Anda di halaman 1dari 9

Relasi Gender Perspektif Islam Dalam Dasar Fundamentalis Keagamaan

Muhammad Nur Thooriq

Ilmu Hadits

Abstrak: Istilah gender dianggap sebagai diferensiasi pria-wanita Perbedaan


ini muncul karena realitas budaya yang dibangun oleh masyarakat. Konsep ini
bertentangan dengan seks, yangmembedakan istilah pria-wanita secara
biologis. Dengandemikian, perbedaan seks adalah konstruksi Allah, dan tidak
dapat dikaji kembali. Di sisi lain, perbedaan jender adalah konstruksi sosial
dan dapat dikaji kembali .Oleh karena itu, konsep relasi pria-wanita selalu
diperdebatkan dalam hal baik dalam studi teks atau dalamkonteks realitas di
masyarakat. Artikel ini menguraikan pembentukan relasi pria-wanita dari
perspektif hadits ,konstruksi budaya dan hari ini realitasnya. Dalam konteks
ini, banyak tafsiran terhadap teks-teks sumber hukum Islam (al-Qur`an dan al-
Hadits) justru menguatkan budaya yang global .Tradisi yang ada jender ini
mengakar kuat dalam masyarakat.Walaupun demikian, hal yang tidak bisa
diingkari adalah perubahan realitas. Saat ini mulai tampak bahwa peran-
peranyang secara budaya dikonsepsikan untuk laki-laki justru dilakukan oleh
perempuan. Fenomena ini merupakan wujud perubahan realitas, yang akan
memunculkan budaya yang egaliter dan juga perbedaaan nya konteks gender
dalam prespektif islam ini bahwasannya seorang perempuan kurangnya sifat
kekeluasaan yang di berikan oleh jati diri seorang tersebut dan hal ini lah yang
telah di ungkapkan oleh islam dalam konteks hadits nya maupun alquran
bahwa jati diri seorang perempun tidaklah menghambat untuk seorang
perempuan tersebut menghambat aktifitas maupun kegiatannya dan juga
perbedaan kultur dari segi perempuan maupun laki-laki tidaklah ada bedanya
bahwasannya seorang perempuan bisa melakukan apa yang di lakukan oleh
seorang lelaki akan tetapi jati diri seorang perempuan tersebut masih tumbah
dalm diri nyadan juga seorang perempuan tesebut tetap memakai jati dirinya
yang dimana jati diri yang sesungguh nya yaitu sebagai seorang perempuan
yang hak .

Kata kunci : gender,seks,relasi,perempuan,laki-laki

1
PENDAHULUAN

Isu Gender menjadi sangat menarik ketika dihubungkan dengan wacana keislaman, yang
memang merupakan salah satu komponen dalam berbagai Perubahan sosial, kebudayaan dan
bahkan politik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan isu tersebut mulai dari
dekonstruksi khazanah Islam sampai pada upaya rekonstruksinya. Salah satu yang menjadi
pokok kajiannya adalahproblem relasi laki-laki dan perempuan.Dalam konteks relasi tersebut,
laki-laki selalu dipersepsikanmemiliki wilayah peran publik dan perempuan dianggap sebagai
penguasa dan penentu peran domestik. Karena itu, keduanya diasumsikan mempunyai wilayah
aktualisasi diri yang berbeda. Sekatbudaya ini, menurut kaum feminis, merupakan warisan
kultural danbudaya baik dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, maupunmasyarakat
modern.

Di sisi lain banyak pemahaman terhadap teksditemukan memperkuat bahkan ikut andil
dalam melanggengkankontruksi budaya tersebut, yang nota bene teks-teks tersebut diturunkan
pada budaya Arab yang patriarkhis, sehingga tafsiran tersebut selalu berbias jender. Padahal
dalam pendekatan yangberbeda didapatkan banyak teks yang justru mendukung kesetaraanrelasi
laki-laki dan perempuan.Dari konteks tersebut dapat dielaborasi bahwa konsep relasi laki-laki
dan perempuan muncul dan berkembang mulai dari hasilpemahaman terhadap teks dan
konstruksi budaya, sehingga saat iniditemukan wujud realitas yang berbeda. Dalam konteks
relasi laki-laki dan perempuan terdapat dua wilayah peran yang diperhadapkan yaitu peran
publik (public role) atau sektor publik (public sphere) dengan peran domestik (domesticrole) atau
sektor domestik (dometic sphere).

Istilah pertama biasanya diasumsikan sebagai wilayah aktualisasi diri kaum laki-
laki,sementara yang kedua dianggap sebagai dunia kaum perempuan.Sekat budaya ini, menurut
kaum feminis, merupakan warisankultural dari masyarakat primitif yang menempatkan laki-laki
sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer).Warisan tersebut
selanjutnya diteruskan oleh masyarakat agraris yang menempatkan laki-laki di luar rumah
(public sphere)untuk mengelola pertanian dan perempuan di dalam rumah (domesticsphere)
untuk mengurus keluarga.

2
Demikian juga, dalam masyarakat modern, sekat budaya tersebut masih cenderung
diakomodasi,terutama dalam sistem kapitalis. Padahal pembagian kerja yang berdasarkan jenis
kelamin seperti ini, bukan saja merugikan kaumperempuan itu sendiri, namun juga sangat tidak
relevan lagi untuk diterapkan di era sains dan teknologi yang serba modern ini. Perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat secara umum dapat dikategorikan dalam dua
kategori besar: Pertama, teori nature, yang menyatakan bahwa perbedaan peranlaki-laki dan
perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Menurutteori ini, sederet perbedaan biologis antara
laki-laki dan perempuanmenjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jeniskelamin.
Kedua, teori nurture, yang mengungkapkan bahwaperbedaan peran sosial lebih ditentukan oleh
faktor budaya. Menurutteori ini pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.

3
PEMBAHASAN

a) Kedudukan Wanita dalam Agama Lain

1. Wanita dalam Pandangan Agama Hindu ;Dalam agama Hindu ditegaskan bahwa
sesungguhnya kesabaran tertentu, angin, kematian, neraka, racun dan ular itu tidaklah lebih jahat
ketimbang wanita. Dimata orang Hindu, seorang wanita, jika suaminya mati lalu dibakar, maka
ia harus turut dibakar hidup hidup bersama jenazah suaminya.

2. Wanita dalam Pandangan Agama Yahudi ;Menurut segolongan kaum Yahudi, martabat anak
perempuan itu sama seperti pelayan. Maka ayahnya berhak untuk menjualnya dengan harga
murah sekalipun. Orang-orang Yahudi pada umumnya menganggap wanita sebagai laknat atau
kutukan karena wanitalah yang membuat Adam menjadi tersesat. Apabila seorang wanita sedang
mengalami haid, maka mereka enggan makan bersama dengan wanita itu dan ia tidak boleh
memegang bejana apapun karena khawatir tersebarnya najis.

3. Wanita dalam Pandangan Agama Nasrani ;Menurut agama Nasrani, wanita dianggap sebagai
sumber kejahatan, malapetaka yang disukai, sangat penting bagi keluarga dan rumah tangga,
pembunuh yang dicintai, dan musibah yang dicari. Marthin Luther, seorang penganjur besar dari
Protestan dan yang telah sengaja membongkar segala macam bid'ah dan khurafat dalam agama
Katholik, menasehatkan dan berpesan agar kaum wanita dijauhkan dari tempat pelajaran, dengan
alasan bahwa tidak ada gunanya wanita diberi pendidikan. Pada tahun 586 Masehi, orang-orang
Prancis pernah menyelenggarakan sebuah konferensi untuk membahas pelbagai permasalahan
seperti 'apakah wanita bisa dianggap manusia atau tidak', apakah wanita mempunyai ruh, dan
jika mempunyai ruh, apakah itu ruh manusia atau hewan'. Akhirnya, konferensi itu membuahkan
kesimpulan yang menyatakan bahwa wanita itu adalah seorang wanita. Akan tetapi ia diciptakan
untuk melayani kaum lelaki saja. 1

b) Wanita dalam Pandangan Agama Islam

1
Urwatul Wusqa, wanita kedudukan dan tinjauan karirnya dalam kehidupan al-quran dan hadits, Jurnal Ilmiah
Kajian Gender , 9 Januari 2014 , h.174

4
Bagaimanakah kedudukan wanita dalam agama Islam ? "Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', lakilaki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-
laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar." (QS. Al-ahzab:35).

Allah SWT, melalui Al-Qur'an, menegaskan bahwa setiap laki-laki dan wanita yang
mengamalkan prinsip-prinsip Islam akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan usaha
mereka. Allah tidak memberikan pahala berdasarkan jenis kelamin, tetapi berdasarkan amal
perbuatan manusia. Seorang lelaki bisa saja berkedudukan lebih rendah daripada seorang wanita
di mata Allah karena ia banyak melakukan maksiat dan dosa. Dalil Al-Qur'an di atas menjawab
pertanyaan tentang kedudukan ruhaniah wanita. Jelas bahwa Islam menganggap kaum wanita
sebagai mahluk yang mempunyai ruh yang dapat ikut merasakan nikmatnya surga. Ini adalah
salah satu bentuk persamaan antara laki-laki dan wanita yang terdapat dalam Islam.

Pelaksanaan rukun Islam sama wajibnya bagi setiap muslim dan muslimah dan tidak ada
pembedaan dalam pemberian balasan bagi mereka. Jika dalam agama lain kaum wanitanya tidak
boleh mempelajari kitab suci agamanya, maka dalam Islam, Allah SWT malah mencantumkan
satu surat dalam Al-Qur'an yang banyak membicarakan hal-hal tentang wanita, yaitu surat An-
Nisa. Dalam surat ini banyak diatur tentang hukum perkawinan, bagaimana seorang suami
seharusnya mempergauli istrinya, hukum waris bagi wanita, peraturan hidup suami istri,
bagaimana Islam melindungi hak milik laki-laki dan perempuan, dan lain-lain.2

Penafsiran terhadap al-Qur`an surat al-Nisâ’ ayat 4 seringkali dijadikan landasan


justifikatif “superioritas” laki-laki (suami) atas perempuan (istri). Kata qawwâmûn dalam ayat
tersebut dipahami terlepas dari advokasi Qur’anik lainnya tentang pembentukan kehidupan
keluarga sehingga muncul klaim adanya relasi jender dalam lingkup domestik.9 Padahal jika
dihubungkan dalam kerangka pemahaman ideal moral al-Qur`an tentang tujuan perkawinan, tata
pergaulan suami-istri dan tanggung jawab keluarga, maka klaim di atas merupakan akibat dari
pemahaman simplistikparsialistik (menyederhanakan dan tidak menyeluruh) terhadap alQur`an.
2
Ibid.h.177

5
Dominannya pola pemahaman semacam ini turut andil menutupi “keluhuran” Islam orisinal
dengan “bopeng” Islam historis.

Lebih jauh dari pemahaman tersebut, al-Qur`an semestinya ditangkap makna


3
substansialnya sehingga selalu relevan dengan tantangan dan perkembangan zaman.10 hmatan
li al-‘alamin” (memberikan rahmat bagi seluruh alam), memberikan ruang bgerak wanita sesuai
dengan kodratnya dan tidak menutup habis aktivitasnya. Namun kemudian muncul berebagai
interpretasi oleh para mufassir dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadist-hadist Nabi saw.
yang berhubungan dengan kaum wanita. Mereka memahami ayat-ayat dan hadisthadits Nabi
tersebut dengan perspektifnya masing-masing, sehingga seolah-olah memojokkan posisi kaum
hawa. Misalnya hadist tentang suara wanita adalah aurat, yang diriwayatkan oleh Imam al-
Thirmidzi yang artinya :”Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan
memperindahnya di mata pria".4

c) Perspektif Al Qur’an

Dalam Al-Qur’an telah ditegaskan, bahwa Allah menciptakan manusia adalah untuk
beribadah kepadaNya. Dalam hal ini maka manusia disebut Abdullah (hamba Allah). Manusia
dalam kapasitasnya sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, keduanya
berpotensi dan mempunyai peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal (muttaqin). Untuk
mencapai derajat muttaqin Al-Qur’an tidak pernah membedakan jenis kelamin, suku bangsa atau
kelompok etnis. Hamba Allah baik laki-laki maupun wanita masing-masing akan mendapatkan
penghargaan dari Allah sesuai dengan kadar pengabdiannya, bukan dari jenis kelaminnya.
Kalaupun ada permasalahan-permasalahan yang memberikan kekhususan tertentu bagi laki-laki,
itu pun tidak menjadikan laki-laki lebih utama (mulia) di hadapan Allah. Kekhususan tersebut
diberikan dalam kapasitas laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan anggota masyarakat yang
memiliki peran publik dan sosial yang lebih ketika ayat Al-Qur’an diturunkan (Umar, 1999: 248-
249). Yang menjadi pertimbangan sama sekali bukan karena laki-laki atau wanita.5

Seluruh manusia tidak memandang jenis laki-laki ataupun perempuan karena hal ini
merupakan puncak ciptaan tuhan yang di terangkan pada surah (Q.S. al-Thin/95:5). Manusia

3
Ibid.h.252
4
Nixson husin, Suara Wanita (Tinjauan Mukhtalif al-Hadits), jurnal ussuluddin Vol. XXI No. 1, Januari 2014,h.48
5
Zainul muhibbin,wanita dalam islam, jsh Jurnal Sosial Humaniora, Vol 4 No.2, November 2011,h.117

6
adalah satu-satunya makhluk eksistensialis, dan ukuran kemaluan di sisi tuhan adalah prestasi
dan kualitasnya tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q.S. al-Hujurat/ 49:13. Al-quran
tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu atau mengistimewakan suku tertentu
memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu atau mengistimewakan suku tertentu.
Laki-laki dan perempuan dari suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk
menjadi khalifah (Q.S. al-Nisa/4:124 dan Q.S. al-Nahl/16:97)6

Dan di Indonesia, sebagai negeri dengan penduduk muslim terbanyak, gerakan feminisme
mulai muncul seiring dengan pemikiran Raden Ajeng Kartini (1879—1904), putri Bupati Jepara
yang mengenyam pendidikan Belanda, yang prihatin dengan kondisi perempuan Jawa yang
terkungkung oleh ikatan-ikatan kultural dan struktural. Surat menyuratnya dengan seorang
perempuan Belanda yang kemudian diterbitkan menjadi buku telah menginspirasi dan
mendorong kaum perempuan di negeri ini untuk meraih hak-hak mereka. Dalam proses
emansispasi tersebut, Kartini sebagai isnpirator tetap berpijak pada pandangan yang menjaga
keseimbangan antara pendidikan sekuler dan keagamaan sebagai kunci sukses kemajuan kaum
perempuan. Dalam salah satu suratnya, ia menulis,

“while there was much value in acquiring a progressive western education, this must not
supersede the religious education that provides a firm anchor in one’s own traditional cultural
heritage and value system. There was a need for change and urged women to improve their
lives, obtain their rights, and realise their duties. Education, both secular and religious, was the
key to women’s progress”.

Hanya satu dekade setelah kematian Kartini, pada tahun 1912, Asyiah sebagai salah satu
gerakan perempuan muslim yang berpengaruh di Indonesia berdiri di Yogyakarta. Gerakan ini
menolak segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan yang didasarkan pada Alquran
dan hadis. Sebagai gantinya, mereka mendorong para anggota untuk terus maju dan meraih hak-
hak mereka.7

PENUTUP
6
Tri astutik haryati,dimensi feminis tuhan,sekolah tinggi agama islam negeri (STAIN),agustus 8 2011, hal.7
7
Andri rosadi,feminisme islam:kontekstualisasi prinsip-prinsip ajaran islam dalam gender,vol 2 no.5 september
2014,h.8

7
Relasi laki-laki dan perempuan menjadi bahan kajian yang urgen, karena konsep relasi
tersebut selalu berkorelasi dengan konsep budaya setempat, baik konsep budaya yang
matrialkhal maupun patrialkhal. Di samping itu, banyak tafsiran terhadap teks sumber hukum
Islam (al-Qur`an dan al-Hadits) justru menguatkan budaya patrilineal. Tradisi yang bias jender
ini mengakar kuat dalam masyarakat. Walaupun demikian, hal yang tidak bisa diingkari adalah
perubahan realitas. Saat ini mulai tampak bahwa peran-peran yang secara budaya dikonsepsikan
untuk laki-laki justru dilakukan oleh perempuan. Fenomena ini merupakan wujud perubahan
realitas, yang akan memunculkan rekonstruksi budaya baru yang egaliter. Karena itu, paradigma
baru dalam mengelaborasi teks al-Qur`an dan al-Hadits sebagai sebuah upaya ijtihâd yang tidak
bias jender perlu dilakukan dalam merespon fenomena realitas.

Kita sebagai umat manusia dan juga sebagai makhluk tuhan yang dimana sudah memiliki
kewajiban dan juga tanggungan hidup yang berbeda maupun perbedaaan itu dapat kita lihat dari
konteks kemanusiannya nya itu sendiri yang dimana seorang laki-laki mempunya tanggungan
yang lebih dari seorang perempuan di karnakan seorang perempuan maupun ia berusaha untuk
menyamakan semua hal itu maka tidak akan bisa.

DAFTAR PUSTAKA

Haryati, Tri astutik..dimensi feminis tuhan. sekolah tinggi agama islam negeri (STAIN).Agustus
8 2011.

Husin, Nixson.Suara Wanita (Tinjauan Mukhtalif al-Hadits), jurnal ussuluddin . Vol. XXI No. 1,
Januari 2014.

8
Muhibbin, zainul. wanita dalam islam, jsh Jurnal Sosial Humaniora. Vol 4 No.2, November
2011.

Rosadi, Andri. feminisme islam:kontekstualisasi prinsip-prinsip ajaran islam dalam gender.vol 2


no.5 september 2014.

Wusqa, Rwatul. wanita kedudukan dan tinjauan karirnya dalam kehidupan al-quran dan hadits.
Jurnal Ilmiah Kajian Gender. 9 Januari 2014.

Anda mungkin juga menyukai