Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KONSEP PATOFISIOLOGI KELAINAN

KONGENITAL ( HISPRUNG )
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah IDK II
Dosen Pembimbing : Raihany Sholihatul Mukaromah, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh :

Bioseffa Oktavia 191FK03127


Dini Oktaviani 191FK03126
Inda Wulandari 191FK03117
Nisa Rahmawati 191FK03123
Muhammad Fadhil Fadhlurrahman AK118111
Kelompok 3 Kelas Kecil I

Kelas C Tingkat I

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah IDK II yang berjudul ” akalah Konsep
Patofisiologi Kelainan Kongenital ( Hisprung )”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya dosen
pembimbing kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, 24 Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
1.1 Latar Belakang...................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
2.1 Pengertian Hisprung...........................................................................................5
2.2 Tanda dan Gejala Hisprung..............................................................................17
2.3 Faktor Resiko dan Klasifikasi Hisprung..............................................................
2.4 Pemeriksaan Penunjang untuk Hisprung.............................................................
2.5 Pengobatan dan Penatalaksanaan anak dengan Hisprung....................................
BAB III PENUTUP................................................................................................30
3.1 Kesimpulan......................................................................................................30
3.2 Saran.................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hisprung?
2. Apa tanda dan gejala hisprung?
3. Apa faktor resiko dan klasifikasi hisprung?
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang untuk hisprung?
5. Bagaimana pengobatan dan penatalaksanaan anak dengan hisprung?

1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian hisprung.
2. Dapat mengetahui tanda dan gejala hisprung.
3. Dapat mengetahui faktor resiko dan klasifikasi hisprung.
4. Dapat mengetahui pemeriksaan penunjang untuk hisprung.
5. Dapat mengetahui pengobatan dan penatalaksanaan anak dengan hisprung.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hisprung
Hirschsprung (megakolon/aganglionic congenital) adalah anomaly kongenital
yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas
sebagian usus (Wong, 1996). Hirschsprung merupakan keadaan tidak ada atau
kecilnya sel saraf ganglion parasimpatik pada pleksus meinterikus dari kolon
distalis (Sacharin, 1986). Daerah yang terkena dikenal dengan segmen
aganglionik (Catzel & Roberts, 1992).

2.2 Tanda dan Gejala Hisprung


Obstipasi atau sembelit merupakan tanda utama pada hirschsprung, dan pada
bayi baru lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut. Tiga tanda (trias) yang
sering ditemukan meliputi meconium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam),
perut kembung, dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus, kemungkinana ada
riwayat keterlambatan keluarnya meconium selama 3 hari atau bahkan lebih
mungkin menandakan terdapat obstruksi rectum dengan distensi abdomen
progresif dan muntah; sedangkan pada anak yang lebih besar kadang-kadang
ditemukan keluhan adanya diare atau enterokolitis kronik yang lebih menonjol
daripada tanda-tanda obstipasi (sembelit).

Terjadinya diare yang berganti-ganti dengan konstipasi merupakan hal yang


tidak lazim. Apabila disertai dengan komplikasi enterokolitis, anak akan
mengeluarkan feses yang besar dan mengandung darah serta sangat berbau, dan
terdapat peristaltic dan bising usus yang nyata.

Sebagian besar tanda dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan,


sednagkan yang lain ditemukan sebagai kasus konstipasi kronik dengan tingkat
keparahan yang meningkatsesuai dengan umur anak; pada anak yang lebih tua
biasanya terdapat konstipasi kronik disetai anoreksia dan kegagalan pertumbuhan.
Kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke
distal

Sel ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada dalam


kolon

Persarafan parasimpatik tidak sempurna di bagian


aganglionik

Hambatan pada ganglion intramular pleksus, berakibat


terhambatnya control kontraksi dan relaksasi

Tindakan penanganan

Tindakan konservatis (pemasangan anal tube)

Tindakan definitive (operasi pembedahan)


2.4 Pemeriksaan Penunjang untuk Hisprung
1. Pemeriksaan colok dubur
Pada penderita Hisprung, pemeriksaan colok anus sangat penting
untuk dilakukan. Saat pemeriksaan ini, jari akan merasakan jepitan karena
lumen rectum yang sempit, pada saat ditarik akan diikuti dengan keluarnya
udara dan meconium (feses) yang menyemprot.

2. Pemeriksaan lain
a. Foto polos abdomen tegak akan memperlihatkan usus-usus melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan radiologis akan memperlihatkan kelainan pada kolon setelah
enema barium. Radiografi biasa akan memperlihatkan dilatasi dari kolon di
atas segmen aganglionik.
c. Biopsy rektal dilakukan dengan anastesi umum, hal ini melibatkan
diperolehnya sampel lapisan otot rectum untuk pemeriksaan adanya ganglion
dari pleksus Aurbach (biopsy) yang lebih superfisial untuk memperoleh
mukosa dan submukosa bagi pemeriksaan pleksus meissner.
d. Manometri anorektal merupakan uji dengan suatu balon yang ditempatkan
dalam rectum dan dikembangkan. Secara normal. Dikembangkannya balon
akan menghambat sfringter ani interna. Efek inhibisi pada penyakit hisprung
tidak ada jika balon berada dalam usus aganglionik, dapat diidentifikasi
gelombang rektal yang abnormal. Uji iini egfektif dilakukan pada masa
neonates karena dapat diperoleh hasil baik positif palsu ataupun negative
palsu.

2.5 Pengobatan dan Penatalaksanaan anak dengan Hisprung


Bila diagnosis telah ditetapkan dengan pasti pada neonatus, maka terdapat
indikasi melakukan bedah laparatomi. Selanjutnya mulai dikenal teknik operasi
yang rasional untuk penyakit ini. Tindakan definitive bertujuan menghilangkan
hambatan pada segmen usus yang menyempit. Tindakan konservatif adalah
tindakan darurat untuk menghilangkan tanda-tanda obstruksi rendah dengan jalan
memasang anal tube dengan atau tanpa disertai pembilasan air garam hangat
secara teratur. Air tidak boleh digunakan karena bahaya absorpsi air mengarah
pada intoksikasi air, hal ini disebabkan karena difusi cepat dari usus yang
mengalami dilatasi air mengarah pada intoksikasi air, hal ini disebabkan karena
difusi cepat dari usus yang mengalami dilatasi air ke dalam sirkulasi (Sacharin,
1986). Penatalaksanaan dari gejala obstipasi dan mencegah enterokolitis dapat
dilakukan dengan bilas kolon menggunakan garam faal, cara ini efektif dilakukan
pada hisprung tipe segmen pendek untuk tujuan yang sama juga dapat dilakukan
dengan tindakan kolostomi di daerah ganglioner. Kolostomi adalah pembuatan
lubang pada dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar. Jika
terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan antibiotic.
Membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus
dapat dikerjakan dengan satu atau dua tahap, teknik ini disebut operasi definitive
yang dapat dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup (lebih dari 9 kg atau ±
2o pons), bayi berusia 6-12 bulan. Tindakan konservatif ini sebenarnya akan
mengaburkan gambaran pemeriksaan barium enema yang dibuat kemudian.
Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat untuk menghilangkan
gejala obstruksi usus, sambil menunggu dan memperbaiki keadaan umum
penderita sebelum operasi definitive. Berikan dukungan kepada orang tua, karena
kolostomi sementara sukar diterima. Orang tua harus belajar bagaimana merawat
anak dengan kolostomi, observasi apa yang harus dilakukan, bagaimana
membersihkan stoma, dan bagaimana menggunakan kantong kolostomi.
Intervensi bedah terdiri atas pengangkatan segmen usus aganglionik yang
mengalami obstruksi. Pembedahan rektosimoidektomi dilakukan dengan teknik
pull-through dan dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua dan
tahap ketiga; rektosigmoidoskopi disahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi
ditutup dalam prosedur tahap kedua pull-through (Swenson, Renbein, dan
Duhamel) yaitu jenis pembedahan dengan mereseksi segmen yang menyempit
dan menarik usus sehat ke arah anus.
Operasi Swenson dilakukan dengan teknik anastomosis intususepsi di
ujung ke ujung usus aganglionik dan ganglionic melalui anus dan reseksi serta
anastomosis sepanjang garis bertitik-titik. Secara lebih spesifik prosedur Duhamel
dilakukan dengan cara menaikkan kolon normal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang usus aganglionik, membuat dinding ganda
yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang telah ditarik.
Sedangkan operasi Soave dilakukan dengan cara mukosa diangkat, bagian
muscular usus yang aganglionik ditinggalkan dan usus ganglionic didorong
sampai menggantung dari anus. Cara Duhamel dan Soave bagian distal rectum
tidak dikeluarkan sebab merupakan fase operasi yang sukar dikerjakan,
anastomosis koloanal dibuat secara tarik terobos (pull-through). Dilakukan
pembedahan pull through menggunakan prosedur Swenson, Duhamel, Soave atau
Boley. Tindakan ini pada pokoknya berupa eksisi segmen aganglionik dan
menarik usus yang mengandung sel-sel ganglion ke bawah melewati rectum,
kemudian menghubungkannya ke kanalis anus berjarak ±2,5 cm dari garis
pektinatus. Terapi medikamentosa bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan
cairan dan elektrolit terutama bila terjadi enterokolitis.
Persiapan prabedah rutin antara lain lavase kolon, antibiotic, infus intravena,
dna pemasangan tuba nasogastric; sedangkan penatalaksanaan perawatan
pascabedah terdiri atas perawatan luka, perawatan kolostomi, observasi terhadap
distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis, ileus paralitik, dan peningkatan
suhu.
Selain melakukan persiapan serta penatalaksanaan pasca bedah, perawat juga
perlu memberikan dukungan pada orang tua, karena orang tua harus belajar
bagaimana merawat anak dengan kolostomi, observasi apa yang harus dilakukan,
bagaimana membersihkan stoma, dan bagaimana menggunakan kantong
kolostomi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hisprung disebut juga dengan mengakolon kongenitum, merupakan kelainan
yang sering ditemukan sebagai salah satu penyebab obstruksi usus pada neonatus.
Pada kasus hisprung, tidak ditemukan pleksus mienterik atau pleksus di lapisan
otot dinding usus (plexus myentericus = Auerbach), akibatnya usus yang terkena
tidak dapat mengembang. Obstipasi (sembelit) merupakan tanda utama dan pada
bayi baru lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut. Tiga tanda (trias) yang
sering ditemukan meliputi meconium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam),
perut kembung dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus keungkinan ada
riwayat keterlambatan keluarnya meconium selama 3 hari atau bahkan lebih.

3.2 Saran
Selaku mahasiswa yang berada di lingkup kesehatan, alangkah baiknya kita
banyak membaca dan mempelajari mengenai penyakit. Dan demi kesempurnaan
makalah ini, kami sangat mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat
membangun kearah kebaikan demi kelancaran dan kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan Anak Gangguan Sistem Gastrointestinal dan
Hepatobiler. Jakarta: Salemba Medika.

Suraatmaja, Sudaryat. 2007. Gastroenterologi Anak. Jakarta: Kapita Selekta.

Irianto, Koes. 2015. Memahami Berbagai Penyakit Penyebab, Gejala, Penularan,


Pengobatan, Pemulihan, dan Pencegahan. Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai