Disadari bahwa konsep perusahaan yang ramah lingkungan (green company) telah menjadi tuntutan
bisnis di era globalisasi. Di mana pada jaman ini terjadi sebuah perubahan sosial berupa
bertambahnya keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemen yang ada di dalamnya akibat
transkulturasi dan perkembangan teknologi dan komunikasi yang sangat pesat dalam pertukaran
budaya dan ekonomi internasional. Dalam kondisi ini tidak tampak lagi adanya batas-batas yang
mengikat kehidupan suatu bangsa dan negara secara nyata. Dalam hal ini terjadi tiga dimensi dari
globalisasi itu sendiri yakni globalisasi ekonomi, globalisasi politik dan globalisasi budaya.
Di dalam globalisasi ekonomi, terbentuk suatu masyarakat global yang tidak lagi tergantung pada
batas-batas wilayah. Terjadi suatu situasi perdagangan internasional berupa pasar bebas,
terbentuknya kerjasama regional, bilateral dan multilateral serta hadirnya lembaga-lembaga
internasional seperti Bank Dunia, World Trade Organization (WTO), Asian Free Trade Area (AFTA)
dan lain-lain.
Perusahaan yang ramah lingkungan adalah suatu konsep di mana pihak manajemen sebuah
perusahaan secara sadar meletakkan pertimbangan akan perlindungan dan pengelolaan lingkungan,
serta keselamatan dan kesehatan ‘stakeholders’ dalam setiap pengambilan keputusan bisnisnya. Hal
ini merupakan wujud nyata tanggung jawab dan upaya memberikan kontribusi positif kepada
perusahaan dan karyawan pada khususnya dan masyarakat serta pembangunan yang berkelanjutan
pada umumnya.
Konsep perusahaan yang ramah lingkungan ini perlu dijabarkan lebih jelas dalam setiap kegiatan
operasional perusahaan agar tidak menggantung di awang-awang. Konsep perusahaan yang ramah
lingkungan ini harus menjadi sebuah konsep yang membumi dan memiliki akar yang kuat. Oleh
karena itu, dalam implementasi dan aktualisasinya konsep ini memiliki empat komponen utama yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain yaitu:
Dengan cara dan pendekatan sedemikian, maka perusahaan tersebut telah menjalankan sebuah
sistem manajemen yang memiliki cakupan yang luas (multiple management system) yang
merupakan perpaduan target dan sasaran yang ingin dicapai yakni:
Lingkungan Kerja
Partisipasi karyawan dalam mewujudkan suatu manajemen sumber daya manusia (MSDM) yang
ramah lingkungan (green human resources management – Green HRM) sudah lama
dikumandangkan oleh para ahli. Hal ini juga sudah dirasakan sangat perlu oleh perusahaan-
perusahaan besar dalam rangka mewujudkan perusahaan yang ramah lingkungan. Namun, selama
ini perusahaan lebih mengedepankan upaya ini kepada para karyawannya sebatas di lingkungan
kerja (working environment) semata.
Para karyawan hendaknya dilihat dari dua sisi yang dimilikinya. Para karyawan di satu pihak
merupakan produsen yang berhubungan erat dengan kegiatan-kegiatan di lingkungan kerjanya yang
berkaitan dengan proses produksi. Di pihak lain, para karyawan juga menjadi konsumen terhadap
produk-produk yang dihasilkan sebagai pribadi yang memiliki kehendak dan kemauan sendiri.
Kedua sisi perilaku karyawan yang berbeda ini telah menjadi perhatian serius dari Viola Muster dan
Ulf Schrader (2011). Dalam jurnalnya yang berjudul “Green Work-Life Balance: A New Perspective for
Green HRM”, mereka mendorong pihak perusahaan untuk lebih memberikan perhatian yang lebih
besar kepada para karyawan untuk mewujudkan perilaku yang ramah lingkungan, baik di lingkungan
kerja maupun di lingkungan kehidupan sehari-hari. Suatu hal yang menjadi tantangan tersediri bagi
pihak perusahaan karena dianggap mencampuri urusan pribadi para karyawan.
Sejauh ini banyak perusahaan telah menjalankan berbagai aktivitas dalam rangka memberikan
motivasi kepada para karyawan untuk mewujudkan perilaku yang ramah lingkungan di lingkungan
kerja. Program-program tersebut antara lain rekrutmen, manajemen kinerja dan penilaian, pelatihan
dan pengembangan, hubungan ketenagakerjaan dan sistem imbalan. Semua program ini merupakan
upaya maksimal yang telah dilakukan oleh banyak perusahaan.
Pengaruh antara perilaku karyawan di lingkungan kerja (working environment) dan di lingkungan
kehidupan sehari-harinya (life environment) telah dilakukan dalam berbagai riset. Faktor kehidupan
sehari karyawan dijadikan sebagai variabel bebas (independent variable), di mana diasumsikan
bahwa pengalaman dan perilaku karyawan dalam lingkungan kehidupan sehari-hari akan
memberikan pengaruh terhadap perilakunya selama bekerja. Elloy & Smith (2003) menggambarkan
hal ini sebagai suatu pendekatan holistik dalam bidang MSDM. Keduanya berpandangan bahwa
karyawan adalah manusia (employee as human being) yang memiliki berbagai peran dalam
lingkungan kehidupan yang berbeda-beda pula.
Perilaku yang ramah lingkungan dari para karyawan ini menuntut berbagai pendekatan yang
kompleks yang harus dijalankan oleh pihak perusahaan. Berbagai pendekatan tersebut antara lain
pendekatan individual, interaksional, siatuasional, kultural dan struktural. Hal ini telah
direkomendasikan sebagai bentuk pendekatan holistik yang dilakukan berdasarkan ISO 14001 dan
EMAS (environmental management systems). Standar yang digunakan ini akan membantu pihak
perusahaan dalam melakukan implementasi, pengawasan dan perbaikan aktivitas-akivitas yang
ramah lingkungan secara sistematis. Pandangan ini telah lama dikumandangkan oleh Wehrmeyer
(1996) bahwa “If a company is to adopt an environmentally-aware approach to its activities, the
employees are the key to its success or failure”.
Semua pendekatan yang telah disebutkan di atas harus memberikan fokus kepada kegiatan
karyawan baik secara individual maupun secara kolektif. Upaya kolektif ini tentu saja bermula dari
berbagai karakteristik budaya yang telah ada dalam perusahaan. Karakteristik budaya tersebut
mungkin saja mendorong tumbuh-kembangnya perilaku yang ramah lingkungan bahkan sebaliknya
yakni menjadi penghalang.
Perilaku ramah lingkungan ini harus tumbuh dan berkembang menjadi sebuah budaya perusahaan
(corporate culture). Hal ini sejalan dengan pendapat Schein (2004) bahwa budaya perusahaan
adalah suatu pola asumsi dasar yang diyakini bersama (a pattern of shared basic assumptions).
Manakala budaya perusahaan yang ramah lingkungan ini sudah terbentuk, maka perilaku dari para
karyawan secara individual dapat diwujudkan dengan baik.
“The safety culture of an organization is the product of the individual and group values, attitudes,
competencies and pattern of behavior that determine the commitment to, and the style and
proficiency of an organization’s health and safety programmes. Organization with a positive safety
culture are characterized by communications founded on mutual trust, by shared perceptions of the
importance of safety, and by confidence in the efficacy of preventive measures”.
(Budaya keselamatan suatu organisasi merupakan produk dari nilai-nilai, perilaku, kompetensi dan
pola perilaku yang dimiliki oleh individu dan kelompok yang menjadi acuan komitmen dan pola
penerapan program kesehatan dan keselamatan di dalam organisasi tersebut. Organisasi yang
memiliki tingkat budaya keselamatan yang positif ditandai dengan adanya komunikasi yang
didasarkan pada saling percaya, persepsi yang diyakini bersama tentang pentingnya keselamatan
dalam bekerja dan keyakinan untuk melakukan pencegahan).
Dalam hal ini disadari bahwa keberasilan pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) dan OSHAS 18001 akan berhasil bila kegiatan ini memiliki landasan yang
kuat yakni:
a. Budaya perusahaan (corporate culture) yang telah dituangkan di dalam visi dan misi
perusahaan;
b. Program yang sistematis dan terstruktur, di mana bisa diketahui dampak sosial dan bisnis,
harapan dari para stakeholders, indikator keberhasilan dan terakhir dilakukan tinjau-ulang
c. Perilaku (behavior) dari para stakeholder yang memberikan dukungan dan partisipasi demi
a. Pengaruh keselamatan dalam perilaku dalam bekerja (perceived relevance of safety to job
behavior); dan
Sikap budaya keselamatan yang positif dari pihak manajemen dan karyawan akan memiliki ciri-ciri
yang terlihat jelas dan transparan yakni komunikasi yang berdasarkan pada rasa saling percaya,
persepsi yang sama tentang pentingnya masalah keselamatan, dan kesungguhan dalam penerapan
tindakan-tindakan pencegahan. Keberhasilan semua program ini sangat tergantung pada kualitas
komunikasi antara pihak manajemen dan karyawan, persetujuan dan komitmen dari semua
tingkatan dalam organisasi bahwa keselamatan adalah faktor yang sangat penting, dan keyakinan
segenap karyawan bahwa faktor keselamatan harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Kenyataan ini menimbulkan efek positif di mata para karyawan bahwa melakukan perilaku aman
akan mendapat imbalan (reward) dan mengabaikan perilaku aman dalam bekerja akan
mendapatkan hukuman (punishment). Hal ini merupakan suatu faktor pemicu (reinforcement factor)
untuk menekan perilaku tidak aman.
Perilaku tidak aman dalam bekerja ini dapat dikurangi dengan melakukan beberapa cara yakni:
bahaya secara fisik. Cara ni dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya perilaku tidak aman.
b. Mengubah sikap pekerja agar lebih peduli dengan keselamatan dirinya. Cara ini dilakukan
engan
asumsi bahwa perubahan sikap akan mengubah perilaku. Berbagai cara dapat dilakukan dengan
kampanye dan pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (safety training).
c. Memberikan hukuman (punishment) terhadap perilaku tidak aman. Cara ini harus dilakukan
secara
Kehidupan Pribadi
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa globalisasi memberikan pengaruh yang besar kepada
perusahaan dalam menyusun kebijakan-kebijakannya yang ramah lingkungan. Dampak tersebut
ditidak saja dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga kepada para karyawan sebagai konsumen dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan dampak dari globalisasi bisa meliputi
beberapa aspek sebagai berikut:
a. Pengambil kebijakan di tingkat nasional, di mana perubahan yang cepat dan cenderung tidak
menentu, persaingan yang semakin ketat dan adanya kompetisi di berbagai bidang kehidupan,
menuntut kalangan ini untuk meningkatkan strategi dan langkah-langkah operasional yang ramah
lingkungan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, aparat birokrasi dan hukum yang handal,
perangkat hukum yang memadai agar bisa tercapai suatu efisiensi dan daya saing yang diinginkan.
b. Pelaku ekonomi, di mana daya saing ekonomi yang meningkat, kemampuan produksi dan
ekspor yang
membesar membutuhkan suatu upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan pasar bagi hasil
produksi
nasional yang ramah lingkungan, juga pasar internasional dalam kerangka kerjasama multilateral,
c. Pemerintah, di mana pemerintah pusat dan daerah diharapkan semakin memainkan peran
sebagai
fasilitator dalam menerapkan konsep persahaan yang ramah lingkungan, pemberi dorongan dan
bimbingan kepada para pelaku bisnis untuk meningkatkan daya saing dalam skala nasional dan
yang diperlukan, sambil memberikan arah kepada prakarsa dan partisipasi masyarakat;
d. Dunia usaha, di mana kalangan pengusaha diharapkan untuk lebih luwes dan sensitif dalam
menghadapi tuntutan pasar yang semakin paham akan konsep perusahaan yang ramah lingkungan.
Mereka juga hendaknya lebih jeli mempelajari peluang-peluang pasar dan meningkatkan efisiensi
serta daya-saingnya. Justru dalam situasi persaingan di era globalisasi ini dituntut adanya
kerjasama yang erat antara para pelaku bisnis dan pemerintah dalam memperjuangkan kepentingan
Dampak lainnya dari globalisasi ekonomi yang semakin menuntut adanya perusahaan yang ramah
lingkungan ini adalah sebuah perusahaan tidak seharusnya berorientasi pada laba (profit) semata-
mata, tetapi juga harus memberikan perhatian yang besar juga pada kesejahteraan masyarakat dan
karyawan (people) dan lingkungan (planet). Perusahaan diharapkan tidak melakukan perusakan
lingkungan, tetapi perusahaan dituntut untuk memberikan efek yang positif pada lingkungannya.
Implementasinya bisa dalam bentuk produk yang ramah lingkungan (green product), penggunaan
teknologi yang ramah lingkungan (green technology) dan proses produksi yang ramah lingkungan
(green process).
Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan label pada produk yang dihasilkan (ecolabelling) oleh
suatu perusahaan. Tujuan dan manfaat dari pemasangan label pada suatu produk adalah:
b. Memberikan informasi kepada konsumen tentang suatu produk, apakah produk tersebut
aman untuk
mereka tidak hanya memperhatikan faktor harga dan mutu suatu produk, tetapi faktor lingkungan.
e. Mendorong inovasi bagi kalangan dunia industri untuk tetap memperhatikan kondisi
lingkungan
sekitarnya.
f. Memberikan citra positif bagi produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan sehingga
menjadi
Namun, sejalan dengan tanggung jawabnya maka perusahaan yang ramah lingkungan juga memiliki
dua dimensi tanggung jawab yakni tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility
– CSR) dan tanggung jawab komersial perusahaan (corporate commercial responsibility – CCR).
Dengan demikian perusahaan-perusahaan yang menjalankan program CSR akan lebih diterima di
masyarakat. Tetapi, manakala suatu saat perusahaan tersebut melakukan kegiatan yang tidak etis
dengan mengabaikan CCR, maka dampak yang diterimanya akan lebih besar dibandingkan
perusahan yang tidak menjalankan program CSR. Dalam hal ini peranan dari MSDM sangat
menentukan untuk mengupayakan kombinasi antara perilaku dan pengalaman sehari-hari karyawan
yang berkaitan dengan budaya ramah lingkungan sebagai konsumen dengan “kewajiban” mereka
dalam lingkungan kerja sebagai bagian dari proses produksi.
Jakarta, 27