Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA MEDULA SPINALIS

KEPERAWATAN REHABILITAS

Laporan Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praklinik Pada Stase Keperawatan Rehabilitas

Di RSUP Fatmawati Gedung Soelarto lt.4

Disusun Oleh :

Rutfika Aiman Hidayat

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019
A. Definisi

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian. Gejala-gejala dapa bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula
spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek
pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total.

Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi


spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan
struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis
menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih
tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (kerusakan akar-akar saraf
yang berada sepanjang medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi).

B. Klasifikasi

Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :

Cedera Cervikal

a) Lesi C1-C4

Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi.
Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter
(baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan
sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.

Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena


ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua
aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga
membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara
intermitten saja.
b) Lesi C5

Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak


sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung
dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami
ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut,
mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.

c) Lesi C6

Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep,
triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya
pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat
memakai dan melepaskan baju.

d) Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan
ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri
tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan
melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah
yang ringan dan memasak.

e) Lesi C8

Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena
kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien
berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya
mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam
berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan
perawatan diri.

Cedera Torakal

f) Lesi T1-T5

Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi
inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural
biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan
otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.

g) Lesi T6-T12

Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke


bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks
abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi
pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.

Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:

a. T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas


b. T3 Aksilla
c. T5 Putting susu
d. T6 Prosesus xifoid
e. T7, T8 Margin kostal bawah
f. T10 Umbilikus
g. T12 Lipat paha

Cedera Lumbal

h) Lesi L1-L5

Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:

a. L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang
dari bokong.
b. L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
c. L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
d. L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
e. L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area
sadel.

Cedera Sakral

i) Lesi S1-S6

Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari
telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi
meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga
aspek posterior paha.

Klasifikasi berdasarkan keparahan

Klasifikasi Frankel :

Grade A : motoris (-), sensoris (-)

Grade B : motoris (-), sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)

Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral

Grade B : hanya sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3

Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3

Grade E : motoris dan sensoris normal

C. Etiologi
1) Kecelakaan lalu lintas/jalan  raya adalah penyebab terbesar.
2) Injuri atau jatuh dari ketinggian.
3) Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena menyelam
pada air yang sangat dangkal
4) Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
5) Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress
lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.
6) Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan
mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis
akibat proses inflamasi infeksi maupun noninfeksi; osteoporosis yang
disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebrata; siringmielia; tumor
infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.

D. Faktor Resiko
1. Pria 80 % sedangkan wanita hanya 20 %.
2. Usia 16-30 tahun. Kecelakaan sering terjadi pada usia di bawah 65 tahun
dibandingkan usia di atas 65 tahun, tersering pada usia 16-30 tahun.
3. Beberapa kegiatan olah raga seperti gulat, menyelam, berselancar, roller-
skating, in-line skating, hockey, berselancar di atas salju.
4. Memiliki kelainan tulang atau sendi seperti arthritis dan osteoporosis.

E. Manifestasi Klinis

Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada  kasus di mana setelah cedera
pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas
klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada
pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap
pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk
menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang. Tanda dan gejala trauma
spinal antara lain adalah:

a) Nyeri pada area spinal atau paraspinal


b) Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki
c) Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis)
d) Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku, parestesis,
hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)
e) Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafrgma
f) Shock dengan kecepatan jantung menurun
g) Priapism
h) Kerusakan kardiovaskuler
i) Kerusakan pernapasan
j) Kesadaran menurun

Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid


paralisis di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka, hilangnya reflek-
reflek spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus vasomotor (hipotensi), Tidak ada
keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan retensi feses ( jika berlangsung
lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic

Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak


simetrisnya hilangnya reflek di bawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh di
bawah batas luka, vasomotor menurun, menurunnya bladder atau bowel,
berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh.

F. Pemeriksaan Penunjang
a) Spinal X-ray: melihat fraktur / pergeseran vertebra
b) Myelogram: Lokasi obstuksi aliran CSF, melihat lebih jelas saraf spinal
c) CT Scan: melihat lebih jelas kelainan yang ditemukan pada hasil X-ray
d) MRI: membantu melihat spinal cord dan mengidentifikasi adanya pembekuan
darah atau massa lain yang mungkin menekan spinal cord.

G. Penatalaksanaan

Cidera pada cervikal

- Immobilisasi sederhana

- Traksi skeletal

- Pembedahan untuk spinal dekompresi

Cidera pada thoracal dan lumbal

- Immobilisasi pada lokasi fraktur

- Hiperekstensi dan branching


- Bed-rest

Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema medulla spinalis

H. Prinsip-prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma Spinal :

Immobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan


sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan
leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar
leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang
(supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men
lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.

Stabilisasi Medis

Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:

Periksa vital signs

Pasang ’nasogastric tube’

Pasang kateter urin

Segera normalkan ’vital signs’.

Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan
oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan
periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone
Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat
memperbaiki konntusio medula spinalis.

3. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi.

Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan


cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan
’approach’anterior atau posterior.

Rehabilitasi.

Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini
adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian
optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis/paraplegia.

I. Komplikasi
1) Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia)
2) Komplikasi akibat imobilisasi:
3) Deep vein thrombosis
4) Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia
5) Kerusakan integritas kulit : dekubitus
6) Kontraktur
7) Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa
8) Meningkatkan resiko gagal ginjal
9) Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih
10) Hilangnya kontrol pada bladder
11) Hilangnya kontrol pada bowel
12) Kehilangan sensasi
13) Disfungsi seksual (impoten pada pria)
14) Spasme otot
15) Nyeri
16) Paralysis otot pernapasan
17) Paralysis (paraplegia, quadriplegia)
18) Shock

J. Pengkajian

Data subyektif

a) Pengetahuan pasien tentang penyakit (cedera dan akibat dari gangguan


neurologis)
b) Inforasi tentang kejadian cidera, bagaimana sampai terjadi
c) Adanya dyspnea
d) Sensasi yang tidak biasannya (parasthesia)
e) Riwayat hilangnya kesadaran
f) Tidak adanya sensasi -( gangguan sensorik

Data Obyektif

a) Tingkat Kesadaran (Sadar/tidak sadar), GCS, pupil


b) Status respirasi (Bervariasi)
c) Orientasi tempat, waktu dan orang
d) Sikap tubuh pasien, kekuatan motorik
e) TTV (TD, Temp, Nadi), Integritas kuli
f) Distensi bowel dan bladder

K. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
3) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekret yang menumpuk.
4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan
sesorik.
5) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
6) Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau
kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder
terhadap cedera medulla spinalis.
7) Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder
terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks sakrum yang
terlibat (S2-S4).
8) Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan
alat traksi
9) Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf
simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
10) Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk
menelan.
11) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis.
12) Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan
paralisis.
13) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit dan
prosedur perawatan
DAFTAR PUSTAKA

 Carpenito, Lynda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC


 Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
 Hudak, carolyn M. 1996. Keperawatan Kritis vol 2 Pendekatan Holistik. Jakarta :
EGC
 Pinzon, Rizaldy. 2007. Mielopati Servical Traumatika: Telaah Pustaka terkini.
www.kalbe.co.id/files/cdk/files.154_13_mielopatiservicaltraumatika.pdf/154_13_
mielopatiservicaltraumatika.html. diakses tanggal 6 Nopember 2009 pukul 09.45
WIB.
 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18784/1/mkn-jun2007-
40%20%287%29.pdf Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 􀁹 No. 2 􀁹 Juni
2007 Penatalaksanaan Trauma Spinal
 Hafas Hanafiah. Divisi Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi. Departemen Ilmu
Bedah. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
 Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 .
Jakarta : EGC.
 Carpenito, L. T, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Jakarta ; EGC
 Doengoes, M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGC
 Luckman, J. and Sorensens R.C. 1993. Medical Surgical Nursing a Psychophysiologic
approach, Ed : 4. Philadelphia ; WB, Souders Company.
 Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI
 Pearce Evelyn C. 1997. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT.
Gramedia.
 Derwenskus J, Zaidat O. Spinal cord injury and related disease. In: Suarez JI, editor.
Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey: Humana Pres, 2004; 433-48.

Anda mungkin juga menyukai