Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Senyawa Antivirus


Antivirus merupakan salah satu penggolongan obat yang secara spesifik
digunakan untuk mengobati infeksi virus. Obat-obat antivirus digunakan untuk
mencegah replikasi virus dengan menghambat salah satu dari tahap-tahap
replikasi sehingga dapat menghambat virus untuk bereproduksi (Joyce L, 1996).
Obat antivirus tersebut digunakan untuk pengobatan infeksi virus yang
disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV), virus hepatitis B (HBV),
virus herpes [herpes simplex virus (HSV), varicella-zoster (VZV),
cytomegalovirus (CMV)], orthomyxoviruses (influenza), paramyxoviruses
[respiratory syncytial virus (RSV)], dan hepaciviruses [hepatitis C virus (HCV)].
Karena virus tersebut adalah virus yang paling banyak diterapi dengan antiviral,
hal tersebut mendorong para peneliti untuk mencari strategi antivirus baru
(Elsivier, 2007).
Obat antivirus yang paling sukses hingga saat ini adalah asiklovir yang
merupakan penemuan kebetulan. Asiklovir yang sebelumnya diproduksi sebagai
obat antikanker ternyata memiliki aktivitas in vitro yang baik terhadap virus
herpes simplex dan setelah uji klinis, asiklovir itu diizinkan untuk digunakan
sebagai obat antivirus di tahun 1980-an. Selanjutnya, antivirus dirancang dan
diproduksi dengan target virus yang spesifik sehingga akan menghambat replikasi
virus (Goura dan Tim, 2009).

2.1.1 Penggolongan Antivirus

2.1.1.1 Obat untuk Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) dan Varicella-Zoster
Virus (VZV)

Ada dua jenis ada infeksi yang disebab oleh herpes simpleks
virus yaitu tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). Keduanya erat terkait tetapi
berbeda dalam epidemiologinya. HSV-1 erat keitannya dengan penyakit orofacial,
sedangkan HSV-2 berkaitan dengan penyakit kelamin dan lokasi lesi diantara
keduanya tidak selalu menunjukkan jenis virus (Salvaggio dan Lutwick, 2009).

5
6

Infeksi primer disebabkan oleh VZV adalah varicella (cacar air), sedangkan
reaktivasi virus laten menyebabkan herpes zoster (shingles). Pada anak-anak
imunokompeten, varicella biasanya bukan penyakit yang serius, tetapi dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas berat pada orang dewasa dan pada
individu immunocompromised (John dan Gnann, 2007).
Contoh obat antivirus untuk mengobati HSV dan VZV adalah asiklovir,
valasiklovir, valasiklofir HCL, famsiklovir, pesiklovir, docosanol, brivudin,
foskarnet, vidarabin, tromantadin, idoksuridin, dan trifluridin. (John dan Gnann,
2007). Asiklovir merupakan antivirus berlisensi pertama dan satu-satunya dari
tiga antivirus yang digunakan untuk infus di Amerika Serikat. Uji komparatif dari
ketiga antivirus menunjukkan khasiat serupa untuk pengobatan HSV tetapi
famsiklovir dan valasiklovir lebih unggul daripada asiklovir untuk pengobatan
herpes zoster (Katzung, 2007).

2.1.1.2 Obat untuk Infeksi Cytomegalovirus (CMV)


CMV termasuk dalam keluarga herpes virus manusia sehingga dikenal
pula sebagai Human Cytomegalovirus (HMCV). Sel yang terinfeksi akan
mengalami pembesaran dan pembengkakan dan membentuk cytomegalic
inclusion disease. HMCV merupakan virus patogen pada manusia, sekitar 0,5%
sampai 1,5% bayi dan sekitar 50% orang dewasa pada beberapa negara
berkembang telah terinfeksi penyakit ini (Mankes dan Dalili, 2002).
Infeksi CMV banyak terjadi pada pengaturan imunosupresi dan biasanya
disebabkan reaktivasi infeksi laten. Hasil infeksi diseminasi pada penyakit end-
organ, termasuk retinitis, kolitis, esofagitis, penyakit sistem saraf pusat, dan
pneumonitis. Meskipun kejadian pasien yang terinfeksi HIV telah menurun tajam
dengan munculnya ART, reaktivasi infeksi CMV setelah transplantasi organ
masih lazim. Contoh obat antivirus untuk infeksi CMV adalah gansiklovir,
valgansiklovir, foskarnet, fomivirsen, dan sidofovir (Katzung, 2007).

2.1.1.3 Obat Antiretrovirus (ARV)


Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV.
Tapi tersedia beberapa obat yang dapat memperlambat perkembangan penyakit.
Waktu yang tepat untuk pemberian obat ARV ditentukan oleh perhitungan sel
7

CD4, jumlah virus dalam plasma dan gejala klinis. Biasanya dilakukan pemberian
obat ARV secara kombinasi (Depkes RI, 2000).
ARV memberikan pilihan pengobatan yang efektif untuk pasien yang
mengalami infeksi HIV. ARV dibagi menjadi enam kelas yaitu nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI), protease inhibitor (PI), inhibitor integrase/integrase strand transfer
inhibitors (INSTIs), fusi inhibitor (FI), inhibitor pematangan dan reseptor
kemokin antagonis (CCR5 antagonis). Obat ARV golongan NRTI adalah
abacavir, emtriitabin, didanosin, lamivudin, dtavudin, tenofovir, tenofovir
disoproksil fumarat, zalsitabin dan zidovudin. Obat ARV golongan NNRTI adalah
delavirdin, efavirenz, nevirapin, etravirin, dan rilpivirin. Obat ARV golongan PI
adalah darunavir, amprevenavir, atazanavir, tipranavir, fosamprenavir, indinavir,
lopinavir, ritonavir, nelfinavir, saquinavir, cobicistat. Obat ARV golongan INSTIs
adalah raltegravir, elvitegravir, dolutegravir. Obat ARV golongan inhibitor
pematangan adalah bevirimat. Obat HIV golongan FI adalah enfuvirtide,
ibalizumab. Sedangkan contoh obat ARV goongan CCR5 antagonis adalah
maraviroc dan vikrivirok (Rathbun et al., 2016).

2.1.1.4 Obat Antihepatitis


Beberapa agen efektif melawan virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis
C (HCV). Meskipun pengobatannya bersifat supresif, prevalensi infeksi ini sangat
tinggi di seluruh dunia, seiring dengan morbiditas dan mortalitas, mencerminkan
pentingnya kebutuhan antihepatitis untuk peningkatan pengobatan. Obat terapi
infeksi hepatitis B adalah lamivudin, adefovir, adevovir dipivoxil, entecavir,
tenofovir, telbivudin, interferon alfa-2b, clevudin, dan timovin alfa-1. Sedangkan
obat terapi infeksi hepatitis C adalah interferon alfa-2b pegylated, soforbuvir,
pegylated, telaprevir, boseprevir, valopicitabin, isatoribin, dan viramidin
(Katzung, 2007).

2.1.1.5 Obat Anti-influenza


Galur-galur virus influenza diklasifikasikan berdasarkan protein inti virus
(yaitu, A, B, atau C), spesies asal (misalnya, burung, babi), dan tempat isolasi
geografis. Influenza A, satu-satunya galur yang menyebabkan pandemi,
8

diklasifikasikan menjadi 16 subtipe H (hemaglutinin) dan 9 subtipe N


(neuraminidase) berdasarkan protein permukaan. Meskipun virus influenza B
biasanya hanya menginfeksi manusia, virus influenza A dapat menginfeksi
berbagai host hewan. Subtipe influenza A yang saat ini beredar di dunia yaitu
H1N1, H1N2, dan H3N2. Lima belas subtipe diketahui menginfeksi burung,
membentuk reservoar yang besar. Contoh obat anti-influenza adalah oseltamivir,
zanamivir, amantadin, rimantadin, dan peramivir (Katzung, 2007).
Saat ini salah satu obat yang telah terbukti efektif dalam pencegahan dan
pengobatan infeksi virus influenza A adalah amantadine hidroklorida dan
rimantadine hidroklorida. Penggunaan terapi dapat menyebabkan munculnya
cepat varian yang resistan terhadap obat, yang telah dikaitkan dengan transmisi
jelas dari pasien yang diobati untuk menutup kontak (Madren et al., 1995).

2.1.1.6 Obat Antivirus lain


Obat antivirus lain adalah imiquimod, methisoprinol, dan ribavirin.
Imiquimod adalah suatu pemodifikasi respons imun (immune response modifier)
yang diketahui terbukti efektif dalam pengobatan topikal kulit perianus dan genita
eksterna. Ribavirin merupakan suatu analog guanosin yang mengalami fosforilasi
intrasel oleh enzim-enzim sel penjamu. Ribavirin trifosfat menghambat replikasi
berbagai virus DNA dan RNA, termasuk influenza A dan B, parainfluenza,
respiratory syncytial virus, paramiksovirus, HCV dan HIV-1 (Katzung, 2007).
Methisoprinol adalah senyawa sintetis terbentuk dari garam p-acetamidobenzoate
dari N-N dimethylamino-2-propanol dan inosin dengan perbandingan molar 3:1
(Siwicki et al., 2009).

2.1.2 Toksisitas Antivirus


Antivirus merupakan salah satu penggolongan obat yang secara spesifik
digunakan untuk mengobati infeksi virus. Obat-obat antivirus digunakan untuk
mecegah replikasi virus dengan menghambat salah satu dari tahap-tahap replikasi
sehingga dapat menghambat virus untuk bereproduksi (Joyce L, 1996). Terapi
antivirus harus diberikan dengan tepat mengingat obat-obat antivirus juga mempunyai
beberapa efek samping. Efek samping ini terbatas dalam obat-obatan tertentu,
seperti asiklovir, karena obat ini istimewa diaktifkan dalam sel yang terinfeksi
9

virus dan memiliki sedikit atau tidak ada efek samping pada sel-sel normal yang
tidak terinfeksi (Goura dan Tim, 2009).

2.1.2.1 Obat untuk Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) & Varicella-Zoster
Virus (VZV)
Asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir merupakan obat untuk infeksi
HSV dan VZV yang dapat menyebabkan toksisitas dalam penggunaannya.
Toksisitas asiklovir sangat sedikit, profil keamanan baik. Kadang-kadang
toksisitas terjadi pada ginjal karena obat diekskresikan melalui ginjal. Dosis
mungkin memerlukan penyesuaian pada pasien gagal ginjal. Sedangkan
valasiklovir dan famsiklovir memiliki toksisitas yang sama dengan asiklovir
(Goura dan Tim, 2009). Dalam penelitian double-blind, pasien sebanyak 398
orang yang mengkonsumsi valasiklovir ditemukan efek samping umum berupa
sakit kepala (10%), mual (4%), diare (3%), dan kelelahan (1,5%) (Leone, 2002).

2.1.2.2 Obat untuk Infeksi Cytomegalovirus (CMV)


Obat untuk infeksi CMV mempunyai beberapa toksisitas. Seperti pada
gansiklovir dengan bentuk sediaan intravena dan valgansiklovir dengan bentuk
sediaan oral mempunyai toksisitas leukopenia, terutama neutropenia yang
merupakan efek samping paling serius, jumlah sel darah putih harus dipantau saat
pengobatan. Neutropenia mempengaruhi hingga 50% dari pasien yang diberi
gansiklovir, paling umumnya dimulai pada minggu pertama atau kedua
penggunaan. Trombositopenia terjadi pada sekitar 20% pasien yang diberikan
gansiklovir. Sidovovir (intravena) mempunyai toksisitas pada ginjal (2%) dan
proteinuria yang terjadi hingga 50% pasien (Sweetman, 2009). Sedangkan
toksisitas foscarnet adalah akan mengalami gangguan pada ginjal pada
penggunaannya (Goura dan Tim, 2009).

2.1.2.3 Obat Antiretoviral (ARV)


Obat antiretroviral yang dapat menyebabkan toksisitas seperti obat
golongan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) yaitu
efavirenz pada penggunaan selama 24 minggu timbul efek samping, pusing
(13%), mimpi abnormal (18%), kesulitan tidur (7%), dan kegugupan (13%)
(Fumaz, 2002). Dalam sebuah studi prospektif dari kejadian hepatotoksisitas berat
10

antara 312 pasien yang mengkonsumsi efavirenz, 7,7% pasien terdeteksi hepatitis
C dan virus hepatitis B. Terjadinya hepatotoksisitas berat sebanyak 8,0%, tetapi
hanya 50% dari episode yang terdeteksi selama 12 minggu pertama terapi.
Sedangkan pada pasien yang mengkonsumsi nevirapine, 43% pasien terdeteksi
virus hepatitis C dan hepatitis B. Terjadinya hepatotoksisitas berat sebanyak 16%
tetapi hanya 32% dari episode terdeteksi selama 12 minggu pertama terapi
(Sulkowski, 2002).
Salah satu obat golongan Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase
Inhibitors (NRTIs) yang dapat menyebabkan toksisitas adalah abacavir. Efek
samping abacavir yang paling sering diamati dalam uji klinis adalah kelelahan,
mual dan muntah, sakit perut, diare, sakit kepala, ruam, dan dispepsia. Dalam
suatu studi mual dan muntah terjadi pada 38-57% dari pasien, sakit kepala 27-
41%, malaise dan kelelahan 28%, diare pada 18-23%, dan kelelahan 29%.
Sedangkan salah satu obat golongan Protease Inhibitors yang menyebabkan
toksisitas adalah nelfinavir. Nelfinavir dapat menyebabkan diare pada 20-30%
pasien (Aronson, 2005).

2.1.2.4 Obat Antihepatitis


Salah satu obat antihepatitis yang dapat menyebabkan toksisitas adalah
entecavir. Beberapa efek samping yang ditimbulkan oleh entecavir berupa sakit
kepala (2% sampai 4%), kelelahan (1% sampai 3%), hiperglikemia (2% sampai
3%), diare (1%), bilirubin meningkat (2% sampai 3%), hematuria (9%), glikosuria
(4%), kreatinin meningkat (1% sampai 2%). Tidak ada perbedaan efek samping
yang signifikan apabila dibandingkan dengan lamivudine (Lok dan Brian, 2007).

2.1.2.5 Obat Anti-influenza


Obat anti-influenza dalam penggunaannya yang dapat menyebabkan
toksisitas adalah amantadin, oseltamivir, dan moroxydine. Amantadin sediaan oral
dapat menyebabkan gelisah, agitasi, dan kebingungan. Toksisitas lainnya dari
amantadin yaitu livedo reticularis, perubahan warna biru berbintik-bintik pada
kulit akibat menonjolnya pembuluh vena, telah dilaporkan terjadi pada sekitar
50% pasien usia lanjut yang diberikan amantadine 100 sampai 300 mg setiap hari
selama 2 sampai 6 minggu dan edema 5-10% (Sweetman, 2009). Toksisitas
11

oseltamivir sediaan oral adalah dapat menyebabkan gangguan gastrointesinal


(Goura dan Tim, 2009). Potensi teratogenik obat moroxydine oral yang digunakan
pada bulan kedua kehamilan ketiga. Teratogenik ini dapat menyebabkan bayi lahir
cacat (Czeizel et al., 2006).

2.1.2.6 Obat Antivirus lain


Salah satu obat yang dapat menyebabkan toksisitas dari golongan obat
antivirus lain adalah ribavirin. Toksisitas utama ribavirin adalah anemia hemolitik
pada 61% pasien sebagai komplikasi ini sering mengakibatkan pengurangan dosis
ribavirin atau bahkan penghentian, yang secara signifikan dapat mempengaruhi
keseluruhan SVR (sustained virological response), terutama pada pasien dengan
genotipe HCV (Manns et al., 2006). Toksisitas paru seperti pneumonia, dan
pneumonitis interstitial, dapat terjadi apabila adanya kombinasi interferon atau
pegylated interferon dengan ribavirin (Kumar et al., 2002).

2.2 Hubungan Obat dengan Reseptor


Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat
tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja
melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah
aktivitas biokimia dan biofisika makromelekul. Pemikiran ini sudah berlangsung
lebih dari seabad dan diwujudkan dengan istilah reseptor (Katzung B. G., 2001).
Suatu reseptor obat adalah suatu makromolekul target khusus yang
mengikat suatu obat dan memediasi kerja farmakologis obat tersebut. Reseptor-
reseptor ini dapat berupa enzim, asam nukleat, atau protein terikat membran
khusus. Pembentukan kompleks obat-reseptor menghasilkan suatu respons
biologis. Besar respons sebanding dengan jumlah kompleks obat-reseptor. Suatu
agonis adalah suatu senyawa yang berikatan dengan suatu reseptor dan
menghasilkan respons biologis. Suatu agonis dapat berupa ligan endogen untuk
reseptor tersebut. Peningkatan konsentrasi agonis akan meningkatkan respons
biologis hingga tidak ada lagi reseptor yang dapat mengikat agonis atau respons
maksimal telah tercapai. Antagonis dapat memblok efek suatu agonis atau dapat
membalikkan efek agonis. Antagonis sendiri tidak memiliki efek. Peningkatan
antagonis pada suatu reseptor tidak menghasilkan efek biologis (Stringer, 2006).
12

Ikatan senyawa obat dan reseptor tergantung pada jenis ikatan kimia yang
dapat dibentuk antara obat dan reseptor. Ikatan kimia tersebut seperti Ikatan
kovalen, ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan elektrostatik, ikatan ion-dipol, ikatan
dipol-dipol, ikatan van der waals dan interaksi hidrofobik. Kekuatan ikatan ini
bervariasi dan akan menentukan seberapa besar afinitas antara obat dan reseptor.
Afinitas antara obat dan reseptor tergantung pada karakteristik tiga dimensi yang
tepat seperti ukuran, orientasi stereokimia dari gugus fungsional dan sifat fisik
serta sifat elektrokimia (Sahu et al., 2008).
Farmakofor merupakan bagian inti dari molekul obat yang tidak boleh
hilang karena memiliki aktivitas biologis yang spesifik. Sedangkan definisi resmi
menurut IUPAC (1998) farmakofor adalah sekumpulan fitur sterik dan elektronik
yang penting untuk menjamin interaksi supramolekular yang optimal dengan
struktur target biologis yang spesifik dan untuk memicu atau menghambat respons
biologisnya. Dengan kata lain, konsep farmakofor didasarkan pada jenis interaksi
yang diamati dalam dunia molekular: ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik
ditandai dengan pengaturan tata ruang yang ditetapkan. Farmakofor tidak
mempresentasikan molekul nyata atau hubungan yang nyata dari gugus
fungsional. Namun, merupakan sebuah konsep abstrak yang menjelaskan interaksi
molekul secara umum dari satu set senyawa terhadap struktur target (Todeschini
dan Consonni, 2000). Beberapa jenis farmakofor umumnya adalah donor ikatan
hidrogen, akseptor ikatan hidrogen, kelompok bermuatan positif, cincin aromatik,
dan kelompok hidrofobik (Louise-May, 2004).

2.3 Karsinogenesis dan Mutagenesis


Kanker adalah kelainan genetik yang merupakan akibat dari peristiwa-
peristiwa mutasional berganda. Mutasi-mutasi tersebut mengubah fungsi normal
suatu sel sehingga sel itu menjadi memiliki ciri-ciri berikut: (1) sel menjadi
immortal, yaitu mampu melakukan pembelahan sel secara tak terbatas, (2) sel
menjadi independen dari kontrol-kontrol selular normal yang membatasi
pertumbuhan dan pembelahan, dan (3) sel itu menjadi invasif dengan menyebar ke
jaringan-jaringan lain dalam sebuah proses yang disebut metastasis. Onkogenesis
adalah proses perubahan sel normal menjadi sel kanker. Sedangkan onkologi
adalah bidang ilmu yang mempelajari kanker (Elrod dan Stansfield, 2007).
13

Sejumlah mutasi onkogenik mungkin diwariskan, dan/atau diinduksi oleh


pajanan lingkungan yang mengandung mutagen-mutagen perusak DNA. Mutasi-
mutasi onkogenik mungkin terjadi secara spontan. Karsinogen adalah agen
apapun (misalnya zatzat kimiawi mutagenik, radiasi pengionisasi, dan virus-virus
tertentu) yang bisa mendorong terjadinya kanker. Semua karsinogenik diduga
bersifat mutagenik (menyebabkan kerusakan DNA), tapi tidak semua mutagen itu
karsinogenik (Elrod dan Stansfield, 2007).
Mutagen adalah suatu zat atau agen yang menginduksi perubahan warisan
pada sel atau organisme. Meskipun mutagen dan karsinogen bukan merupakan
istilah sinonim, kemampuan suatu zat untuk menginduksi mutasi dan kemampuan
untuk menginduksi kanker berkorelasi kuat. Mutagenesis mengacu pada proses
menghasilkan perubahan genetik, dan karsinogenesis (proses perkembangan
tumor) yang mungkin akibat dari peristiwa mutagenik (Raymond, 2014).
DNA (Deoxyribose nucleid acid) merupakan elemen yang diketahui
sebagai pembawa materi genetik. Toksisitas pada materi genetik, atau terjadinya
genotoksik, biasanya disebabkan karena adanya perubahan integritas, atau
terjadinya mutasi. Oleh karena itu mutasi adalah perubahan dalam materi genetik,
dapat diturunkan dan mencakup: mikrolesi dan makrolesi. Mikrolesi adalah
perubahan pada struktur DNA (Point of mutation) sedangkan makrolesi adalah
perubahan kromosom atau aberasi kromosom (Isnawati dan Alegantina, 2004).
Efek mutagenik ialah efek yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat
genetika sel tubuh makhluk hidup dan dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu:
mutasi gen, aberasi kromosom, dan kerusakan DNA (Widowati et al., 2006).
Proses karsinogenesis dimulai dengan diinternalisasi zat karsinogen oleh
sel, lalu akan dimetabolisme dan menghasilkan produk metabolit yang nantinya
diekskresikan atau disimpan di dalam sel tersebut. Di dalam sel, zat karsinogen
atau produk metabolitnya dapat secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi regulasi dan ekspresi gen yang terlibat dalam kontrol siklus sel,
perbaikan DNA, diferensiasi sel atau apoptosis (Luch, 2005).
Ada dua mekanisme tindakan zat karsinogen yaitu mekanisme
genotoksik dan non genotoksik. Contoh mekanisme genotoksik yaitu menginduksi
DNA atau merangsang kerusakan kromosom, terjadi fusi, penghapusan DNA, mis
14

segregarasi dan non disjungsi. Sedangkan mekanisme non genotoksik seperti


induksi inflamasi, imunosupresi, pembentukan spesies oksigen reaktif, aktivasi
reseptor seperti reseptor arylhydrocarbon (AHR) atau dengan reseptor estrerogen.
Secara bersamaan, kedua mekanisme ini akan mengubah jalur sinyal transduksi
yang akhirnya dapat mengakibatkan hypermutability, ketidakstabilan genomik,
kehilangan kontrol proliferasi, dan ketahanan terhadap apoptosis sehingga
timbullah kanker. Berikut bagan proses karsinogenesis (Luch, 2005).

Gambar 2.1 Skema Karsinogenesis Genotoksik dan Non-genotoksik

2.4 Uji Toksisitas


Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan
uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai
derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga
dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (BPOM RI,
2014).
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk
melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap
suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membuktikan keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat
15

memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek


toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (BPOM RI, 2014).
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat
dipercaya adalah pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan, cara
pemberian sediaan uji, pemilihan dosis uji, efek samping sediaan uji, teknik dan
prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama percobaan (BPOM
RI, 2014).
1) Uji Toksisitas Akut Oral
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang
diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan
dalam waktu 24 jam (BPOM RI, 2014).
2) Uji Toksisitas Subkronis Oral
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak
lebih dari 10% seluruh umur hewan (BPOM RI, 2014).
3) Uji Toksisitas Kronis Oral
Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan (BPOM RI, 2014).

2.4.1 Studi In Silico


Aplikasi yang cukup penting pada perangkat penambatan molekuler yaitu
virtual screening atau disebut juga studi in silico. Virtual screening merupakan
suatu metode komputasi dengan performa yang tinggi untuk menganalisa suatu set
database dari senyawa kimia untuk mengidentifikasi kandidat senyawa obat.
Metode komputasi ini membutuhkan biaya yang lebih ringan serta waktu yang
lebih efisien dibandingkan dengan screening secara farmakologi (Tang dan
Marshall, 2011).
Metode yang digunakan pada studi in silico tergantung pada informasi
yang didapat sebagai input dan tipe dari hasil yang dibutuhkan sebagai output.
Contoh: jika struktur tiga dimensi dari protein target dapat diperoleh, maka
16

penambatan molekuler dapat digunakan untuk melakukan screening berdasarkan


reseptor, atau dikenal pula dengan nama scructure based virtual screening.
Namun bila struktur tiga dimensi dari reseptor tidak ada, maka digunakan model
pharmacophore dari ligan bioaktif disebut pula ligand based virtual screening
(Hou dan Xu, 2004).

2.4.2 Studi In Vitro


In vitro adalah suatu pengujian yang dilakukan diluar tubuh makhluk
hidup, seperti pada sel, bakteri, organ terisolasi. Uji ikatan reseptor atau uji
berbasis sel (misalnya: uji proliferasi sel atau uji sitotoksisitas) dapat dilakukan
untuk memastikan kesetaraan aktivitas biologi/farmakodinamik produk biosimilar
dan produk pembanding. Data tersebut biasanya sudah ada dari uji biologi yang
diuraikan dalam bagian mutu dari dokumen registrasi (BPOM RI, 2015).

2.4.3 Studi In Vivo


In vivo adalah suatu pengujian yang dilakukan didalam tubuh makhluk
hidup, seperti hewan uji. Studi pada hewan harus bersifat komparatif dan
menggunakan spesies yang relevan (yaitu spesies di mana produk pembanding
telah menunjukkan adanya aktivitas farmakodinamik dan/atau aktivitas
toksikologi) dan menerapkan metodologi terbaik (BPOM RI, 2015).

2.5 Perangkat Lunak

2.5.1 Toxtree
Toxtree adalah aplikasi perangkat lunak mandiri yang dapat dijalankan
pada sistem operasi Microsoft Windows maupun platform lainnya dengan Java 2
Runtime Environment (Standard Edition 1.5 atau yang lebih baru diinstal).
Toxtree merupakan aplikasi open source yang fleksibel dan user-friendly yang
menempatkan bahan kimia ke dalam kategori dan memprediksi berbagai macam
efek toksik dengan menerapkan decision tree approaches (Commission, 2016).
Toxtree dikembangkan oleh Ideaconsult Ltd (Sovia, Bulgaria) dibawah
kontrak JRC. Agar dapat menjalankan Toxtree butuh persyaratan sistem seperti
Windows NT, Vista, 2000, 2003, Linux, Mac OS atau windows yang lebih tinggi.
17

Toxtree didistribusikan secara gratis di bawah GNU General Public License


(Ideaconsult, 2009).

Tabel II.1 Metode karsinogenik dan mutagenik pada Toxtree

No Metode Kategori
1 Karsinogenisitas 1. Peringatan untuk karsinogenik
(genetoksin dan non genotoksik
genotoksin) dan 2. Peringatan untuk karsinogenik non
mutagenisitas genotoksis
berdasarkan aturan 3. Potensi mutagen S. Typhimurium
ISS TA100 berdasarkan QSAR
4. Tidak mungkin menjadi mutagen
S.typhimuriumTA100 berdasarkan
QSAR
5. Berpotensi karsinogenik berdasarkan
QSAR
6. Tidak mungkin menjadi karsinogen
berdasarkan QSAR
7. Untuk penilaian yang lebih baik dapat
diterapkan perhitungan QSAR
8. Negatif untuk karsinogenik genotoksik
9. Negatif untuk karsinogenik non
genotoksik
10. Kesalahan ketika menerapkan toxtree
2 Mutagenisitas secara 1. Peringatan struktural terhadap
in vitro (tes Ames) mutagenisitas
yang ditandai ISS 2. Tidak terdapat peringatan terhadap
S.Typhimurium mutagenisitas
3. Potensial terjadi mutagen
S.Typhimurium TA100 berdasarkan
QSAR
4. Kemungkinan terjadi mutagen
S.Typhimurium TA100
5. Untuk melakukan kajian yang lebih
baik perhitungan QSAR dapat
diterapkan
6. Kesalahan saat menerapkan pohon
keputusan

Toxtree dikembangkan oleh Ideaconsult Ltd (Sofia, Bulgaria) di bawah


persyaratan kontrak JRC. Perangkat lunak ini tersedia secara gratis sebagai
layanan untuk para peneliti ilmiah dan siapa pun yang berkepentingan dengan
18

penerapan metode estimasi berbasis komputer dalam penilaian racun kimia


(Commission, 2016).
Joint Research Centre's European Chemicals Bureau telah
mengembangkan perangkat lunak Toxtree yang mampu memprediksi sejumlah
toksikologi berbasis struktur. Salah satu modul (plug-in) yang dikembangkan
untuk eksistensi Toxtree yaitu modul mengenai prediksi karsinogenisitas dan
mutagenisitas. Modul ini mengkodekan rulebase Benigni/Bossa untuk
karsinogenisitas dan mutagenisitas yang dikembangkan oleh Romualdo Benigni
dan Cecilia Bossa di Istitut Superiore di Sanita, Roma, Italia. Modul tersebut
diprogram oleh programmer Toxtree, Ideaconsult Ltd, Bulgaria yang membuat
pengguna dapat memprediksi karsinogenisitas dan mutagenisitas bahan kimia
berdasarkan pengetahuan mereka struktur (Benigni et al., 2008). Para peneliti
telah memprediksi akurasi sekitar 70% untuk karsinogenisitas, 78% untuk
mutagenisitas dan 59% untuk uji in vivo mikronukleus (Benigni et al., 2009).
Pada preparasi senyawa diuji dengan Toxtree membutuhkan data
SMILES yang dapat diperoleh dengan mengakses PubChem dan atau ChemDraw.
SMILES (Simplified Molecular Input Line Entry System) merupakan notasi garis
struktur kimia (metode ketik menggunakan karakter yang dapat dicetak) untuk
mewakili molekul. Sedangkan Pubchem memberikan informasi tentang aktivitas
biologis dari molekul kecil. Pubchem mencakup informasi substansi, struktur
senyawa, dan data bioaktivitas dalam tiga database utama, PubChem Substance,
PubChem Compound, dan PubChem BioAssay. PubChem Compound adalah
database pencari struktur kimia dengan divalidasi informasi penggambaran kimia
yang tersedia untuk menggambarkan suatu zat dalam PubChem (National, 2016).

2.5.2 Molegro Virtual Docker


Molegro Virtual Docker (MVD) adalah sebuah lingkungan terpadu untuk
belajar dan memprediksi bagaimana ligan berinteraksi dengan makromolekul.
Ligan adalah molekul sederhana yang dalam senyawa kompleks bertindak sebagai
donor pasangan elektron (basa Lewis). Ligan dapat berupa molekul spesifik yang
mampu berikatan dengan reseptor untuk memberikan efek tertentu. Identifikasi
ligan binding modes dilakukan dengan iterasi mengevaluasi sejumlah kandidat
konformasi ligan dan memperkirakan energi interaksi dengan makromolekul
19

tersebut. Skor tertinggi dari konformasi ligan dikembalikan untuk dianalisa lebih
lanjut. MVD dikembangkan oleh CLC Bio. Bertempat di Denmark, USA, dan
Taiwan. MVD kompaktibel dengan Windows 7, Vista, 2003, XP, atau 2000,
Linux (sebagian besar distribusi standar, tersedia 32 dan 64 bit), Mac OS X 10.5
Intel (dan versi terbaru). MVD merupakan aplikasi berbayar dengan free 30 day
trial license (Molegro, 2011).
Metode komputasi merupakan bagian dari desain obat modern. Mampu
memprediksi dan memvisualisasikan kandidat obat dan interaksi obat dengan
reseptor target sehingga memungkinkan untuk memahami dan mengoptimalkan
potensial obat. Molegro Virtual Docker menawarkan cara termudah dan paling
akurat untuk memprediksi bagaimana molekul berinteraksi dengan protein dalam
lingkungan yang terintegrasi (CLC Bio, n.d.).
MVD membutuhkan struktur tiga dimensi protein dan ligan (biasanya
berasal dari X-ray / eksperimen NMR atau pemodelan homologi). MVD
melakukan docking ligan secara fleksibel, sehingga geometri optimal ligan akan
ditentukan selama docking tersebut (Molegro, 2011). MVD menggunakan format
PDB, Mol2, SDF, dan XML untuk memasukkan molekul. Research
Collaboratory for Structural Bioinformatics (RCSB) Protein Data Bank (PDB)
adalah sebuah dokumen atau kumpulan data eksperimental struktur tiga dimensi
dari makromolekul biologis yang sekarang berjumlah lebih dari 32.500. RCSB
PDB dapat diakses di http://sg.pdb.org. RCSB dioperasikan oleh Rutgers, The
State University of New Jersey, dan San Diego Supercomputer Center di
University of California (Kouranov et al., 2006).
Drugbank merupakan alternatif untuk mendapatkan ID PDB. DrugBank
Database adalah bioinformatika unik dan kimiawi yang menggabungkan rincian
data obat (yaitu kimia, farmakologi dan farmasi) dengan informasi sasaran luas
obat (yaitu urutan, struktur, dan jalur). Database berisi 8.206 entri obat termasuk
1.991 obat molekul kecil yang disetujui FDA, 207 obat-obatan biotek yang
disetujui FDA (protein/ peptida), 93 nutraceuticals dan lebih dari 6000 obat
eksperimental. Selain itu, 4.333 protein non-redundant (yaitu obat sasaran/ enzim/
transporter/ carrier) urutan terkait dengan entri obat tersebut (Wishart et al.,
2006).
20

2.5.3 ChemDraw
ChemDraw merupakan program menggambar ilmiah terkemuka di dunia.
Ratusan ribu pengguna mendapatkan keuntungan dari kemudahan penggunaan,
kualitas output yang tinggi, kecerdasan kimia yang kuat, set alat biologi dan
integrasi di ChemOffice Profesional suite. Dirancang untuk ilmuwan, mahasiswa,
dan penulis ilmiah, ChemBioDraw adalah alat yang ampuh danv mudah
digunakan, untuk memproduksi struktur kimia dan gambar biologi. Pengguna
dapat membuat gambar sendiri atau menggunakan yang disediakan di
perpustakaan template yang tersedia (CambridgeSoft, 2016).
Chem Draw dikembangkan oleh PerkinElmer, Inc yang merupakan
aplikasi berbayar. Chem draw kompaktibel dengan OS windows 7 professional
dan ultimate (32 dan 64 bit), windows 8 dan 8 pro (32 dan 64 bit), windows 8.1
dan 8.1 pro (32 dan 64 bit), windows 10 (32 dan 64 bit). Chem draw
membutuhkan kapasitas RAM OS 32 bit: 1GB dan OS 64 bit: 2 GB. Microsoft
office yang kompaktibel yaitu Microsoft office 2000, 2010, 2013 (SP 1), dan office
265. Chem draw kompaktibel dengan perangkat keras yang mempunyai disk
space minimal 300 MB-1 GB, lebih baik 10 GB, dengan resolusi layar 800 x 600
atau lebih tinggi, dengan plugin/ control MS internet explorer 9.0, 10.x, 11.x,
firefox 28 atau lebih tinggi, dan chrome 32-44 (CambridgeSoft, 2016).

Anda mungkin juga menyukai