Anda di halaman 1dari 20

KEMOTERAPI

Disusun Oleh Kelompok 3 :


1. Eka Megawati (19010215)
2. Ferry Yunius (19010220)
3. Greta Dwi Violeta (19010221)
4. Syamsul Arifin (19010243)

PROGRAM STUDI AHLI JEJANG


STIKES dr. SOEBANDI JEMBER
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kanker merupakan masalah kesehatan masyarakat yang bisa menimpa semua
orang. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun jumlah penderita
kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT), kematian yang disebabkan kanker meningkat dari tahun ke tahun
(Hawari, 2009). Kanker payudara adalah tumor ganas yang berasal dari kelenjar
payudara. Termasuk saluran kelenjar air susu dan jaringan penunjangnya yang tumbuh
infiltratif, destruktif, serta bermetastase ( Suryana, 2008)..
Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2007, kejadian kanker
payudara di Indonesia sebanyak 8.227 kasus atau 16,85% dan pada tahun 2008, 12 juta
pasien yang baru terdiagnosis kanker dan lebih dari 7 juta pasien meninggal akibat
kanker. Pada tahun 2030 diperkirakan terjadi kasus kanker sebanyak 20 hingga 26 juta
pasien dan 13 hingga 17 juta pasien mininggal akibat kanker payudara.
Penyakit keganasan kanker dapat diobati dengan pembedahan, penyinaran atau
kemoterapi sitostatika, hormon terapi, imunoterapi, hipertermi. Sering kali cara-cara ini
dikombinasikan. Kemoterapi dengan sitostatika dapat menyembuhkan hanya sejumlah
kecil jenis kanker (Tjay dan Rahardja, 2007). Sitostatika mempunyai efek yang dapat
merugikan seperti gangguan gastrointestinal (emetogenik). Berdasarkan sifat
emetogeniknya obat kemoterapi dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu emetogenik berat, sedang
dan ringan (Dyah, 2008).
Penelitian mengenai pemberian antiemetik khususnya untuk pasien kanker yang
memperoleh sitostatika penting dilakukan karena tidak semua rumah sakit memberikan
terapi yang paripurna kepada pasien kanker. Antiemetika dapat menutupi penyebab
muntah. Mual dan muntah merupakan efek samping yang menakutkan bagi penderita
dan keluarganya sehingga kadang-kadang penderita menolak pengobatan lanjutan,
karena efek samping tersebut muncul setelah pengobatan lanjutan. Akibat dari muntah
yang tidak diobati atau mendapat pengobatan yang tidak adekuat pada penderita kanker
pada umumnya mengakibatkan keadaan yang lemah, nafsu makan dan minum menurun,
status gizi kurang baik, dehidrasi dan gangguan elektrolit (Binfar, 2006).
Berdasarkan data rekam medik pasien rawat jalan dan rawat inap di RSUD Dr.
Moewardi pada tahun 2005, dapat diketahui kasus kanker leher rahim sebanyak 804
kasus,kanker payudara sebanyak 2081 kasus, kanker paru sebanyak 1264 kasus (Ratna,
2009). Mengingat kanker masih merupakan masalah kesehatan terutama di negara-
negara yang sedang berkembang, kasus kejadian kanker di Indonesia masih tinggi salah
satunya di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Maka penulis tertarik untuk meneliti
penggunaan obat pada penyakit kanker di instalasi rawat inap RSUD Dr.Moewardi
Surakarta pada Tahun 2010.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka pentinglah dilakukan penelitian
untuk melakukan studi penggunaan obat antiemetika sebagai evaluasi dalam
penggunaan obat yang tepat berdasarkan standar yang telah ditetapkan.

B. PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan dibahas dalam analisis ini adalah : Bagaimanakah
penggunaan antiemetika pada pasien terdiagnosis kanker payudara di RSUD
Dr.Moewardi Surakarta pada tahun 2010 dilihat dari tepat obat dan tepat dosis?

C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan antiemetika
pada pasien terdiagnosis kanker payudara di RSUD Dr.Moewardi Surakarta pada tahun
2010 dilihat dari tepat obat dan tepat dosis.
BAB II
PEMBAHASAN

1. KANKER
Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang
tumbuh secara terus-menerus, tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan
sekitarnya dan tidak berfungsi fisiologis. Kanker terjadi karena timbul dan berkembang
biaknya jaringan sekitarnya (infiltratif) sambil merusaknya (dekstrutif), dapat menyebar
kebagian lain tubuh, dan umumnya fatal jika dibiarkan
A. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab spesifik kanker masih belum diketahui, tapi terdapat banyak faktor
yang diperkirakan berpengaruh dalam terjadinya kanker ini, diantaranya faktor umur,
rasial, paparan estrogen, gaya hidup, radiasi, riwayat keluarga, riwayat kanker
ovarium dan faktor genetik.
B. Diagnosis dan Skrining
Diperkirakan 95% wanita yang didiagnosis pada tahap awal kanker payudara
dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun setelah diagnosis, sehingga banyak dokter yang
merekomendasikan agar para wanita menjalani SADARI di rumah secara rutin dan
menyarankan dilakukannya pemeriksaan rutin tahunan untuk mendeteksi adanya
benjolan pada payudara. Pemeriksaan penunjang lain juga dapat dilakukan untuk
mendeteksi adanya kanker payudara selain dengan tes fisik. Pemeriksaan ini meliputi
mammografi, ultrasonografi dan biopsi (Aryani, 2008).
C. Stadium
Stadium klasifikasi stadium klinik kanker yang sering digunakan adalah
klasifikasi TNM (Tabel 1). T menunjukkan ukuran tumor primer, N : kelenjar getah
bening regional dan M : metastase jauh. Dalam sistem ini kanker payudara dibagi
menjadi :
1) Stadium 0, menunjukkan carcinoma in situ (Tis) dimana penyakit tidak
terinvasi ke membran basemen.
2) Stadium I, dimana tumor berukuran kecil dan tidak menyebar ke nodus limfa.
3) Stadium IIA, dimana terjadi salah satu dari kondisi berikut ini :
a) Tumor berukuran lebih kecil atau sama dengan 2 cm dan sudah menyebar
ke nodus limfa aksilasi.
b) Tumor berukuran 2-5 cm dan belum menyebar ke nodus limfa aksilari.
c) Belum ada tumor di payudara, tetapi terdapat kanker di nodus limfa aksilari.
4) Stadium IIB, dimana terjadi salah satu dari kondisi berikut ini :
a) Tumor berukuran 2-5 cm dan sudah menyebar ke nodus limfa aksilari.
b) Tumor berukuran lebih besar dari 5 cm dan belum menyebar ke nodus
limfa aksilari.
5) Stadium IIIA, dimana terjadi salah satu dari kondisi berikut ini :
a) Tumor berukuran lebih kecil dari 5 cm dan sudah menyebar ke nodus
limfa aksilari.
b) Tumor berukuran lebih besar dari 5 cm dan sudah menyebar ke nodus
limfa aksilari.
6) Stadium IIIB, dimana tumor sudah menyebar sampai rongga dada atau terjadi
ulserasi payudara, sudah atau belum menyebar ke nodus limfa aksilari tapi
belum menyebar ke bagian lain dari badan.
7) Stadium IIIC, dimana belum terjadi metastase jauh, tapi tumor sudah menyebar
ke nodus limfa lain.
8) Stadium IV, dimana sudah terjadi metastase jauh, biasanya ke tulang, paru-
paru, hati, dan rongga dada (Sobin, 2002).

Tabel 1. Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Payudara

Stadium Tumor Nodus Metastasis

0 1s 0 0
I 1 0 0
II A 0 1 0
1 1 0
2 0 0
II B 2 1 0
3 0 0
III A 0 2 0
1 2 0
2 2 0
3 1,2 0
III B 4 0 0
4 1 0
4 2 0
III C semua T 3 0
IV semua T semua N 1

Keterangan tabel :
T1s : carcinoma in situ adalah non infiltrating intraductal carcinoma dimana tak teraba tumor
T0 : tumor tak teraba tapi terdapat edem pada mamografi T1 : tumor kurang dari 2
cm
T2 : tumor antara 2-5 cm
T3 : tumor lebih dari 5 cm

T4 : tumor dengan segala ukuran dimana telah mencapai dinding dada, infiltras pada kulit
N0 : tidak ada metastasis ke nodus limfa regional.
N1 : metastasis ke nodus limfa aksilari ipsilateral yang dapat digerakkan N2 : metastasis ke
nodus limfa aksilari ipsilateral yang tidak dapat digerakkan.
N3 : metastasis ke nodus limfa ipsilateral supraklavikular atau ipsilateral intraklavikular.
M0 : tidak terdapat metastase jauh
M1 : sudah terdapat metastase jauh

D. Penanganan Kanker
Penanganan kanker ada bermacam-macam, antara lain dengan pembedahan,
radioterapi, obat-obatan sitostatika (kemoterapi), imunoterapi, pengobatan dengan
hormon, dan hipertemi (Tjay dan Rahardja, 2007).
1). Pembedahan
Hanya dilakukan pada tumor tunggal yang belum menyebar dengan jalan
mengeluarkan secara radikal. Risikonya adalah penyebaran sel-sel tumor ke
jaringan dan pembuluh di sekitarnya akibat pemotongan (Tjay dan Rahardja,
2007).
2). Radiasi
Dengan sinar radioaktif (radioterapi) “membakar” dan memusnahkan sel-sel
tumor. Alat-alat megavolt 4-25 MV, SL-25’, Racetract Microtron MM50.
Radiasi intern menggunakan sumber radioaktif dua radio isotop iridium dan
cesium. Cara ini memungkinkan radiasi langsung langsung “dari dalam”
dengan dosis tinggi tanpa merugikan jaringan sekitarnya. Kedalam tumor
dimasukkan dengan pembiusan tabung-tabung kecil yang diisi dengan
elemen-elemen radio- aktif (Tjay dan Rahardja, 2007).
3). Kemoterapi
Sitostatika (kemoterapi) mempunyai risiko tingkat emetogenik yang
bervariasi. Pasien yang menerima kemoterapi dengan tingkat emetogenik
high, moderate, dan low, berarti mual-muntah terjadi pada 90%, 30-90%, dan
10-30% pasien (Dipiro et al, 2005).
4). Imunodulator
Kelompok obat ini digunakan untuk menekan reaksi jaringan terhadap
cangkokan dan untuk mengobati beberapa penyakit autoimun. Kerja obat ini
tidak spesifik sehingga sel darah tepi harus dipantau, dan dosis harus
disesuaikan. Contoh obat : Interferon a, Interferon β, Interferon γ (Tjay dan
Rahardja, 2007).
5). Anti Kanker hormonal & antagonisnya
Terapi hormon memegang peranan penting dalam pengobatan kanker pada
organ-organ yang pertumbuhannya sangat bergantung pada hormon,
misalnya payudara, prostat, dan endometrium. Pengobatan ini bukan bersifat
kuratif, tetapi bersifat paliatif yang kadang pada sebagian pasien menekan
penyakit sampai bertahun-tahun. Respon klinik dan toksisitas harus dipantau
ketat, dan bila penyakit berkembang atau timbul efek samping yang lebih
merugikan dibanding manfaatnya, pengobatan harus dihentikan. Contoh
obat : Dietilstillbestrol, Etinilestradiol, Megestrol acctate, Tamoxifen dan
lain-lain (Tjay dan Rahardja, 2007).
6). Hipertermi
Penanganan tumor dengan kalor sebagai terapi tambahan (adjuvant therapy)
untuk memperkuat efek radiasi. Kalor dari 43-440 C bekerja mematikan
langsung sel-sel tumor terutama dalam lingkungan asam dan kekurangan
oksigen. Karena pemanasan lama dan seksama secara tekhnis sulit sekali, maka
hingga kini khusus digunakan pada tumor-tumor di permukaan kulit, mamma,
kelenjar leher (Tjay dan Rahardja, 2007).
7). Geneterapi
Inaktivasi dari gen-gen tertentu berperan penting pada pertumbuhan liar dari
tumor. Pada binatang percobaan, gen p53 sudah dapat dimasukkan ke dalam
sel tumor dengan efek terhentinya pertumbuhan. Geneterapi dewasa ini
sedang dikembangkan di banyak Pusat Riset Kanker (Tjay dan Rahardja,
2007).

2. Kemoterapi
Kemoterapi adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker. Tidak seperti
radiasi atau operasi yang bersifat local, kemoterapi merupakan terapi sistemik, yang
berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel kanker yang telah
menyebar jauh atau metastase ke tempat lain (Rasjidi, 2007).
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single
agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat
mungkin sensitif terhadap obat lainnya.
1. Cara pemberian kemoterapi
a. Pemberian per oral
Beberapa jenis kemoterapi telah dikemas untuk pemberian peroral,
diantaranya adalah chlorambucil dan etoposide (vp-16)
b. Pemberian secara intra-muskulus:
Pemberian dengan cara ini relative lebih mudah dan sebaiknya suntikan
tidak diberikan pada lokasi yang sama dengan pemberian dua-tiga kali
berturut-turut yang dapat diberikan secara intra-muskulus antara lain
bleomicin dan methotrexate.
c. Pemberian secara intravena
Pemberian secara intravena dapat dengan bolus perlahan-lahan atau diberikan
secara infuse (drip). Cara ini merupakan cara pemberian kemoterapi yang
paling umum dan banyak digunakan .
d. Pemberian secara intra-arteri
Pemberian intra-arteri jarang dilakukan karena membutuhkan sarana yang
cukup banyak antara lain alat radiologi diagnostic, mesin, atau alat filter,
serta memerlukan keterampilan tersendiri.
Tabel 2. Beberapa contoh paduan obat kemoterapi yang lazim digunakan
(Arima, 2006).

No Jenis obat dan cara pemberian Penggunaan

1. CAF Kanker payudara


Cyclophospamid,i.v.,500mg/m2, 1 hari
Doxorubicin (Adreamycin), i.v.,50 mg/m2, 1hari
Fluorouracil,.i.v., 500mg/m2, 1hari

2. CAV Kanker alat kelamin


Cyclophospamid,.i.v., 45mg/m2, 1hari
Doxorubicin (/,dreamycin).,i.v.,50mg/m2, 1hari
Vincristin,i.v.,1,4 mg/m2(max;2mg), 1 hari

3. CAP
Cisplatin, i.v., 50 mg/m2, 1 hari Kanker ovari
Cyclophospamid,i.v.,500 mg/m2, 1 hari
Doxorubicin (Adreamycin),i.v., 50 mg/m2, 1 hari
2. Obat Sitostatika
Obat-obat sitostatika yang digunakan sebagai kemoterapi adalah sebagai berikut :
a) Siklofosfamid. Siklofosfamid diberikan secara oral atau intra vena. Dosis yang
dianjurkan sangat bervariasi, sebagai senyawa tunggal dosis harian oral 100
mg/m2 untuk 14 hari dianjurkan untuk pasien-pasien dengan neoplasma yang
lebih rentan, seperti limfoma, dan leukemia kronis. Dosis lebih tinggi sebesar
500 mg/m2 secara intra vena tiap 3 hingga 4 minggu dalam kombinasi dengan
obat lain yang sering diberikan pada pengobatan kanker payudara dan limfoma.
Spektrum klinis aktivitas siklosfofamid sangat luas. Obat ini sering digunakan
dalam kombinasi dengan metotreksat atau doksorubisin dan fluorourasil
sebagai terapi ajuvan setelah pembedahan karsinoma payudara (Goodman dan
Gilman, 2008). Adakalanya terjadi radang mukosa kandung kemih dengan
perdarahan. Guna menghindari hal ini, maka pasien perlu minum banyak air
selama terapi. Dosis oral 50-200 mg sehari tiap 7-14 hari, intra vena 10-15
mg/kg/hari setiap 3-7 hari (Tjay dan Rahardja, 2007).
b) Metotreksat. Obat ini menghambat reduksi dari asam folat menjadi
tetrahydrofolic acid (THFA) dengan jalan pengikatan pada enzim reduktase.
THFA penting sekali bagi sintesa DNA dan pembelahan sel. Antagonis folat ini
adalah sitostatika pertama yang efektif pada leukemia limfe akut dan kanker
chorion yang sudah tersebar dengan sekitar 80% penyembuhan. Dosis
tergantung pada jenis kanker dan keadaan pasien oral 5-30 mg sehari selama 5
hari (Tjay dan Rahadja, 2007).
c) Fluorourasil : 5-FU, Efudix. Antagonis pirimidin ini merintangi sintesa DNA
melalui saingan dengan pirimidin. Obat ini banyak digunakan untuk tumor
yang sudah menyebar dari buah dada, usus besar dan poros usus (rectum), juga
dari lambung, hati, pankreas, dan lain-lain. Efektivitasnya (20-30%) diperbesar
dengan terapi kombinasi. Dosis 10-15 mg/kg intravena selama 4-6 hari (Tjay
dan Rahardja, 2007)
d) Paclitaxel : Taxol, Obat baru dari kelompok taxan ini terdapat dalam jumlah
kecil sekali (1:13.5000) di kulit pohon cemara Taxus brevifolia. Kini diperoleh
secara semi sintesis dari suatu zat pelopornya (baccatine) yang diperoleh dari
jarum-jarum Taxus baccata. Berkhasiat sitotoksis dengan jalan menghambat
mitosi dan mengikat suatu protein, yang menghalangi apoptosis. Obat ini
digunakan khusus pada kanker ovarium dan kanker mamma yang tersebar
setelah terapi dengan cisplatin gagal. Dosis infuse i.v 135 mg/m 2 sehari (Tjay
dan Rahardja, 2007).
e) Docetaxel (Taxotere). Adalah derivate dengan efek dan mekanisme kerja yang
sama dan lebih kurang 2x lebih aktif daripada paclitaxel, bersifat sangat lipofil
dan tidak larut dalam air. Dosis : infuse i.v 100 mg/m 2 permukaan badan dari
larutan 0,3-0,9 g/l setiap 3 minggu (Tjay dan Rahardja, 2007).
f) Doxorubicin. Doksorubisin hidroklorida (Adriamycin Rubex) efektif pada
leukemia akut dan limfoma ganas, sejumlah tumor solid khususnya kanker
payudara. Efektif untuk pengobatan penyakit limfoma Hodgkin dan non
Hodgkin bila digunakan bersama dengan siklosfamid, vinkristin, prokarbazin,
dan obat-obat lain. Dosis yang dianjurkan 60-75 mg/m2 (Goodman dan Gilman,
2008).
g) Sisplatin. Tersedia untuk pemberian dosis intra vena. Dosis lazim 20 mg/m 2
per hari selama 5 hari atau 100 mg/m2 diberikan sekali setiap 4 minggu. Dosis
sebesar 40 mg/m2 setiap hari 5 hari berturut-turut. Kombinasi kemoterapi
dengan sisplatin, bleomisin, setoposid dan vinblastin bersifat kuratir untuk 85
% pasien kanker testis stadium lanjut. Obat ini juga bermanfaat untuk
karsinoma ovarium, khususnya jika digunakan bersama paklitaksel,
sikofosfamid, atau doksorabisin (Goodman dan Gilman, 2008).
h) Karboplatin. Karboplatin adalah salah satu alternatif yang efektif untuk pasien
dengan tumor responsif yang tidak dapat menolerasi sisplatin karena gangguan
fungsi ginjal, mual yang sukar hilang, kerusakan pendengaran yang parah
neuropati. Pemberian secara infus intra vena selama setidaknya 15 menit. Dosis
lazim adalah 360 mg/m2 diberikan sekali tiap 28 hari. Karboplatin kini
diijinkan untuk digunakan dalam kombinasi dengan paklitaksel atau
siklofosfamid pada pasien kanker ovarium lanjut (Goodman dan Gilman,
2008).

3. Antiemetika
Antiemetika secara umum digunakan untuk mencegah mabuk di perjalanan,efek
samping dari beberapa analgetik opioid dan kemoterapi yang mengarah pada penyakit
kanker. Impuls yang berasal dari otak untuk memulai muntah kadang terjadi tanpa
didahului perasangan mual (Guyton dan Hall, 1997). Antiemetika dapat menutupi
penyebab muntah bekerja dengan menghambat lokasi reseptor yang berhubungan
dengan emesis.
Antiemetika berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok besar dan beberapa obat tambahan yaitu:
a. Antikolinergika: Efeknya berdasarkan sifat antikolinergisnya dan mungkin juga
karena blokadereseptor-H1 di CTZ.
b. Antagonis Dopamin: Terdapat sejumlah obat yang menyebabkan mual dan
muntah sebagai efek samping akibat rangsangan langsung CTZ atau
rangsangan mukosa lambung. Zat-zat ini berdaya melawan mual.
c. Antagonis Serotonin : Mekanisme kelompok zat ini belum begitu jelas, Tetapi
mungkin karena blokade serotonin yang memicu refleks muntah dari usus halus
dan rangsangan terhadap CTZ. Terutama efektif selama hari pertama dari terapi
dengan sitostatika yang bersifat emetogen kuat, juga pada radioterapi.
Berdasarkan onsetnya mual-muntah umumnya dibagi menjadi 3 tipe
yaitu :
1). Tipe antisipatori : munculnya sebelum mulai seri kemoterapi sitostatika
diberikan akibat rangsang bau, pandangan, dan suara di ruang terapi, seringkali
muncul setelah seri 3-4 karena pengalaman mual dan muntah tipe akut
tertunda.
2). Tipe akut : munculnya ≤ 24 jam setelah kemoterapi
3). Tipe tertunda : munculnya ≥ 24 jam setelah kemoterapi (Gruenberg, 2004).
Muntah terjadi akibat dari stimulasi dari pusat muntah dan berlangsung menurut
beberapa mekanisme. Empat bagian susunan emetogenik pada obat sitostatika
antara lain :
a. Mual muntah akut. Biasanya terjadi saat pemberian sitostatika. Tanpa
pengobatan antiemetik, obat sitostaika dengan potensi mual muntah sedang
sampai berat diperkirakan dapat menyebabkan mual muntah yang berulang
atau terus menerus.
b. Mual muntah tertunda menggambarkan keterlambatan mual muntah akibat
penggunaan terapi sitostatika cisplatin. Terjadi 2 – 6 hari setelah terapi.
c. Mual muntah yang berlarut, biasanya untuk obat sitostatika emetogenik
sedang seperti cyclophospamid dosis 500 mg dapat menyebabkan mual
muntah selama 2-3 hari.
d. Antisipator mual muntah. Ini terjadi pada pasien yang sudah merasa mual
atau rasa tidak enak di perut dan cemas, padahal obat sitostatika belum
diberikan. Sebagai pasien dapat menekan rasa tersebut dengan latihan
relaksasi (Jeffery et al, 1998).

Tabel 3. Potensi emetogenik obat sitostatika (Dipiro et al, 2005).

Efek timbulnya emetogenik Obat sitostatika

High (90%) Berat Cisplatin


Akut

Tertunda / delayed
Dactinomycin,Cytarabine (dosis tinggi)

Moderate (30 – 90%) Sedang Cyclophosphamid


Carboplatin
Doxorubicin
Daunorubicin

Low (10-30%) Etoposide


Fluorouracil
Ringan Hydroxyurea
Metotrexat
Vinblastine
Vincristine

Melphalan (PO, dosis ringan)


Mercaptipurine

Tabel 4.obat sitostatika dengan pemberian antiemetik (Jeffery et al, 1998).


Obat Sitostatika Sebelum Sitostatika Setelah Sitostatik
Emetogenik berat Dexametason 8-20 mg Metoklopramid 10-40 mg atau
Cisplatin > 50 mg/ml dengan Ondansetron 8 mg penambahan dexametason untuk 5
IV 1 – 3 jam hari (dosis awal 8 mg selama 5
hari, untuk 2 hari dosis 4 mg.)
Emetogenik Sedang Dexametason 8-20 mg Metoklopramid atau
Cyclophosphamid dengan Ondansetron 8 mg prokhlorperazin sesuai dosis untuk
Doxorubicin 1-3 hari
Emetogenik Ringan Dexametason 8-20 mg Metoklopramid atau
Flourouracl prokhlorperazin
Metotrexat
4. Deskripsi Obat-obat Antiemetika
Obat-obat antiemetika yang digunakan sebagai anti mual-muntah adalah sebagai
berikut :
a. Metoklopramid. Derivat aminoklorobenzamida ini berkhasiat antiemetik kuat
berdasarkan awalnya blockade reseptor dopamine di Chemoreceptor Trigger
Zone (CTZ). Di samping itu zat ini juga memperkuat pergerakan dan
pengosongan lambung (Propulsivum) efektif pada semua jenis muntah, terutama
akibat kemoterapi (Tjay dan Rahardja, 2007).
b. Ondansetron (narfoz ®). Senyawa karbazol ini adalah antagonis serotonin
selektif (dari reseptor 5HT3). Bekerja antiemetik kuat dengan
mengantagoniskan refleks muntah dari usus halus dan stimulasi CTZ, yang
keduanya diakibatkan oleh serotonin. Ondansetron biasanya diberikan secara
intra vena 30 menit sebelum kemoterapi. Efeknya dapat diperkuat dengan
kombinasi pemberian deksametason 20 mg per infus sebelum kemoterapi
dimulai. Efek sampingnya berupa nyeri kepala, rasa panas muka, dan perut
bagian atas (Tjay dan Rahadja, 2007). Ondansetron yang diberikan secara
parenteral terbukti aman dan efektif dalam mencegah mual dan muntah pasca
bedah. Direkomendasikan untuk profilaksis pada dewasa adalah 4-8
mgintravena, sedangkan pada anak 50-100 µg/kgBB intravena (Tramer, 1997).
c. Dexamethason. Golongan kortikosteroid dapat dipakai sebagai pengobatan
mual dan muntah sebagai obat tunggal, tetapi umumnya lebih sering dipakai
sebagai obat kombinasi. Deksametason sering dipakai sebagai obat pilihan
pada penderita mual-muntah yang disebabkan kemoterapi (Tjay dan Rahardja,
2007). Deksametason paling efektif bila diberikan sebelum induksi anestesi (Liu
et al, 1999).Walaupun batas dosis deksametason untuk profilaksis PONVsangat
luas namun dosis 2,5 mg, 5 mg, dan 0,15 mg/kgBB intravenadilaporkan
bermakna menurunkan kekerapan PONV yang berhubungan dengan pembedahan
ginekokogi dan laparoskopi ginekologi (Pappas,1999) sedangkan dosis 0,056
mg/kgBB intravenamerupakan dosis terkecil yang pernah diteliti umtuk
mencegah PONV (Alwie, 1995). Dengan dosis deksametason 5 mg intravena
yang diberikan sebelum induksi anestesi sebagai agen tunggal terbukti tidak
terdapat efek samping yang signifikan serpeti pada penggunaan steroid
dosistinggi atau pemakaian lama (Henzi, 2000)
d. Granisetron (Kytril®). Derivat indazol dan juga antagonis reseptor-5HT3
dengan khasiat antiemetik kuat yang long-acting. Efektivitas, penggunaan dan
efek samping sama dengan ondansetron. Dosis profilaksis 1 mg (garam HCI)
dalam 1 jam sebelum kemoterapi dimulai, 12 jam kemudian 1 mg lagi (Tjay dan
Rahardja, 2007).
e. Domperidon. Senyawa benzimidazolinon ini adalah propulsivum yang
berkhasiat menstimulasi peristaltic dan pengosongan lambung. Di samping itu
juga berdaya antiemetik . digunakan pada reflux – esofagus dan pada mual dan
muntah akibat kemoterapi dan migrain. Dosis 3-4 kali sehari 10-20 mg sebelum
makan ; anak-anak 3-4 kali sehari 0,3 mg/kg; rectal anak-anak sampai 2 tahun
2-4 kali sehari 110 mg; i.m/I.v 0,1-0,2 mg per kg berat badan dengan
maksimum 1 mg/kg berat badan sehari (Tjay dan Rahardja, 2007).
f. Aprepitant. Aprepitant efektif untuk mencegah mual-muntah akibat kemoterapi
dengan sisplatin dosis tinggi. Aprepitant merupakan neurokinin 1 reseptor
antagonis yang diberikan dalam kombinasi dengan Selective Serotonin Receptor
Inhibitors (ondansetron, granisetron, dolasetron, palonosetron) dan
kortikosteroid. Dosis 125 mg per oral hari pertama, 80 mg per oral hari ke dua
dan tiga (Gruenberg, 2004).
g. Fenotiazin. Digunakan untuk mengobati mual muntah karena kemoterapi
dengan emetogenitas ringan, misalnya : proklorperazin, klorpromazin
( gruenberg, 2004).
h. Lorazepam. Beberapa benzodiazepine adalah merupakan agen antiansietas, tapi
obat-obat itu bermanfaat sebagai tambahan untuk antiemetika, tetatpi obat-obat
itu tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk mual muntah (Pazdur,
2001)
5. Cara kerja kemoterapi
Suatu sel normal akan berkembang mengikuti siklus pembelahan sel yang teratur.
Beberapa sel akan membelah diri dan membentuk sel baru dan sel yang lain akan mati. Sel
yang abnormal akan membelah diri dan berkembang secara tidak terkontrol, yang pada
akhirnya akan terjadi suatu masa yang dikenal sebagai tumor (Rasjidi, 2007).
Siklus sel secara sederhana dibagi menjadi 5 tahap yaitu:
1. Fase G0, dikenal juga sebagai fase istirahat Ketika ada sinyal untuk
berkembang, sel ini akan memasuki fase G1.
2. Fase G1, pada fase ini sel siap untuk membelah diri yang diperantarai oleh
beberapa protein penting untuk bereproduksi. Fase ini berlangsung 18-30 jam.
3. Fase S, disebut sebagai fase sintesis. Pada fase ini DNA sel akan di kopi. Fase
ini berlangsung selama 18-20 jam.
4. Fase G2, sintesis protein terus berlanjut. Fase ini berlansung 2-10 jam.
5. Fase M. sel dibagi menjadi 2 sel baru. Fase ini berlangsung 30-60 menit.

Siklus sel sangat penting dalam kemoterapi sebab obat kemoterapi mempunyai
target dan efek merusak yang berbeda bergantung pada siklus selnya. Obat kemoterapi
aktif pada saat sel sedang bereproduksi ( bukan pada fase G0 ), sehingga sel tumor yang
aktif merupakan target utama dari kemoterapi namun, oleh karena itu sel yang sehat juga
bereproduksi, maka tidak tertutup kemungkinan mereka juga akan terpengaruh oleh
kemoterapi, yang akan muncul sebagai efek samping obat (Rasjidi, 2007).

6. Efek samping kemoterapi


Efek samping dari kemoterapi meliputi, anemia, trombositopenia, leucopenia, mual
dan muntah, alopesia (rambut rontok), stomatitis, reaksialergi, neurotoksik, dan
ekstravasasi (keluarnya obat vesikan atau iritan ke jaringan subkutan yang berakibat
timbulnya rasa nyeri, nekrosis jaringan, dan ulserasi jaringan) (Rasjidi, 2007).
Efek kemoterapi secara fisik.
Kemoterapi memiliki dampak dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dampak
terhadap fisik dan psikologis kemoterapi memberikan efek nyata kepada fisik pasien,
setiap orang memiliki variasi yang berbeda dalam merespon obat kemoterapi, efek fisik
yang tidak diberikan penanganan yang baik dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien,
adapun dampak fisik kemoterapi adalah sebagai beriku (Ambarwati, 2014).
a. Mual dan muntah
b. Konstipasi
c. Neuropati perifer
d. Toksisitas kulit
e. Kerontokan rambut (alopecia)
f. Penurunan berat badan
g. Kelelahan (fatigue)
h. Penurunan nafsu makan
i. Perubahan rasa dan nyeri.

Efek Samping Psikologi


Wijayanti (2007) menyebutkan beberapa dampak psikologis pasien kanker diantaranya
sebagai berikut:
a. Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah kondisi psikologis yang disebabkan oleh gangguan
motivasi, proses kognisi, dan emosi sebagai hasil pengalaman di luar kontrol
organisme. Ketidakberdayaan pada penderita kanker bisa terjadi karena proses
kognitif pada penderita yang berupa pikiran bahwa usahanya selama ini untuk
memperpanjang hidupnya atau mendapatkan kesembuhan, ternyata menimbulkan
efek samping yang tidak diinginkan (perasaan mual, rambut rontok, diare kronis,
kulit menghitam, pusing, dan kehilangan energi). Efek samping yang tidak
diinginkan ini dapat muncul berupa proses emosi dimana penderita tersebut merasa
bahwa mereka hanya dijadikan sebagai objek uji coba dokter. Proses kognisi dan
emosi inilah seorang penderita melakukan suatu reaksi penolakan sebagai gangguan
dalam hal motivasi. Munculnya ketidak berdayaan ini mampu menimbulkan suatu
bentuk tingkah laku yang dapat dilihat oleh semua orang (overt behavior). Bentuk
tingkah laku ini bisa seperti marah dan seolah mencoba mengontrol lingkungan
untuk menerima keberadaan mereka. Ketidakberdayaan dapat meyebabkan
penderita kanker mengalami dampak psikologis lain yaitu depresi (Wijayanti,
2007).
b. Kecemasan
Kecemasan adalah keadaan psikologis yang disebabkan oleh adanya rasa khawatir
yang terus-menerus ditimbulkan oleh adanya inner conflict. Dampak kecemasan
yang muncul pada penderita kanker adalah berupa rasa takut bahwa usianya akan
singkat (berkaitan dengan inner conflict). Inner conflict berupa kegiatan untuk
menjalani pengobatan agar bisa sembuh tetapi tidak mau menerima adanya risiko
bagi penampilannya. Risiko disini dapat berupa rambut rontok dan kulit menghitam
akibat kemoterapi, atau hilangnya payudara akibat operasi. Kecemasan dapat
digolongkan dalam bentuk covert behavior, karena merupakan keadaan yang
ditimbulkan dari proses inner conflict. Kecemasan dapat pula muncul sebagai reaksi
terhadap diagnosis penyakit parah yang dideritanya. Sebagai seseorang yang awalnya
merasa dirinya sehat, tiba-tiba diberitahu bahwa dirinya mengidap penyakit yang
tidak dapat disembuhkan, tentu saja muncul penolakan yang berupa
ketidakpercayaan terhadap diagnosa. Penolakan yang penuh kecemasan ini terjadi
karena mungkin ia memiliki banyak rencana akan masa depan, ada harapan pada
kemajuan kesehatannya, dan itu seolah terhempas.
c. Rasa malu
Rasa malu merupakan suatu keadaan emosi yang kompleks karena mencakup
perasaan diri yang negatif. Perasaan malu pada penderita kanker muncul karena ada
perasaan dimana ia memiliki mutu kesehatan yang rendah dan kerusakan dalam
organ.
d. Harga diri
Sebagai penderita penyakit terminal seperti kanker, disebutkan bahwa pada diri
penderita mengalami perubahan dalam konsep diri. Harga diri merupakan bagian dari
konsep diri, maka bila konsep diri menurun diartikan bahwa harga dirinya juga
menurun. Terjadinya penurunan harga diri sejalan dengan memburuknya kondisi
fisik, yaitu pasien tidak dapat merawat diri sendiri dan sulit menampilkan diri secara
efektif. Ancaman paling berat pada psikologisnya adalah kehilangan harga diri.
Penurunan dan kehilangan harga diri ini merupakan reaksi emosi yang muncul pada
perasaan penderita kanker.
e. Stres
Stres yang muncul sebagai dampak pada penderita kanker memfokuskan pada
reaksi seseorang terhadap stressor. Stressor dalam hal ini adalah penyakit kanker.
Stres yang muncul ini merupakan bentuk manifestasi perilaku yang tidak muncul
dalam perilaku yang nampak (covert behavior). Stres ini dipengaruhi oleh beberapa
hal, salah satunya adalah dukungan sosial. Dukungan sosial sangat berguna untuk
menjaga kesehatan seseorang dalam keadaan stres.
f. Depresi
Depresi adalah satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola
tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa, dan tidak
berdaya, serta gagasan bunuh diri. Salah satu akibat dari kecemasan yang berupa
usianya akan singkat, menjadikan perasaan putus asa dalam diri penderita kanker.
Ketidakberdayaan yang menjadi dampak psikologis memicu timbulnya perasaan
depresi. Penderita kanker payudara umumnya mengalami depresi dan hal ini tampak
nyata terutama disebabkan karena rasa nyeri yang tidak teratasi dengan gejala
sebagai berikut: Penurunan gairah hidup, perasaan menarik diri, ketidak kemampuan,
dan gangguan harga diri.Somatis berupa berat badan menurun drastis dan insomnia.
Rasa lelah dan tidak memiliki daya kekuatan.
g. Amarah
Seseorang yang mengalami reaksi fisiologis, dapat muncul suatu ekspresi
emosional tidak sengaja yang disebabkan oleh kejadian yang tidak menyenangkan
dan disebut sebagai amarah. Semua suasana sensori ini dapat berpadu dalam pikiran
orang dan membentuk suatu reaksi yang disebut marah. Reaksi amarah yang muncul
ini tentu saja dapat terjadi pada penderita kanker, karena suatu penyakit merupakan
suatu hal yang tidak menyenangkan. Munculnya reaksi marah pada penderita kanker
dapat muncul karena perasaan bahwa banyak kegiatan hariannya yang diinterupsi
oleh penyakit yang membuatnya tidak berdaya. Reaksi marah yang muncul bisa
berupa reaksi motorik (overt behavior) seperti tangan mengepal, perubahan raut
muka seperti alis mengkerut.
 Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh :
a) Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh
tertentu.
b) Dosis.
c) Jadwal pemberian.
d) pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).
e) Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada
organ tertentu.

Anda mungkin juga menyukai