Anda di halaman 1dari 25

PERTAHANAN DAN KEAMANAN MARITIM

Oleh
Adim Jufriyatno Syarifudin
(A1I119019)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Transportasi Laut ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah Wawasan Kemaritiman. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang kemaritiman bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Wa Ode Reni, S.Pd, M.H selaku dosen pada
mata kuliah Wawasan Kemaritiman yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1. Pendahuluan......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................2
1.3. Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Batas-Batas Perairan Indonesia.....................................................................................3
A. Indonesia-Malaysia....................................................................................................4
B. Indonesia-Singapura..................................................................................................5
C. Indonesia-Thailand....................................................................................................7
D. Indonesia-India..........................................................................................................7
E. Indonesia-Australia....................................................................................................7
F. Indonesia-Vietnam.....................................................................................................8
G. Indonesia-Filipina......................................................................................................8
H. Indonesia-Republik Palau.......................................................................................8
I. Indonesia-Timor Leste...............................................................................................9
2.2 Laut Kepulauan (ALK) Indonesia.................................................................................9
2.3 Kegiatan-Kegiatan Ilegal yang Terjadi di Laut...........................................................14
A. Mafia Perikanan...................................................................................................15
B. Bajak Laut: Nyata Bukan Dongeng..................................................................16
2.4 Menjaga Keamanan Laut...........................................................................................17
A. Coast Guard Kekuatan Adidaya....................................................................18
BAB III..........................................................................................................................................20
PENUTUP.....................................................................................................................................20
3.1. Kesimpulan............................................................................................................20
3.2. Saran......................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) di dunia yang memiliki
wilayah laut teritorial dengan luas kurang lebih 5,9 juta kilometer persegi membutuhkan
pengamanan yang cukup besar. Ini sudah tentu menjadi tanggung jawab dan tugas dari
TNI AL serta aparat penegak hukum di laut lainnya. Atas cakupan itu, dalam
pengawasannya TNI AL membutuhkan dukungan alat utama sistem senjata (alutsista)
yang lengkap. Namun, semua itu belum terlihat hingga saat ini karena alasan keterbatasan
anggaran.
Atas dasar itu, sejumlah kalangan berpandangan kalau pertahanan laut Indonesia
masih terbilang lemah. Kebanyakan dari pengamat pertahanan di tanah air itu selalu
mengeluhkan kekurangan yang ada dan terns menyuarakan agar semua perlengkapan
untuk pertahanan laut dipenuhi. Apalagi, disisi lain pemerintah telah mampu menambah
se- bagian dari kebutuhan anggaran minimal (minimum essential budget) guna
mewujudkan pembangunan kekuatan pokok minimum (minimum essential force) TNI,
seiring peningkatan kesejahteraan prajurit. Dalam mengoptimalkan kekuatan TNI AL
yang ada saat ini, dilakukan pola gelar dan pola operasi penegakan kedaulatan dan
hukum di perairan Indonesia yang dilaksanakan secara terns menerus, Pelaksanaan
pola itu sendiri dilakukan dengan skala prioritas di perairan rawan selektif. Juga,
langkah yang diambil adalah menyusun kembali kekuatan tempurnya dengan mengacu
pada kekuatan pokok minimum (MEF) berdasarkan prediksi arah datangnya
ancaman (threat based planning) dan berdasarkan kemampuan yang diperlukan (capability
design)
Dari gelaran operasi itu senantiasa dilakukan evaluasi yang selanjutnya telah disusun
suatu jenis operasi untuk mencapai efektivitas dan efesiensi dengan mempertimbangkan
keterbatasan dan usia pakai alutsista serta berorientasi pada pemenuhan komitmen dan
kodal operasi. Jenis operasi yang dilaksanakan TNI AL pada 2010 diselaraskan dengan
perumusan pola operasi yang dianut oleh jajaran TNI berdasarkan undang-undang

1
2

pertahanan negara yang meliputi operasi militer perang (OMP) dan operasi militer
selain perang (OMSP).

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Dimana batas-batas perairan Indonesia ?
2. Bagaimana situasi Alur Laut Kepulauan (ALK) Indonesia ?
3. Apa kegiatan-kegiatan ilegal yang terjadi di laut ?
4. Bagaimana cara menjaga keamanan pesisir ?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui batas-batas perairan Indonesia
2. Untuk mengetahui situasi Alur Laut Kepulauan (ALK) Indonesia
3. Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan ilegal yang terjadi di laut
4. Untuk mengetahui cara menjaga keamanan pesisir
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Batas-Batas Perairan Indonesia


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki perairan yang berbatasan Iangsung
dengan negara lain. Ada 10 negara tetangga yang perairannya berbatasan langsung
dengan wilayah Nusantara. Mereka adalah Malaysia, Singapura, Thailand, India,
Filipina, Vietnam, Papua New Guinea, Australia, Republik Palau dan Timor Leste.
Berdasarkan identifikasi, bam batas maritim antara Indonesia dengan Australia yang
telah lengkap disepakati. Sementara batas maritim dengan negara tetangga lain bam
dilakukan penetapan batas-batas Dasar Laut (Landas Kontinen) dan sebagian batas Laut
Wilayah.
Untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia
diperlukan penetapan batas-batas maritim secara lengkap. Penetapan batas ini dilakukan
berdasarkan ketentuan Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia
melalui UU No 17/1985.
Implementasi dari ratifikasi tersebut adalah diperlukannya pengelolaan terhadap
batas maritim yang meliputi Batas Laut dengan negara tetangga dan Batas Laut
dengan Laut Bebas. Adapun batas-batas maritim Republik Indonesia dengan negara
tetangga, mencakup Batas Laut Wilayah (Territorial Sea), batas perairan ZEE, batas
Dasar Laut atau Landas Kontinen. Belum selesainya penentuan batas maritim antara
pemerintah Indonesia dengan negara tetangga menjadikan daerah perbatasan rawan
konflik.
penetapan batas maritim sangat dibutuhkan untuk memperoleh kepastian hukum
yang dapat mendukung berbagai kegiatan ke- lautan, seperti penegakan kedaulatan
dan hukum di laut, perikanan, wisata bahari, eksplorasi lepas pantai (off shore),
transportasi laut dan lainnya. Belum adanya kesepakatan batas laut Indonesia
dengan beberapa negara tetangga menimbulkan permasalahan saling klaim wilayah
pengelolaan, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan.
4

Beberapa kasus yang ada antar Indonesia dan Malaysia merupakan cerminan
rentannya perairan daerah perbatasan. Terjadi saling tangkap nelayan baik dari
Indonesia maupun Malaysia bahkan bias mengganggu hubungan diplomatik kedua
negara.
Permasalahan batas laut merupakan hal mendasar yang seharusnya segera di selesaikan
dan disepakati oleh kedua negara. Bukan dengan saling menangkap kapal atau saling
klaim wilayah perairan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia seharusnya lebih
proaktif dalam penyelesaian batas laut dengan negara tetangga, dengan demikian
adanya keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat bisa
terealisasi.
Dari beberapa batas laut Indonesia dengan negara tetangga, ada Sembilan batas laut
yang memiliki kerawanan konflik antar Negara, diantaranya :

A. Indonesia-Malaysia
Garis batas laut wilayah an tara Indonesia dengan Malaysia adalah garis
yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977.
Berdasarkan UU No 4/1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah
lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian
perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah
Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka.
Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut
wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut
ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan
Contigous Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah
masing-masing l1negara di Selat Malaka (bagian yang sempit) atau kurang dari 24
mil laut. Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia
ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat
yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969.
Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari- Maret 1970)
yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua
negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan
5

Garis Pangkal masing-masing negara. Diberlakukannya Konvensi Hukum Laut


Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap
negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru.
Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan
Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958.
MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober
1969 yang menetapkan Pulau Jawa dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar
dalam penarikan Garis Pangkal jelas merugikan pihak Indonesia, karena median
line yang diambil dalam menentukan batas land as kontinen kedua negara tersebut
cenderung mengarah ke perairan Indonesia.
Tidak hanya itu, Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia
tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan
sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya kesepakatan
ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka; sering terjadi penangkapan
nelayan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap
batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan
Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan
berdasarkan perjanjian bilateral.
Berdasarkan kajian Dinas HydroOceanografi TNI AL, batas laut Indonesia
dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line antara garis pangkal
kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas
Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982, sebagai coastal state, Malaysia
tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jawa dan Pulau Perak sebagai base line yang
jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut. Jika ditinjau dari segi
geografis, daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan
sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara
Selat Malaka.

B. Indonesia-Singapura
Penentuan titik-titik koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura
didasarkan pada prinsip .sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang
berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat
6

tersebut didasarkan pada kesepakatan kedua pemerintah. Titik-titik koordinat itu


terletak di Selat Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut
Wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit
(lebar lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari garis-garis lurus
yang ditarik dari titik koordinat. Namun, di kedua sisi barat dan timur Batas Laut
Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai
perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan wilayah perbatasan tiga
negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Pada sisi barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah
berbatasan dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah
lainnya, di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat wilayah yang
sama yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian
batas laut.
Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi
pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut
(perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura
telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk
itu batas wilayah perairan Indonesia-Singapura yang belum ditetapkan
harus segera diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah di masa mendatang.
Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal terbaru,
dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat diidentifikasi.
Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi kedua negara,
akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang mulai berlaku pada 30
Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas,
sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan
kedua tim negosiasi
telah berunding selama delapan kali. Permasalahan berbatasan laut Indonesia dan
Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan
konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati
dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara.
7

C. Indonesia-Thailand
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan Thailand adalah garis lurus yang ditarik
dari titik pertemuan ke arah Tenggara. Hal itu disepakati dalam perjanjian antara
pemerintah Indonesia dengan Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut
di Laut Andaman pada 11 Desember 1973. Titik koordinat batas Landas Kontinen
Indonesia-Thailand ditarik dari titik bersama yang ditetapkan sebelum ber-
lakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena itu, sudah selayaknya perjanjian
penetapan titik-titik koordinat di atas ditinjau kembali.
Apalagi Thailand telah mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif dengan
Royal Proclamation pada 23 Februari 1981, yang isinya; "The exclusive Economy
Zone of Kingdom of Thailand is an area beyond adjacent to the territorial sea whose
breadth extends to two hundred nautical miles measured from the baselines use for
measuring the breadth of the Territorial”, Pada prinsipnya Proklamasi ZEE terse but
tidak menyebutkan tentang penetapan batas antar negara.

D. Indonesia-India
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik
dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu
berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi, India, tentang
perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara, Namun, pada beberapa
wilayah batas laut kedua negara masih belum ada kesepakatan.

E. Indonesia-Australia
Perjanjian Indonesia dengan Australia mengenai garis batas yang terletak
antara perbatasan Indonesia-Papua New Guinea ditanda tangani di Jakarta, pada
12Februari 1973.Kemudian disahkan dalam UU No 6 Tahun 1973, tepatnya pada 8
Desember 1973. Adapun persetujuan antara Indonesia dengan Australia tentang
penetapan batas-batas Dasar Laut, ditanda tangani pad a 7 November 1974.
Pertama, isinya menetapkan lima daerah operasional nelayan tradisional
Indonesia di zona perikanan Australia, yaitu Ashmore Reef (Pulau Pasir), Cartier
Reef (Pulau Ban), Scott Reef (Pulau Datu), Saringapatan Reef, dan Browse.
8

Kedua, nelayan tradisional Indonesia di perkenankan mengambil air tawar di East


Islet dan Middle Islet, bagian dari Pulau Pasir (Ashmore Reef). Ketiga, nelayan
Indonesia dilarang melakukan penangkapan ikan dan merusak lingkungan di luar
kelima pulau tersebut.

F. Indonesia-Vietnam
Pada 12 November 1982, Republik Sosialis Vietnam mengeluarkan sebuah
Statement yang disebut "Statement on the Territorial Sea Base Line". Vietnam
memuat sistem penarikan garis pangkal lurus yang radikal. Mereka ingin
memasukkan pulau Phu Quoe masuk ke dalam wilayahnya yang berada kira-kira 80
mil laut dari garis batas darat antara Kamboja dan Vietnam. Sistem penarikan garis
pangkal tersebut dilakukan menggunakan 9 turning point. Di mana dua garis itu
panjangnya melebihi 80 mil pantai, sedangkan tiga garis lain panjangnya
melebihi 50 mil laut. Sehingga perairan yang dikelilinginya mencapai total luas
27.000 mil persegi.

G. Indonesia-Filipina
Berdasarkan dokumen perjanjian batas-batas maritim Indonesia dan Filipina
sudah beberapa kali melakukan perundingan, khusus- nya mengenai garis batas
maritim di laut Sulawesi dan sebelah selatan Mindanao (sejak 1973). Namun
sampai sekarang belum ada kesepakatan karena salah satu pulau milik Indonesia
(Pulau Miangas) yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas
ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898.
Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (The Archipelagic
Principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB ten tang hukum laut (VNCLOS
1982).

H. Indonesia-Republik Palau
Republik Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis
negara itu terletak di 060.51" LV dan 1350.50"BT.Mereka adalah negara kepulauan
dengan luas daratan 500 km2. Berdasarkan konstitusi 1979,Republik Palau memiliki
yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga 200
mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi kepulauan. Palau
9

memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone) hingga berbatasan
dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang lebarya200 mil laut diukur dari garis
pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE Indonesia dengan Zona
Perikanan yang diperluas Republik Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan
antara kedua negara agar terjadi kesepakatan menge.nai garis batas ZEE.

I. Indonesia-Timor Leste
Berdirinva negara Timor Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan
terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan negara tersebut.
Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor Leste telah
dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang. First Meeting Joint Border
Committee antara Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember
2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat berupa
deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas
maritim, Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua diselenggarakan
di Dilli, pada Juli 2003.
2.2 Laut Kepulauan (ALK) Indonesia
Alur Laut Kepulauan (ALK) adalah konsekuensi yang harus diberikan negara-
negara kepulauan setelah diakui The United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) III pada 1982. Indonesia adalah negara kepulauan pertama yang
mengusulkan penetapan alur-alur laut di kepulauannya. Negara yang terdiri dari gugusan
pulau bisa disebut negara kepulauan dengan keuntungan dapat menarik garis yang
menghubungkan titik- titik terluar dari gugus kepulauan sebagai base line-nya.
Adapun penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALK!) dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek pertahanan keamanan negara dan kondisi hidro-oseanografi
agar alur pelayaran aman dilalui setiap kapal.
Hal ini merupakan hasil bargaining diplomasi antar bangsa. Rezim negara
kepulauan diwajibkan tetap memberikan akses lewat (navigasi) bagi kapal-kapal asing
yang melintasi perairan kepulauannya (archipelagic waters), karena dulunya alur
tersebut merupakan jalur tradisional yang biasa digunakan pelayaran internasional.
Penentuan ALK sendiri sebenarnya tidak diharuskan. Negara kepulauan boleh tidak
menentukan ALK-nya, sehingga yang berlaku ada- lah semua kapal diperbolehkan
10

melewati jalur-jalur navigasi normal yang biasa digunakan dalam pelayaran dunia
(routes non nally used
for international navigation). Apabila negara menentukan ALK, maka
kapal-kapal yang akan melewati rute tersebut hams mengikuti rute atau alur yang
sudah ditentukan. Tidak boleh lagi bercabang-cabang dalam bernavigasi atau melipir ke
daratan seperti rute-rute terdahulu.
Misalnya, ALKI Barat-Timur (E-W). Selama ini, rute melalui Laut Jawa banyak
cabangnya, seperti alur di pulau Bawean. Kapal boleh berlayar di utaranya Bawean
dan ada pula jalur di selatannya Bawean. Jika negara tidak menentukan ALKI E-
W, semua kapal boleh melewati rute-rute tersebut, Tetapi bila negara menentukan
rute ALKI E-W, sesuai proposal yang akan diajukan ke PBB, maka semua kapal asing
yang melewati Laut Jawa harus melalui rute-rute yang telah ditetapkan. Yaitu hanya alur
utara Bawean.
Sejarah penetapan ALKI dimulai di lingkungan Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Laut (Seskoal) sekitar Februari-Maret 1991, khususnya di Direktorat
Pengkajian (Ditjian), setelah mempelajari hasil UNCLOS 1982. Pada kesempatan itu
dibicarakan tentang keharusan Indonesia menetapkan Sea Lane Passage melalui
perairan yurisdiksinya untuk mewadahi pelayaran transit dari satu perairan ke perairan
lain. Karena itu, Seskoal mengusulkan melalui Forum Strategi. Forum Strategi TNI AL
ini dicanangkan untuk membicarakan hasil usulan ALKI terhadap negara. Sebelum
Forum Strategi
dimulai, Ditjian menyiapkan segala sesuatu untuk Forum Strategi. Salah satu yang
terpenting adalah Makalah Ajakan. Dalam makalah itu diajukan tiga ALK,yaitu alur laut
di kawasan barat, tengah, dan timur. Karena ALK berada di perairan Indonesia, maka
diusulkan agar dinamakan ALK Indonesia, disingkat ALKI. Ketiga ALKI yang
diusulkan tersebut ternyata diterima forum. Kemudian, pada 19 Mei 1998,Sidang Pleno
MSC-69IMO secara resmi menerima (adopt) tiga ALKI yang diusulkan Indonesia (41tahun
setelah Deklarasi Konsepsi Negara Kepulauan Wawasan Nusantara pada 1957).
Sebelumnya, Konvensi Hukum Laut III yang diselenggarakan PBB di Chicago pada
1982, telah menghasilkan dua buah keputusan fenomenal. Yaitu dengan diakuinya
rezim zone ekonomi ekslusif (ZEE) dan rezim negara kepulauan (Archipelagic State).
11

Lahirnya kedua rezim itu merupakan hasil dari negosiasi dan tawar menawar yang
alot antara negara pantai dengan negara maritim yang selama ini menguasai lautan,
baik untuk eksplorasi perikanan, pertambangan, pelayaran, perdagangan maupun jalur
militer. Atas disahkannya rezim ZEE maka laut bebas (high sea) yang semula terbuka
lebar untuk jalur pelayaran dan eksploitasi laut menjadi berkurang 200 mil laut dari
tiap-tiap pulau yang ada. Kondisi.ini jelas merugikan negara-negara maritim, seperti
Amerika, Inggris, Jepang, Kanada dan lainnya.
Alasan mereka menerima konsep ZEE ini, dikarenakan salah satunya adalah mereka
diberikan garansi tetap mendapatkan akses masuk ke wilayah laut tersebut baik untuk
navigasi maupun eksploitasi. Di Bab V Artikel 58 dari Konvensi Hukum Laut Chicago
ditegaskan dengan menyebut negara lain memiliki kebebasan bernavigasi di ZEE
dan penerbangan di wilayah udara di atasnya dengan due regard (memperhatikan)
hak dan tugas negara pantai di ZEE, serta hukum dan peraturan lain yang berlaku
secara internasional.
Tidak jauh beda dengan rezim ZEE, pengakuan konsep negara kepulauan juga
hasil dari tarik ulur kesepakatan antara negara pengguna dengan negara pantai.
Indonesia beserta beberapa negara yang meniliki karakter kepulauan, seperti Filipina,
Solomon Island, Papua New Guinea dan negara lainnya baik dari Afrika maupun
Amerika Latin, berusaha menggolkan konsep ini dengan segala cara. Termasuk salah
satunya menerima syarat tetap memberikan akses navigasi kepada negara lain yang
akan melewati negara kepulauan tersebut.
Atas dicapainya kesepakatan tersebut negara-negara kepulauan di satu pihak
mendapatkan keuntungan dengan bertambahnya luas wilayah laut, namun di sisi lain
mempunyai tanggung jawab memberikan akses, baik laut maupun udara terhadap
negara lain yang akan melintas di perairan kepulauan (archipelagic waters).
Di antara negara-negara yang diakui dunia sebagai negara kepulauan, baru
Indonesia yang sudah menentukan ALK dan sudah diserahkan ke pertemuan
tahunan keselamatan pelayaran ke-69. Sementara negara-negara kepulauan lainnya
masih belum menetapkan ALK.
Beban untuk menentukan ALK sepertinya mudah. Namun dalam pelaksanaannya
berbenturan dengan kepentingan nasional yang lebih tinggi. Pelaksanaannya "bagai
12

buah simalakama", Dibuat jalur akan merugikan keamanan negara, tidak dibuat
negara lain akan menuntut. Hal ini yang terjadi dengan Indonesia.
Atas keputusan menyerahkan 3 jalur utara-selatan ALKI ke MSC (Maritime Safety
Committee), maka Indonesia sudah bersiap dituntut negara lain, seperti Amerika,
Inggris, Australia, Kanada dan Jepang. Mereka menganggap penentuan ALKI tidak
sesuai dengan ketentuan umum penentuan ALK (GPASL). Yakni harus meliputi seluruh
rute normally used for international navigation dari satu laut lepas ZEE ke laut lepas lain.
Mereka menyebutnya partial designation, karena Indonesia tidak memasukan alur laut
barat-timur dari Selat Karimata-Laut Jawa hingga ke Laut Arafuru. Jika Indonesia
tidak menentukan rute ini maka sesuai Artikel 53-12 mereka bisa melintas dengan
hak lintas ALK di seluruh rute pelayaran/penerbangan normally used for
international navigation.
Akhirnya, pada 1998 saat MSC meeting ke-72, delegasi Indonesia menjanjikan
bahwa Indonesia akan memenuhi penentuan ALKI secara lengkap dengan
memasukan alur laut barat-timur, Keputusan itu sangat berisiko, tapi tidak ada pilihan
lain.
Melihat posisi strategis Jakarta, ibukota negara yang berada tepat di pesisir utara Laut
Jawa, jika ALKI barat-timur jadi dibuka akan sangat rawan terhadap aksi infiltrasi udara
maupun laut. Padahal untuk mengantisipasi hal tersebut sejak dulu Indonesia telah
menerapkan ADIZ (Air Defense Identification Zone) di pulau Jawa ke selatan agar setiap
penerbangan yang menuju Jakarta (Jawa) termonitor.
Faktor lain yang menjadi kendala adalah kepadatan lalu-lintas baik laut maupun
udara di atas laut Jawa yang memiliki banyak sekali bandara Internasional, mulai dari
Cengkareng, Yogyakarta, Solo, Surabaya sampai Denpasar. Selain itu terdapat
pelabuhan-pelabuhan besar, seperti Tanjung Priuk, Semarang, Gresik, Tuban dan Surabaya.
Beberapa titik Laut Jawa juga merupakan laut dangkal dengan kedalaman
hanya 20-45 meter. Sehingga kurang aman digunakan untuk rute pelayaran besar. Tidak
hanya itu, beberapa bagian laut di alur tersebut juga digunakan sebagai taman nasional
dan cagar alam. Alhasil, hingga sekarang ALKI barat-timur belum diajukan.
Paling menggemparkan terjadi pada 2003,saatArmada ke-7 US Navy melintas di
sepanjang Laut Jawa dan mengadakan menerbangkan pesawat tempur Hornet-nya di
13

perairan seputar pulau Bawean. Sehingga memunculkan insiden Bawean yang sangat
terkenal itu.
Di bagian lain negeri ini adalah perairan Natuna. Armada US Navy juga sering
berlayar di wilayah ALKI I menyusuri pulau-pulau kecil di sekitar perairan tersebut
dan berlabuh di Singapura. Aksi ini dikuntit pesawat TNI AL, tapi juga dibayang-
bayangi helikopter dari Armada tersebut. Pemerintah mengalami kendala dalam
memutuskan polemik ini. Di satu pihak Indonesia sudah berjanji ke dunia internasional
untuk membuka jalur ALKI barat-timur. Di pihak lain, dalam negeri masih banyak pro
dan kontra terhadap isu pembukaan jalur ALKI tersebut.
Bagi sebagian kalangan, termasuk militer pembukaan jalur ini akan menambah
beban pengamanan nasional sehingga menghendaki upaya diplomasi lanjutan untuk
tidak membuka jalur ALKI barat- timur. Namun bagi kalangan akademisi, dengan
berlandaskan pad a hukum internasional, umumnya mereka berpendapat jalur tersebut
sebaiknya dibuka.
Kedua pendapat itu memiliki kekuatan argument yang sama, satu pihak berpikir
untuk kepentingan bangsa. Sementara pihak lain memikirkan bangsa ini dari background
pengetahuannya, bahwa jika Indonesia tidak membuka maka permasalahan yang
akan dihadapi Indonesia akan lebih rumit.
Sebagai jalan keluar, untuk sementara yang bisa dilakukan pemerintah
Indonesia terhadap dunia internasional adalah meng- gelar survei kelautan untuk
keamanan pelayaran di laut Jawa dan menyerahkan hasil-hasilnya ke lembaga
internasional untuk meminta saran dan masukan.
Melalui langkah ini diharapkan akan membuka mata dunia bahwa dengan alasan
safety dan pelestarian taman laut serta cagar alam di Laut Jawa, keputusan akhir dari
permasalahan ini akan lebih menguntungkan Indonesia, yaitu dibatalkannya
penentuan jalur ALKI barat-timur.

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan jalur di wilayah perairan


Indonesia yang dapat dilewati kapal dan pesawat udara asing. Hal ini mengacu pada
kesalahan kita dalam merancang dan menerapkan hak lintas laut dalam PP
terkait Hukum Laut Internasional, United Nations Convention on the Law of the
14

Sea (UNCLOS) yang ditetapkan pada 1982. Padahal, wilayah Indonesia kini menjadi
salah satu jalur terpadat di dunia.
Dibukanya jalur ALKI membuat Indonesia menjadi negara terbuka. Karena itu,
perairan dan ruang udara di jalur ALKI harus terjamin keamanannya dari segala
bentuk gangguan dan ancaman. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah
Indonesia. Melihat potensi Indonesia yang merupakan jalur lalu lintas internasional.

2.3 Kegiatan-Kegiatan Ilegal yang Terjadi di Laut


Masih maraknya kasus penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) rupanya benar-
benar telah memukul masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada
perekonomian di laut. Terlebih, sedikitnya, ada seribu kapal asing hilir mudik
menangkap ikan secara ilegal di Indonesia setiap tahunnya.
Perairan Natuna, Sulawesi Utara, dan Arafuru adalah area perairan Indonesia di
mana Illegal Unregulated and Unreported (IUU) Fishing sering terjadi. IUU Fishing telah
melemahkan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan Indonesia dan
menyebabkan beberapa sumber daya perikanan di beberapa Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) Indonesia over fishing.
IUU Fishing merupakan tindakan kriminal lintas negara yang terorganisir dan
secara jelas telah menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia dan negara-negara di
kawasan Asia Pasifik lainnya. Karena, selain merugikan ekonomi, sosial, dan ekologi,
praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri
terus berusaha keras dalam memerangi IUU Fishing itu. Bahkan, pada bulan Oktober
lalu Indonesia bersama 21 negara yang tergabung dalam Asia-Pasific Economic
Development (APEC)
Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan
yang berwenang menentukan, menyelidiki, dan memutuskan tindak pidana setiap kasus
illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih. Bahkan, jika perlu pemerintah harus
berani menghentikan penjarahan kekayaan laut Indonesia dengan bertindak tegas, seperti
penenggelaman kapal nelayan asing.
15

A. Mafia Perikanan
Indonesia yang terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera
(Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah perairannya sangat rawan terjadi
penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing). Masalah illegal fishing sebenarnya
sudah menjadi masalah klasik yang sejak dulu tidak pernah ditangani dengan tuntas.
Saat ini, kasus illegal fishing sudah hampir tidak terdengar lagi bukan karena
angka pelanggarannya berkurang, dan ketatnya pengawasan dari aparat penegak
hukum, yakni Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI)Angkatan Laut (AL).
Kalaupun illegal fishing berhasil ditangkap kapal patroli, kebanyakan adalah kapal
berukuran kecil milik nelayan asing yang biasanya terjadi di wilayah perbatasan
laut. Sementara kapal-kapal di atas 100 Gross Tonage (GT), bukan hanya
melakukan praktek illegal fishing tetapi saat ini juga banyak melakukan praktik
illegal license (penyalahgunaan izin).
Patut diketahui, illegal license adalah praktik manipulasi izin atau
penyalahgunaan izin. Kapal tangkap milik perusahaan perikanan yang beroperasi
di Indonesia, sebagian besar hanya mengantongi izin formal dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang didapat dengan cara mudah. Namun
setelah melakukan impor kapal asing, mereka (perusahaan perikanan yang
beroperasi di Indonesia) tidak membangun atau mengembangkan industrinya yang
mengakibatkan daerah-daerah sentra tangkapan (Laut Arafura, Laut Natuna, Laut
Banda, Laut Maluku dan Laut Papua) tetap menjadi daerah miskin. Jika ada, izin
tersebut didapati dengan cara-cara yang tidak sesuai mekanisme atau tidak sesuai
aturan yang berlaku.
Praktik illegal license dilakukan ribuan kapal di laut Indonesia, seperti Laut
Arafura, Laut Aru, Laut Banda dan lain-lain. Bahkan kapal-kapal tersebut
berhasil mengelabui aparat. Praktik illegal license saat ini marak terjadi dan hanya
menguntungkan segelintir orang, tetapi merugikan sebagian besar rakyat Indonesia.
Hal ini disebabkan adanya penyalahgunaan pemberian ijin dan proses untuk
mendapatkannya.
Pemerintah sering membesar-besarkan jika ada penangkapan pelaku illegal
fishing yang pada kenyataannya merupakan kapal- kapal milik nelayan asing yang
16

melakukan pelanggaran di perbatasan laut. Tetapi tanpa disadari, oknum-oknum


tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sebenar- nya
melakukan praktek illegal license yang menyebabkan Negara dirugikan triliunan
rupiah.
Kalau saat ini hukum bisa dibeli oleh seorang Gayus Tambunan mengenai
kasus pajak, maka dibidang perikanan diduga ada oknum-oknum tertentu di
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia yang bisa
dikategorikan sebagai Mafia Perikanan karena membekengi pelaku illegal license.
Selain itu, adanya tindakan oknum-oknum di lingkungan Kementerian Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia yang sengaja menjual belikan perizinan impor
kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Ijin. Usaha
Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut
Ikan (SIKPI),tanpa melalui prosedur yang sebenarnya, menyebabkan industri
perikanan di Indonesia akan mati dengan sendirinya. Hal ini harus segera di
berantas demi kesejahteraan rakyat kecil.
Bukan hanya itu, permasalahan yang ditemukan saat ini adalah ada indikasi
pengusaha yang suka mencuri ikan di perairan Indonesia dibekingi oleh oknum
aparat penegak hukum, dan hal inilah yang menjadi salah satu kendala utama
pemerintah memberantas illegal fishing dan illegal license.
Pemerintah, aparat penegak hukum (Kepolisian dan TNI AL) serta
masyarakat seharusnya dapat bekerjasama memberantas praktik-praktik KKN yang
dilakukan para pengusaha perikanan melalui praktek illegal license, guna
meminimalisir kerugian negara dan terciptanya lapangan pekerjaan bagi
masyarakat Indonesia. Tanpa disadari, praktek illegal fishing dan illegal license
telah merusak sumber daya alam kita, karena selain kekayaan laut dikuras,
juga berdampak terhadap kerusakan lingkungan kelautan kita.

B. Bajak Laut: Nyata Bukan Dongeng


Bajak laut, orang mengenalnya sebagai karakter dalam dongeng dan film.
Namun, jika menelusuri sejarah, mereka ada dalam kehidupan nyata dari zaman ke
zaman. Sejarah perompakan alias bajak laut terjadi secara bersamaan dengan sejarah
navigasi. Menurut sejarah kuno, bajak laut sudah ada sejak abad ke-3, yaitu dengan
17

munculnya bajak laut Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Berbagai istilah mengenai
bajak laut pun muncul, mulai dari nama The Viking, The Sea People dan The Saxon.
Bajak laut lahir karena tekanan dan kondisi yang memaksa mereka berbuat
seperti itu. Mereka memilih hidup bebas tanpa aturan hukum dan merampas hak orang
lain. Sadisnya, para bajak laut tidak segan membunuh, menyiksa bahkan membantai
seluruh awak kapal, sebelum merampas seluruh harta korban, Para bajak laut
menjalankan aksinya berdasarkan koloni dan wilayah jalur pelayaran yang mereka
kuasai. Tak heran, jika banyak istilah dalam hirarki para perompak.
2.4 Menjaga Keamanan Laut
Selama berabad-abad, laut menjadi media transportasi perdagangan dunia yang
belum tergantikan. Sebagai salah satu negara maritim yang memiliki luas laut
3.191.288 km2 dan 17.504 pulau, Indonesia sangat rentan mendapat gangguan keamanan.
Karena itu, keberadaan coast guard dibutuhkan guna menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penjagaan laut dan pantai atau Coast Guard adalah institusi yang menjamin
terselenggaranya keselamatan dan keamanan laut. Keberadaannya dibutuhkan
dan wajib dipenuhi negara pantai. Lembaga sipil ini berada dan bertanggung
jawab langsung kepada presiden. Secara teknis operasional, pelaksanaannya di
bawah kementerian perhubungan. Lembaga ini memiliki fungsi menjaga dan
menegakkan peraturan perundang-undangan laut dan pantai.
Apalagi coast guard sudah menjadi tuntutan hukum internasional. Hal ini
dimaksudkan agar Indonesia bisa menjamin keselamatan dan keamanan kapal-kapal
yang melintas di perairan nusantara. Jika tidak, mereka akan dikawal kapal perang
negaranya masing-masing, sehingga perairan Indonesia seperti perairan internasional.
Bila demikian, kedaulatan negara dan perekonomian nasional terancam. Lalu lintas
ekspor dan impor juga terganggu. Keadaan ini menimbulkan biaya tinggi bagi
kapal yang hendak masuk ke perairan Indonesia. Tingginya risiko akibat tidak
terjaminnya keamanan mengakibatkan asuransi kapal ikut mahal. Karena itu, dibutuhkan
pengamanan laut dan pantai secara intensif.
Dasar-dasar hukum internasional yang mewajibkan Indonesia membentuk coast guard,
diatur dalam Bab V Peraturan 15 Konvensi Internasional tentang Keselamatan
18

Jiwa di Laut (Solas 1974) mengenai kewajiban negara membentuk organisasi


pengawal laut dan pantai. Organisasi pengawal laut dan pantai ini sudah berdiri di
berbagai belahan dunia, seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Aturan hukum lainnya adalah ketentuan internasional tentang keamanan kapal
dan fasilitas pelabuhan (ISPS Code 2002).Peraturan tersebut mengatur kewajiban negara
peserta, menetapkan otoritas nasional dan otoritas lokal yang bertanggung jawab atas
keselamatan dan keamanan maritim. Peraturan ini diperkuat Pasal 217, 218, .dan
220 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (Unclos III,
1982), dan penegakan hukum oleh negara pantai (coast state), negara bendera (flag
state) dan negara pelabuhan (port state). Sementara dalam hukum nasional, rujukan
pembentukan coast guard diatur dalam UU No 21/1992, Pasal 55 tentang keselamatan
dan keamanan kapal. Kemudian penegakan hukum oleh negara pelabuhan tertuang
dalam peraturan bandar 1925, dan UU No 21/1992, Pasal 21 Ayat (3) tentang
ketertiban dan keamanan pelabuhan atau bandar.
Kekhawatiran sebagian kalangan, lahirnya coast guard akan menimbulkan tumpang
tindih terhadap pengamanan laut tidak beralasan. Karena coast guard memiliki tugas
berbeda, baik dengan TNI AL, bea cukai, maupun polisi air. Lembaga fur memiliki
tanggungjawab melakukan penegakan hukum-hukum internasional yang mengacu pada
International Maritime Organization (IMO) sehingga tercipta safe, secure, and efficient
shipping on clean ocean. Sebagai anggota IMO, Indonesia wajib mematuhi semua
konvensi yang telah diratifikasi tersebut.
dalam UU Pelayaran 2008 membentuk coast guard adalah upaya menata
kembali sistem keselamatan dan keamanan serta perlindungan maritim Indonesia.
Berdasarkan amanat UU 17/2008, Indonesian Sea and Coast Guard memiliki dua fungsi
yang sangat mendasar. Pertama, sebagai fungsi komando, yaitu menegakkan
perundang-undangan di bidang kesehatan dan keamanan pelayaran. Kedua, menjalankan
fungsi koordinasi, yakni penegakkan hukum dan perundang-undangan.
A. Coast Guard Kekuatan Adidaya
Amerika Serikat (AS) yang dinilai sebagai 'polisi dunia' dengan perangkat
keamanan udara dan darat super canggih, tidak puas dengan sebutan itu. Negeri
Adidaya ini juga membangun kekuatan maritimnya. Bahkan, ada slogan "kekuatan
19

maritim melindungi cara hidup Amerika". Sebagaimana dipaparkan dalam makalah


"A Cooperative Strategy for 21st Century Sea Power", yang dipublikasi Oktober
2007 oleh United States Marine Corps, United States Coast Guard dan
Department of Navy. Dalam makalah itu disebutkan bahwa sebuah strategi di abad
21 adalah melalui kekuatan maritim. .
Asumsi itu muncul karena 90 persen perjalanan komersial dunia dilakukan melalui
jalur laut, mayoritas penduduk di dunia tinggal dan hidup dalam beberapa ratus mil
dari pesisir pantai, dan hampir tiga per empat bumi ditutupi air. Maritim yang
terdiri dari lautan, pelabuhan, muara, kepulauan, daerah pesisir pantai telah mendukung 90
persen perdagangan dunia.
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Lingkungan nasional, Indonesia mempunyai sejumlah persoalan batas wilayah,
baik perbatasan darat maupun maritim yang hingga saat ini belum juga tuntas. Bam-
bam ini terjadi konflik perbatasan di blok Ambalat, Kaltim dan kasus pelanggaran kapal
ikan Cina yang dikawal kapal perang angkatan laut negara tersebut, sehingga timbul
ketegangan antara TNI AL dengan kapal perang dan kapal ikan Cina tersebut.
Kemudian yang terakhir tentang kasus penangkapan aparat Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) oleh aparat Police Marine negara Malaysia, serta beberapa kasus
lainnya.
Pada zaman dulu Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan maritim yang tangguh.
Yakni pada jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang kekuasaannya berbasis pada
kekuatan maritim. Sumpah Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada
diimplementasikan dengan memperkuat armada lautnya guna memperluas wilayah
Kerajaan Majapahit hingga sejarah memperlihatkan betapa pelayaran bangsa
Indonesia menjangkau penjuru dunia. Goresan tinta sejarah tersebut tercatat hingga
Afrika Selatan, Madagaskar, India, China, Palau, pulau-pulau di Pasifik Selatan, dan
Australia Utara. Namun, semua itu kini tinggal mimpi.
3.2. Saran
Agar kerjasama keamanan maritim kedua negara dapat berjalan secara lancar,
stabilitas hubungan politik kedua negara harus dapat dijalankan dan dipertahankan
sebaik mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan mengesampingkan perilaku-perilaku
politik yang dapat merugikan kerjasama keamanan maritim yang telah dilaksanakan.
Pemerintah Indonesia juga harus lebih memperhatikan anggaran yang
disalurkan bagi Departemen Pertahanan, karena keamanan merupakan hal yang
utama bagi suatu negara agar terhndar dari segala bentuk ancaman yang mengancam
kepentingan nasional Indonesia. Selain itu diharapkan pemerintah Indonesia dapat
lebih memberikan perhatian kepada sektor pertahanan melalui peremajaan dan
21

perawatan serta penambahan alutsista yang menunjang sistem pertahanan Indonesia.


Masih kurangnya alutsista yang dimiliki Indonesia menjadi hambatan bagi TNI
Angkatan Laut untuk mengamankan wilayah laut NKRI.
Saran lain untuk Pemerintah Indonesia adalah penguatan SDM di bidang
pertahanan agar mampu bersaing dengan negara lain serta berguna untuk penunjang
alutsista dalam hal pengoperasian teknologi, agar pengamanan di wilayah laut dapat
berjalan dengan sempurna tanpa ada hambatan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai