Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

EDEMA PARU KARDIOGENIK

A. PENGERTIAN
Edema Paru Kardiogenik adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya
tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis.
Edema Paru Kardiogenik menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di
interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri
melebihi keluaran ventrikel kiri.

B. Etiologi
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka
cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas
kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki
kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal
biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan
atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema
akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan
menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Lorraine et
al, 2005; Maria, 2010) :
1. Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan
oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan
melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi
jantung.
Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif natrium dan
klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi natrium dan klorida
adalah ion channelsepitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II
serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial
dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara
pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang
ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).

4. KLASIFIKASI
a. Edema Paru Kardiogenik
Adanya gangguan sirkulasi pada jantung akan menyebabkan peningkatan tekana vena
pulmonalis, tekanan hidrostatik meningkat melebihi tekanan onkotik, terjadi rembesan
cairan ke jaringan interstitial dan pada kasus yang lebih berat terjadi edema alveolar.
Pada tahap lanjut dapat terjadi pembentukan pleural effusion yang akan lebih
mengganggu fungsi respirasi. Tanda awal edema paru adalah Dipsnoe d’effort dan
ortopnoe. Pada rontgen foto thorax menunjukkan penebalan peribronkhial, apikalisasi
corakan pembuluh darah, dan garis kirley B. Lines. Pada edema paru yang lebih
buruk, alveoli terisi cairan. Gambaran rontgen foto thorax menunjukkan infiltrat
diffuse pada alveola. Ditemukan rhonchi dan wheezing yang disebabkan oleh
paningkatan edema jalan nafas kronik.
b. Edema Paru Non Kardiogenik
Pada edema paru non kardiogenik tekanan hidrostatik normal, peningkatan cairan
paru terjadi karena kerusakan lapisan kapiler paru dengan kebocoran protein dan
makromolekul kedalam jaringan. Cairan berpindah dari pembuluh darah ke jaringan
paru sekitarnya. Proses ini dikaitkan dengan disfungsi lapisan surfaktan pada alveoli
dan kecenderungan kolapsnya alveoli pada volume paru yang rendah. Klinis bisa
ditemukan dispnoe ringan sampai dengan gagal nafas. Auskultasi paru relatif normal
meskipun rontgen foto thorax menunjukkan infiltrat alveolar difus.
C. PATOFOSIOLOGI

Gambar Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2015)

Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart
Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara
akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal (Maria, 2015).
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan
kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri
dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau
integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan
kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2016).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada
stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di
atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara diparu dan meningkatkan kemampuan difusi
dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan
aktivitas  fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup
(Harun dan Sally, 2017).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial
diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan
perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran
paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada
derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah,
saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut,
dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks
bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan
terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada
keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat
peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis
takipnea (Harun dan Sally, 2017).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru
tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan
seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar
saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali
dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru
semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal
akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada
awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan
asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru
obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi
pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun dan
Sally, 2016).
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka
sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial
paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein
tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar
seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial,
ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk
secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibatacute lung injury dimana
terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk
menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2014).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas
CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat
bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin
adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada
saat inspirasi.
Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial.Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial,
akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi.Sering terdapat
takhipnea.Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi
takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat.Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan
saja.
Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar.Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia.Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapa
t terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.Pada keadaan ini morphin hams
digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 2015).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru,
tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya
pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah
turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang
rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
5. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
A. Data Subjektif
1) Identitas Klien
Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, agama, suku / bangsa, alamat, tanggal dan jam masuk rumah sakit,
diagnosa medik.
2) Keluhan utama
Klien biasanya mengeluh sesak nafas, badan lemas
3) Riwayat penyakit sekarang
Adanya sesak nafas dan kelemahan,sianosis
4) Riwayat penyakit dahulu
pada pengkajian riwayat kesehatan terdahulu sering kali klien mengeluh
merasakan nyeri dada hebat dan pasien pernah mengalami hipertensi, Penyakit
paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin
ditemui pada klien
5) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keturunan yang pernah dialami keluarga seperti DM, hepatitis,dan
hipertensi
6) Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi kesehatan
b. Pola Nutrisi
c. Pola Eliminasi
d. Pola Aktivitas- latihan
e. Pola Istirhat-Tidur
f. Pola Kognitif perseptual
g. Pola Konsep diri
h. Pola Peran Hubungan
i. Pola seksualitas-produksi
j. Pola Koping-toleransi stress
k. Pola nilai kepercayaan
PEMERIKSAAN FISIK
A.Data Objektif
a. Keadaan umum : k/u lemah
b. Kesadaran : Composmentis
c. TB : -
d. BB : -
e. TTV :
TD : >120/80 mmHg
N : >80x/mnt
RR : > 20x/mnt
S : >37,5oC

PEMERIKSAAN FISIK HEAD TO TOE


1. Kepala
Inspeksi : Warna rambut, kebersihan rambur,rontok/tidak, bentukwajah.
Palpasi : ada benjolan atau tidak \
2. Mata
Inspeksi : Bentuk mata, warna sklera dan konjungtiva, akomodasi mata
3. Hidung
Inspeksi : Ada benjolan atau tidak, bentuk hidung
4. Telinga
Inspeksi : Bentuk, kebersihan telinga, terdapatsedikit cilia
Palpasi :Teksturpina, helix kenyal.
5. Mulut
Inspeksi : bentuk bibir, ada stomatitis atau tidak, warna bibir.
6. Leher
Inspeksi : Simetris atau tidak
Palpasi : Kelenjar limfe tidak teraba, kelenjar tiroid tidak membesar.
7. Paru
Inspeksi : Bentuk dada asimetris
Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri tidak sama
Perkusi : pekak
Auskultasi : terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan
terdapat wheezing.
Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau
teknan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau
sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela
interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif
intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputuk
yang berwarna kemerahan serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan
terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat
wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop, bunyi
jantung 3 dan 4. Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis .
Dan pada edem paru non kardiogenik didapatkan Pada pemeriksaan fisik, pada
perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki
basah dan bergelembung pada bagian bawah dada.
8. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis terlihat
Palpasi : PMI teraba
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Terdengar Murmur
9. Abdomen
Inspeksi : simetris
Auskultasi : Hitung bising usus
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Timpani
10. Ekstremitas
Inspeksi : Atas /bawah simetris atau tidak, hitung jumlah jari
11. Integumen
Inspeksi : Terlihat sianosis pada kuku
Palpasi : Akral dingin

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium 
Pemeriksaan laboratorim yang diperlukan untuk mengkaji etiologi edema
paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi/ darah rutin,
fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa gas darah.
2. Radiologi 
Pada foto thorax untuk menunjukan jantung membesar, hilus yang melebar,
pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan
adanya garis kerley A, B dan C akibat edema. Gambar foto thorax dapat
dipakai untuk membedakan edem paru kardiogenik dan edem paru non
krdiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edem
tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%.
Beberapa masalah teknik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifitas
rontgen paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien.
3. Elektrokardiogram (EKG) 
Pemeriksaan EKG biasa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemik atau infark miokard akut dengan edema paru.

6. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan
dalam interstitial/area alveolar
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan secret
c. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan intubasi endotrakeal
d. Gangguan pola nafas yang berhubungan menurunnya ekspensi paru skunder terhadap
penumpukan cairan dalam alveoli
e. Menurunnya Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan, ketidak seimbangan
suplai nutrisi dan kebutuhan oksigen

7. RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa  Tujuan  Intervensi Rasional


Dx: Gangguan Ventilasi dan
pertukaran gas oksigenasi
1. BHSP pada pasien 1. Dengan BHSP
berhubungan adekuat setelah
atau keluarga pasien dapat memperoleh
dengan akumulasi dilakukan
2. Observasi TTV pemberian tindakan
protein dan cairan pemasangan
3. Berikan oksigen 2. peningkatan RR dan
dalam interstitial/ endotrakeal
yang dilembabkan Takikardia
area alveolar
dengan humidifier merupakan indikasi
kriteria hasil:
4. Berkolaborasi adanya penurunan
 sesak dengan dokter fungsi paru
napas dalam pemberian 3. sehingga jalan
berkurang, terapi napas buatan
5. Motivasi pasien meniadakan
tidak
untuk nafas dalam mekanisme
sianosis
dan panjang pertahanan tubuh
untuk pelembapan
dan penghangatan
4. pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
5. nafas dalam dapat
membantu
membebaskan jalan
napas
Dx: Bersihan jalan napas
ketidakefektifan efektif setelah dilakukan
1. BHSP pada pasien 1. Dengan BHSP
bersihan jalan fisioterapi napas dan
dan keluarga dapat
nafas penghisapan sekret
pasien mempermudah
berhubungan
2. Lakukan pemberian
dengan Kriteria Hasil
fisioterapi napas tindakan
penumpukan
sekret  Hilangnya dan penghisapan 2. Sehingga
dispnea sekret secara dengan
 Bunyi napas kontinu fisioterapi
bersih/tidak ada 3. Berikan oksigenasi napas akan
ronkhi sebelum dilakukan melepaskan
 Mengeluarkan penghisapan sekret sekret dari
sekret tanpa 4. Kaji dan catat dinding alveoli
kesulitan karakteristik sehingga
sputum memudahkan
5. Berkolaborasi untuk
dengan dokter dialkukan
dalam pemberian penghisapan
terapi seperti 3. Sehingga
Morfin, furosemid, menambah
aminofilin. cadangan
oksigen
sehingga pada
saat dilakukan
penghisapan
sekret klien
tidak
mengalami
kekurangan
oksigen karena
dengan
menghisap
sekret oksigen
juga ikut
terhisap
4. Untuk
mengidentifika
si sputum
5. Pengobatan
yang diberikan
berdasar
indikasi sangat
membantu
dalam proses
terapi
keperawatan

8. IMPLEMENTASI
Merupakan tindakan yang dilaksanakan untuk mengatasi keluhan pasien berdasarkan
intervensi yang telah dibuat.
9. EVALUASI
S : Berisi keluhan pasien, berasal dari pasien sendiri
O : Data yang diambil dari hasil observasi
A : Pernyataan masalah sudah teratasi atau sebagian atau belum teratasi
P : Rencana tindakan untuk mengatasi keluhan pasien
DAFTAR PUSTAKA

1.      AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and


Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:

2.      Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N


Engl J Med 2008;359:142-51.

3.      Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online).
Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heart-
failure.html. (24 November 2015)

4.      Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo  AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati  S, editor.  Buku ajar ilmu penyakit  dalam. 5th Ed. Jakarta:  Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
p. 1515-1519

5.      Dickstein et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology. Developed in
Collaboration with the Heart Failure Association of the ESC (HFA) and Endorsed by the
European Society of Intensive Care Medicine (ESICM). Eur J Heart Fail 2008;10:933–989.

6.      ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2008. European Heart Journal (2018) 29, 2388–2442 doi:10.1093/eurheartj/ehn309

7.      ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. European Heart Journal (2015) 33, 1787–1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104

8.      Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State and Framework


for Future Research.  AHA 2015; 112; 3958-3968.

9.      Gray et al. Multicentre Randomised Controlled Trial of The Use of Continuous


Positive Airway Pressure and Non-Invasive Positive Pressure Ventilation in The Early

Anda mungkin juga menyukai