Anda di halaman 1dari 22

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

“ KORUPSI ERA ORDE LAMA SAMPAI SEKARANG”

OLEH
KELOMPOK 6

EKA SEPRIYANI (P07120317007)


FITRI ROHMAYANI (P07120317008)
SILVIA RISMAWATI (P07120317030)
SITI MARYAM ALJANNATIN (P07120317031)
YUSRIL DWISTY HIJJABI (P07120317036)

( TINGKAT III SEMESTER V )


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN MATARAM
2018/2019

Kelompok 6 0
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur hanya milik Allah SWT, karena berkat rahmat, karunia serta
hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KORUPSI ERA
ORDE LAMA SAMPAI SEKARANG”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah BUDAYA
ANTI KORUPSI . Makalah ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dari beberapa
pihak yang ikhlas bersedia meluangkan waktunya untuk membantu kami. Maka pada
kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Bapak H. Jubair,SKM,M.Kes

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini

Semoga Makalah ini dapat berguna bagi banyak orang, pihak-pihak yang telah
membantu dan kepada siapa saja yang ingin memanfaatkannya sebagai referensi
keilmuanya. Amiin.

Mataram , 27 Agustus 2019

Penulis

Kelompok 6 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG......................................................................................3

B. TUJUAN..........................................................................................................4

C. MANFAAT ……………………………………………………………….....4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. BENTUK KORUPSI PADA ERA ORDE LAMA SAMPAI SEKARANG...6

B. UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN DALAM MEMBERANTAS


KORUPI….............................................................................................14

BAB III ANALISA …………………………………………………………..….18

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN...........................................................................................20

B. SARAN.......................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................21

Kelompok 6 2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari
menuju modernisasi.Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam
setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata.Seiring dengan itu pula bentuk-
bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan
bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan
beranekaragam.Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan
senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi
selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-
tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya
seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang
(money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia
ini.Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama,
tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir.Di
Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum
merdeka.Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada
dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa
setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak
korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang
baru memperoleh kemerdekaan.Masalah korupsi ini sangat berbahaya
karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung
memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa.Reimon
Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang
gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa.

Kelompok 6 3
Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak
secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan
akut.Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke
permukaan.Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit
kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke
lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif
hingga ke BUMN.Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi
hampir kita temui dimana-mana.Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat
tinggi.Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada.

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu korupsi
2. Bagaimana bentuk korupsi dari era orde lama sampai sekarang
3. Upaya apa saja yang sudah di lakukan untuk mengatasi atau
memberantas korupsi tersebut

C. MANFAAT
Mahasiswa menjadi mengerti apa itu korupsi, mengetahui bagaimana
bentuk korupsi dari era orde lama sampai sekarang dan mengetahui upaya
apa saja yang sudah di lakukan untuk mengatasi atau memberatas korupsi
tersebut

Kelompok 6 4
BAB II

PEMBAHASAN

Korupsi berasal dari bahasa latin, corruption. Kata ini sendiri memiliki kata
kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau
menyogok.

Sesuai pasal 30 di dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 juncto


undang-undang nomr 20 tahun 2001 Menurut TI korupsi adalah perilaku pejabat
public, politikus, atau pegawai negeri yang secara tidak wajar dan legal memperkaya
mereka yang dekat dengan kekuasaan, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan
public yang dipercayakan kepada mereka

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi


bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan.
Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu
menempati posisi paling rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan
korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang.

Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi


di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum
menunjukkan titik terang melihat peringkat dalam perbandingan korupsi antar negara
yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di
Indonesia. Sebenarnya pihak yang berwenang, seperti KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) telah berusaha melakukan kerja maksimal. Tetapi antara kerja yang harus
digarap jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga dan waktu yang dimiliki
KPK.

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah


kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih
jauh panggang dari api.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada


sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang
dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren
dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih

Kelompok 6 5
tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan
dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah
mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik
dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu
sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat
mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan
banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

A. Bentuk Korupsi Pada Era Orde Lama Sampai Sekarang

1. Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-


tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi
berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari
(sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya),
Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak
(Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut
tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap
Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan
kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di
Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi


mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah
lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan
keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan
“Wajah Sejarah Indonesia”.

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit


dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para
bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya
pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit
diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg)
sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan
semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya
oleh Belanda.

Kelompok 6 6
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram
menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan
Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan
Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal


karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan
Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah ada yang meneliti bahwa
penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah
Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena
perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan
keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang
memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi
demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong
miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih
parah mudah diadu domba.

Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur


pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka
dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga
Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya
tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan
yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi
dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh
kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris
“belum mengenal” atau belum memahaminya.

Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara


saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar
“mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita
pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi.
Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia
kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan
bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan
Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

Kelompok 6 7
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles
(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-
1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa”
baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa
Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi
situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau,
iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi
penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter


penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah
terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk
lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan
persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan
di kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar


menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya
abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya.
Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku
oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung,
dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan
saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai
tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu
budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter.
Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi
sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan”
miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau
kehendak “penguasa”.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut


menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem
juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat
yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang
akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan
setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit)
harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada


yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak

Kelompok 6 8
juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil
pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti
di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan
beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau
menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa”
rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap
jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh


Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942)
minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak
terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 –
1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan
lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja
misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel
(CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan
utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat
agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat
memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat


“manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau
praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS),
yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar
pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS
menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi
“Tanam Paksa”.

Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di


antaranya adalah sebagai berikut:

a. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan


tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau,
Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti
sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol,
sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang
dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk
Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami

Kelompok 6 9
dengan tanaman kesukaan Belanda.
b. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun
dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar
(meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
c. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di
perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5
bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10
tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap
karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman
cambuk (poenali sanksi).
d. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor,
gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah.
Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu
yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
e. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi
kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk.
Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para
pengumpul.
f. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun
pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item”
yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan
tidak mengenal kornpromi.

2. Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan?


Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal
sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya
kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama
maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat


masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas
korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya,
namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali


dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi –
namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya.
Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk
berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris

Kelompok 6 10
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan
Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar
kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata
kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para
pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat


berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-
daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan
kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya


pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu
menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu
meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.


Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi
Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari
pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden
untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain
menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan


negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang
cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu
prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut
Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus
ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan


pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya
menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana
Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan

Kelompok 6 11
Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi
pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

3. Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16


Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang
tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi
dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto
bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai
wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas


korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan
unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara
seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot
masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya
gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya
ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof
Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka
yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini
hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,


dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di
masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution.
Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi,
harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana
Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Kelompok 6 12
4. Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak
dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus
Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi
sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru
yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA
serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde
Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28


Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti
KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya,
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki


Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah
semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim,
melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian


masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat
mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan
pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-
tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan
kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-
menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan


konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik.

Kelompok 6 13
Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di
masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata


wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas
kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa
mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian
SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The
Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan
MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya
macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih
memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah
semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus
korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk
memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi
bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih
baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan
rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah
minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab
mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena
hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia
penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.

C. Upaya yang telah dilakukan dalam memberantas korupsi


a. Pemberantasan korupsi pada orde lama
1) PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara)

• Diketuai A.H. Nasution, dengan 2 anggota : Prof M Yamin


dan Roeslan Abdulgani

• Tugas melakukan pengumpulan data kekayaan pejabat


negara dan melakukan pengawasan

Kelompok 6 14
2) Operasi Budhi

• Dibentuk tahun 1963, berdasarkan Keputusan Presiden


Nomor 275 Tahun 1963

• Diketuai A.H. Nasution

• Membawa kasus tindak korupsi kepada pengadilan

3) KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi)

• Dibentuk tahun 1964, dengan Keputusan Presiden


Nomor 98 Tahun 1964

• Berada dibawah pimpinan Presiden Soekarno secara


langsung

• Mulai terjadi stagnasi dalam pemberantasan korupsi

b. Pemberantasan korupsi pada masa orde baru

1) Untuk peningkatan pemberantasan korupsi pada orde baru,


pemerintah mengeluarkan 2 Undang-Undang :

 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960.
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak
Pidana Suap.
2) TPK (Tim Pemberantas Korupsi)

Kelompok 6 15
 dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun
1967 Tugas memberantas tindak korupsi secara cepat dan tepat
3) Komisi IV

 Dibentuk tahun 1974, berdasarkan Keputusan Presiden


Nomor 12 Tahun 1970 Drs. Moh. Hatta sebagai
penasehat
Note : Pada masa orde baru banyak terjadi kasus pungutan liar.
Pemerintah untuk memberantas kasus pungutan liar tersebut
melaksanakan operasi tertib (opstib) berdasarkan inpres Nomor 9 Tahun
1977 tentang operasi penertiban. Optib dipimpin oleh laksamana TNI
Sundomo

c. Pemberantasan korupsi pada masa reformasi

1) Pemerintahan presiden B.J. Habibi

 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang


Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.

 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 Membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun
1999
2) Pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid
Membentuk badan-badan negara, antara lain :

 Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana


Korupsi (TGPTPK)

 Komisi Ombudsman Nasional

Kelompok 6 16
 Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara

 Dan Lembaga/Badan lainnya yang membantu


Pemberantasa Korupsi

3) Pemerintahan presiden Megawati Soekarna Putri


 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana
Korupsi.

 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001


dibuat untuk menambahkan ketentuan
pada undang-undang pemberantasan
korupsi mengenai pembalikan beban
pembuktian kasus korupsi.

 Pembentukan Komisi Pemberatasan Tindak


Pidana Korupsi (KPTPK) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,

 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada


tahun 2003
Pada masa pemerintahan Megaati Soekarnoputri, terbentuk KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi)
4) Pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono
 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2010 tentang Pencabutan Peraturan
Pemerinth Pengganti Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2002

 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Kelompok 6 17
terpisah dari Pengadilan Umum

BAB III

ANALISA

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah


kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih
jauh panggang dari api. Oleh karena itu setelah kami telaah dan cermati tanggapan
kami tentang korupsi dari era orde baru sampai sekarang sama saja, bukannya
berkurang akan tetapi semakin membabi buta dimana-mana, bukan saja dari kalangan
petinggi Negara bahkan sampai pempimpin-pemimpin atau masyarakat kecil juga
ikut andil bagian dalam melakukan korupsi.

Kami selaku generasi muda sangat prihatin atas kejadian tersebut, akan tetapi
prihatin saja tidak cukup untuk mengurangi atau meberantas korupsi tersebut, butuh
suatau wujud nyata agar korupsi tersebut minimal jauh dari lingkungan rumah,
sekolah dan masyarakat di sekitar tempat kita tinggal. Mungkin hal ini bukan
seberapa tetapi merupakan awal yang baik untuk sejak dini mulai memberantas
korupsi

Kami berfikir akan melakukan suatu pergerakan atau strategi dalam


memberantaskan korupsi di antaranya sebagai berikut :

1. Strategi preventif ( pencegahan )


Yaitu untuk mencegah, dan dapat dilakukan dengan pertama pastinya
bahwa anda bukan pelaku korupsi. Ini dapat dilakukan dengan cara menolak
segala pungutan yang tidak resmi, contohnya ( melakukan transaksi
keuangan-keuang dengan tidak menggunakan kwitansi). Kemudian, lakukan
kegiatan kampanye dan dakwah untuk mengajarkan masyarakat melawan
perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada korupsi
2. Strategi detektif ( deteksi )

Kelompok 6 18
Yaitu menyelidiki atau mencari tahu apabila terdapat tanda-tanda
korupsi, bias dilakukan dengan pertama mengajak teman-teman membangun
komunitas kecil di sekolah dan buatlah diskusi rutin tentang rincian
penggunaan anggaran untuk kegiatan-kegiatan di sekolah. Kedua, lakukan
pengumpulan data apabila ada tanda-tanda penyelewengan dana. Ketiga,
lakukan penelusuran untuk mencari tahu segala bentuk pengelolaan keuangan.
Keempat, menjalin komunikasi dengan guru-guru yang berwenang jika diduga
terjadi penyelewengan anggaran
3. Strategi edukasi
Cara ini bertujun untuk mendorong masyarakat untuk berperan serta
memerangi korupsi dengan kewenangan masing-masing. Maka pada
masyarakat peerlu di tanamkan nilai-nilai kejujuran, serta menumbuhkan
sikap antisipasi terhadap perlakuan yang mengarah kepada korupsi melalui
pesan-pesan moral

Dari tiga pilar strategi yang di jelaskan di atas pada intinya juga
membutuhkan usaha keras serta dorongan dari pemerintah dalam
memberantas korupsi juga sangat penting dalam melibatkan partisipasi
masyarakat. Jadi, korupsi adalah tindakan yang harus diberantas segera dan
sedini mungkin karena dapat mengancam kesejahteran masyarakat serta dapat
berdampak buruk pada perkembangan dan pembangunan Negara. Sehingga
perlu peran semua lapisan masyarakat. Remaja adalah salah satu bagian
masyarakat yang mempunyai pengaruh signifiksn dalam memengaruhi
kebijakan pemerintah.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan remaja adalah menciptakan


lingkungan bebas dari korupsi di sekolah/kuliah, memberikan penyuluhan
kepada masyarakat tentang kerugian yang di timbulkan akibat perbuatan
korupsi. Oleh karena itu, remaja harus mempunyai motivasi yang kuat untuk
mencegah timbulnya korupsi agar upaya mereka berjalan dengan semaksimal
mungkin. Jika generasi penerus bangsa bersih dari korupsi, maka akan

Kelompok 6 19
melahirkan pemimpin-pemimpin yang jujur, sehingga pembangunan dapat
berjalan dengan lancer, tidak hanya pembangunan tapi semua yang membuat
Negara ini menjadi lebih maju dan berkembang akan menjadi lancar

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Korupsi berasal dari bahasa latin, corruption. Kata ini sendiri memiliki
kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar
balik, atau menyogok.

Sesuai pasal 30 di dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 juncto


undang-undang nomr 20 tahun 2001 Menurut TI korupsi adalah perilaku
pejabat public, politikus, atau pegawai negeri yang secara tidak wajar dan
legal memperkaya mereka yang dekat dengan kekuasaan, dengan cara
menyalahgunakan kekuasaan public yang dipercayakan kepada mereka

Berbagai macam bentuk korupsi yang di lakukan oleh para koruptor


dari sejak era orde lama sampai sekarang dan berbagai macam upaya juga
yang sudah di lakukan untuk memberantasnya akan tetapi tidak membuat
perubahan yang signifikan. Memang tidak semudah itu, pelan tapi pasti. Mulai
dari hal yang kecil, dari tiga pilar ini adalah awal yang baik untuk mulai
memberantas korupsi. Strategi dalam memberantaskan korupsi di antaranya
sebagai berikut : Strategi preventif ( pencegahan ) , Strategi detektif ( deteksi),
Strategi edukasi

B. SARAN
Permasalahan negara berkembang yang paling kompleks adalah
perebutan kekuasaan dan penyelewengan kekuasaan, maka dari itu hal
pertama untuk membentengi diri adalah upaya seluruh pihak untuk kembali

Kelompok 6 20
kepada moral pribadi yang berdasarkan nilai dan kaidah agama, serta
penegakan hukum agama yang mantap di segala bidang serta dari usia dini.
Korupsi tidak diselesaikan oleh satu badan hukum, tapi harus diadakan
konfigurasi yang erat. Maka dari itu kepada semua kalangan diharapkan dapat
turut serta mengawasi jalannya pemerintahan sekaligus banyak berkaca untuk
melihat keikutsertaan kita dalam membangun bangs

DAFTAR PUSTAKA

http://naaf.web.id/2012/12/18/173/

http://hedisasrawan.blogspot.com/2012/11/makalah-peranan-pendidikan-anti-korupsi.html

Kelompok 6 21

Anda mungkin juga menyukai