Anda di halaman 1dari 9

GAMBARAN LABORATORIUM

PADA DEMAN BERDARAH DENGUE


Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) ditegakkan melalui pemeriksaan
klinis dan laboratoris (WHO, 1997). Trombositopeni disertai hemokonsentrasi
merupakan penemuan laboratorium yang tampak jelas pada DBD. Virus Dengue adalah
virus RNA yang termasuk genus Flavivirus, famili Falviviridae. Virus ini terdiri dari 4
serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Virus Dengue ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus.
Infeksi virus dengue pada manusia menimbulkan spektrum penyakit yang sangat
beragam dari demam ringan hingga perdarahan yang berat dan fatal. Oleh karena
beragamnya gejala klinik DBD maka DBD pada fase awal sulit dibedakan dari penyakit
infeksi lain. Dengan demikian perlu sekali diagnosis DBD dilakukan sedini mungkin agar
penanganan yang tepat dapat segera diberikan untuk mencegah pasien masuk kedalam
fase syok yang angka mortalitasnya tinggi. Untuk diagnosis penyakit DBD sedini
mungkin diharapkan pemeriksaan laboratorium dapat memberi bantuan. Tetapi
pemeriksaan laboratorium pun memiliki keterbatasan sehingga diagnosis laboratorium
DBD perlu ditunjang oleh gajala klinik .
Pada makalah ini akan dibahas patogenesis, perjalanan penyakit, diagnosis
laboratorium beserta keterbatasannya.

PATOGENESIS
Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistem retikuloendotelial,
dengan target utama virus dengue adalah APC (antigen Presenting Cells) di mana pada
umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar. Viremia
timbul pada saat menjelang tampak gejala klinik hingga 5 – 7 hari setelahnya. Virus
bersirkulasi dalam darah perifer di dalam monosit/makrofag, limfosit B dan limfosit T.
Imunopatogenesis DBD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD yaitu hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody
dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila
seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses
kekebalan infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama, tetapi jika
orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka
terjadi infeksi yang berat.
Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection,
T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan sitokin yang
berkontribusi terhadap terjadinya DBD. Singkatnya secara umum ADE dijelaskan
sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka
antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang
terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru
dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Infeksi dari salah satu serotipe dengue menimbulkan imunitas seumur hidup,
namun hanya sebagaian kecil yang memiliki imunitas silang protektif terhadap infeksi
serotipe lain. Pada anak, infeksi virus dengue sering bersifat subklinis atau dapat
menyebabkan penyakit demam yang self-limited, namun apabila suatu saat penderita
terkena infeksi virus dengue berikutnya dengan serotipe yang berbeda, penyakit ini akan
lebih berat, menjadi demam berdarah dengue ataupun dengue syok sindrom (anamnestic
dengue infection). Di daerah endemis, penderita yang terdiagnosis demam dengue
seringkali terbukti infeksi sekunder.
Infeksi sekunder ditandai dengan timbulnya antibodi IgM terhadap dengue sekitar
tiga sampai lima hari setelah timbulnya demam, meningkat tajam dalam satu sampai tiga
minggu serta dapat dideteksi sampai tiga bulan. Antibodi IgG terhadap dengue diproduksi
sekitar dua minggu sesudah infeksi. Titer IgG ini meningkat amat cepat, lalu menurun
secara lambat dalam waktu yang lama dan biasanya bertahan seumur hidup. Pada infeksi
sekunder terjadi reaksi anamnestik dari pembentukan antibodi, khususnya dari kelas IgG
dimana pada hari ke dua, IgG ini sudah dapat meningkat tajam. Pada berbagai penelitian
di daerah di mana dengue primer dan sekunder terjadi keduanya, didapatkan suatu angka
signifikan yang menyatakan bahwa pada pasien dengan infeksi sekunder dengue, antibodi
IgM tidak terdeteksi dalam waktu lima hari sejak infeksi timbul, bahkan pada beberapa
kasus tidak menunjukkan suatu respon hingga hari ke 20.
Pada tubuh seseorang yang mengalami infeksi sekunder oleh tipe virus yang lain
maka akan mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit untuk memproduksi
antibodi IgG dalam jumlah tinggi. Selain itu virus dengue juga berproliferasi dalam
limfosit yang bertranformasi tadi sehingga menghasilkan virus dalam jumlah banyak. Hal
tersebut akan mengakibatkan terbentuknya antigen-antibodi kompleks (virus antibody
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan hal sebagai berikut:
1. Aktivasi sistem komplemen yang berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan
C5a yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan plasma melalui endotel ke jaringan tubuh sehingga terjadi
syok hipovolemik.
2. Terjadinya agregasi trombosit yang melepaskan ADP dan mengalami kerusakan
metamorfosis. Agregat trombosit ini akan melepaskan vasoaktif amin (histamin
dan serotonin) yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler dan juga
melepaskan PF3 (Platelet Factor 3) yang akan merangsang koagulasi
intravaskular (DIC). Agregasi trombosit ini akan segera dimusnahkan oleh sistem
retikuloendotelial dengan akibat trombositopenia.
3. Menekan proses maturasi megakaryosit di sumsum tulang yang mengakibatkan
trombositopenia dan menekan faktor-faktor pembekuan darah yang dapat
mengakibatkan pendarahan.
4. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (Faktor XII) yang dapat menyebabkan
terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas (DIC). Pada proses ini
plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product (FDP).
Aktivasi ini juga akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah.
Patogenesis utama yang membedakan demam berdarah dengue dari demam dengue
adalah adanya pengingkatan permeabilitas endotel kapiler. Keadaan ini menyebabkan
ekstravasa cairan intravaskular ke ekstravaskular sehingga volume plasma berkurang,
akibatnya terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi (ke rongga serosa :
peritoneum, pleura dan perikard) dan syok. Syok hipovolemik ini akan mengakibatkan
terjadinya anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian
PERJALANAN PENYAKIT
Perjalanan penyakit DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik utama yang sangat
spesifik, yang akan ditampilkan sesuai urutan pemunculan dan seringnya terjadi yaitu:
1. Demam tinggi yang sifatnya terus menerus selama 2 – 7 hari pada kebanyakan
kasus
2. Manifestasi perdarahan berupa tes tourniquet positif, petekhiae, epistaksis dan
perdarahan saluran cerna
3. Hepatomegali
4. Gangguan sirkulasi (syok pada kasus-kasus yang berat)
Trombositopenia dan hemokonsentrasi (peningkatan nilai hematokrit  20% dari nilai
dasar) merupakan tanda khas kelainan hemostasis dan kebocoran plasma. Kedua
perubahan ini terjadi simultan ketika demam mulai menurun sebelum terjadi syok.
Karena itu kedua hal ini penting untuk diagnosis.
Penyakit dimulai secara spesifik dengan demam tinggi yang munculnya mendadak,
diikuti oleh wajah yang kemerahan, eritema kulit, sakit kepala, anoreksia, vomitus dan
tanda-tanda lain yang menyerupai Deman Dengue. Tes tourniquet yang positif dan
adanya petekhiae pada kulit dapat terlihat pada awal fase demam. Manifestasi lain
perdarahan yang dapat terlihat selama fase demam termasuk mudah lebam pada tempat
pungsi vena, epistaksis dan perdarahan gusi yang biasanya ringan. Perdarahan saluran
cerna seperti hematemesis dan melena jarang terlihat apda fase demam. Pembesaran
hepar terlihat pada hari ke 3 – 4 sakit dan hal ini terjadi pada 90% kasus DBD pada anak
dan 60% kasus DBD pada dewasa.
Fase kritis DBD terjadi pada akhir fase demam, setelah 2 – 7 hari demam yaitu pada
saat terjadinya peralihan fase demam ke fase penurunan suhu. Pada Demam Dengue
berakhirnya fase demam berarti dimulainya fase penyembuhan sedangkan pada DBD
berakhirnya fase demam berarti mulai terjadinya kebocoran plasma. Fase kebocoran
plasma berlangsung kira-kira 24 – 48 jam. Pasien mengeluh nyeri perut dan terjadi
perubahan denyut nandi dan tekanan darah ketika suhu tubuh turun menjadi normal. Pada
kasus-kasus yang berat, mengikuti hilangnya volume plasma kedalam rongga pleura dan
rongga peritoneum (ketika suhu tubuh turun) syok mulai berlangsung dan dengan cepat
berkembang menjadi syok berat dan kematian apabila penatalaksanaan yang tepat tidak
segera diberikan. Periode syok berlangsung pendek tetapi mengancam jiwa. Tetapi pasien
yang mendapat penatalaksanaan yang tepat akan mengalami penyembuhan yang cepat.
Pada kasus syok yang berkepanjangan, akan terjadi asidosis metabolik. Perdarahan yang
berat biasanya berasal dari saluran cerna dalam bentuk hematemesis dan melena dan hal
ini merupakan prognosis yang buruk dengan angka mortalitas yang tinggi.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Untuk membuat diagnosis yang tepat, maka diagnosis klinik perlu dikonfirmasi
dengan diagnosis laboratorium yang terdiri dari 2 jenis yaitu spesifik dan non-spesifik.

Pemeriksaan laboratorium spesifik


Terdapat beberapa cara pemeriksaan laboratorium spesifik yaitu isolasi virus, tes
serologi dan deteksi RNA virus.
1. Isolasi Virus.
Isolasi virus dapat dilakukan dengan menginokulasi spesimen pada nyamuk, biakan
sel atau intrakranial pada ‘suckling mice’.
Inokulasi spesimen pada nyamuk biasanya menggunakan nyamuk genus
Toxorhynchites karena nyamuk ini kepalanya besar sehingga memudahkan inokulasi dan
sifatnya tidak mengisap darah sehingga tidak berbahaya bila terlepas. Deteksi virus
Dengue dengan biakan merupakan diagnosis yang definitif tetapi tidak praktis karena
biayanya yang mahal dan hanya sedikit laboratorium yang mampu mengerjakannya.
Inokulasi pada biakan sel biasanya menggunakan biakan sel nyamuk (misalnya
C6/36 atau AP-61) atau biakan sel vertebrate (misahlya VERO, LLC-MK2). Setelah itu
dilihat efek sitopatik yang terjadi. Setelah dilakukan inokulasi intrakranial spesimen pada
'suckling mice' , yang dicari adalah tanda-tanda ensefalitis.

2. Tes Serologi
Tes ini berdasarkan timbulnya antibodi sebagai akibat dari infeksi virus dengue.
Lima jenis tes serologi yang dapat digunakan untuk diagnosis infeksi dengue : tes
Hemaglutinasi Inhibisi (HI), fiksasi komplemen, netralisasi, IgM capture enzyme linked
immunosorbent assay (MAC Elisa) dan imunokromatografi cepat.
Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan serologi dianjurkan 3 kali yaitu pertama,
dilakukan segera setelah onset demam atau pada waktu masuk rumah sakit (SI).
Spesimen kedua diambil sebelum pasien pulang dari rumah sakit atau pada kasus yang
fatal, waktu pasien meninggal (S2). Spesimen ketiga diambil pada waktu pasien pulang
dari rumah sakit (S3) yaitu 1-2 hari setelah demam hilang. Jarak waktu yang optimal
antara serum akut (SI) dengan serum konvalesen (S2 atau S3) adalah 10 hari. Terserah
kepada tes apa akan dipakai, yang penting pada dasarnya adalah kenaikan titer antibodi
akut ke antibodi konvalesen sebesar 4 kali atau lebih.

a. Tes Hemaglutinasi Inhibisi (HI)


Tes serologi ini paling banyak digunakan dan merupakan baku emas yang
dianjurkan oleh WHO. Tes ini mengukur kemampuan antibodi virus dengue dalam
menghambat aglutinasi eritrosit angsa. Tes ini didasarkan atas sifat virus dengue yang
dapat menggumpalkan eritrosit angsa dengan membuat ikatan antara eritrosit angsa-
virus-eritrosit angsa dengan perantaraan hemaglutinin. Pembentukan ini dihambat oleh
antibodi spesifik terhadap virus. Metode ini relatif sederhana, sensitif dan
menguntungkan karena menggunakan reagens yang dapat dibuat sendiri.
Perlu diketahui bahwa antibodi HI akan berada didalam darah untuk waktu yang
sangat lama (lebih dari 50 tahun) begitu seseorang mendapat infeksi dengan virus
Dengue. Keadaan ini memungkinan dipakai tes HI untuk studi epidemiologi.
Antibodi HI biasanya akan timbul pada kadar yang dapat terdeteksi yaitu titer 10
pada hari ke-5 atau ke-6 dari jalannya penyakit, sedangkan antibodi konvalesen biasanya
akan mencapai titer 640 atau dibawahnya pada infeksi primer.
Pada infeksi sekunder atau tertier akan terjadi reaksi anamnestik yang cepat, dan
titer antibodi konvalesen akan naik tinggi pada hari hari pertama dari perjalanan penyakit
mencapai 5120 sampai 10240 atau bahkan lebih tinggi.
Adanya titer yang tinggi, 1280 atau lebih pada spesimen akut, menunjukkan adanya
dugaan infeksi baru dan dianggap sebagai diduga keras infeksi dengue baru.
Titer HI yang tinggi biasanya akan berlangsung selama 2-3 bulan pada beberapa
penderita, tetapi secara umum titer HI akan memulai menurun pad hari 30-40.
Kekurangannya adalah spesimen harus diolah terlebih dahulu yaitu diekstraksi
lebih dahulu dengan aceton atau diadsorbsi dengan kaolin untuk menghilangkan inhibitor
non spesifik Setelah itu serum diadsorbsi dengan eritrosit yang akan digunakan. Selain
itu penggunaan optimal tes ini memerlukan serum yang berpasangan dengan interval
minimal 7 hari sehingga hasil tes ini tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat.
Kekurangan lain adalah terjadi reaksi silang dengan infeksi flavivirus lain misalnya
Japanese encephalitis virus, West Nile virus, Yellowfever virus dan St Louis
encephalitis virus.
Hasil tes HI dinyatakan positif bila terdapat kenaikan titer sebanyak 4 kali antara
serum fase akut dan konvalesen, dengan catatan ke-dua serum mendapat perlakuan yang
sama dan pemeriksaan dilakukan secara bersamaan. Serum kontrol positif dan negatif
harus ikut disertakan dalam setiap tes HI untuk menjamin pemantapan mutu.

b. Tes fiksasi komplemen


Tes ini kurang sensitif sehingga jarang digunakan di laboratoriuim. Antibodi fiksasi
komplemen biasanya timbul setelah antibodi HI atau IgM, dan sifatnya lebih spesifik.
Karena itu tes ini dapat bermanfaat untuk mengkonfirmasi infeksi virus dengue. Antibodi
fiksasi komplemen biasanya lebih cepat menghilang dari peredaran darah (2-3 tahun).

c. Tes netralisasi :
Tes netralisasi merupakan tes serologi yang sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Tes
ini mendeteksi adanya antibodi yang dapat menetralkan virus dengue. Dasar dari tes ini
adalah efek sitopatik yang ditimbulkan oleh virus Dengue yang mengakibatkan
terbentuknya plaque pada biakan sel. Efek sitopatik ini dinetralisasi oleh adanya antibodi
spesifik. Karena antibodi netralisasi bisa bertahan lama (50 tahun atau lebih), maka tes
ini dapat dimanfaatkan untuk penelitian seroepidemiologi. Kekurangan tes ini antara lain
mahal, memerlukan waktu lama dan tehniknya yang sulit. Oleh karena itu tes ini tidak
digunakan secara rutin di laboratorium.

d. Tes MAC Elisa (IgM capture enzyme linked immunosorbent assay)


Tes ini mendeteksi adanya antibodi IgM dalam serum dengan cara Elisa. Keuntungan tes
ini adalah dapat mendeteksi kenaikan titer antibodi IgM dalam selang waktu 1-2 hari.
Dengan menggunakan panel antigen dari bermacam flavivirus, maka dengan tes ini dapat
dibedakan apakah antibodi IgM berasal dari virus dengue atau flavivirus lain.
Keuntungan lain dari tes ini adalah dapat mendeteksi antibodi IgM dalain cairan otak.
Karena antibodi IgM tidak dapat melewati sawar darah otak, maka bila ditemukan
antibodi IgM virus Dengue dalam cairan otak menunjukkan terjadinya replikasi virus
tersebut dalam sistem saraf pusat.
Selain dibuat tes yang mendeteksi antibodi IgM dalam serum juga dirancang tes untuk
mendeteksi antibodi IgG dalam serum (IgG capture Elisa). Sehingga pada saat
bersamaan dapat dilakukan 2 tes untuk mendeteksi antibodi IgG dan IgM dalam serum.
Interpretasi hasil tes IgM & IgG Capture Elisa :
IgM (+) dan IgG (-) : Infeksi Dengue primer
IgM (+) dan IgG (+) : Infeksi Dengue sekunder
IgM (-) dan IgG (+) : Infeksi Dengue sekunder
atau kemungkinan Dengue
IgM (-) dan IgG (-) : Bukan infeksi Dengue

e. Imunokromatografi cepat
Prinsip tes ini adalah antibodi IgM dan atau IgG bila ada dalam serum akan ditangkap
secara spesifik oleh antihuman IgM dan IgG yang terikat pada membran nitroselulosa
sebagai fase padat.
Jika antibodi IgM dan atau IgG dari penderita adalah antibodi dengue, maka mereka akan
berikatan dengan antigen dengue yang telah membentuk kompleks dengan gold-labelled
anti-dengue monoclonal antibody. Kompleks ini akan tampak sebagai warna merah/ungu
sebagai indikasi positif. Pada strip terdapat garis kontrol yang berfungsi untuk menguji
bahwa reagens bekerja dengan baik.
Interpretasi hasil tes imunokromatografi cepat sama dengan tes Mac Elisa.

3. Deteksi RNA virus.


Deteksi RNA virus Dengue dapat dilakukan dengan menggunakan Reverse transcription
- PCR amplification (RT-PCR). Pada metode ini terlebih dahulu dilakukan transkripsi
terbalik RNA sasaran menjadi DNA komplementer baru kemudian dilakukan amplifikasi.
Dengan menggunakan oligonukleotida yang spesifik dengue, RT-PCR dapat mendeteksi
RNA Dengue virus dalam jumlah yang sangat sedikit. Selain mendeteksi RNA Dengue
virus metode ini dapat juga digunakan untuk mendeteksi subtipe Dengue virus.
Kelemahan metode ini adalah mahal dan memerlukan tehnik yang rumit.
Deteksi RNA virus hanya bermanfaat bila dilakukan pada fase viremia, karena
bila fase viremia telah berakhir RT-PCR akan memberi hasil negatif.

Pemeriksaan laboratorium yang non-spesifik


Disamping pemeriksaan laboratorium yang spesifik, ada beberapa uji laboratorium yang
tidak spesifik, dalam arti tidak hanya ditemukan pada infeksi dengue saja. Hasil uji ini
tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal, tetapi merupakan pelengkap
disamping pemeriksaan lain seperti gejala klinik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium yang spesifik. Parameter yang diperiksa antara lain kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, hitung leukosit, hitung trombosit, masa protrombin, masa protrombin parsial
teraktivasi, kadar fibrinogen, komplemen, D-dimer, kadar protein serum, tes faal hati,
natrium plasma dan analisis gas darah.
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining penderita demam dengue
adalah melalui uji Rumpel Leede, pemeriksan kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru.

1. Uji Rumpel Leede (RL)


Pemeriksaan RL ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan vaskuler. Perlu
diingat bahwa bila uji ini positif tidak selalu disebabkan oleh adanya virus dengue saja,
namun juga dapat oleh penyakit virus lainnya. Sebaliknya hasil negatif tidak selalu dapat
singkirkan infeksi virus dengue, kemungkinan gangguan vaskuler belum terdeteksi
dengan uji RL.
2. Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin pada hari pertama sakit biasanya tidak menunjukkan perubahan
tetapi kemudian kadarnya akan meningkat mengikuti peningkatan hemokosentrasi.
Parameter ini merupakan kelainan hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada
DBD.

3. Nilai hematokrit
Nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ke-3 perjalanan
penyakit dan makin meningkat sesuai dengan proses perjalanan penyakit.
Peningkatan nilai hematokrit >20% merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi
akibat perembesan plasma ke ruang ekstravaskuler, disertai efusi cairan serosa melalui
kapiler yang rusak.

4. Hitung leukosit
Hitung leukosit bervariasi selama perjalanan penyakit antara
leukopenia hingga leukositosis ringan. Leukopenia biasanya muncul pada fase akut,
mulai hari ke-3 demam dan kembali normal setelah fase konvalesen. Terjadinya
leukopenia terutama akibat depresi sumsum tulang. Pada fase akut sumsum tulang
tampak hiposeluler, hampir tidak ditemukan granulopoiesis.

5. Hitung jenis leukosit


Pada DBD sering dijumpai limfositosis relatif disertai adanya limfosit atipik pada
sediaan apus darah tepi. Jumlah limfosit atipik meningkat pada kasus-kasus yang berat.
Limfosit atipik atau limfosit plasma biru merupakan sel leukosit berinti satu dengan
struktur kromatin halus dan agak padat, dengan sitoplasma yang relatif lebih banyak dan
berwama biru tua.

6. Hitung trombosit
Pada penderita DBD biasanva ditemukan penurunan jumlah trombosit kurang dari
100.000/ul darah. Penurunan jumlah trombosit mulai terjadi pada awal demam antara
hari ke 2-3 sakit, mencapai nilai terendah sekitar hari ke-5 sakit, kemudian.jumlah
trombosit akan meningkat dengan cepat pada masa konvalesen dan mencapai nilai
normal pada hari ke 7-10 sakit. Trombositopenia mempunyai hubungan yang bermakna
dengan kebocoran plasma.
Kadang-kadang pada apusan darah tepi ditemukan giant platelet sebagai petanda
terjadinya peningkatan turnover trombosit.

7. Defek sistem pembekuan darah


Defek sistem pembekuan darah pada penderita DBD dapat terlihat dengan
pemanjangan prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT) dan
thrombin time Selain itu terjadi penurunan aktivitas faktor pembekuan darah seperti
faktor V, VII, VIII , IX, X dan fibrinogen yang derajat penurunannya berkorelasi dengan
beratnya penyakit. Penurunan ini selain disebabkan oleh gangguan faal sintesis hati, juga
karena peningkatan aktivasi sistem pembekuan darah sehingga terjadi konsumsi
berlebihan dari faktor-faktor pembekuan darah. Aktivasi sistem pembekuan darah terjadi
karena dirangsang oleh kompleks virus - antibodi dan mediator yang dilepaskan oleh
fagosit yang terinfeksi virus. Aktivasi ini terjadi jalur intrinsik, mencetuskan DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation) dan juga akan mengaktivasi sistem fibrinolisis
sehingga akan dijumpai pemeriksaan D-dimer yang positip. Makin berat DIC, kadar D-
dimer makin tinggi.

8. Tes faal hati


Kadar enzim faal hati seperti SGOT, SGPT, fosfatase alkali (ALP) dan bilirubin akan
meningkat pada DBD. Kadar ini meningkat sesuai dengan beratnya penyakit. Makin
berat derajat penyakit DBD, makin tinggi kadarnya.

9. Kadar Natrium darah


Pada ensefalopati dengue, kadar Natrium darah perlu diperiksa untuk
menyingkirkan kemungkinan hiponatremia sebagai penyebab ensefalopati tersebut. Pada
umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.

10. Analisis gas darah


Pada syok yang berkepanjangan dapat terjadi asidosis metabolik. Untuk mengetahui
hal itu perlu diperiksa analisis gas darah agar dapat dikoreksi sesuai dengan keadaan.

11. Kadar ureum dan kreatinin


Pada keadaan syok berat dan lama, sering kali dijumpai acute tubular necrosis, yang
ditandai dengan penurunan jumlah produksi urin (oliguri sampai anuri) dan peningkatan
kadar ureum dan kreatinin.

12. Pemeriksaan subset limfosit


Dalam penatalaksanaannya, Demam Dengue tidak perlu dirawat sedangkan DBD
perlu dirawat inap dan diawasi dengan ketat untuk mengantisipasi terjadinya kebocoran
plasma yang dapat menjurus ke syok. Tetapi hingga saat ini belum ada pemeriksaan
laboratorium yang dapat digunakan pada fase demam untuk membedakan kasus mana
yang Demam Dengue dan kasus mana yang akan menjadi Demam Berdarah Dengue.
Fadillah dkk mencoba memeriksa subset limfosit T untuk diteliti apakah dapat dipakai
sebagai diskriminator DD dari DBD. Mereka mendapatkan bahwa kadar yang rendah
dari sel T (CD3), CD4 (T helper), CD8 (T suppressor) dan CD5 dapat membantu
membedakan DBD dari DD pada fase demam akut. Sebaliknya sel B (CD19) dan sel NK
(Natural Killer) tidak dapat membedakan DBD dari DD. Gabungan sel CD3 < 45% dan
CD5 < 55% merupakan petanda terbaik untuk menentukan pasien DBD (sensitivitas 84%
dan spesifisitas 52% untuk sel CD3 < 45%, dan sensitivitas 92% dan spesifisitas 71%
untuk sel CD5 < 55%). Sel CD4 < 25% dan sel CD8 < 30% juga dapat membedakan
DBD dari DD. Penurunan sel CD3, CD4, CD8 dan CD5 berhubungan erat dengan
trombositopenia.

KESIMPULAN
Pemeriksaan laboratorium merupakan tes yang sangat penting didalam
memberikan konfirmasi diagnosis klinis dari infeksi virus dengue, dan juga dalam
pengelolaan kasus serta pemberantasan penyakit dengue. Sayangnya, diagnosis pasti
dengan cara isolasi virus maupun deteksi RNA virus memerlukan tehnologi yang rumit
dan lama waktu pengerjaannya. Pengembangan uji serologi untuk deteksi IgM dan IgG
antidengue sebagai penentu fase akut, baik primer maupun sekunder merupakan jawaban.
Tentunya anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium lain seperti tes Rumpel
Leede, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah trombosit sangat melengkapi
diagnosis infeksi DBD.

DAFTAR PUSTAKA
Tony Loho, Diagnosis Laboratorium Demam Berdarah Dengue. Suplemen Naskah
Pendidikan Verkesinambungan Patologi Klinik 2002. Bagian Patologi Klinik FKUI.
2000. 11-29.
Suharyono Wuryadi. Diagnosis Laboratorium Infeksi Virus Dengue. Dalam Hadinegoro
SRH. Satari HI ed. Demam Berdarah Dengue, naskah lengkap. Pelatihan bagi pelatih
Dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam, dalam tatalaksana kasus DBD.
Balai Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonseia 2000. 55-62
Standard Pelayanan Medik Patologi Klinik, Deman Dengue, PDS Patklin Cabang
Surabaya. 2004.
Fadilah SAW. Sahrir S. Raymond AA. Cheong SK, Aziz JA, Sivagengsi. Quantitation of
T lymphocyte subsets helps to distinguish Dengue hemorrhagic fever from classic
Dengue fever during the acute febrile stage. Southeast Asian J Trop Med Public helath
30(4) 1999, 710-7
World Health Organization, Geneva. 1997. Dengue hemorrhagic fever, diagnosis,
treatment, prevention and congrol. Second edition.

Anda mungkin juga menyukai