2. Masa Kecil
Merry Riana lahir sebagai anak sulung dan perempuan satu-satunya dalam keluarga
kecilnya. Kedua orang tuanya menamainya ‘Riana’ dengan harapan hidupnya akan penuh
suka cita kelak. Nama ‘Merry’ disematkan sebagai nama baptis oleh sang pastor di gereja
tempatnya dibaptis. Jadilah perpaduan namanya berarti double happiness.
Keluarganya bukanlah keluarga yang memiliki uang berlimpah ruah. Ayahnya yang
merupakan lulusan Teknik Elektro, memiliki usaha toko peralatan elektronik di Jakarta.
Ibunya, seorang ibu rumah tangga yang penuh kasih dan sangat mengayomi keluarga.
Masa kecilnya dihabiskan dengan tinggal di kawasan hunian yang banyak dihuni oleh
kaum pribumi. Itu dilakukan kedua orang tuanya agar ia terbiasa dan bisa bergaul dengan
anak-anak dari berbagai kalangan.
Keluarganya penganut Katolik taat yang sangat menanamkan pentingnya agama
dan berpegang teguh pada Tuhan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut sangat
dirasakannya ketika tinggal berjauhan dengan orang tuanya. Pendidikannya dilalui di
lembaga pendidikan katolik dari SD Don Bosco Pulomas, SMP Santa Ursula, dan SMA
Santa Ursula. Cita-citanya pun ingin melanjutkan kuliah Teknik Elektro di Universitas
Trisakti Jakarta agar nantinya bisa membantu bisnis ayahnya. Namun cita-cita
sederhananya harus kandas ketika kerusuhan Mei 1998 melanda ibu kota. Jakarta
mendadak mencekam dan menakutkan, terutama bagi orang-orang beretnis Tionghoa, tak
terkecuali Merry sekeluarga.
Ibu kota tidak lagi aman bagi mereka yang beretnis Tionghoa karena banyaknya
peristiwa traumatis seperti pemerkosaan, pencurian rumah, penjarahan toko-toko, hingga
pembunuhan. Hal tersebut menyebabkan eksodus etnis Tionghoa ke luar negeri, seperti
Amerika, Australia, Singapura, dsb.
Orang tua Merry juga memikirkan nasib putri sulung mereka hingga memutuskan
untuk mengirimnya ke Singapura agar kuliahnya tidak perlu tertunda dan aman dari
kerusuhan di Jakarta. Keputusan tersebut terhitung nekat karena bisnis ayahnya sedang
mengalami kemunduran akibat krisis moneter yang berarti keuangan keluarga sedang
tidak baik-baik saja.
Tapi keputusan kedua orang tuanya sudah bulat. Berbekal informasi bahwa
mahasiswa bisa meminjam dana pendidikan di bank milik pemerintah Singapura,
Development of Bank Singapore (DBS), serta tidak perlu khawatir skor TOEFL untuk
berkuliah di Nanyang Technology University (NTU), Merry pun dikirim kesana.
3. Kuliah di Singapura
Hal inilah yang kemudian akan merubah takdirnya. Karena kondisi yang tidak
aman akibat kerusahan tahun 1998, Merry Riana kemudian memilih kuliah di Singapura
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ayah Merry yaitu Suanto Sosrosaputro
memutuskan untuk mengirim anaknya belajar di luar negeri. Dan Singapura kala itu
merupakan sebuah pilihan yang paling masuk akal karena jaraknya yang relatif dekat,
lingkungan yang aman dan sistem pendidikannya yang bagus.
Akhirnya Nanyang Technological University Singapore menjadi pilihannya. Merry
mulai belajar di bangku kuliah di jurusan Electrical and Electronics Engineering (EEE) di
Nanyang Technological University (NTU) pada tahun 1998. Merry mengaku jurusan ini
menjadi jurusan paling masuk akal baginya saat itu. Merry bercita-cita menjadi seorang
insinyur. Cita-citanya tersebut mungkin karena ingin membantu sang ayah dalam
menjalankan bisnis.
4. Perjuangan Hidup di Singapura
Tanpa persiapan yang memadai untuk kuliah di luar negeri, Merry sempat gagal
dalam tes bahasa Inggris di Nanyang Technological University. Tanpa persiapan bekal
dana yang memadai pula, Merry meminjam dana dari Pemerintah Singapura. Dalam
Biografi Merry Riana, Ia meminjam dana beasiswa dari Bank Pemerintah Singapura
sebesar $40.000 dan harus dilunasi setelah ia lulus kuliah dan bekerja. Dana tersebut
sangatlah minim, karena setelah dihitung-hitung ia hanya mangantungi $10 selama
seminggu.
Untuk berhemat, Merry menyiasatinya dengan hanya makan mie instant di pagi
hari,makan siang dengan 2 lembar roti tanpa selai, ikut seminar dan perkumpulan di
malam hari demi makan gratis, bahkan untuk minumpun ia mengambil dari air keran/tap
water di kampusnya. Hal itu berangsur hampir setiap hari di tahun pertamanya kuliah.
Kehidupan yang sangat memprihatinkan tersebut mendorongnya untuk mencari
penghasilan diluar.
Dari mulai membagikan pamflet/brosur di jalan,menjadi penjaga toko bunga,dan
menjadi pelayan Banquet di hotel. Ketika menyadari hidupnya tak berubah meski sudah
memasuki tahun kedua kuliah, Merry mulai membangun mimpi. Karena tak punya latar
belakang pendidikan dan pengalaman bisnis, Merry mengumpulkan informasi dengan
mengikuti berbagai seminar dan melibatkan diri dalam organisasi kemahasiswaan yang
berhubungan dengan dunia bisnis.
10. Kesimpulan
Penulis sangat terinspirasi oleh sifat yang dimiliki Merry Riana. Gigih dan pantang
menyerahnya sangatlah patut untuk ditiru oleh generasi milenial sekarang yang
kebanyakan menginginkan hasil yang instant. Perjuangan dengan jalan yang terjal tetap ia
hadapi hingga mendapatkan kesuksesannya.