KEPERAWATAN REHABILITAS
Laporan Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praklinik Pada Stase Keperawatan Rehabilitas
Disusun Oleh :
JAKARTA
2019
A. Definisi
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian. Gejala-gejala dapa bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula
spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek
pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total.
B. Klasifikasi
Cedera Cervikal
a) Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi.
Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter
(baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan
sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
c) Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep,
triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya
pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat
memakai dan melepaskan baju.
d) Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan
ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri
tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan
melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah
yang ringan dan memasak.
e) Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena
kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien
berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya
mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam
berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan
perawatan diri.
Cedera Torakal
f) Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi
inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural
biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan
otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
g) Lesi T6-T12
Cedera Lumbal
h) Lesi L1-L5
a. L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang
dari bokong.
b. L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
c. L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
d. L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
e. L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area
sadel.
Cedera Sakral
i) Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari
telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi
meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga
aspek posterior paha.
Klasifikasi Frankel :
C. Etiologi
1) Kecelakaan lalu lintas/jalan raya adalah penyebab terbesar.
2) Injuri atau jatuh dari ketinggian.
3) Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena menyelam
pada air yang sangat dangkal
4) Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
5) Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress
lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.
6) Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan
mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis
akibat proses inflamasi infeksi maupun noninfeksi; osteoporosis yang
disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebrata; siringmielia; tumor
infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.
D. Faktor Resiko
1. Pria 80 % sedangkan wanita hanya 20 %.
2. Usia 16-30 tahun. Kecelakaan sering terjadi pada usia di bawah 65 tahun
dibandingkan usia di atas 65 tahun, tersering pada usia 16-30 tahun.
3. Beberapa kegiatan olah raga seperti gulat, menyelam, berselancar, roller-
skating, in-line skating, hockey, berselancar di atas salju.
4. Memiliki kelainan tulang atau sendi seperti arthritis dan osteoporosis.
E. Manifestasi Klinis
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah cedera
pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas
klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada
pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap
pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk
menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang. Tanda dan gejala trauma
spinal antara lain adalah:
F. Pemeriksaan Penunjang
a) Spinal X-ray: melihat fraktur / pergeseran vertebra
b) Myelogram: Lokasi obstuksi aliran CSF, melihat lebih jelas saraf spinal
c) CT Scan: melihat lebih jelas kelainan yang ditemukan pada hasil X-ray
d) MRI: membantu melihat spinal cord dan mengidentifikasi adanya pembekuan
darah atau massa lain yang mungkin menekan spinal cord.
G. Penatalaksanaan
- Immobilisasi sederhana
- Traksi skeletal
Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema medulla spinalis
Immobilisasi
Stabilisasi Medis
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan
oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan
periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone
Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat
memperbaiki konntusio medula spinalis.
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi.
Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini
adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian
optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis/paraplegia.
I. Komplikasi
1) Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia)
2) Komplikasi akibat imobilisasi:
3) Deep vein thrombosis
4) Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia
5) Kerusakan integritas kulit : dekubitus
6) Kontraktur
7) Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa
8) Meningkatkan resiko gagal ginjal
9) Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih
10) Hilangnya kontrol pada bladder
11) Hilangnya kontrol pada bowel
12) Kehilangan sensasi
13) Disfungsi seksual (impoten pada pria)
14) Spasme otot
15) Nyeri
16) Paralysis otot pernapasan
17) Paralysis (paraplegia, quadriplegia)
18) Shock
J. Pengkajian
Data subyektif
Data Obyektif
K. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
3) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekret yang menumpuk.
4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan
sesorik.
5) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
6) Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau
kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder
terhadap cedera medulla spinalis.
7) Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder
terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks sakrum yang
terlibat (S2-S4).
8) Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan
alat traksi
9) Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf
simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
10) Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk
menelan.
11) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis.
12) Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan
paralisis.
13) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit dan
prosedur perawatan
DAFTAR PUSTAKA