Anda di halaman 1dari 19

2.

1 Definisi

Polisitemia berasal dari bahasa Yunani dimana poly berarti banyak, cyt berarti sel
dan hemia berarti darah sedangkan vera berarti benar. Polisitemia vera adalah kelainan
pada sistem mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk
(hemopoetic stem cells) dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors yang
berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel.
Peningkatan sel darah merah pada polisitemia vera lebih mengarah pada jumlah sel,
bukan pada peningkatan masa kehidupan dari sel.

Polisitemia rubra vera atau polisitemia vera dikenal juga dengan istilah polisitemia
primer, Vaquez disease, Osler disease, Osler-Vaquez disease, dan eritremia.

Meningkatnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi darah, menaikkan viskositas
darah total, suatu peristiwa yang menyebabkan melambatnya aliran darah dan
merupakan penyebab dari banyak manifestasi patofisiologi penyakit ini. Meningkatnya
viskositas darah mengakibatkan peningkatan volume darah dan selanjutnya diikuti
dengan meningkatnya beban kerja jantung, vasodilatasi serta meningkatnya suplai
oksigen ke jaringan.

Penyakit ini melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang yang


awalnya diam-diam tetapi progresif. Polisitemia vera tidak membutuhkan eritripoetin
untuk proses pematangannya, hal ini jelas membedakannya dari eritrositosis atau
polisitemia sekunder dimana eritropoetin tersebut meningkat secara fisiologis sebagai
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat atau secara non fisiologis sebagai
sindrom paraneoplastik yang dijumpai daripada manifestasi neoplasma lain yang
mensekresi eritropoetin.1 Kadar eritropoetin pada polisitemia vera biasanya rendah atau
tidak ada dan produksi normalnya ditekan oleh naiknya hematokrit dan saturasi oksigen
pada hakekatnya normal.

Polisitemia vera berkaitan dengan massa eritrosit, basofil dan trombosit yang
bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju kearah fibrosis sumsum tulang.
Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik
jaringan ikat.
2.2 Epidemiologi

Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berusia 40-60 tahun, rasio perbandingan
antara pria dan perempuan antara 2:1 dan dilaporkan insiden polisitemia vera adalah 2,3
per 100.000 populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia vera ditegaskan
bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,5-3 tahun
sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.

2.3 Etiologi

Terdapat penelitian yang menyebutkan kelainan molekul mungkin bisa menjadi


salah satu penyebab. Salah satu penelitian sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe
abnormal di sel induk hemopoisis pada pasien dengan polisitemia vera dimana
tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 20% pada pasien polisitemia vera saat
terdiagnosis sedang meningkat 80% setelah diikuti lebih dari 10 tahun. Beberapa
kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia sindrom, yaitu deletion 20q
(8,4%), deletion 13q (3%), trisomi 8 (7%), trisomi 9 (7%), trisomi 1q (4%), deletion 5q
atau monosomi 5 (3%), deletion 7q atau monosomi 7 (1%).

2.4 Patogenesis

Adanya reaktivitas berlebihan pada sinyal Janus Kinase yaitu tirosin kinase yang
berperan dalam proses hematopoetik menyebabkan proliferasi berlebih pada sel-sel
hematopoetik dan juga menstimulasi proses inflamasi pembuluh darah.

Gambar 1. Aktivasi berlebihan pada rantai Janus Kinase


Proliferasi berlebih pada sel-sel hematopoetik akan menimbulkan abnormalitas pada
penilaian klinis pasien seperti abnormalitas hitung darah lengkap dan inflamasi akan
memicu timbulnya gejala klinis pada pasien.

Saat ligan terikat ke reseptor sitokin akan memicu dimerisasi. Jaks yang terikat pada
reseptornya melalui domain SH2, mengalami transposforilasi dan setelah itu
memposforilasi STAT / Signal Transducer and Activator of Transcription. STAT yang
teraktivasi akan berdimerisasi dan bertranslokasi ke nukleus, dengan cara mengaktivasi
promotor gen. STAT juga bisa diaktivasi secara langsung oleh Src kinase. Pada gambar
dibawah, Jaks memposforilasi reseptor dan menciptakan binding site untuk STAT. Saat
itu juga, reseptor sitokin juga mengaktivasi jalur sinyal tambahan yang melibatkan
protein seperti Akt dan ERK.

Gambar 2. Sinyal yang diperantarai oleh Jaks

Klasifikasi pada pasien dengan eritrositosis adalah sebagai berikut :

1. Eritrositosis relative atau polisitemia (pseudoeritrositosis)

 Hemokonsentrasi

 Polisitemia spurious (Sindrom Gaisbok)

2. Polisitemia (eritrositosis absolut)

 Polisitemia primer

- Polisitemia vera
- Polisitemia familial primer

 Polisitemia sekunder

- Sekunder oleh karena penurunan oksigenisasi pada jaringan


(Phisiologically appropriate polycythemia atau hypoxia erytrhocytosis)

- High-altitude erythrocytosis (Monge disease)

- Penyakit paru (contoh : cor pulmonal kronik, sindrom Ayerza)

- Cyanotic congenital heart disease

- Sindrom hipoventilasi

- Hemoglobin abnormal

- Polisitemia familial

- Sekunder oleh karena penyimpangan respon atau produksi eritropoetin


(physiologically inappropriate polycythemia)

- Polisitemia idiopatik

2.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala pada polisitemia vera terbagi dalam 3 fase, yaitu :

1. Gejala awal (early symptom)

Gejala awal dari polisitemia vera minimal dan tidak selalu ditemukan kelainan
walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal yang terjadi
biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging (43%), mudah lelah(47%),
gangguan daya ingat , susah bernapas (26%), darah tinggi (72%), gangguan
penglihatan (3l%), rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus) (43%),
juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung (stomach ulcers) (24%) atau sakit
tulang (26%).

2. Gejala akhir (later symptomps) dan Komplikasi

Sebagai penyakit progresif, pasien dengan polisitemia vera mengalami


perdarahan (hemorrhage) atau trombosis. Trombosis adalah penyebab kematian
terbanyak dari polisitemia vera. Komplikasi Iain peningkatan asam urat dalam
darah sekitar 10% berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus
pepticum (10%).

3. Fase splenomegali

Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada tase ini
terjadi kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan
transfusi meningkat, liver dan limpa membesar.

Beberapa hal yang berhubungan dengan manifestasi klinis, yaitu :

1. Hiperviskositas

Peningkatan jumlah total ertirosit akan meningkatkan viskositas darah yang


kemudian akan menyebabkan :

 Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan
menimbulkan eritrostasis sebagai akibat dari penggumpalan eritrosit, dan

 Penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan


terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena
terganggunya oksigenasi target organ (iskemia/infark) seperti di otak,
penglihatan, pendengaran, jantung, paru, ekstremitas.

2. Penurunan kecepatan aliran (shear rate)

Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis


primer yaitu agregasi trombosit pada endotel hal tersebut akan mengakibatkan
timbulnya perdarahan, walaupun jumlah trombosit > 450 ribu/ml. Perdarahan
terjadi pada 10- 30% kasus polisitemia vera manifestasinya dapat berupa
epistaksis, ekimosis, dan perdarahan gastrointestinal.

3. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).

Trombositosis dapat menimbulkan trombosis, pada polisitemia vera tidak


ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau
tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 30-50% kasus polisitemia vera.
4. Basofilia (hitung basofil >65/mL).

Lima puluh persen kasus polisitemia vera datang dengan gatal (pruritus) di
seluruh tubuh terutama setelah mandi airpanas, dan beberapa kasus polisitemia
vera datang dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh
meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat dari basofilia.
Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar
histamin.

5. Splenomegali.

Splenomegali tercatat pada sekitar 70% pasien polisitemia vera.


Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis
ekstra medular.

6. Hepatomegali.

Hepatomegali dijumpai pada kira-kira sejumlah 40% polisitemia vera.


Sebagaimana halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat
sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular.

7. Laju siklus sel yang tinggi.

Sebagai konsekuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali


adalah sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian maka
produksi asam urat darah akan meningkat, disisi lain laju filtrasi gromerular
menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10%
kasus polisitemia vera.

8. Defisiensi vitamin B12, dan asam folat.

Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat
dan vitamin B12, hal ini dijumpai pada 30% kasus polisitemia vera karena
penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas
protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B12 (UB12 - Protein binding capacity)
dijumpai meningkat pada >75% kasus. Seperti defisiensi kedua vitamin ini
memegang peran dalam timbulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi
N.Optikus, serta psikosis.
2.6 Diagnosis

1) Manifestasi Klinis

2) Pemeriksaan Laboratorium

a. Eritrosit

Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera pada saat perjalanan


penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah didemonstrasikan. Hitung sel
jumlah eritrosit dijumpai >6 juta/ml pada pria dan >5,5 juta/ml pada
perempuan, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecuali
jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan
adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit.

b. Granulosit

Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus PV, berkisar antara
12-25 ribu/ml tetapi dapat sampai 60 ribu/mL. Pada dua perliga kasus ini juga
terdapat basofilia.

c. Trombosit

Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL, bahkan dapat


>1 juta/ml. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.

d. B12 Serum

B12 serum dapat meningkat hal ini dijumpai pada 35% kasus dan dapat pula
menurun hal ini dijumpai pada 30% kasus, dan kadar UB 12BC meningkatpada
>15% kasus polisitemia vera.

e. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali ada kecurigaan


terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam
hitungjenis leukosit. Sitologi sumsum tulang menunjukkan peningkatan
selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,
megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi sumsum tulang
adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit
fibrosis merupakan petanda patognomonik polisitemia vera.

f. Pemeriksaan Sitogenetika

Pada pasien polisitemia vera yang belum mendapat pengobatan P 53 atau


kemoterapi sitostatika dapat dijumpai karyotip (lihat etiologi). Variasi
abnormalitas sitogenetika dapat dijumpai selain tersebut di atas terutama jika
telah mendapatkan pengobatan P53, atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.

Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif, polisitemia vera dapat


memberikan kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan
berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder). Karena
kompleksnya penyakit ini, International Polycythemia Study Group
menetapkan 2 kriteria pedoman dalam menegakkan diagnosis polisitemia vera
dari 2 kategori diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika
memenuhi kriteria: a). Dari kategori: A1,+A2+A3, atau, b). Dari kategori:
A1+A2+ 2 kategori B.

1. Kategori A

 Meningkatnya massa sel darah merah, hal ini diukur dengan


krom- radioaktif Cr5r. Pada pria > 36 ml/kg, dan pada
perempuan > 32 ml/kg.

 Saturasi oksigen arterial > 92%. Eitrositosis yang terjadi


sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga disertai
massa sel darah merah yang meningkat. Salah satu pembeda
yang digunakan adalah diperiksanya saturasi oksigen arterial,
di mana pada polisitemia vera tidak didapatkan penurunan.
Kesulitan ditemui apabila pasien tersebut berada dalam
keadaan:

- Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi pO2 akan


bergeser ke kiri, dan
- Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen meningkat
sehingga kurva pO, juga akan bergeser kekiri.

 Spenomegali.

2. Kategori B

 Trombositosis: trornbosit > 400,000/mL,

 Leukositosis: leukosit > 12.000/mL (tidak ada infeksi).

 Neutrophil alkaline phosphatase (NAP) score meningkat lebih


dari 100 (tanpa adanya panas atau infeksi).

 Kadar vitamin B12 >900 pg/ml dan atau UB12BC dalam serum>
2200 pg/ml.

Dalam beberapa literatur disebutkan usulan modifikasi kriteria diagnostik PV


sebagai berikut:

1. Kategori A

 Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas rata-rata


angka normal atau Packed Cell Volume pada laki-laki >0,6
atau pada perempuan 0,56

 Tidak ada penyebab polisitemia sekunder

 Splenomegali yang teraba

 Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)

2. Kategori B

 Trombositosis >400000 per mm3

 Jumlah neutropil >10 x 10 9/ L dan bagi perokok >12,5 x 109/L


 Spleenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau
ultrasonografi

 Penurunan serum ertropoietin atau BFU-E growth yang


karakteristik Diagnosis polisitemia vera adalah :

Kategori : Al + A2 dan A3 atau A4 atau Kategori :A1 +A2 dan 2 kriteria


kategori B.

2.7 Diagnosis banding

Mutasi Jak2 tidak hanya terjadi pada penyakit polisitemia vera, namun juga terjadi
pada keganasan mieloproliferatif lain seperti Esensial Trombositemia (ET)6 dan
Mielofibrosis (MF). Sehingga ketiga penyakit ini mempunyai keterkaitan yang unik.
Mutasi Jak2 positif pada penderita polisitemia vera sekitar 95%-100% sementara pada
keganasan lain ET dan MF ± 50-60%. Meskipun erirositosis bisa membedakan PV dari
ET dan MF, namun tidak semua pasien dengan gejala eritrositosis dengan mutasi Jak2
akan berkembang menjadi PV.

Untuk membedakan polisitemia vera dan penyakit mieloproliferatif lain bisa dinilai
dari proporsi manifestasi klinis dan komplikasi yang ditimbulkan, seperti terlihat pada
gambar berikut.

Gambar 6. Proporsi manifestasi klinis dan komplikasi pada keganasan

mieloproliferatif positif Jak2


2.8 Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan pada polisitemia vera adalah :

1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus


(individual) dan mengontrol eritropoesis dengan flebotomi.

2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum


terkontrol.

3. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment).

4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada


pasien usia muda.

5. Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor radioaktif atau


kemoterapi sitostatika pada pasien diatas 40 tahun bila didapatkan:

- Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, terutama jika disertai gejala


trombosis.

- Leukositosis progresif.

- Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik.

- Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Jenis pengobatan polisitemia vera adalah sebagai berikut :

1. Flebotomi.

Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang pasien


polisitemia selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan.
Indikasi flebotomi adalah

- Polisitemia sekunder fisiologis hanyaa dilakukan jika Ht >55% (target Ht


≤55%).

- Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala


yang ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan,shear rate, atau sebagai
penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik.

Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah mempertahankan hematokrit


≤42% pada perempuan, dan ≤47% pada pria untuk mencegah timbulnya
hiperviskositas dan penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada
semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam
usia subur.

Prosedur flebotomi :

- Pada permulaan, 250-500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood donor


collection set standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan usia >55 tahun atau
dengan penyakit vaskular aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh
dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang
dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma (coloid/plasma expander) setiap
kali, untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena
hipovolemik

- Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 cc darah (normal total body
iron ± 5 g) Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan flebotomi
berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis, keilosis, disfagia, dan astenia
dapat cepat hilang dengan pemberian preparat besi.
2. Fosfor radioaktif (P32)

Pengobatan dengan fosfor radioaktif ini sangat efektif, mudah, dan relatif
murah untuk pasien yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio- ekonomi
yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur. P32 pertama kali
diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan
per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu
pemberian P32 pertama: 1) Mendapatkan hasil, re-evaluasi setelah 10- 12
minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan; 2)
Tidak mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis
pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama. Dengan
cara ini panmielosis dapat dikontrol pada sekitar 80% pasien untuk jangka
waktu sekitar l-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi.
Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa
sekitar 2-3 bulan sekali setelah keadaan stabil. Trombositosis dan
trombositemia yang mengancam (hiperagregasi) atau terbukti menimbulkan
thrombosis masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis dapat
terkontrol.

3. Kemoterapi sitostatika

Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih


dianjurkan menggunakan Hidroksiures salah satu sitostatika golongan obat anti
metabolik, sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak
ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, dan
mielosupresi yang serius. Walaupun demikian FDA masih membenarkan
Chlorambucil dan Busulfon digunakan pada polisitemia vera

Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika:

- hanya untuk Polisitemia rubra primer,

- flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali sebulan.


- trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis,

- urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin,

- splenomegali simptomatik/mengancam rupture limpa.

Cara pemberian kemoterapi sitostatika:

- Hidroksiurea (Hydrea 500mg/tablet) dengan dosis 800-1200


mg/m2/hari atau diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15
mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan
pemberian intermitten untuk pemeliharaan.

- Chlorambucil (@Leukeran 5mg/tablet) dengan dosis induksi 0,1-0,2


mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan dosis pemeliharaan 0,4
mg/kgBB tiap 2-4 minggu.

- Busulfan (@Myleran 2 mg/tablet) 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8


mg/m2/hari, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan
pemberian intermitten untuk pemeliharaan.

Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar dua
sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan klinisi rnenghentikan pemberian obat
jika hematokrit:

- Pada pria ≤47% dan memberikannya lagi jika >52%,

- Pada perempuan ≤ 42% dan memberikannya lagi jika >49%.

Kemoterapi biologi (sitokin)

Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama


adalah untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosit >800.000/mm3),
produk biologi yang digunakan adalah Interferon a. Interferon a digunakan
terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat dikontrol, dosis yang
dianjurkan 2 juta iu/m2/s.c. atau i.m. 3 kali seminggu. Kebanyakan klinisi
mengkombinasikannya dengan sitostatika Siklofosfamid (Cytoxan 25mg &
50mg/tablet) dengan dosis l00mg/m2/hari, selama l0-14 hari atau sampai target
telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3) kemudian dapat dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 100 mg/m2 2 kali seminggu.

4. Pengobatan Suportif

- Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/hari oral pada


pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.

- Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin, jika diperlukan dapat


diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA)

- Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.

- Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan


juga dapat menekan trombopoesis.

5. Pembedahan Darurat

Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau dihindarkan. Dalam


keadaan darurat dapat dilakukan flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik
dengan mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4% atau cairan
plasma ekspander lainnya bukan cairan isotonis atau garam fisiologis, suatu
prosedur yang dapat digolongkan sebagai tindakan penyelamatan hidup (life-
saving). Tindakan splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua
fase polisitemia, dan harus dihindarkan karena dalam perjalanan penyakitnya
jika terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan sebagai
pengganti hemopoesrsnya.

6. Pembedahan Berencana

Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkontrol dengan


baik. Lebih dari 75% pasien dengan polisitemia vera tidak terkontrol atau
belum diobati akan mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada
pembedahan, kira-kira sepertiga dari jumiah pasien tersebut akan meninggal.
Angka komplikasi akan menurun jauh jika eritrositosis sudah di kontrol dengan
adekuat sebelum pembedahan. Makin lama telah terkontrol, makin kecil
kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di dapat
dari flebotomi dapat disimpan untuk transfuse autologus pada saat
pembedahan.

7. Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif

Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan dengan:

- Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki elastik (elastic


stocking) alat pulsatting boots.

- Heparin dosis rendah jika tidak ada indikasi kontra dapat diberikan.
Untuk dewasa, heparin i.v drip dengan dosis 10-20 iu/kgBB/jam dengan target
APTT 40 " -60 " sampai pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian
50-100 iu/kgBB/subkutan dapat diberikan setiap 8-12 jam sampai pasien
kembali ke aktivitas normal.

2.9 Komplikasi dan Faktor Risiko

Komplikasi yang sering disebabkan oleh penyakit PV antara lain :

1) Trombosis

2) Perdarahan

3) Transformasi menjadi leukemia

Trombosis merupakan komplikasi paling sering (34-39%). Pada trombosis, mutasi


Jak2 menyebabkan aktivasi dan interaksi leukosit dan trombosit yang menyebabkan
inflamasi sehingga menyebabkan disfungsi endotel pembuluh darah. Sedangkan
Eritrositosis menyebabkan hiperviskositas darah yang memicu trombosis. 8
Gambar 5. Mekanisme trombosis melalui proses aktivasi dan inflamasi Stratifikasi

faktor risiko dari penyakit ini bertujuan untuk memperkirakan akan terjadinya
komplikasi thrombosis.

Penilaian risiko terdiri dari dua kategori yaitu risiko rendah tanpa trombositosis
( usia <60 tahun tanpa riwayat thrombosis, risiko rendah dengan trombosit yang tinggi
(>1.000 x 109/L). Risiko tinggi yaitu usia >60 tahun dengan riwayat thrombosis. Risiko
tinggi dengan PV yang refrakter atau intoleran terhadap hydroxyurea.

2.10 Prognosis

Polisitemia adalah penyakit kronis dengan survival median pasien sesudah


terdiagnosa tanpa diobati 1,5-3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10
tahun. Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah:

- Trombosis dilaporkan pada 15-60% pasien, tergantung pada pengendalian


penyakit tersebut dan 10-40% penyebab utama kematian.

- Komplikasi perdarahan timbul 15-35% pada pasien polisitemia vera dan 6-


30% menyebabkan kematian

- Terdapat 3-10% pasien polisitemia vera berkembang menjadi mielofibrosis


dan pansitopenia

Polisitemia vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom


mielodisplasia pada 1,5% pasien dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan
risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan pengobatan klorambusil dan 10,2%
dalam 6-10 tahun pada pasien dengan pengobatan 32P. Terdapat juga 5,9% dalam l5
tahun risiko terjadinya transformasi pada pasien dengan pengobatan hydroxyurea.

DAFTAR PUSTAKA
1. Prenggono D. Polisitemia Vera Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV.
Penerbit IPD FKUI. 2006: 702-705.

2. Supandiman I, Sumahtri R. Polisitemia Vera. Pedoman Diagnosis dan terapi


Hematologi Onkologi Medik. 2003: 83-90.

3. Tefferi A, Rumi E, Finazzi G, et al.Survival and prognosis among 1545 patients


with contemporary polycythemia vera: an international study. Leukemia
2013;27(9):1874-1881.

4. Moulard O, Mehta J.Epidemiology of myelofibrosis, essential thrombocythemia,


and polycythemia vera in the European Union.European journal of haematology
2014;92(4):289-297.

5. Tefferi A. Polycithemia Vera : A Comprehensive Review and Clinical


recommendation. Mayo Clinic Proc. 2003; 78: 174-194.
6. Landgren O, G.L. Kristinsson SY, Helgadottir EA, Samuelsson J, et al. Increased
risks of polycythemia vera, essential thrombocythemia,and myelofibrosis among
24,577 first-degree relatives of 11,039 patients withmyeloproliferative neoplasms
in Sweden. Blood2008;6.

Anda mungkin juga menyukai