Kromosom dibentuk dari DNA yang berikatan dengan beberapa protein
histon. Dari ikatan ini terbentuklah nukleosom, yang panjangnya kurang lebih 10 nm. Kemudian nukleosom tersebut akan membentuk lilitan-lilitan menyusun kromatid (lengan kromosom), satu lengan kromosom memiliki lebar kurang lebih 700 nm. Kromatid merupakan bagian lengan kromosom yang terikat satu sama lainnya, 2 kromatid kembar ini diikat oleh sentromer. Nama jamak dari kromatid adalah kromonema. Kromonema biasanya terlihat pada pembelahan sel masa profase dan kadang – kadang interfase.1 Pada kromosom terdapat satu daerah yang tidak mengandung gen (informasi genetik), daerah ini dinamakan sentromer. Pada masa pembelahan, sentromer merupakan struktur yang sangat penting, di bagian inilah lengan kromosom (kromatid) saling melekat satu sama lain pada masing-masing bagian kutub pembelahan. Bagian dari kromosom yang melekat pada sentromer dikenal dengan istilah ‘kinetokor’. Telomer adalah bagian berisi DNA pada kromosom, fungsinya untuk menjaga stabilitas ujung kromosom agar DNA nya tidak terurai. 2 3. c. 8. Buta Warna3,4 Buta warna merupakan suatu kondisi yang menyebabkan penderitanya tidak dapat membedakan panjang gelombang cahaya tertentu yang dapat dibedakan oleh mata normal, karena terjadi perubahan kepekaan reseptor sel kerucut yang terdapat pada retina mata. Buta warna umumnya terjadi lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 20:1. Buta warna herediter merupakan kelainan genetik sex-linked pada kromosom X ayah dan ibu.
Buta warna dapat terjadi secara kongenital ataupun didapat akibat
penyakit tertentu. Buta warna yang diurunkan tidak bersifat progresif dan tidak dapat diobati. Buta warna dapat diklasifikasikan menjadi:
A. Trikromatik: Merupakan suatu kondisi dimana pasien mempunyai
tiga pigmen kerucut yang mengatur fungsi penglihatan yang menyebabkan pasien buta warna ini dapat melihat berbagai warna, namun dengan interpretasi berbeda dari normal. Bentuk defiensi yang paling sering ditemukan adalah: 1) Deuteranomali: dengan defek pada penglihatan warna hijau atau kelemahan pigmen M cone atau absorpsi cone bergeser ke arah gelombang yang lebih panjang sehingga diperlukan lebih banyak hijau untuk mejadi kuning baku. 2) Protanomali: kelemahan fotopigmen L cone ata absorpsi L cone kea rah gelombang yang lebih rendah, sehingga diperlukan lebih banyak merah untuk menggabung menjadi kuning baku pada anomaloskop. 3) Tritanomali: defek penglihatan warna biru atau pigmen S cone atau absopsi S cone bergeser kea rah gelombang yang lebih panjang. B. Dikromatrik: pasien buta warna dengan 2 pigmen kerucut, akibatnya sulit membedakan warna tertentu. 1) Protanopia: keadaan yang paling selring ditemukan dengan defek pada penglihatan warna merah hijau atau kurang sensitifnya pigmen merah kerucut (hilangnya fotopigmen L cone) karena berjalannya mekanisme red-green opponent. 2) Deuteranopia: kekurangan pigmen hijau kerucut (hilangnya fotopigmen M cone) sehingga tidak dapat membedakan warna kemerahan dan kehijauan karena kurangn berjalannya mekanisme viable red- green opponent. 3) Tritanopia: Kesulitan membedakan warna biru dari kung karena hilangnya fotopigmen S-cone . C. Monokromatik (buta warna total atau akromatopsia): hanya terdapat satu jenis pigmen sel kerucut, sedangkan da pigmen lainnya rusak. Pada kondisi ini pasien sering mengeluh mengenai fotopobia, tajam penglihatan kurang, tidak mampu membedakan warna dasar.
6. Pada pemicu tertera bahwa hasil pemeriksaan darah yang
dilakukan oleh Wisnu adalah kadar hemoglobin 10 gr % dan terdapat sel target positif pada darah tepi. Dari hasil pemeriksaan tersebut kemungkinan Wisnu menderita kelainan thalasemia minor. Dimana pada pasien thalasemia minor sendiri mengalami gejala anemia ringan dengan kadar hb 9-11,46% gr, selain itu pada morfologi darah tepinya terdapat sel target positif.5,6
Referensi:
1. Bickmore WA. Eukaryotic Chromosomes. Encyclopedia of Life Sciences. 2001: 1-7
2. Higgins NP. Chromosome Structure. Encyclopedia of Life Sciences. 2001: 1- 10. 3. Hamid N, Adi K. Penentuan Tingkat Buta Warna dengan Metode Segmentasi Ruang Warna Fuzzy dan Rule-Based Forward Chaining pada Citra Ishihara. Youngster Physics Journal. 2015: 4(2); 211-8 4. Kartika, Kutjoro K, Yenni, Halim Y. Patofisiologi dan Diagnosis Buta Warna. 2014: 41 (4); 268-70 5. Alyumnah P, Ghozali M, Dalimoenthe NZ. Skrining Thalasemia Beta Minor pada Siswa SMA di Jatinagor. Jurnal Sistem Kesehatan. 2016: 1(3); 133-8 6. Rosita L. Surveilans Penderita Talasemia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2004. Mutiara Medika. 2007: 7(2); 109-20