Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Pengaturan tentang Pengangkutan

Menurut arti katanya pengangkutan berasal dari kata dasar “angkut” yang berarti angkat dan
bawa, muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan membawa, memuat
dan membawa atau mengirimkan. Pengangkutan artinya pengangkatan dan pembawaan barang
atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang diangkut. Jadi,
dalam pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari satu tempat
ke tempat lain.[3]

Dengan demikian, Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke
dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat
tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang
ditentukan.

Pengangkutan adalah salah satu bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai faktor seperti diuraikan berikut ini :[4]

1. Keadaan geografis Indonesia

Keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta sebagian
besar lautan memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui Negara dapat dijangkau. Adanya
tiga jalur pengangkutan ini mendorong penggunaan alat pengangkutan modern yang digerakkan
secara mekanik.

2. Menunjang pembangunan berbagai sektor

Kemajuan bidang pengangkutan terutama yang digerakkan secara mekanik akan menunjang
pembangunan di berbagai sektor, misalnya :

Sektor Perhubungan, pengangkutan memperlancar arus manusia, barang, jasa, informasi ke


seluruh penjuru tanah air ;
Sektor Pariwisata, pengangkutan memungkinkan para wisatawan men-jangkau berbagai objek
wisata yang berarti pemasukan devisa bagi Negara ; sektor perdagangan, pengangkutan
mempercepat penyeberangan perdagangan barang kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan
pembangunan sampai ke seluruh pelosok tanah air ;

Sektor Pendidikan, pengangkutan menunjang penyebaran sarana pendidikan dan tenaga


kependidikan ke seluruh daerah dan mobilitas penyeleng-garaan pendidikan ; dan demikian juga
sektor-sektor lainnya.

3. Keselarasan antara kehidupan kota dan desa

Banyaknya penggunaan jasa pengangkutan oleh masyarakat memberi dampak pada


pembangunan pedesaan berupa keselarasan antara kehidupan kota dan desa. Keselarasan tersebut
dapat terjadi karena arus informasi timbal balik antara kota dan desa, sehingga perkembangan
tingkat berfikir dan kemauan meningkatkan keahlian dan keterampilan warga desa dapat tumbuh
lebih cepat. Kemajuan bidang pengangkutan memungkinkan penyediaan lapangan kerja
berkembang dari kota dan desa. Hal ini akan mencegah terjadi arus urbanisasi karena untuk
mencari kerja warga desa tidak harus pindah ke kota.

4. Pengembangan ilmu dan teknologi

Kemajuan bidang pengangkutan mendorong pengembangan ilmu hukum baik perundang-


undangan maupun kebiasaan pengangkutan. Sesuai tidaknya undang-undang pengangkutan yang
berlaku sekarang dengan kebutuhan masyarakat tergantung dari penyelenggaraan pengangkutan.
Demikian juga perkembangan hukum kebiasaan, seberapa banyak perilaku yang diciptakan
sebagai kebiasaan dalam pengangkutan. Pengembangan teknologi pengangkutan tergantung juga
dari kemajuan bidang pengangkutan yang digerakkan secara mekanik.

Perkembangan hukum pengangkutan dapat ditelaah dengan baik melalui pendidikan hukum
dengan cara melakukan penelitian dan pengkajian bahan-bahan hukum pengangkutan yang
bersumber pada masyarakat pengguna jasa pengangkutan dan peraturan hukum pengangkutan di
bidang keperdataan.
B. Perjanjian Pengangkutan

B. 1 Definisi Perjanjian Pengangkutan

Perjanjian Pengangkutan adalah ”perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat
tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan.”[5]

Definisi tersebut hanya meliputi perjanjian antara pengirim dan pengangkut saja, tidak termasuk
perjanjian antara pengangkut dan penumpang. Sehingga perlu ada perbaikan.

Perbaikan rumusan definisi tersebut:

Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan
tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan.

Dengan selamat, keadaaan tidak selamat mengandung 2 arti:

Pada pengangkutan barang, barangnya tak ada atau musnah, barangnya ada tetapi rusak sebagian
atau seluruhnya disebabkan berbagai kemungkinan peristiwa;

Pada pengakutan penumpang, penumpang meninggal dunia atau menderita cacat tetap atau
sementara, karena sesuatu peristiwa atau kejadian.

Dalam definisi pengangkutan terkandung berbagai aspek pengangkutan sebagai berikut:

Pelaku

Alat pengangkutan

Barang/penumpang

Perbuatan

Fungsi pengangkutan
Tujuan pengangkutan

B.2 Kewajiban Dan Tanggung Jawab Pengangkut dalam Perjanjian Pengangkutan

Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengangkut dan pengirim sama
tinggi, tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana para pihak tidak sama tinggi yakni,
majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari si buruh. Kedudukan tersebut disebut
Subordinasi (gesubordineerd), sedangkan dalam penanjian pengangkutan adalah kedudukan
sama tinggi atau Koordinasi (geeoordineerd).

Menurut Purwosutjipto[6] sistem hukum indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian


pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan kehendak atau
konsensus.

Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari penyelengaraan pengangkutan, atau
berdasarkan dokumen pengangkutan yang diterbitkan dalam perjanjian tersebut.

Dokumen pengangkutan adalah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan,
berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak.

Konsep tanggung jawab timbul karena pengangkutan tidak terjadi sebagaimana mestinya atau
pengangkut tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana termuat dalam dokumen pengangkutan.

Dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut.
Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran ganti kerugian. Beberapa
hal itu adalah:

Keadaan memaksa (overmacht)

Cacat pada barang atau penumpang itu sendiri

Kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang itu sendiri.


Ketiga hal ini diakui dalam undang-undang maupun dalam doktrin ilmu hukum. Berdasarkan
asas kebebasan berkontrak, pihak-pihak dapat membuat ketentuan yang membatasi tanggung
jawab pihak-pihak. Dalam hal ini pengangkut dapat membatasi tanggung jawab berdasarkan
kelayakan.

Apabila perjanjian dibuat secara tertulis, biasanya pembatasan dituliskan secara tegas dalam
syarat-syarat atau klausula perjanjian. Tetapi apabila perjanjian dibuat secara tidak tertulis maka
kebiasaan yang berintikan kelayakan atau keadilan memegang peranan penting, disamping (hal
22-23) ketentuan undang-undang. Bagaimanapun pihak-pihak dilarang menghapus sama sekali
tanggung jawab (pasal 470 ayat 1 KUHD, untuk pengangkut).

Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam pasal 1236 dan 1246 KUH Perdata, menurut
pasal 1236 pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan
bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk
menyerahkan barang muatan.

Pasal 1601 KUH Perdata menentukan, selain persetujuan-persetujuan untuk melakukan


sementara jasa-jasa yang diatur oleh.ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-
syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada oleh kebiasaan, maka adalah dua macam
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi
pihak yang lainnya dengan menerima persetujuan perburuhan dan pemborongan pekerjaan.

Berdasarkan hai di atas, ada beberapa pendapat mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan,
yaitu:

1. Perjanjian Timbal balik

Dalam melaksanakan perjanjian itu, antara pihak-pihak dalam perjanjian yaitu pihak pengirim
dan pengangkut mempunyai masing-masing hak dan kewajiban. Pihak pengirim mempunyai hak
dan kewajiban sebagai pengirim dan sebaliknya pihak pengangkut mempunyai hak dan
kewajiban pula sebagai pengangkut.

2. Perjanjian Pelayanan berkala


Dalam melaksanakan perjanjian itu, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak
terus-menerus, tetapi hanya kadangkala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk
pengiriman barang. Hubungan semacam ini disebut pelayanan berkala, sebab pelayanan itu tidak
bersifat tetap, hanya kadangkala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan.

3. Perjanjian Pemberian Kuasa

Perjanjian jenis ini mengandung maksud bahwa pihak pengirim memberikan kuasa sepenuhnya
kepada pihak pengangkut mengenai keselamatan barang muatan yang di muat hingga selamat
sampai tujuan yang ditentukan.

4. Perjanjian Pemborongan

Seperti yang ditentukan dalam Pasal 1601 (b) KUH Perdata yang menentukan, Pemborongan
pekerjaan adalah persetujuan, dengan mana pihak yang satu si pemborong, mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan suatu persetujuan bagi pihak yang lain, dengan menerima suatu harga
yang ditentukan.

5. Perjanjian Campuran

Pada pengangkutan ada unsur melakukan pekerjaan (pelayanan berkala) dan unsur penyimpanan,
karena pengangkut berkewajiban untuk menyelenggara-kan pengangkutan dan menyimpan
barang-barang yang diserahkan kepadanya untuk diangkut (Pasal 466, 468 ayat (1) KUHD).

B.3 Asas Perjanjian Pengangkutan

Ada 4 (empat) asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan:

1. Asas Konsensual

Asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada
persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian
pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen
pengangkutan.
Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan
diantara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibuat tertulis karena
kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk
(hal 24) atau menerapkan ketentuan undang-undang.

2. Asas Koordinasi

Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian
pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan ”pelayanan jasa”, asas
subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian
pengangkutan.

3. Asas Campuran

Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa
dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan
melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut.

Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis
perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.

Asas Tidak Ada Hak Retensi

Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak
retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya
penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.

B.4 Kebiasaan Dalam Pengangkutan

Apabila dalam undang-undang tidak diatur mengenai kewajiban dan hak serta syarat syarat yang
dikehendaki oleh pihak-pihak, atau walaupun diatur tetapi dirasakan kurang sesuai dengan
kehendak pihak-pihak, maka pihak-pihak mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam praktek
pengangkutan.
Kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hukum
keperdataan, yaitu berupa perilaku atau perbuatan yang memenuhi ciri-ciri berikut:

1) Tidak tertulis yang hidup dalam praktek pengangkutan;

2) Berisi kewajiban bagaimana seharusnya pihak-pihak berbuat;

3) Tidak bertentangan dengan undang-undang atau kepatutan

4) Diterima pihak-pihak karena adil dan logis;

5) Menuju kepada akibat hukum yang dikehendaki pihak-pihak;

Beberapa kebiasaan yang berlaku dalam pengangkutan antara lain:

1) Undang-undang tidak menentukan cara terjadinya perjanjian. Kebiasaan menentukan cara


penawaran dan penerimaan, sehingga terjadi perjanjian.

2) Undang-undang menentukan bahwa pengirim membuat surat muatan yang berisi antara lain
rincian muatan. Kebiasaan menentukan jika tidak dibuat surat muatan, pemberitahuan pengirima
atau nota pengiriman berfungsi sama dengan surat muatan.

3) Undang undang menentukan bahwa setiap penumpang harus memiliki tiket penumpang,
tetapi tidak menentukan berapa kali perjalanan. Kebiasaan menentukan bahwa tiket penumpang
hanya berlaku untuk satu kali perjalanan yang telah ditentikan hari, tanggal dan jam
keberangkatan.

4) Undang-undang menganut asas bahwa penundaan keberangkatan harus dengan persetujuan


kedua belah pihak. Kebiasaan menentukan bahwa waktu keberangkatan sewaktu-waktu dapat
beruba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

5) Undang-undang menentukan bahwa biaya pengangkutan muatan dibayar oleh penerima


setelhia menerima penyerahan muatan ke tempat tujuan. Kebiasaan yang berlaku ialah biaya
pengangkutan dibayar lebih dahulu oleh pengirim.
6) Undang undang tidak menentukan syarat jumlah ganti kerugian karena pembatalan
perjanjian pengangkutan, kebiasaan menentukan bahwa pembatalan perjanjian pengangkutan
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, penumpang dikenakan ganti kerugian 25-50 % dari harga
tiket penumpang.

C. Fungsi Pengangkutan

Fungsi pengangkutan pada dasarnya adalah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat
ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Pengangkutan itu
sendiri memiliki 2 (dua) nilai kegunaan, yaitu :

1. Kegunaan Tempat (place utility)

yaitu bahwa di dalam penyelenggaraan pengangkutan , karena dilakukan dengan pemindahan


barang dan/ atau orang tadi, maka nilai kegunaan atas barang itu akan bertambah.

2. Kegunaan Waktu (time utility)

yaitu bahwa di dalam penyelenggaraan pengangkutan , karena dilakukan dengan pemindahan


barang dan/ atau orang tadi secara tepat waktu, maka nilai kegunaan atas barang itu akan
bertambah.

v Kewajiban

1. Nahkoda

1) Nahkoda wajib bertindak dengan kepandaian, ketelitian dan dengan kebijaksanaan yang
cukup untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.

2) Nahkoda wajib menaati dengan seksama peraturan yang lazim dan ketentuan yang ada
untuk menjamin kesanggupan berlayar dan keamanan kapal, keamanan para penumpang dan
pengangkutan muatannya. Ia tidak akan melakukanperjalanannya, kecuali bila kapalnya untuk
melaksanakan itu memenuhi syarat, dilengkapi sepantasnya dan diberi anak buah kapal
secukupnya.

3) Nahkoda wajib menggunakan pandu, di mana pun bila peraturan perundang-undangan,


kebiasaan atau kewaspadaan mengharuskannya.

4) Nahkoda wajib mengurus barang yang ads di kapal milik penumpang yang meninggal
selama perjalanan, di hadapan dua orang penumpang membuat uraian secukupnya mengenai hal
itu atau menyuruh membuatnya, yang ditanda-tangani olehnya dan oleh dua orang penumpang
tersebut.

5) Nahkoda harus dilengkapi di kapal dengan: (KUHD 432.) surat laut atau pas kapal, surat
ukur dan petikan dari register kapal yang memuat semua pembukuan yang berkenaan dengan
kapal sampai hari keberangkatan terakhir dari pelabuhan Indonesia. daftar anak buah kapal,
manifest muatan, carter partai dan konosemen, ataupun salinan surat itu; Peraturan perundang-
undangan dan reglemen yang berlaku di Indonesia terhadap perjalanan, dan segala surat lain
yang diperlukan Terhadap carter partai dan konosemen, kewajiban ini tidak berlaku dalam
keadaan yang ditetapkan oleh Kepala Departemen Marine.

6) Nahkoda berusaha agar di kapal diselenggarakan buku harian kapal (register harian atau
jurnal), di mana semua hal yang penting yang terjadi dalam perjalanan dicatat dengan teliti.
Nahkoda sebuah kapal yang digerakkan secara mekanis, di samping itu harus berusaha agar oleh
seorang personil kamar mesin diselenggarakan buku harian mesin

7) Nahkoda dan pengusaha kapal wajib memberikan kesempatan kepada orang-orang yang
berkepentingan atas permintaan mereka untuk melihat buku harian, dan dengan pembayaran
biayanya memberikan salinannya

8) Nahkoda wajib dalam 48 jam setelah tibanya di pelabuhan darurat atau di pelabuhan
tujuan akhir, menunukkan atau menyuruh menunjukkan buku harian kapal atau buku harian
kepada pegawai pendaftaran anak buah kapal, dan minta agar buku itu ditandatangani oleh
pegawai tersebut sebagai tanda telah dilihatnya

9) Nahkoda wajib memberi pertolongan kepada orang-orang yang ada dalam bahaya,
khususnya bila kapalnya tertibat dalam tubrukan, kepada kapal lain yang terlibat dan orang-
orang yang ada di atasnya, dalam batas kemampuan nahkoda tersebut, tanpa mengakibatkan
kapalnya sendiri dan penumpangpenumpangnya tersebut ke dalam bahaya besar. Di samping itu
ia wajib, bila hal ini mungkin baginya memberitahukan kepada kapal lain yang terlibat dalam
tubrukan itu, nama kapalnya, pelabuhan tempat kapal terdaftar, dan pelabuhan tempat
kedatangan dan tempat tujuannya. Bila kewajiban ini tidak dipenuhi oleh nahkoda, hal ini tidak
memberi kepadanya hak tagih terhadap pengusaha kapal.

10) Nahkoda kapal Indonesia yang bertujuan ke Indonesia, dan sedang berada di pelabuhan
luar Indonesia, wajib membawa ke Indonesia, pelaut-pelaut berkewarganegaraan Indonesia dan
penduduk Indonesia, yang berada di sana dan membutuhkan pertolongan, bila di kapal ada
tempat untuk mereka.

2. Anak Buah Kapal

1) Selama anak buah kapal berada dalam dinas di kapal, ia wajib melaksanakan perintah
nahkoda dengan seksama

2) Tanpa izin nahkoda, anak buah kapal tidak boleh meninggalkan kapal.

v Larangan

1. Nahkoda

Nahkoda tidak boleh meninggalkan kapalnya selama pelayaran atau bila ada bahaya mengancam,
kecuali bila ketidakhadirannya mutlak perlu atau dipaksa untuk itu oleh ikhtiar penyelamatan diri

2. Anak Buah Kapal

Anak buah kapal tidak boleh membawa atau mempunyai minuman keras atau senjata di kapal
tanpa izin nahkoda.

v Kewenangan dan Hak

1. Nahkoda
1) Setelah tiba di suatu pelabuhan, nahkoda dapat menyuruh pegawai yang berwenang untuk
membuat keterangan kapal mengenai kejadian dalam perjalanan.

2) Bila sangat diperlukan, demi keselamatan kapal atau muatannya, nahkoda berwenang
untuk melemparkan ke laut atau memakai habis perlengkapan kapal dan bagian dari muatan.

3) Nahkoda dalam keadaan darurat selama perjalanan berwenang untuk mengambil dengan
membayar ganti rugi, bahan makanan yang ada pada para penumpang atau yang termasuk
muatan, untuk digunakan demi kepentingan semua orang yang ada di kapal.

4) Nahkoda mempunyai kekuasaan disipliner atas anak buah kapal. Untuk mempertahankan
kekuasaan ini ia dapat mengambil tindakan yang selayaknya diperlukan.

5) Nahkoda mempunyai kekuasaan di kapal atas semua penumpang. Mereka wajib menaati
perintah yang diberikan oleh nahkoda untuk kepentingan keamanan atau untuk mempertahankan
ketertiban dan disiplin.

2. Anak Buah Kapal

Setiap anak buah kapal di kapal harus diberi kesempatan untuk melihat daftar anak buah kapal
dan perjanjian yang menyangkut dirinya.

Anda mungkin juga menyukai