Anda di halaman 1dari 2

A.

FENOMENA HOUSE OF SAMPOERNA DAN KAWASAN 3 NEGERI


BERDASARKAN ASPEK SOSIAL BUDAYA

Kita sering kali mendengar


kata sosial budaya yang dimana kedua kata tersebut memiliki arti atau makna nya sendiri –
sendiri. Namun kedua kata tersebut, Sosial budaya ini memiliki keterkaitan antar keduanya.
Definisi sosial ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat sekitar, sedangkan
budaya ialah segala hal yang dibuat manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang
mengandung cinta dan rasa. Jadi sosial budaya ialah segala hal yang diciptakan manusia dengan
pikiran dan budinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam pembahasan kali ini mengupas tentang fenomena House of Sampoerna dan
kawasan 3 negeri yang ada di Surabaya dalam aspek sosial budaya.
House of sampoerna ini bertempatkan di dekat pelabuhan yang kita ketahui bersama
bahwa pelabuhan tempat orang dan barang dari daerah lain datang, moving terkait dengan
barang dan orang lebih banyak terjadi sehingga budaya baru akan lebih mudah masuk ke
Indonesia khususnya adalah Surabaya. House of sampoerna dengan arsitektur eropa tersebut
tidak terlepas dari sejarah masa lalu yang dimana hingga saat ini juga house of samperna tetap
melakukan produksi rokok yang membantu masyarakat sekitar. Jika kita melihat sejarah bahwa
house of sampoerna ini dulunya adalah sebuah pabrik yang dimana lebih dekat dengan tenaga
kerja, lalu istri sang pemilik house of sampoerna tersebut ingin dibuat sebuah bioskop di dalam
bangunan tersebut, yang menurut sejarah bahwa Charlie chaplin sempat pernah singgah disana
untuk melihat filmnya sendiri dan presiden pertama kita Bapak Ir. Soekarno pun pernah
berpidato di house of sampoerna ditempo dulu. Jika menelisik kebelakang bahwa dengan adanya
house of sampoerna tersebut secara sosial budaya masyarakat banyak dipengaruhi oleh budaya
budaya luar, baik itu dulu hingga sekarang. Dengan adanya interaksi antar budaya yang berbeda
akan menghasilkan akulturasi budaya satu dengan yang lainnya.
Pada kawasan 3 negeri (arab, cina, eropa ) yang ada di Surabaya ini pada zaman kolonial
saat itu Belanda dengan sengaja membagi masyarakat dalam kampung-kampung dengan
berdasarkan etnis, contohnya yaitu kampung pecinan, kampung arab, kampung eropa. Kampung
tersebut ada karena peraturan yang dibuat oleh kolonial Belanda yaitu peraturan Wijkenstensel /
Passenstensel yang didalam peraturan tersebut berisikan bahwa setiap etnis harus menempati
kampung etnisnya masing-masing sehingga untuk keluar dari lingkungan tersebut harus
menunjukan surat jalan. Sehingga akses keluar masuk di 3 kawasan tersbut menjadi sulit. Hal
tersebut bukan semata-mata hanya ingin mengeksklusifkan masyarakat disana atau agar tidak
membaur dengan masyarakat lain, Namun hal tersebut dilakukan untuk mengontrol populasi dan
kriminalitas di Surabaya dan mempermudah Belanda dalan melakukan pengawasan, misal jika
ada sebuah kerusuhan maka intel Belanda bisa dengan mudah menangkap pelaku dengan melihat
dari ciri – ciri tersebut.
Namun dengan seiring berjalannya waktu Seiring waktu, kampung-kampung ini
mengalami perkembangan, baik itu positif ataupun negatif. Ada kampung etnis yang mengalami
perluasan, tetapi ada pula yang hanya meninggalkan bangunan fisiknya sementara manusianya
tidak tersisa. (1) Kampung pecinan di Jalan Kembang Jepun yang dimana di kawasan tersebut
masyarakat tionghoa ada, yang dimana berperan penting dalam membangun perekonomian
Surabaya yang juga diakui oleh bangsa Belanda. Di sekitar daerah tersebut banyak terdapat
klenteng yang dimana sebagai tempat sembayang orang tionghoa, contohnya : Klenteng Hok An
Kiong yang merupakan klenteng tertua di Surabaya. (2) Kampung Arab (Ampel) dimana banyak
dihuni oleh orang Arab, hal tersebut sudah ada sejak zaman Majapahit. Lambat laun kampung ini
terbentuk menjadi kampung yang islami, dari segi arsitektur yang mencirikan bahwa kampung
tersebut adalah kampung Arab. Di kawasan tersebut ada pasar yang berjualan masakan Arab atau
Timur Tengah seperti roti maryang, gulai kambing, dll yang buka dari sore hari hingga malam
hari (3) Kampung eropa, saat ini sudah tidak lengkap lagi dengan warga keturunan Eropa di
dalamnya yang saat ini hanya ada bangunan-bangunan tua bergayakan Eropa, seperti banyak
perkantoran dan pertokoan berarsitektur Belanda. Contohnya adalah bangunan polrestabes
Surabaya yang merupakan salah satu bangunan tua peninggalan Belanda yang masih digunakan
dan sebagai tempat vital saat ini; gedung PTPN (PT. Perkebunan Nusantara) yang hingga saat ini
masih digunakan.
Kampung-kampung etnis tersebut dipisahkan oleh sungai kalimas, yang dimana
dahulunya adalah jalur transportasi utama bagi masyarakat Surabaya atau bahkan menjadi jalur
perdagangan pada masa itu. Berbicara perihal nama sungai Kalimas, arti dari nama sungai
kalimas adalah Kali yang berarti sungai dalam bahasa jawa, Mas adalah emas, sehingga kalimas
adalah sungai yang bersih dan berharga layaknya emas sebab menjadi salah satu jalur
transportasi vital di Surabaya. Namun kampung-kampung etnis tersebut dapat dihubungkan
dengan adanya jembatan merah yang ada disana. Pola kehidupan masyarakat Surabaya sebagai
masyarakat kota dagang dan pelabuhan dan seiring bertumbuh pesatnya dunia industri,
menyebabkan semakin pluralnya corak kehidupan sebagai sebuah kenyataan yang tidak
terhindarkan, sehingga Surabaya kaya akan sosial budaya masyarakatnya yang heterogen.

Anda mungkin juga menyukai