Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Fraktur tulang temporal adalah kelainan yang sering dikonsultasikan ke

spesailis THT (Telinga, Hidung, Tengorok) pada keadaan darurat. Pengetahuan

tentang anatomi struktur vital dalam tulang temporal sangat penting untuk

mendiagnosa dan penanganan cedera dengan cepat dan tepat. Evaluasi yang tepat

dapat memperhitungkan derajat keparahan dan gejala-gejala trauma pada telinga.

Fraktur tulang temporal terjadi pada sekitar 14-22% dari semua cedera tengkorak.

Terjadi pengingkatan angka kejadian fraktur tulang unilateral, dan fraktur bilateral

dari 9% menjadi 20%. Anak-anak merupakan 8-22% dari pasien dengan fraktur

tulang temporal (Tomoko M, 2010).

Cedera pada tulang temporal terjadi pada 30 sampai 70% kasus yang

melibatkan trauma tumpul kepala. Meskipun langkah-langkah keamanan seperti

sabuk pengaman, airbags, dan helm sepeda dapat membantu mengurangi jumlah

kecelakaan kendaraan yang mengakibatkan trauma kepala, kecelakaan tetap yang

paling umum menjadi penyebab cedera tulang temporal. Luka tembakan pada

kepala merupakan penyebab yang tidak sering tetapi meningkatkan frekuensi

kejadian trauma kepala, dan lebih dari setengah pasien ini menderita trauma

intrakanial. Luka pada arteri karotis lebih sering meningkatkan angka kematian

dibandingkan pada trauma tumpul (Alpen Patel, M.D., and Eli Groppo, M.D.,

2010).

Fraktur tulang temporal berpotensi mengakibatkan cedera serius pada saraf

wajah, telinga tengah, telinga bagian dalam dan berisiko pada intrakranial.

Namun, fraktur tulang temporal mungkin dapat tidak terdeteksi pada pasien yang

1
asimtomatik atau tidak melaporkan gejala mereka kepada dokter ( Zamzil Amin,

2008 ).

Paralisis saraf fasialis merupakan salah satu komplikasi fraktur tulang

temporal. Fraktur tulang temporal dapat berupa fraktur longitudinal, transversal

maupun campuran. Paralisis saraf fasialis lebih banyak ditemukan pada fraktur

tulang transversal dibandingkan longitudinal. Penatalaksanaan paralisis saraf

fasialis akibat fraktur tulang temporal masih kontroversi, dapat berupa terapi

medikamentosa maupun terapi bedah.

Trauma tulang temporal sering dikaitkan dengan trauma cedera otak berat.

Sekitar 4% pasien dengan cedera kepala mengalami fraktur, dan 14-22% dari

pasien tersebut menderita fraktur tulang temporal. Tiga penyebab tersering adalah

kecelakaan dengan kendaraan dan sepeda motor 45%, jatuh 32%, dan perampokan

11% ( Myrian Marajo DS, Juliano Furno SM, Fabricio Barbosa DC, 2011 ).

2
PEMBAHASAN

Anatomi Tulang Temporal

Tulang temporal terdiri dari lima komponen yaitu tulang skuamosa, timpani,

styloid, mastoid, dan petrosus (Alpen Patel, M.D., and Eli Groppo, M.D., 2010).

Tulang temporal bersama dengan tulang oksipital, parietal, sfenoid, dan

zigomatkum membentuk dinding lateral dasar tengkorak atau bagian tengah dan

posterior dari fossa kranialis (Yan Edward, 2011).

Gambar 1. Gambar dua sisi tulang temporal pada tulang tengkorak manusia. (B) Dilihat
dari sisi anterior, (C) dilihat dari inferior, (D) Dilihat dari bagian dasar tulang tengkorak.
( Sumber: Alpen Patel, M.D., and Eli Groppo, M.D., 2010 )

Pada trauma tulang temporal sangat rawan terjadi kerusakan organ-organ

intratemporal. Tulang temporal menutupi organ-organ penting seperti saraf

fasialis, saraf vestibulokoklearis, koklea dan labirin, tulang-tulang pendengaran,

3
membran timpani, kanalis akustikus eksternus, sendi temporomandibular , vena

jugularis serta arteri karotis. (Yan Edward, 2011).

Gambar 2. Gambar tulang temporal kiri dilihat dari sisi lateral. Tulang skuamosa,
styloid, dan mastoid yang terlihat. Garis bagian tympani, meatus akustikus eksternus dan
tulang petrous adalah struktur interior dan
tidak terlihat dari pandangan lateral.
( Sumber: Alpen Patel, M.D., and Eli Groppo, M.D., 2010 )

Petrosus merupakan bagian dari tulang temporal yang berbentuk piramid,

terletak di dasar tulang tengkorak dan diantara tulang sphenoid dan oksipital. Hal

ini yang menyebabkan petrosus tidak terlihat dari sisi lateral tulang temporal.

Petrosus merupakan bagian terpenting dari tulang temporal yang melindungi

telinga tengah dan dalam serta bagian-bagian dari saraf facialis (Alpen Patel,

M.D., and Eli Groppo, M.D., 2010).

Pada pemeriksaan tampak bagian-bagian dari pars petrosa yang terdiri dari

basis, apex, tiga permukaan, dan berisi bagian dari organ pendengaran. Basis

menyatu dengan permukaan dalam dari skuama dan mastoid. Bagian apex dapat

digambarkan sebagai bangunan bersiku antara batas posterior dari sayap os

sphenoid dan bagian bawah dari os occipital. Pada bagian ini terdapat orifisium

internal dari canalis caroticus dan membentuk batas postero-lateral dari foramen

lacerum (Gray’s anatomy, 2012)

4
Permukaan anterior terbentuk dari bagian posterior middle fossa dari basis

kranii, dan berlanjut pada bagian dalam pars squamosa yang bersatu pada sutura

petrosquamous. Pada bagian ini terdapat cekungan-cekungan yang konsisten

dengan bentuk otak. Permukaan posterior terdiri dari bagian depan fossa posterior

basis kranii dan berlanjut pada bagian dalam mastoid. Pada daerah sentral terdapat

orificium yang disebut meatus akustikus internus. MAI merupakan kanalis

sepanjang 1 cm yang berjalan kearah lateral yang berisi nervus fasialis, nervus

akustikus dan cabang arteri basilaris. Permukaan inferior berbentuk tidak

beraturan, yang terbentuk dari bagian luar basis kranii (Gray’anatomy, 2012).

Gambar 3. Pars Petrosus

Etiologi

Cedera tulang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor (12% -47%),

penganiayaan (10% -37%), jatuh (16% -40%), dan luka tembak (3% -33%).

Dengan perbaikan teknologi keselamatan mobil, kejadian patah tulang akibat

kecelakaan kendaraan bermotor dapat mengalami penurunan. Di sisi lain,

peningkatan kejahatan dalam kekerasan dapat mengakibatkan cedera tulang

temporal karena penyerangan (Tomoko M, 2010).

5
Klasifikasi

Pada tahun 1926, Ulrich adalah orang pertama yang mengklasifikasikan fraktur

tulang temporal menjadi fraktur longitudinal dan fraktur transversal. Ghorayeb

dan Yeakley, dalam studi mereka terhadap 150 tulang temporal yang patah,

menemukan bahwa sebagian besar tulang yang patah berbentuk oblique dan

campuran (Antonia Riera March, 2012).

Fraktur longitudinal merupakan 80% dari semua fraktur tulang temporal.

Fraktur ini biasanya disebabkan karena pukulan pada tulang temporal atau

parietal. Garis fraktur sejajar dengan sumbu panjang piramida tulang petrosus.

Dimulai di pars squamosa (mastoid atau meatus akustikus eksternus), meluas

melalui saluran eksternal posterosuperior, berlanjut melewati atap dari telinga

tengah bagian anterior labirin, dan berakhir anteromedial di tengah fossa kranial

dekat dengan foramen lacerum dan foramen ovale. Tanda dan gejala dari fraktur

tersebut antara lain perdarahan pada saluran telinga yang berasal dari kulit dan

laserasi membran timpani, hemotympanum, fraktur pada kanalis akustikus

eksternus, gangguan tulang pendengaran yang dapat menyebabkan conductive

hearing loss (CHL), dan kelumpuhan saraf wajah (Antonia Riera March, 2012).

Fraktur transversal merupakan 20% dari semua fraktur tulang temporal. Fraktur

ini biasanya disebabkan oleh serangan pukulan dari frontal atau parietal, tetapi

dapat juga disebabkan pukulan dari oksipital. Garis fraktur berjalan dari sudut

kanan sumbu panjang piramida tulang petrosus dan mulai di tengah fossa kranial

(dekat dengan lacerum foramen dan spinosum). Kemudian melintasi piramida

tulang petrosus, melintang dan berakhir pada foramen magnum. Fraktur

transversal biasanya menyebabkan struktur koklea dan vestibular hancur, sehingga

6
dapat mengakibatkan sensorineural hearing loss (SNHL) dan vertigo yang berat.

Intensitas vertigo akan berkurang setelah 7-10 hari kemudian terus menurun

selama 1-2 bulan berikutnya, dan hanya menyisakan perasaan goyah yang

berlangsung sekitar 3-6 bulan, sampai akhirnya terjadi kompensasi (Antonia Riera

March, 2012).

Tabel 1. Perbandingan fraktur longitudinal dan fraktur transversal


Gambaran Fraktur longitudinal Fraktur transversal

Insiden 80% 20%


Mekanisme Trauma dari os tenporal atau Trauma daro os frontal atau os
os parietal oksipital
Otore CSF Sering Jarang
Perforasi Sering Jarang
Membran timpani
Kerusakan 20% (tidak menetap dan onset 50% (berat, menetap dan onset
n.facialis lambat) immediate)
Hearing Loss Sering (tipe konduktif dan Sering (sensorineural atau
sensorineural pada nada tinggi) campuran)
Hemotimpanicum Sering Jarang
Nistagmus Sering (Spontan, intensitas Sering (spontan, intensitas
rendah atau tergantung posisi) tinggi)
Otore Sering Jarang
Vertigo Sering (kurang intens) Sering ( lebih intens, biasanya
terjadi pada fase akut, dengan
disertai nausea dan vomiting)
Sumber: (Antonia Riera March, 2012)

Frakture oblique biasanya terbentuk dari kedua fraktur yaitu longitudinal dan

transversal. Menurut beberapa penulis, fraktur oblique terjadi lebih sering

daripada fraktur transversal atau longitudinal. Beberapa literature medis

menyebutkan bahwa 62-90% dari fraktur pada tulang temporal merupakan fraktur

oblique (Antonia Riera March, 2012).

Pemeriksaan

7
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis fraktur

tulang temporal antara lain : Radiografi foto polos dari skull menunjukkan bagian

yang opaq dari air sel mastoid, udara pada intrakranial, atau namun jarang terjadi

terdapat lusensi (garis fraktur). Umumnya, diagnosis fraktur tulang temporal

dengan radiografi foto polos sulit dilakukan dan membutuhkan konfirmasi dengan

CT-scan. Tingkat negatif palsu untuk radiografi foto polos sangat tinggi (Richard

J Woodcock Jr, MD., 2012).

CT-Scan ( Computed Tomography Scanning). Potongan tipis (1 mm) CT-scan

dapat menunjukkan lusensi yang melewati tulang temporal. Keterlibatan telinga

tengah, tulang petrosus, kapsul otic, dan saluran saraf wajah merupakan penentu

utama prognosis (Richard J Woodcock Jr, MD., 2012).

Fraktur longitudinal (ditunjukkan pada gambar di bawah) sejajar dengan sumbu

panjang tulang petrosus. Keterlibatan telinga tengah, kanalis karotis, tulang

labirin, dan meatus akustikus eksternus sebaiknya diperhatikan (Richard J

Woodcock Jr, MD., 2012).

Gambar 4. Aksial noncontrast CT scan pada patah tulang longitudinal tulang temporal
(panah)

8
Fraktur transversal (dilihat di bawah) tegak lurus terhadap sumbu panjang

tulang petrosus. Keterlibatan struktur telinga bagian dalam dan nervus fasialis

harus diperhatikan.

Gambar 5. Aksial noncontrast CT scan patah tulang transversal pada tulang temporal
(panah)

Fraktur oblique (ditampilkan di bawah) memiliki unsur tranversal dan

longitudinal.

Gambar 6. Aksial noncontrast CT scan dengan tulang temporal menunjukkan


patah tulang kompleks dengan komponen transversal (panah) dan komponen
oblique (panah atas)

9
MRI (Magnetic Resonance Imaging). Hasil MRI menunjukkan adanya cairan

pada telinga tengah dan air sel mastoid. Gambar T1-weighted memperlihatkan

bagian yang terang di labirin atau telinga tengah yang konsisten dengan

perdarahan. Namun, pada fraktur tulang temporal MRI memiliki sensitivitas dan

spesifisitas sangat rendah (Richard J Woodcock Jr, MD., 2012).

Nuclear Imaging. Studi kedokteran nuklir tidak digunakan dalam mendiagnosis

trauma akut. Namun, cisternography nuklir dapat digunakan sebagai tambahan

pada CT scan untuk diagnosis trauma yang berhubungan dengan kebocoran

Cerebro Spinal Fluid (CSF). Dalam pemakaiannya, cisternography nuklir

merupakan cara yang sensitif untuk mendeteksi kebocoran CSF tetapi tidak akurat

dalam menggambarkan lokasi kebocoran (Richard J Woodcock Jr, MD., 2012).

Angiography. Angiography bukan merupakan pemeriksaan penunjang dalam

diagnosis atau manajemen fraktur tulang temporal, namun bila fraktur mengenai

kanalis arteri karotis internal dapat terjadi kerusakan arteri karotis sehingga

diperlukan pemeriksaan angiography. Dalam sebuah penelitian retrospektif

terhadap penggunaan angiografi untuk evaluasi fraktur tulang temporal, Ahmed et

al menemukan bahwa angka kematian secara signifikan lebih tinggi terjadi pada

pasien dengan CT abnormal tanpa dilakukan angiogram daripada pada pasien

dengan CT abnormal dan angiogram yang abnormal. Para peneliti saat ini

menyimpulkan bahwa diperlukan pedoman penggunaan angiografi yang luas

untuk mencakup semua pasien yang memiliki bukti CT cedera neurocranial,

sehingga dapat mendeteksi cedera vaskular yang perlu manajemen yang agresif

dan untuk menurunkan angka kematian secara keseluruhan (Richard J Woodcock

Jr, MD., 2012).

10
Penatalaksanaan

Umumnya, pasien dengan paralisis fasialis dapat dikelola secara konservatif

dengan kortikosteroid sistemik selama 10-14 hari kecuali bila ada kontraindikasi.

Pasien yang mengalami paralisis lengkap dengan onset yang cepat sebaiknya

segera dilakukan pemeriksaan awal dengan menggunakan perangsang saraf Hilger

antara hari 3 dan 7. Bila tidak ada penurunan rangsangan saraf, pasien sebaiknya

diobservasi. Penurunan rangsangan saraf dalam waktu satu minggu atau lebih,

degenerasi ENOG mencapai 90% dan terjadi selama 2-3 minggu, merupakan

indikasi utnuk dilakukan terapi bedah (Antonia Riera March, 2012).

Komplikasi

Komplikasi fraktur tulang temporal antara lain penurunan pendengaran,

kelumpuhan saraf wajah dan otogenic, dan kebocoran cairan serebrospinal yang

harus segera dilakukan perawatan oleh tim darurat trauma bedah saraf (Myrian

Marajo DS, Juliano Furno SM, Fabricio Barbosa DC, 2011).

Lebih dari setengah pasien dengan trauma pada tulang temporal mengalami

penurunan pendengaran. Tipe dan tingkatan dari penurunan pendengaran

berhubungan dengan trauma yang mendasari dan lokasi dari fraktur. Fraktur

transversal dapat mengenai kapsul otic dan meatus akustikus internus sehingga

sering mengakibatkan sensorineural hearing loss (SNHL) yang berat. Fraktur

longitudinal sering menyebabkan conductive atau mix hearing loss. Dislokasi dari

sendi incudostapedial merupakan penyebab terbanyak dari trauma tulang

pendengaran pada fraktur tulang temporal. Bahkan tanpa fraktur tulang temporal,

getaran hebat pada cochlea atau labirin dapat menyebabkan penurunan

pendengaran (Tomoko M, 2010).

11
Kelumpuhan saraf wajah. Cedera kepala yang disebabkan kecelakaan

kendaraan bermotor merupakan penyebab terbanyak kasus parese saraf fasialis

yang diakibatan trauma (31%). Mekanisme atau riwayat detail dari trauma harus

ditanyakan. Termasuk bagian kepala yang terkena benturan. Ini berhubungan

dengan kemungkinan jenis fraktur yang terjadi. Trauma dari arah frontal atau

oksipital sering menyebabkan fraktur tulang temporal jenis transversal. Sedangkan

trauma dari arah lateral sering menyebabkan fraktur jenis longitudinal. Onset dan

progresivitas parese saraf fasialis sangat penting. Terjadinya gangguan

pendengaran atau vertigo setelah trauma tulang temporal harus dicurigai adanya

cedera pada saraf fasialis. Segera setelah kondisi umum dan fungsi hemodinamik

pasien stabil, dilakukan pemeriksaan saraf fasialis dan status pendengaran.

Termasuk pemeriksaan awal dengan otoskopi. Sering pemeriksaan awal untuk

fungsi saraf fasialis ini terlambat dilakukan karena “keadaan darurat”, seperti

perdarahan aktif yang harus diatasi lebih dahulu Pemeriksaan THT di telinga

meliputi pemeriksaan kanalis akustikus eksternus untuk melihat adanya laserasi

atau tidak. Dengan bantuan otoskop, dilakukan inspeksi kondisi membran

timpani, apakah disertai dengan perforasi atau hemotimpani. Perlu diperhatikan

juga jenis cairan otore yang keluar, apakah bercampur darah atau jernih (cairan

serebrospinal). Komplikasi lain dari kerusakan saraf fasialis adalah air mata buaya

(crocodile tears), yang terjadi akibat penyimpangan regenerasi serabut saraf

parasimpatis yang seharusnya menginervasi kelenjar liur, menjadi menyimpang ke

kelenjar lakrimal. Selain itu dapat pula terjadi hiperkinesis di tendon stapes, yang

menimbulkan keluhan telinga penuh dan bergemuruh. Tujuan pemeriksaan fungsi

saraf fasialis, disamping untuk menentukan derajat kelumpuhan, juga dapat

12
menentukan letak lesi saraf fasialis. Pada pemeriksaan fungsi motorik otot-otot

wajah, dapat digunakan gradasi fungsi saraf fasialis menurut House-Brackmann

dan Freys. Pemeriksaan radiologi berupa CT scanning dengan resolusi tinggi

sangat membantu dalam menegakkan diagnosis fraktur tulang temporal. Keutuhan

osikel atau tulang-tulang pendengaran juga dievaluasi. Jika memungkinkan, untuk

mendapatkan gambaran yang maksimal, CT scanning yang diminta adalah

potongan koronal axial dengan irisan 0,6 mm (Yan Edward, 2011).

Penatalaksanaan parese saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal sampai

sekarang masih merupakan hal yang kontroversial. Sebagian penulis

merekomendasikan untuk hanya mengobservasi dan terapi simptomatis saja.

Mainan dkk, mengamati dari 45 pasien non-operatif, didapatkan 44 orang

mengalami penyembuhan yang memuaskan dan 65% mengalami penyembuhan

yang sempurna. Seperti dikutip Mattox, dari McKennan dan Chole, pasien

paralisis saraf fasialis dengan onset yang telah terlambat, tetap mengalami

penyembuhan yang baik. Ketika telah diputuskan, pasien dengan parese saraf

fasialis akibat trauma ini akan dilakukan terapi pembedahan berupa dekompresi,

pasien dihadapkan pada keadaan antara onset yang cepat atau onset yang telah

lama. Pada onset yang cepat, biasanya kondisi trauma pasien lebih berat. Dari

Mattox, berbeda dengan yang didapatkan oleh Adegbite dkk, mengatakan

prognosis lebih ditentukan oleh derajat kerusakan saraf fasialis, bukan oleh waktu

atau onsetnya (Yan Edward, 2011).

Trauma tumpul pada skull dapat menyebabkan fraktur pada tulang temporal

yang dapat mengakibatkan robekan dari dura dan foramina sehingga terjadi

kebocoran yang akut. Fraktur dapat juga menyebabkan defek pada tulang tegmen

13
yang merupakan predisposisi tunggal untuk encephalocele atau meningoceles

yang menghasilkan kebocoran CSF yang lambat. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, fraktur yang mengenai kapsul otic dapat dihubungkan dengan

insiden yang lebih tinggi dari kebocoran CSF. Otore CSF pada fraktur tulang

temporal biasanya terjadi dalam hitungan menit pada kecelakaan tapi dapat

tertunda pada presentasi klinis bila mengalami pengeringan pada saat melewati

nasopharing. Setelah trauma, otore CSF khasnya berbentuk serosa dan dapat

disalahartikan sebagai produk dari darah. Cairan itu sebaiknya diperiksa untuk

mengetahui kadar beta 2 transferin yang merupakan protein spesifik tertinggi pada

CSF. Pengukuran glukosa dan protein pada cairan ini dapat dilakukan untuk

mendukung identifikasi dari CSF tersebut. CT scan dengan resolusi tinggi dapat

memperlihatkan bagian dari fraktur dan memberi informasi seperti tempat dari

fistula CSF. Sisternography dengan kontras dapat meningkatkan sensitivitas dari

deteksi kebocoran CSF ketika aktif. Tatalaksana dari kebocoran CSF dimulai

dengan penanganan konservatif antara lain elevasi kepala, tirah baring dengan

elevasi kepala, obat pelunak feses, pencegahan bersin dan ketegangan otot yang

lain, dan pada beberapa pasien dapat dilakukan penempatan pada lumbar drain.

Resolusi spontan dengan manajemen konseravatif terjadi pada 95-100% pasien.

Pada penyembuhan kebocoran spontan, penutupan terjadi pada 7 hari pertama

pada 78% pasien dan 17% penutupan terjadi pada 8-14 hari kemudian.

Penggunaan antibiotik profilaksis masih menjadi kontroversi meskipun kebocoran

yang terjadi lebih dari tujuh hari dapat dihubungkan dengan insiden yang lebih

tinggi dari meningitis. Perbaikan dengan pembedahan direkomendasikan pada

kasus yang berlangsung 7-10 hari setelah trauma. Defek tegmen lebih sering

14
multiple daripada single, dan bila hanya terdapat satu defek belum cukup untuk

indikasi dilakukan perbaikan definitive. Pembedahan dengan pendekatan

mastoidektomi dapat menjadi inadekuat bila terdapat defek tegmen yang multiple

oleh karena itu pembedahan dengan pendekatan melalui middle fossa atau

kombinasi dengan tranmastoid sebaiknya dipertimbangkan pada sebagian besar

kasus (Tomoko M, 2010).

Perlukaan pada carotis jarang terjadi (1-4%) pada trauma tulang temporal. Pada

jurnal baru-baru ini oleh Dempewolf dijelaskan bahwa 44 dari 127 (35%) pasien

dengan fraktur tulang temporal dapat mengalami fraktur kanalis carotis dimana

hanya 5 dari 127 (4%) yang mendapatkan cedera pada arteri carotis. CT scan pada

tulang temporal dan maxilofasial merupakan cara paling sensitive untuk

mendeteksi fraktur kanalis carotis, dengan nilai negative > 100%. CT angiography

dan MRA dapat digunakan lebih sering daripada angiography standar bila CT

scan menunjukkan adanya cedera vaskuler. Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan

sensitifitas karena hanya 2 dari 5 pasien pada penelitian Dempewolf yang

memperlihatkan adanya manifestasi dari cedera vaskuler (contoh : epistaxis,

deficit neurologi fokal) (Tomoko M, 2010).

Vertigo setelah trauma tulang temporal dapat merupakan sekunder

manifestasi dari getaran vestibuler yang lain pada OCS atau destruksi vestibular

pada OCD. Vertigo biasanya dapat sembuh spontan dan mengalami perbaikan

pada 6 hingga 12 bulan melalui sistem adaptasi sentral. Fistula perilimph setelah

cedera kapsul otic dapat juga menyebabkan vertigo dan SNHL. Penyebab lain dari

vertigo setelah fraktur tulang temporal adalah post traumatic hidrops

endolimphatic. Pada pasien ini menunjukkan adanya rasa penuh, tinnitus,

15
penurunan pendengaran yang naik turun, dan vertigo mirip dengan pasien

Meniere’s disease. Episode vertigo yang singkat dapat dihubungkan dengan

benign positional paroxysmal vertigo (BPPV). BPPV disebabkan oleh oleh

displacement karena adanya trauma pada otoconia dari vestibula sampai ampulla

di kanalis semisirkularis posterior. Terapi dari BPPV termasuk rehabilitasi standar

dan maneuver reposisi (Tomoko M, 2010).

Paralisis Saraf Fasialis Akibat Fraktur Tulang Temporal

Paralisis saraf fasialis merupakan suatu kasus yang relatif sering terjadi,

diperkirakan terjadi 70 kasus per 100.000 populasi setiap tahun. Trauma akibat

kecelakaan dan operasi merupakan penyebab kedua terbanyak paralisis saraf

fasialis pada orang dewasa setelah Bell’s Palsy.

Saraf fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan di dalam

tulang temporal, sehingga sebagian besar kelainan saraf fasialis terletak di dalam

tulang temporal. Dalam perjalannnya di dalam tulang temporal, saraf fasialis

dibagi dalam 3 segmen, yaitu segmen labirin, segmen timpani, dan segmen

mastoid. Segmen labirin merupakan bagian terpendek (2-4 mm) terletak di antara

akhir kanal akustikus internus dan ganglion genikulatum. Segmen timpani

(panjang kira-kira 12 mm) terletak di antara bagian distal ganglion genikulatum

dan berjalan ke arah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap

lonjong dan stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar kanalis semisirkularis

horizontal. Segmen mastoid merupakan segmen terpanjang (1,5- 2 cm) berjalan

mulai dari dinding medial dan superior kavum timpani, selanjutnya berjalan ke

arah kaudal menuju foramen stilomastoid. Setelah keluar dari dalam tulang

16
mastoid, saraf fasialis menuju kelenjar parotis dan membagi diri untuk mensarafi

otot-otot wajah. Di dalam tulang temporal, saraf fasialis memberikan 3 cabang

penting yaitu nervus petrosus superior mayor yang memberikan rangsangan untuk

sekresi pada kelenjar lakrimal, nervus stapedius yang mensarafi muskulus

stapedius dan korda timpani yang memberikan serabut perasa pada duapertiga

lidah bagian depan. Paralisis saraf fasialis merupakan salah satu komplikasi dari

fraktur tulang temporal disamping adanya gangguan pendengaran, kebocoran

cairan serebrospinal, stenosis kanalis akustikus eksternus, terbentuknya

kolesteatom dan cedera vaskuler. Fraktur longitudinal lebih sering ditemukan

dibandingkan fraktur transversal, meliputi 80% dari seluruh fraktur tulang

temporal. Fraktur jenis ini terjadi akibat benturan di daerah temporal atau parietal

yang kemudian merambat ke daerah mastoid atau tulang skuamosa. Garis fraktur

yang terjadi akan paralel/sejajar dengan aksis panjang piramid petrosa. Garisnya

berawal dari pars skuamosa (mastoid atau kanalis auditorius eksterna) meluas

melalui posterosuperior liang telinga bagian tulang, selanjutnya melintasi atap

telinga tengah di anterior labirin, dan berakhir di anteromedial fossa kranii media

dekat foramen laserum dan ovale. Gejala klinis fraktur longitudinal tulang

temporal meliputi perdarahan dari liang telinga akibat laserasi kulit liang telinga

atau membran timpani, hemotimpanum, fraktur kanalis akustikus eksternus, tuli

konduktif akibat kerusakan rangkaian tulang pendengaran dan cedera saraf

fasialis. Sekitar 20% fraktur longitudinal akan mengakibatkan cedera pada saraf

fasialis. Lokasi saraf fasialis yang terkena biasanya pada segmen horizontal di

distal ganglion genikulatum.

17
Fraktur transversal meliputi sekitar 20% dari semua fraktur tulang temporal.

Fraktur jenis ini biasanya terjadi akibat benturan pada daerah frontal atau parietal,

tetapi dapat juga terjadi akibat benturan pada daerah oksipital. Garis fraktur

berjalan tegak lurus piramid petrosa, dimulai dari fossa kranii media (dekat

foramen laserum dan spinosum) kemudian melintasi piramid petrosa dan KAI,

hingga berakhir di foramen magnum. Pada fraktur transversal, biasanya terjadi

kerusakan pada koklea dan struktur vestibuler yang mengakibatkan tuli

sensorineural dan vertigo. Sedangkan cedera pada saraf fasialis terjadi sekitar 50%

kasus. Lokasi cedera biasanya pada daerah kanalis auditori interna sampai segmen

horizontal di distal ganglion genikulatum.

Pemeriksaan saraf fasialis perlu dilakukan untuk melihat derajat, letak lesi,

dan prognosis penyakit. Penilaian saraf fasialis yang cukup sering digunakan

adalah sistem House-Brackmann yang terdiri dari 6 derajat dimana derajat I

menunjukkan fungsi saraf wajah normal dan derajat VI menunjukkan paralisis

total.

Terapi konservatif yang dapat diberikan pada cedera saraf fasialis akibat

trauma adalah pemberian steroid, melindungi fungsi penglihatan dan terapi

rehabilitasi wajah. Pemberian steroid dapat berupa kortikosteroid dosis tinggi

untuk mengurangi edema yang terjadi. Chen dan Ariaga menyarankan pemberian

prednison 1 mg/kg/hari selama 10 hari. dengan tappering off. Sedangkan Chang

dan Cass, seperti dikutip Patel dan Groppo menyatakan pemberian kortikosteroid

intravena jangka pendek dapat mencegah inflamasi serta mengurangi edema pada

saraf dan daerah sekitarnya, sehingga mengurangi kompresi pada saraf. Mata yang

tidak menutup sempurna dalam waktu lama dapat mengakibatkan keratitis.

18
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain pemberian air mata

artifisial, membantu menutup mata dengan cara sederhana dengan plester saat

tidur hingga diberi implan pemberat (gold weighting) atau dilakukan oleh dokter

mata.

Ketika diputuskan untuk melakukan tindakan operatif untuk dekompresi

saraf fasialis, fungsi pendengaran dan keseimbangan harus diperhitungkan.

Pendekatan operasi untuk cedera saraf fasialis bervariasi meliputi transmastoid,

translabirin dan fossa media. Jika fungsi pendengaran dan keseimbangan baik

maka pendekatan yang dipakai adalah transmastoid/fossa media. Jika fungsi

pendengaran dan keseimbangan terganggu, direkomendasikan untuk

menggunakan pendekatan transmastoid/translabirin. Tujuan tindakan operasi pada

kasus terpotongnya nervus fasialis yang komplit adalah untuk memperbaiki fungsi

saraf dengan mengurangi terjadinya fibrosis dan inflamasi, serta memberikan

penyambungan yang cepat di ujung saraf. Pemulihan fungsi fasialis setelah

tindakan membutuhkan proses panjang yang biasanya hingga 7 bulan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Alpen Patel,M.D. 2010. Management of Temporal Bone Trauma,


Craniomaxillofac Trauma Reconstruction Volume 3:105–113. Copyright#
2010 by Thieme Medical Publishers, Inc., 333 Seventh Avenue, New York, ,
USA.Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery, Towson
Medical Center
2. Antonio Riera March, MD, FAC., 2012. Temporal Bone Fracture, Department
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, University of Puerto Rico School
of Medicine
3. Antonio Riera March, MD, FAC. 2012. Temporal Bone Fracture Treatment &
Management, Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery,
University of Puerto Rico School of Medicine
4. Gray’s anatomy of the Human Body. 2012. The Temporal Bone.
http://education.yahoo.com/reference/gray/subject/subject/34
5. Mariam I. Saadia-Redleaf. 2011. Bilateral Clinical Pathology of The temporal.
Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery. The University of
illinois at Chicago.
6. Myrian Marajó Dal Secchi, Juliana Furno Simões Moraes, Fabrício Barbosa
de Castro. 2011. Fracture of the temporal bone in patients with traumatic brain
injury, Brotherhood of Santa Casa of Mercy of Santos. Santos / SP - Brazil.
7. Richard J Woodcock Jr, MD. 2012. Temporal Bone Fracture Imaging.
Consulting Radiologist, Atlanta Radiology Consultants, LLC; Consulting
Radiologist and MRI Director, St Joseph's Hospital. Coauthor Sarah Connell,
MD., Peter C Belafsky, MD, MPH, PhD  Assistant Professor, Department of
Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of Miami, Jackson
Memorial Hospital
8. Stewart C. Little, MD; Bradley W. Kesser, MD. 2006. Original Article:
Radiographic Classification of Temporal Bone Fracture, Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. 2006;132(12):1300-1304. doi:10.1001/archotol.132.12.1300
9. Tomoko Makishima, MD, PhD. 2010. Temporal Bone Fracture. Grand
Rounds Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology

20
10. Yan Edward, Al Hafiz. 2008. Terapi Dekompresi pada Parese Saraf Fasialis
Akibat Fraktur Tulang Temporal, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M.
Djamil Padang
11. Zamzil Amin Asha’ari. 2008. Original article: Head Injury with Temporal
Bone Fracture: One Year Review of Case Incidence, Causes, Clinical Features
and Outcome, Department of Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery,
Kulliyyah of Medicine, International Islamic University Malaysia, Jalan
Hospital, 25100 Kuantan, Pahang, Malaysia.
12. Kosins AM, Hurvitz KA, Evans GRD, Wirth GA. Facial paralysis for the
plastic surgeon. Can J Plast Surg. 2007; 15(2): 77-82.

21

Anda mungkin juga menyukai