Anda di halaman 1dari 2

LIHAT KE HALAMAN ASLI

Puspaning Buana Patriani

Mahasisiwi Psikologi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

FOLLOW

Positivisme dalam Antropologi

8 Mei 2014 05:09 |Diperbarui: 23 Juni 2015 22:44

Positivisme dalam Antropologi

Mendengar istilah Positivisme , mungkin agak sedikit asing di telinga kita. Positivisme pertama kali
dikemukakan oleh Auguste Comte. Positivisme adalah kebenaran yang bersifat alamiah atau empiris dan
dapat diterangkan secara ilmiah. Ada tiga tokoh dalam Positivisme selain Comte, yaitu Emile Durkheim
dan Talcott Person. Emile Durkheim berpendapat bahwa hukum-hukum ilmu sosial dapat dibandingkan
dengan hukum alam. Sedangkan Talcott Person berpendapat jika tindakan manusia dapat diabstraksi
dengan teori-teori lain. Jadi bisa dikatakan Positivisme ini mempunyai hubungan erat dengan ilmu sosial
lain. Ilmu sosial juga membahas tentang dinamika kehidupan sosial yang didalamnya memuat
perubahan masyarakat, struktur dan budaya. Budaya disini maksudnya berubahnya sebuah kebiasaan
masyarakat dari sebelumnya karena pengaruh tertentu atau bisa dikatakan budaya lain. Budaya yang
kita miliki terkadang bukan budaya yang murni atau asli. Maka dari itu terdapat istilah asimilasi dan
akulturasi budaya. Budaya yang kita miliki sekarang bisa jadi merupakan pencampuran budaya lain,
misalnya budaya kenduri atau slametan.

Postitivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang pesat di abad 19. Dalam padndangan penganut
fisafat ini tujuan riset adalah untuk mendapatkan penjelasan ilmiah. Positivisme memandang ilmu-ilmu
sosial sebagai metode terorganisir dengan menggunakan logika deduktif serta pengamatan empiris dari
perilaku individu dalam rangka menemukan dan mengkorfirmasi dugaan hubungan sebab-akibat. Hal ini
dilakukan untuk meramalkan pola umum kegiatan manusia.

Sifat dasar dari pendekatan ini adalah bahwa fakta empirik terpisah dari gagasan atau pemikiran
personal. Fakta empirik itu terjadi karena adanya hukum sebab dan akibat. Pola realitas sosial itu
bersifat stabil. Paradigma ini mengasumsikan bahwa tujuan sains adalah mengembangkan meode-
metode yang sangat obyektif untuk mendekati realitas. Peneliti yang menggunakan pespektif ini
menjelaskan bagaimana variabel-variabel saling berinteraksi, membentuk suatu kejadian , dan
menghasilkan sesuatu. Semuanya dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Sering penjelasn-penjelasan
tersebut dikembangkan dan diuji dalam studi eksperimental. Diantara kontribusi penting dri tipe riset ini
adalah analisis multivariate dan teknik-teknik peramalan statistik.

Disisi lain, ada perspektif interpretivist/constructivist yang merupakan riset kualitatif, memandang dunia
sebagai sesuatu yang dikonstruksi, ditafsirkan, dan dialami oleh orang dalam interaksinya dengan
sesama serta dalam sistem sosial yang lebih luas. Menurut paradigma ini sifat dasar penelitian adalah
penafsiran, sedangkan tujuannya adalah untuk memahami fenomena tertentu. Bukan untuk melakukan
generlisasi dari populasi. Penelitian pada paradigma ini besifat alamiah karena diterapkan pada situasi
dunia nyata.

Antwi, S. K., & Hamza, K. (2015). Qualitative and Quantitative Research Paradigms in Business Research:
A Philosophical Reflection. European Journal of Business and Management, 7(3), 217–225.

Anda mungkin juga menyukai