialami anak juga membuatnya
kesulitan untuk fokus dalam mendengarkan dan memahami komunikasi. Anak
autis kesulitan memahami ucapan yang ditujukan kepadanya. Sehingga, orang tua
harus mengulang-ulang ucapan yang ditujukan kepada anak autis. Orang tua juga
tidak pernah melibatkan anak autis pada obrolan dengan topik-topik yang
memerlukan penalaran dan pemikiran strategis. 21
Dari hasil penelitian jurnal Arab Saudi menyatakan bahwa kebanyakan
anak mengalami perubahan gejala menjadi lebih parah mengakibatkan dampak
signifikan pada tingkat stres dan kecemasan orang tua. Alhasil orang tua sendiri
akan menambahkan stressor tersendiri kepada anaknya akibat dari rasa stres
20
tersebut.

2.2.4. Solusi bagi orang tua atau caregiver anak dengan Austism Spectrum Disorder
(ASD) pada masa pandemi COVID-19
Menurut WHO dan guideline UNICEF, selama masa pandemi dari orang
tua atau caregiver sendiri seharusnya dimulai dengan menanggulangi atau
mengontrol rasa stress pribadi dengan baik terlebih dahulu. Setelah itu mulai
untuk memahami kondisi selama pandemi COVID diam di rumah, seperti
menjelaskan pelan-pelam tentang apa itu COVID-19, menyusun kembali rutinitas
sehari-hari dengan mengubah sedikit demi sedikit kegiatan, ikut bersama dan aktif
bertukar pikiran dengan sesama orang tua dengan anak ASD lainnya, dan
mempertahankan hubungan dengan sekolah dan kegiatannya. Orang tua pasien
juga diminta untuk tetap waspada terutama terhadap pendidikan dan compliamce
dari terapi-terapi baik farmakologi atau non farmakologi. 5, 23, 24
Pola komunikasi yang tercipta diantara orang tua dengan anak autisme
merupakan pola komunikasi sebagai interaksi dimana orang tua mendominasi
peran sebagai pengirim pesan dan anak autis cenderung berperan sebagai

31
penerima pesan. Orang tua berperan sebagai fasilitator dalam mendampingi anak
belajar di rumah. Komunikasi antar pribadi harus berjalan dengan baik, dengan
cara; 21
1. Menjaga komunikasi antarpribadi tersusun dalam struktur verbal dan
nonverbal dengan mempertimbangkan keadaan, situasi, dan kondisi
penerimanya, seperti contoh;
 dengan cara mengulang-ulang ucapan secara perlahan-lahan untuk
memberikan waktu bagi anak untuk memproses pesan yang disampaikan.
 dengan cara memperagakan apa yang diucapkannya.
 Memperhatikan/ menekankan intonasi suara dan kontak mata, sebagai
cara untuk menyampaikan dan menerima pesan baik dalam simbol-
simbol.
 melalui tulisan jika anak dalam mode mute atau tidak berbicara sama
sekali. 21
2. Teori Adaptasi Interaksi
 menjelaskan mengenai cara beradaptasi individu ketika sedang
melakukan komunikasi dengan individu yang lain.
 Prinsip ini diterapkan orang tua ketika berkomunikasi dengan anak
autisme dalam rangka mendampingi belajar di rumah.
 Terdapat perbedaan kecakapan dalam berkomunikasi antara orang tua
dengan anak autis, sehingga dibutuhkan proses beradaptasi dalam
berkomunikasi.
 Belajar memahami perasaan anaknya; 21
3. Pemantauan kondisi fisik dan emosi
 Pembelajaran yang dilakukan ketika kondisi fisik/emosi anak sedang
tidak stabil akan sulit mencapai harapan yang diinginkan. Hal ini hanya
akan membuat anak autis stress dan tidak fokus belajar.
 Begitu juga jika pembelajaran dilakukan ketika situasi lingkungan
rumah sedang tidak konsusif juga akan menghambat tercapainya tujuan

32
pembelajaran. Kondisi fisik di lingkungan rumah seperti kebisingan
juga mempengaruhi proses pembelajaran di rumah. 21

BAB III
KESIMPULAN

Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) mempunyai tantangan utama berupa
perubahan rutinitas, dimana sehari-harinya anak dengan ASD memiliki kebiasaan untuk
mengulangi kegiatan sehari-harinya secara repetitif, oleh karena itu, kebutuhan adaptasi selama
karantina pandemi COVID-19 mungkin membawa masalah besar bagi pasien dan keluarga,
dimana akan terjadi suatu perubahan kegiatan sehari-harinya, terutama dalam hal isolasi kegiatan
dan bersosial. Pandemi COVID-19 menyebabkan situasi sosial yang berubah dapat
meningkatkan kesulitan bagi individu dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), terutama
banyak individu yang bisa menjadi stress, cemas, dan perubahan emosi lainnya dikarenakan
kegiatan sehari-harinya yang berubah signifikan dengan cepat.

33
Perubahan tingkah laku sampai emosi pada anak dengan Autism Spectrum Disorder
(ASD) kadang bisa menjadi tantangan dan rasa stress bagi kedua orang tua atau caregivernya.
Peran orang tua sangat penting dalam mengasuh anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD).
Selama masa pandemi dari orang tua atau caregiver sendiri seharusnya dimulai dengan
menanggulangi atau mengontrol rasa stress dengan baik terlebih dahulu. Setelah itu mulai untuk
memahami kondisi selama pandemi COVID-19.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi 3. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN,


IDAI; 2020
2. Pedoman Pelatihan Deteksi Dini dan Diagnosis Gangguan Spektrum Autisme. UKK
Tumbuh-Kembang Pediatri Sosial SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unud RSUP Sanglah
Denpasar. 2015
3. World Health Organization. 2016. Autism spectrum disorders.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/autism-spectrum-disorders
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders.
5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Association; 2013.

34
5. Amorim R, Catarino S, Miragaia P, Ferreras C, Viana V, Guardiano M. The impact of
COVID-19 on children with autism spectrum disorder. Rev Neurol. 2020 Oct
16;71(8):285-291. 
6. Colizzi M, Sironi E, Antonini F, Ciceri ML, Bovo C, Zoccante L. Psychosocial and
Behavioral Impact of COVID-19 in Autism Spectrum Disorder: An Online Parent
Survey. Brain Sciences. 2020; 10(6):341
7. Baxter AJ, Brugha TS, Erskine HE, Scheurer RW, Vos T, Scott JG. The epidemiology
and global burden of autism spectrum disorders. Psychol Med. 2015; 45(3):601–13.
8. Centers for Disease Control and Prevention United States. 2016. Community Report on
Autism 2014. Centers for Disease Control and Prevention.
9. Kementerian Kesehatan. 2016. Kenali dan deteksi dini individu dengan spektrum autisme
melalui pendekatan keluarga untuk tingkatkan kualitas hidupnya.
10. Elvira S, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017
11. Hasan KM, et al.Global Cerebral and Regional Multimodal Neuroimaging Markers of the
Neurobiology of Autism: Development and Cognition. J Child Neurol. 2012 Aug 16.
12. Weisberg J, et al. Impaired Category Selectivity for Dynamic but not Static Images in
Ventral Temporal Cortex. Cereb Cortex. 2012. Sep 26.
13. Kang JQ, et al. A Common Susceptibility Factor of Both Autism and Epilepsy:
Functional Deficiency of GABA(A) ReceptorsJ Autism Dev Disord. 2012 May 4.
14. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Autism spectrum disorder. Synopsis of Psychiatry. Edisi
ke-7. 2015
15. Lord C, Elsabbagh M, Baird G, Veenstra-Vanderweele J. Autism spectrum disorder.
Lancet [Internet]. 2018 Aug;392(10146):508–20. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(18)31129-2
16. Yates K, Le Couteur A. Diagnosing autism/autism spectrum disorders. Paediatr Child
Heal (United Kingdom) [Internet]. 2016;26(12):513–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.paed.2016.08.004
17. Mukherjee SB. Autism Spectrum Disorders — Diagnosis and Management. Indian J
Pediatr [Internet]. 2017;84(4):307–14. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s12098-
016-2272-2

35
18. Robins D, Fein D, Barton M. 1999. Diterjemahkan oleh Soetjiningsih atas ijin dari Diana
Robins, 2009. Diunduh dari https://mchatscreen.com/wp-content/uploads/2015/05/M-
CHAT Indonesian.pdf
19. National Institute of Health Care and Excellence. Autism: recognition, referral and
diagnosis of children and young people on the autism spectrum [Internet]. 2011.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22624178
20. Alhuzimi T. Stress and emotional wellbeing of parents due to change in routine for
children with Autism Spectrum Disorder (ASD) at home during COVID-19 pandemic in
Saudi Arabia. Res Dev Disabil. 2021.
21. Aulia N, Santosa H. Pengalaman Komunikasi Orang Tua dengan Anak Autis dalam
Mendampingi Belajar di Rumah selama Pandemi Covid-19. Program Studi S1 Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. 2020.
22. Mutluer T, Doenyas C, Aslan Genc H. Behavioral Implications of the Covid-19 Process
for Autism Spectrum Disorder, and Individuals' Comprehension of and Reactions to the
Pandemic Conditions. Front Psychiatry. 2020 Nov 16
23. World Health Organization. Coronavirus disease (COVID-19) advice for the public:
healthy parenting. https://www.who.int/emergencies/diseases/novelcoronavirus-
2019/advice-for-public/healthy-parenting.
24. UNICEF. Coronavirus disease: tips and guidance for families. URL:
https://www.unicef.org/coronavirus/covid-19#COVID-19-explainers.

36

Anda mungkin juga menyukai