Anda di halaman 1dari 118

LAPORAN AKHIR

PEMAHAMAN & SOSIALISASI PENYUSUNAN RUU TATA HUBUNGAN


KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT & DAERAH

Penyusun:

Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D, Prof.


Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof.
Irfan Ridwan Maksum, Drs, M.Si
Harsanto, SH, M.Si
Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc
Bani Pamungkas, SH

KERJASAMA ANTARA
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN
PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA
FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif iii

Bab I Pendahuluan 1

Bab II Hubungan Wewenang Antara Pemerintah dan Daerah serta Antar 8


Daerah

Bab III Tata Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 25

Bab IV Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia 32

Bab V Kesimpulan dan Saran 56

Daftar Pustaka 58

Lampiran : Draft 3 RUU – 1 Desember 2006

Laporan Akhir:
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN

Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem


kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat.
Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan
sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan
kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen
secara eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat
Undang-undang (UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan
sebagai berikut:
”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.”

Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata


hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah
produk hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU.
Sandaran legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun
sebuah UU.

Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan


tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan
daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari
terjadinya tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi
tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Selanjutnya pada frasa “tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat


dan Daerah”, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak
hanya melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata
hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah
sistem pemerintahan.

Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini
mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam
UU yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.

Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi. Fokus penyusunan
RUU tersebut diarahkan pada penentuan materi dan susunan yang akan
termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan

Laporan Akhir: 1
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah
berdasarkan Naskah Akademik yang sudah ada.

Untuk itu, kajian dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara metode


desk riset, focus group dicussion, konsinyasi, seminar/lokakarya, serta
sosialisasi.

Berdasarkan telaah filosofi yang ada dari hasil desk riset, materi yang akan
diatur dalam RUU berlandaskan kepada sejumlah analisis berikut ini.

HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA


ANTAR DAERAH

Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah bersifat


subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus
oleh Pemerintah (local government is creature of central government). Namun
dilihat dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi
maupun antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang
bersifat resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward)
dan sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan
antara Provinsi dan Kabuapten/Kota.

Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok


besar hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang
terpecah menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan
antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni
hubungan antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi
lainnya. Ketiga adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada
hubungan antara Provinsi dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu
Provinsi, serta hubungan antar Kabupaten/kota pada Provinsi yang
bertetangga.

Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari


bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat
desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi.
Banyaknya Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada
menambah kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali
hubungan yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya
beberapa motif sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam.

Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks


terjadi. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur memiliki hubungan wewenang
yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara Gubernur sebagai wakil
Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non
Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan
Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara Gubernur sebagai
wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya.

Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun


dalam kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No.

Laporan Akhir: 2
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
32 Tahun 2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan
yang bersifat searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu,
hubungan yang bersifat diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU
tersebut.

Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata


Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang
antar Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati
perlunya pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND
sendiri di tingkat pusat.

Hubungan wewenang antara Pemerintah dan Daerah, dan antar Daerah


menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14 ayat (3) akan dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas bertentangan dengan
UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas menyatakan bahwa
hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU.

Dalam konteks desentralisasi, pembagian kewenangan Pemerintahan


merupakan pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat
kepada Daerah-Daerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang
didistribusikan kepada Daerah hanyalah kewenangan pemerintahan saja
(eksekutif), tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undang-
undang) dan kewenangan yudikatif (peradilan).

Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak


mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%
desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan
pemerintah yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab
penuh pemerintah. Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi
dengan desentralisasi. Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur
sentralisasi. Oleh karena itu, penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah
sistem pemerintahan, membawa pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak
dapat didesentralisasikan; dan (2) wewenang yang dapat didesentralisasikan.

Wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah wewenang


pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal urusan luar
negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter), yustisisi dan
agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni sentralisasi,
(2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu wewenang yang
dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang concurrent dapat
dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena adanya urusan-urusan
yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2) dekonsentrasi juga dapat
dilakukan apabila diperlukan pelembagaan apparatus pusat di daerah, (3)
desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan.

Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama


disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang
konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.

Laporan Akhir: 3
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui
kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih
dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur
dalam UU tersebut.

Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau


terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara
optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih
terarah.

Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak
sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi
terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh
karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan
hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan
atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.

Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan


Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan
yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah.
Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang
dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.

Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan

Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/


Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan
fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam
otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Dengan demikian RUU Tata
hubungan ini pun harus diarahkan kepada kemungkinan penataan badan
semacam ini bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah
Provinsi. Badan semacam ini dapat dikategorikan mampu menciptakan
hubungan yang bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan
pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di
negara lain diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional.

TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan


sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan
sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh Frank P.
Sherwood pun diungkap hal yang senada.

Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk


menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk
mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut
secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in unity”.

Laporan Akhir: 4
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti
pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk
mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek
kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas
jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait
dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai
batas yurisdiksi fungsi tersebut.

Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap


desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara
Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan
elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan
khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada
1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni
pengairan (irigasi) berupa ‘waterschappen’ yang di negeri Belanda sendiri
hidup dan berkembang pesat.

Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi


fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi
khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya
desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada
dalam desentralisasi teritorial.

Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial)

Dalam berbagai pendapat pakar, diketahui bahwa penyelenggaraan


desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan
daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian
dari kewenangan pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas
desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk
mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat.
Pembentukan daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan
politik, tetapi juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang
dapat diukur melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah.

Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah


yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang
ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan
pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah.

Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, persoalan-persoalan persebaran


wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah dari setiap

Laporan Akhir: 5
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang
diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi
gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu
adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi.
Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom itu
adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus mengintegrasikan kembali
(how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki
dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi,
konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah
pusat dan sebagai kepala daerah.

Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi


kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru
merebak “dispute” yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan
antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah.

Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar
Daerah

Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan


kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur
merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan
hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci.
Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para
Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara
gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala
Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas
(Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis?
Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di
wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara


lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik.

Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-
sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.

Laporan Akhir: 6
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah

Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah


mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan
berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan
yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat
kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar
berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang
membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan
Wilayah.

Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip
kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip
kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik.

Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah


adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.
Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi
dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang
baik.

Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,


horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut.

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI


INDONESIA

Ada dua alasan utama mengapa “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah


Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia” merupakan hal yang penting
untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah,
adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu
pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar
(sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat
menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan
hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik,
gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud
gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk
dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan
negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami

Laporan Akhir: 7
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan
keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru.

Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah


yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus
masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2). Ungkapan
ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai pengatur dan
penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat tergantung dengan
mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat
internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi
logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub
nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan tugas-tugas
negara dan pemerintahan akan senantiasa berubah secara periodik, baik
pada negara yang berstruktur federal maupun negara yang berstruktur
unitaris (kesatuan).

Dinamika Hubungan Pusat - Daerah

Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja


terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negara-
negara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan
Swiss.

Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan


bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan
refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat
dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan
ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong
keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara
vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal,
tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang
berkembang.

Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi
pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak
mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya
sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak
bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke
kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya
(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Dalam problem setiap negara bangsa, tugas
terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah
menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan
gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar
akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada
disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan
menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan
partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari
satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk
federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi

Laporan Akhir: 8
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari
pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.

Problematika Hubungan Pusat – Daerah di Indonesia

Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia,


marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek
hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah
sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
(lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan
separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat
terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja
memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power.
Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang
berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang
surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan
yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18
UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen.

Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki


ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai
tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Efek
domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut
sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan
ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari
kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di
negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54).

Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan
dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem
pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak
telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.
Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang
serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,
Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini
menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,
faktor ekonomi dan faktor demografi.

Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil


meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan
Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas
dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya
dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan

Laporan Akhir: 9
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan
kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas
pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam
pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah
daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan
mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan
kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara
pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi
hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun
1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini
menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki
kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih
tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu
balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan
meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan
antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia
secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).

Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa


Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah.
Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah
menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah.

Konstruksi Hubungan Pusat – Daerah Pasca Orde Baru

Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto


boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan
daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan
Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi
yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan
sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil
penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya
otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local
responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk
konsep ini Smith, 1985:24).

Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata


tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia.
Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah
utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan
pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang,
karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme
Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur
pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga
politik afiliasi dan politik akomodasi.

Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik


maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah

Laporan Akhir: 10
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran.
Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses
penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh
perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul
menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon
kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur
sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak
dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.

Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan


akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks
dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat
dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi
pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran
misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus
dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Pada sisi lainnya,
kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja
pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang
terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan
mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat
tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon
dan ditindaklanjuti.

Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya
Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat
atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan
pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada
daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak
memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA
oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Pemilihan langsung kepala
daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam
prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi
domain eklusif partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan
dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai
politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101).
Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses
pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih
calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.

Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah


berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004
tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil
daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program
inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi
ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun
sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo

Laporan Akhir: 11
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten
Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran
kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi
keberlanjutan program-program inovasi tersebut.

Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan


pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan
besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu
sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22
No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata
belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang
mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang
diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11
tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU
No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua
berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar
tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap
gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan
memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi
otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan
bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan
daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan
aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan
Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan
Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta
berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka.

Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar


hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan
konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan
tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan
pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau
urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan
antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan
keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah.

Konstruksi Ulang Hubungan Pusat – Daerah untuk Indonesia

Dalam hal konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa
yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan
tersebut.

Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya


Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan
pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu
kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan
Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

Laporan Akhir: 12
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini,
penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945
perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan
polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan
praktek di negara federal.

Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada


kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi
(fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi
ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah.
Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak
adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam
prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai
Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan,
pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah
kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur.
Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan,
pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal,
seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah
berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batas-
batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas
administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU
No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-masalah
yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata belum
mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah terbentuk.

Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga


konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status
daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap
mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti
dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk
melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota
tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini,
karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat
kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat
instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai
WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk
mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi,
pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya.
Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat
katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur
dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya
untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan
sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.

Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan

Laporan Akhir: 13
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip
kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar
tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.
Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada
kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif
oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999
disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada
daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak
perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material
ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut
oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,
ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan
sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,
2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat
dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas
sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang
pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).

Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah


Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim
dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan
Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi,
sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal
secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999
menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal
pembagian wewenang.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua
prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu
berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi
kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,
untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika
prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi
mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan
pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat
fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan
pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan
ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-
sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,

Laporan Akhir: 14
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat
pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.

Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada


inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang
sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini
membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari
inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam
kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor
dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh
pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan.

Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat dan
daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama,
dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan
yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang
bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan
Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki.
Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus
dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1)
kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi,
(3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus
dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka
dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan,
dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di
negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara
bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan
tersebut dapat dikurangi. Diusulkan agar pembagian kewenangan
berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan secara tuntas
di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah
sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung menguntungkan pusat
dan melemahkan daerah.

Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk


menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan
tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh
kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu
adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber
penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka
hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun
waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi
sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan
terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah
persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan
dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD
1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan

Laporan Akhir: 15
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga,
kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan
pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien.
Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar
terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane,
1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui
UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata
belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumber-
sumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara,
meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada
sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga
terjadi.

Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber


dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga
disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam
UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut, ditawarkan pengungkit yang dapat dijadikan
sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan pajak dan
bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi hasil
penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar daerah,
dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua,
keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana
setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan
keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi
perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki
kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal
antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan
money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh
menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap
daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil
pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan
perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin
kedudukan hukum pemerintah daerah.

Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,


DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk
terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan
Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan
DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk
memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD
diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan
anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan
pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang
mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama
untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah
dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.

Laporan Akhir: 16
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan
kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan
perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang
yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada
produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi
juga Undang-undang yang lainnya.

Laporan Akhir: 17
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem


kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat.
Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan
sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan
kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara
eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang
(UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut:
”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.”

Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata


hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk
hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran
legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU.

Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan


tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan
daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya
tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Selanjutnya pada frasa “tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat


dan Daerah”, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya
melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata

Laporan Akhir: 1
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah
sistem pemerintahan.

Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini
mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU
yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.

Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi.

Pokok Permasalahan

Dari uraian di atas, kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang ini


berfokus pada pokok masalah berikut:

1. Berdasarkan naskah akademik yang ada, materi apa saja yang termuat
dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah?
2. Bagaimana susunan Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut?
3. Bagaimana melakukan sosialisasi RUU Tata Hubungan wewenang hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka
umpan balik bagi perbaikan RUU tersebut?

Laporan Akhir: 2
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Tujuan

Dari fokus tersebut di atas, maka kegiatan ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi materi-materi yang termuat dalam Rancangan Undang-


undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta antar Daerah berdasarkan naskah akademik yang sudah
disusun sebelumnya.
2. Menyusun RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta antar Daerah.
3. Mengembangkan kegiatan sosialisasi dalam rangka feed-back bagi perbaikan
susunan RUU tersebut.

Manfaat

Sebuah RUU memberikan kepastian dalam menyusun UU yang sesungguhnya,


sehingga materi yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara semakin tinggi kualitasnya karena terjamin kepastian hukum sesuai
dengan cakupannya. Oleh karena itu, RUU Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah ini memberikan landasan yang
kuat bagi Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menjalankan berbagai
kewenangan dalam rangka penyempurnaan kerangka hukum desentralisasi.

Metodologi Penyusunan

Berdasarkan naskah akademik Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah


Pusat dan Daerah serta antar Daerah, maka penyusunan RUU Tata Hubungan
Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dilakukan
melalui serangkaian metoda:

Laporan Akhir: 3
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
1. Desk Riset dengan menelaah informasi-informasi yang telah ada sebelumnya
yang berkaitan dengan topik kegiatan.
2. Focus Group Discussion, merupakan Diskusi Kelompok Terarah yang
dilaksanakan dengan mengumpulkan nara sumber yang bisa dikatakan
homogen dalam suatu ruangan. FGD ini diharapkan bisa dilaksanakan di
semua daerah di Indonesia yang dianggap representatif
3. Konsinyasi untuk menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Tata
Hubungan.
4. Seminar/Lokakarya hasil penelitian berupa naskah akademik untuk
mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang
5. Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Kewenangan
Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota

Ruang Lingkup

Kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Dan


Pembagian Kewenangan ini mencakup tata hubungan dan pembagian
kewenangan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota atau antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan jadwal pelaksanaan berikut:

Aktivitas Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Desk Riset
Focus Group Discussion
Konsinyasi
Seminar/Lokakarya
Sosialisasi

Laporan Akhir: 4
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Rincian Langkah Kegiatan

Adapun rincian langkah pelaksanaan kegiatan berdasarkan metode


pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

Kegiatan yang Durasi Bentuk Keluaran


dilakukan Pelaksanaan
Desk Riset Penelaahan informasi Dalam kurun Informasi
dari naskah akademik waktu 2 (dua) mengenai urgensi
dan informasi lainnya bulan selama penyusunan RUU
dari berbagai sumber kegiatan berdasarkan
yang relevan dengan dilaksanakan peraturan yang
topik kegiatan ada serta
kebutuhan materi
yang harus diatur
dalam RUU
Focus Group Pelaksanaan Diskusi 4 (empat) kali Masukan nara
Discussion Kelompok Terarah pelaksanaan @ 2 sumber mengenai
dengan mengumpulkan jam materi pengaturan
nara sumber yang RUU
homogen dalam suatu
ruangan.
Konsinyasi Penyusunan naskah 2 (dua) kali @ 2 Draft RUU
RUU Tata Hubungan hari pelaksanaan
Seminar / Pemaparan hasil 4 (empat) kali @ 2 Masukan
Lokakarya penelitian berupa jam pelaksanaan penyempurnaan
naskah akademik dan Naskah Akademik
draft sementara RUU dan Draft
untuk mendapatkan Sementara
masukan bagi
penyusunan
Rancangan Undang-
Undang
Sosialisasi Mensosialisasikan 3 (dua) kali @ 2 Masukan
Daraft RUU Tata jam pelaksanaan terhadap Draft
Hubungan Akhir RUU
Kewenangan
Pemerintah, Provinsi
Dan Kabupaten/Kota

Laporan Akhir: 5
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Desk Riset

Focus Group Konsinyasi Seminar/Lokakarya


Discussion

Sosialisasi

Sistematika Laporan

Laporan ini terdiri dari 5 (lima) Bab sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang, pokok masalah, tujuan
dan manfaat dari dilaksanakannya pemahaman dan sosialisasi penyusunan
RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta metode
yang digunakan dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan
pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU tersebut. Selain itu, bab ini juga
berisikan jadwal pelaksanaan kegiatan, rincian langkah kegiatan dan sistematika
penyusunan laporan.

Bab II: Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah.
Bab ini berisikan urgensi penyusunan hubungan wewenang antara Pemerintah
dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen dan
UU 32/2004, pembagian urusan-urusan kepemerintahan yang dapat dilakukan
serta kedudukan dari badan khusus yang mungkin saja dibentuk akibat
pembagian urusan-urusan kepemerintahan tersebut.

Laporan Akhir: 6
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Bab III: Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bab ini berisikan
esensi dari penyelenggaraan desentralisasi dan kebutuhan akan pengaturan
hubungan kewenangan dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut, serta
kemungkinan pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Daerah
yang dapat dilakukan.

Bab IV: Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Bab
ini berisikan dinamika hubungan antara Pusat dan Daerah selama ini serta
problematika yang dihadapinya, konstruksi hubungan di masa orde baru, serta
bagaimana mengkontruksi ulang hubungan tersebut guna mencapai titik
keseimbangan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Bab V: Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan
yang dilakukan terhadap hubungan antara Pemerintah dan Daerah serta saran
yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti kegiatan pemahaman dan
sosialisasi penyusunan RUU ini di masa datang.

Laporan Akhir: 7
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB II
HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA
ANTAR DAERAH

Pendahuluan

Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah beberapa kali. Dalam beberapa kali
perubahan selain tetap mempertahankan beberapa pasal-pasal asli, terdapat
juga beberapa pasal-pasal yang diubah. Salah satu Pasal yang diubah adalah
Pasal 18.

Perubahan Pasal 18 ini tergolong rumit. Judul bab yang membawahi Pasal 18,
baik pada Pasal yang asli maupun Pasal-Pasal hasil amandemen tetap sama
yaitu dengan judul Pemerintah Daerah. Pasal 18 baru hasil amandemen terakhir
terdiri dari 7 (tujuh) ayat. Ayat (1) Pasal 18 hasil amandemen ini mendapat
inspirasi dari Penjelasan Pasal 18 asli dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 yang
merekomendasikan agar otonomi disusun secara bertingkat.

Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen yang lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B,
masing-masing dijabarkan dalam 2 (dua) ayat. Sekalipun Pasal-pasal tersebut,
khususnya pasal 18A (1) secara eksplisit hanya mengatur desentralisasi dan
tugas pembantuan, namun pengaturan oleh produk hukum yang lebih rendah
dan penyelenggaraan dekonsentrasi tidak dapat dicegah. Pengaturan dan
penyelenggaraan dekonsentrasi sebenarnya merupakan bagian dari pengaturan
dan penyelenggaraan sentralisasi. Oleh karena itu tidak perlu diatur dalam UUD.

Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah bersifat


subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh
Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat
dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun

Laporan Akhir: 8
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat
resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan
sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara
Provinsi dan Kabuapten/Kota. Hubungan demikian merupaka hubungan yang
dirumuskan dalam butir kedua dan keempat seperti yang tercantum dalam
sasaran kebijaka otonomi daerah dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 sebagai
berikut :

1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat


serta aparatur pemerintahan di daerah.
2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
dan antar-pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan.
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan
kesejahteraan masyarakat di daerah.
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah

Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok besar


hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang terpecah
menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni hubungan
antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi lainnya. Ketiga
adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada hubungan antara Provinsi
dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi, serta hubungan antar
Kabupaten/kota pada Provinsi yang bertetangga. Jika disederhanakan dalam
bagan, terdapat pola-pola hubungan yang dapat terjadi sebagai berikut :

Laporan Akhir: 9
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pemerintah

Provinsi Provinsi

Kabupaten Kota Kabupaten Kota

Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari


bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat
desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya
Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada menambah
kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali hubungan
yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif
sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam.

Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks


terjadi seperti tergambar dalam bagan. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur
memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga
Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil
Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya.

Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam
kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No. 32 Tahun
2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat

Laporan Akhir: 10
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat
diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut.

Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata


Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang antar
Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati perlunya
pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND sendiri di
tingkat pusat. Berbagai Pasal dalam UU No. 32 tahun 2004 yang memuat secara
langsung materi hubungan wewenang antara pemerintah dan Daerah dan antar
Daerah dipaparkan dalam tabel berikut :

No Pasal Pernyataan interpretasi


1 Pasal 2 ayat (4) Pemerintahan Daerah Frasa ’Pemerintahan
dalam menyelenggarakan Daerah’ tidak lazim secara
urusan Pemerintahan normatif digunakan sebagai
memiliki hubungan frasa yang menunjukkan
dengan Pemerintah dan organ. Lazimnya
dengan Pemerintahan adalah ’Pemerintah
Daerah Daerah’ atau ’Daerah
otonom’.
2 Pasal 2 ayat (5) Hubungan sebagaimana Hubungan yang
dimaksud pada ayat (4) terselenggara antar
meliputi hubungan Pemerintah dan Daerah
wewenang, keuangan, dan antar Daerah meliputi
pelayanan umum, empat aspek
pemanfaatan sumberdaya
alam, dan sumberdaya
lainnya
3 Pasal 2 ayat (6) Hubungan keuangan, Terdapat prinsip keadilan
pelayanan umum, dan keselarasan
pemanfaatan sumberdaya
alam, dan sumberdaya
lainnya dilaksanakan
secara adil dan selaras
4 Pasal 2 ayat (7) Hubungan wewenang, Ayat 7 ini cukup
keuangan, pelayanan membingungkan karena di
umum, pemanfaatan dalam ayat sebelumnya
sumberdaya alam, dan telah disinggung hubungan
sumberdaya lainnya antar susunan
menimbulkan hubungan Pemerintahan dalam empat
administrasi dan aspek, tetapi kemudian

Laporan Akhir: 11
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
kewilayahan antar dinyatakan lebih spesifik
susunan Pemerintahan dalam hal administrasi dan
kewilayahan.
5 Pasal 10, 11, (Lih. dalam UU) Dasar material bagi
12, 13, dan 14 pembagian urusan yang
merupakan koridor bagi
hubungan wewenang.
Pada pasal 14 ayat (3)
dinyatakan bahwa
pengaturan lebih lanjut bagi
pasal 10, 11, 12, 13, dan
14 dengan Peraturan
Pemerintah
6 Pasal 15, 16, (Lih. dalam UU) Dasar aturan bagi
17, 18 hubungan keuangan,
pelayanan umum,
pemanfaatan sumberdaya
alam dan sumberdaya
lainnya. Masing-masing
pasal memuat pernyataan
bahwa aturan pelaksanaan
hubungan di tiap aspek
tersebut dengan peraturan
perundang-undangan.

Seperti tergambar pada tabel di atas, hubungan wewenang antara Pemerintah


dan Daerah, dan antar Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14
ayat (3) akan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas
bertentangan dengan UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas
menyatakan bahwa hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU.

Disamping materi yang secara langsung terkait dengan perihal hubungan antar
Pemerintah dan Daerah serta hubungan antar Daerah, UU No.32 tahun 2004
juga memuat berbagai pasal yang tidak secara langsung berkaitan. Berikut ini
adalah tabel yang memuat pasal-pasal yang dimaksud :

No Pasal Pernyataan interpretasi


1 Pasal 5 ayat (3) Syarat administratif Hubungan wewenang ini
sebagaimana dimaksud dalam rangka asas
pada ayat (1) untuk desentralisasi.

Laporan Akhir: 12
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Kabupaten/ Kota meliputi Menandakan adanya
adanya persetujuan hubungan hirarkis dan dari
DPRD Kabupaten/ Kota bawah.
dan Bupati/ WaliKota yang
bersangkutan, persetujuan (HUBUNGAN
DPRD Provinsi dan ADMINISTRATIF)
Gubernur serta
rekomendasi Menteri
dalam negeri
2 Pasal 6 ayat (2) Penghapusan dan Hubungan wewenang yang
penggabungan Daerah dilakukan dalam rangka
otonom dilakukan setelah asas desentralisasi bersifat
melalui proses evaluasi vertikal dari Pemerintah
terhadap
penyelenggaraan (HUBUNGAN
Pemerintahan Daerah ADMINISTRATIF)
3 Pasal 7 ayat (3) Perubahan sebagaimana Hubungan wewenang
dimaksud pada ayat (2) dalam rangka asas
dilakukan atas usul dan desentralisasi bersifat
persetujuan Daerah yang vertikal kepada Pemerintah
bersangkutan (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
4 Pasal 9 ayat (4) Untuk membentuk Hubungan wewenang
kawasan khusus dalam ayat ini tidak jelas
sebagaimana dimaksud dalam rangka asas apa?
pada ayat (2) dan ayat (3), Secara vertikal dari
Pemerintah Pemerintah.
mengikutsertakan Daerah (HUBUNGAN
yang bersangkutan ADMINISTRATIF)
5 Pasal 9 ayat (5) Daerah dapat Dalam rangka asas
mengusulkan desentralisasi secara
pembentukan kawasan vertikal dari bawah
khusus sebagaimana (Daerah) kepada
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah
kepeada Pemerintah (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
6 Pasal 27 ayat Selain mempunyai Hubungan wewenang
(2) kewajiban sebagaimana dalam rangka asas
dimaksud pada ayat (1), desentralisasi secara
kepala Daerah Vertikal kepada Pemerintah
mempunyai kewajiban dan internal kepada DPRD
juga untuk memberikan dan masyarakat.
laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (HUBUNGAN
kepada Pemerintah, dan ADMINISTRATIF)
memberikan laporan

Laporan Akhir: 13
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
keterangan
pertanggungjawaban
kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
kepada masyarakat.
7 Pasal 27 ayat Laporan penyelenggaraan Hubungan wewenang
(3) Pemerintahan Daerah Hirarkis, vertikal, dari atas
kepada Pemerintah dalam rangka
sebagaimana dimaksud desentralisasi dan
pada ayat (2) disampaikan dekonsentrasi kepada
kepada Presiden melalui Gubernur.
Menteri dalam negeri
untuk Gubernur, dan (HUBUNGAN
kepada Menteri Dalam ADMINISTRATIF)
Negeri melalui Gubernur
untuk Bupati WaliKota 1
(satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
8 Pasal 29 ayat Pemberhentian kepala Hubungan wewenang
(4) huruf a. Daerah dan wakil kepala dalam rangka asas
Daerah diusulkan kepada Desentralisasi vertikal
Presiden berdasarkan kepada Pemerintah
putusan Mahkamah
Agung atas pendapat
DPRD bahwa kepala (HUBUNGAN
Daerah dan/ atau wakil ADMINISTRATIF)
kepala Daerah tidak lagi
memenuhi syarat,
melanggar sumpah/ janji
jabatan, tidak
melaksanakan kewajiban
dan/ atau melanggar
larangan.
9 Pasal 29 ayat Presiden wajib Hubungan wewenang
(4) huruf e. memproses usul dalam rangka asas
pemberhentian kepala sentralisasi dan
Daerah dan/ atau wakil desentralisasi vertikal dari
kepala Daerah tersebut atas.
paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak DPRD (HUBUNGAN
menyampaikan usul ADMINISTRATIF)
tersebut.
10 Pasal 30 dan 31 (Lihat dalam UU) s.d.a perihal penghentian
langsung oleh Presiden

Laporan Akhir: 14
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
terhadap jabatan Kepala
Daerah dan wakilnya.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
11 Pasal 37 ayat Dalam kedudukannya Dalam rangka
(2) sebagaimana dimaksud Dekonsentrasi, dan sifat
pada ayat (1), Gubernur hubungannya vertikal
bertanggungjawab kepada kepada Pemerintah
Presiden (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
12 Pasal 42 ayat 1 Mengusulkan Dalam rangka
huruf d. pengangkatan dan Desentralisasi dan
pemberhentian kepala dekonsentrasi kepada
Daerah/ wakil kepala Gubernur, hubungannya
Daerah kepada presiden bersifat vertikal ke atas.
melalui Menteri dalam
negeri bagi DPRD (HUBUNGAN
Provinsi dan kepada ADMINISTRATIF)
menteri dalam negeri
melalui Gubernur bagi
DPRD Kabupaten/ Kota
13 Pasal 53 ayat Tindakan penyidikan Dalam rangka
(1) terhadap anggota DPRD Desentralisasi, hubungan
dilaksanakan setelah bersifat vertikal ke atas.
adanya persetujuan
tertulis dari Menteri Dalam (HUBUNGAN
Negeri atas nama ADMINISTRATIF)
Presiden bagi anggota
DPRD Provinsi dan dari
Gubernur atas nama
menteri dalam negeri bagi
anggota DPRD
Kabupaten/ Kota
14 Pasal 66 ayat 2 Dalam penyelenggaraan Vertikal dalam kerangka
pemilihan gubernur dan asas desentralisasi
wakil gubernur KPUD
Kabupaten/ Kota adalah (HUBUNGAN
bagian pelaksana tahapan ADMINISTRATIF)
penyelenggaraan
pemilihan yang ditetapkan
oleh KPUD Provinsi
15 Pasal 111 ayat Gubernur dan wakil Sentralisasi, dekonsentrasi,
(1) gubernur dilantik oleh dan desnetralisasi. Sifat
Menteri dalam negeri atas hubungannya vertikal dari
nama Presiden atas
(HUBUNGAN

Laporan Akhir: 15
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
ADMINISTRATIF)
16 Pasal 111 ayat Bupati dan wakil bupati Dekonsentrasi dan
(2) atau waliKota dan wakil desentralisasi. Sifat
waliKota dilantik oleh hubungannya vertikal dari
gubernur atas nama atas.
presiden (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
17 Pasal 130 ayat Pengangkatan, Dekonsentrasi dan
(1) pemindahan dan desentralisasi vertikal dari
pemberhentian dari dan bawah ke atas.
dalam jabatan eselon II (HUBUNGAN
pada Pemerintah Daerah ADMINISTRATIF)
Provinsi ditetapkan oleh
gubernur
18 Pasal 130 ayat Pengangkatan, Dekonsentrasi dan
(2) pemindahan dan desentralisasi. Sifat
pemberhentian dari dan hubungannya vertikal dari
dalam jabatan eselon II bawah ke atas
pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota (HUBUNGAN
ditetapkan oleh Bupati/ ADMINISTRATIF)
waliKota setelah
berkonsultasi kepada
gubernur
19 Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai Sentralisasi, Dekonsentrasi
(1) negeri sipil antar dan desentralisasi. Sifat
Kabupaten/ Kota dalam hubungannya vertikal dari
satu Provinsi ditetapkan bawah ke atas
oleh Gubernur setelah
memperoleh (HUBUNGAN
pertimbangan Kepala ADMINISTRATIF)
badan Kepegawaian
Negara
20 Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai • Sentralisasi dan sifat
(2) negeri sipil antar hubunagnnya vertikal
Kabupaten/ Kota antar dan diagonal dari
Provinsi dan antar bawah
Provinsi ditetapkan oleh • Hubungan SDM
menteri dalam negeri (HUBUNGAN
setelah memperoleh ADMINISTRATIF)
pertimbangan Kepala
badan Kepegawaian
Negara
21 Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai • Sentralisasi
(3) negeri sipil Provinsi/ • Hubungan SDM
Kabupaten/ Kota ke (HUBUNGAN

Laporan Akhir: 16
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
departemen/ lembaga ADMINISTRATIF)
Pemerintah non
departemen atau
sebaliknya, ditetapkan
oleh menteri dalam
negerisetelah memperoleh
pertimbangan Kepala
badan Kepegawaian
Negara
22 Pasal 132 Penetapan formasi • Sentralisasi
pegawai negeri sipil • Hubungan SDM
Daerah Provinsi/ (HUBUNGAN
Kabupaten/ Kota setiap ADMINISTRATIF)
tahun anggaran
dilaksanakan oleh menteri
pendayagunaan aparatur
negara
23 Pasal 135 ayat Pembinaan dan • Sentralisasi dan
1 pengawasan manajemen dekonsentrasi
pegawai negeri sipil • Hubungan SDM
Daerah dikoordinasikan (HUBUNGAN
oleh menteri dalam negeri ADMINISTRATIF)
dan pada tingkat Daerah
oleh Gubernur
24 Pasal 160 ayat Daerah penghasil • Sentralisasi
(4) sumberdaya alam • Hubungan SDA
sebagaimana dimaksud (HUBUNGAN
pada ayat (3) ditetapkan ADMINISTRATIF)
oleh menteri dalam negeri
berdasarkan
pertimbangan dari menteri
teknis terkait
25 Pasal 160 ayat Dasar penghitungan • Sentralisasi
(5) bagian daerah dari • Hubungan Keuangan
Daerah penghasil dan SDA
sumberdaya alam (HUBUNGAN
ditetapkan oleh menteri ADMINISTRATIF)
teknis terkait setelah
memperoleh
pertimbangan menteri
dalam negeri
26 Pasal 165 ayat Besarnya alokasi dana • Sentralisasi
(2) darurat ditetapkan oleh • Hubungan keuangan
menteri keuangan dengan (HUBUNGAN
memperhatikan ADMINISTRATIF)
pertimbangan Menteri

Laporan Akhir: 17
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
dalam negeri dan menteri
teknis terkait
27 Pasal 170 ayat Pemerintah Daerah dapat • Desentralisasi dan
(1) melakukan pinjaman yang sentralisasi. Sifat
berasal dari penerusan hubungannya vertikal ke
pinjaman hutang luar atas
negeri dari menteri • Hubungan keuangan
keuangan atas nama (HUBUNGAN
Pemerintah setelah ADMINISTRATIF)
memperoleh
pertimbangan dari menteri
dalam negeri
28 Pasal 175 ayat Menteri dalam negeri • Sentralisasi
(1) melakukan pengendalian • Hubungan wewenang
defisit anggaran setiap dan keuangan
Daerah (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
29 Pasal 175 ayat Pemerintah Daerah wajib • Dalam rangka asas
(2) melaporkan posisi surplus/ Desentralisasi dan
defisit APBD kepada hubungan yang tercipta
menteri dalam negeri dan bersifat vertikal ke atas
menteri keuangan setiap • Hubungan wewenang
semester dalam tahun dan keuangan
anggaran berjalan (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
30 Pasal 185 ayat Rancangan perda Provinsi Desentralisasi, dan
(1) tentang APBD yang telah sentralisasi. Sifat
disetujui bersama dan hubungannya vertikal ke
rancangan peraturan atas
Gubernur tentang Hubungan wewenang dan
penjabaran APBD keuangan
sebelum ditetapkan (HUBUNGAN
Gubernur paling lambat 3 ADMINISTRATIF)
(tiga) hari disampaikan
kepada Menteri dalam
negeri untuk dievaluasi
31 Pasal 186 ayat Rancangan perda • Desentralisasi,
(1) Kabupaten/ Kota tentang dekonsentrasi dan
APBD yang telah disetujui sentralisasi. Sifat
bersama dan rancangan hubungannya vertikal ke
peraturan Bupati/ waliKota atas
tentang penjabaran APBD • Hubungan wewenang
sebelum ditetapkan dan keuangan
Bupati/ WaliKota paling (HUBUNGAN
lambat 3 (tiga) hari ADMINISTRATIF)
disampaikan kepada

Laporan Akhir: 18
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
gubernur untuk dievaluasi
32 Pasal 195 ayat Dalam rangka • Desentralisasi, dan sifat
(1) meningkatkan hubungannya horizontal
kesejahteraan rakyat, • Hubungan pelayanan
Daerah dapat (HUBUNGAN
mengadakan kerjasama ADMINISTRATIF DAN
dengan Daerah lain yang KEWILAYAHAN)
didasarkan pada
pertimbangan efisiensi
dan efektifitas pelayanan
publik, sinergi dan saling
menguntungkan
33 Pasal 196 ayat Pelaksanaan urusan • Desentralisasi dan
(1) Pemerintahan yang hubungannya bersifat
mengakibatkan dampak horizontal
lintas Daerah dikelola • Hubungan pelayanan
bersama oleh Daerah (HUBUNGAN
terkait ADMINISTRATIF DAN
KEWILAYAHAN)
34 Pasal 198 ayat Apabila terjadi • Desentralisasi, dan
(1) perselisihan dalam dekonsentrasi. Sifat
penyelenggaraan funsgi hubungannya vertikal
Pemerintahan antar • Hubungan wewenang
Kabupaten/ Kota dalam (HUBUNGAN
satu Provinsi, gubernur ADMINISTRATIF DAN
menyelesaikan KEWILAYAHAN)
perselisihan dimaksud
35 Pasal 198 ayat Apabila terjadi • Sentralisasi dan
(2) perselisihan antar desentralisasi. Sifat
Provinsi, antara Provinsi hubungannya vertikal,
dan Kabupaten/ Kota di horizontal dan diagonal
wilayahnya, serta antara • Hubungan wewenang
Provinsi dan Kabupaten/ (HUBUNGAN
Kota di luar wilayahnya, ADMINISTRATIF DAN
menteri dalam negeri KEWILAYAHAN)
menyelesaikan
perselisihan yang
dimaskud
36 Pasal 222 ayat (Lih. dalam UU) • Adanya hirarki vertikal
(1), (2), (3) dan dalam sistem
(4) pembinaan dan
pengawasan bahkan
sampai camat.
• Hubungan wewenang
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)

Laporan Akhir: 19
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dari tabel tersebut tampak jelas sekali hubungan yang bersifat diagonal dan
horizontal masih sedikit diatur. Hubungan vertikal pun lebih banyak memuat
kewajiban-kewajiban yang diemban oleh Daerah, sedangkan hak-hak Daerah
dan apa yang harus dilakukan Pemerintah dan para menterinya memiliki porsi
yang lebih sedikit.

Pembagian Urusan-Urusan Kepemerintahan

Pembagian kewenangan Pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan


pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah-
Daerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah
hanyalah kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), tidak termasuk
kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif
(peradilan).

Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak


mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%
desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan pemerintah
yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.
Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi dengan desentralisasi.
Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur sentralisasi. Oleh karena itu,
penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membawa
pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan (2)
wewenang yang dapat didesentralisasikan

Laporan Akhir: 20
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAGAN PEMBAGIAN URUSAN-URUSAN KEPEMERINTAHAN

Dinamis dengan
landasan; Skala Ekonomi,
Esternalitas,
Catchment Area dan Urusan Sektoral
Lokalitas Pemerintah Nasional

Local Needs
Dapat Tidak Dapat
Didesentralisasikan Didesentralisasikan

Sentralisasi Sentralisasi
Desentralisasi Medebewind Dekonsentrasi Medebewind Dekonsentrasi
Murni Murni

Prakarsa
Diwajibkan
Sendiri

PROVINSI

Kabupaten/Kota

Laporan Akhir: 21
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dari bagan, wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah
wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal
urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter),
yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni
sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu
wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang
concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena
adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2)
dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan
apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan.

Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama


disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang
konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.

Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui


kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih
dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur
dalam UU tersebut.

Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau


terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara
optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih
terarah.

Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak
sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi
terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh
karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan
hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan
atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.

Laporan Akhir: 22
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan
Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan
yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah.
Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang
dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.

Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan

Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/


Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan
fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam
otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Sekarang ini kita dihadapi oleh
diskursus yang menyita perhatian banyak kalangan pasca Tsunami Aceh-
Sumut, yakni adanya keinginan Pemerintah membentuk Badan Otorita
Khusus Aceh (BOKA). Dengan demikian RUU Tata hubungan ini pun harus
diarahkan kepada kemungkinan penataan badan semacam ini bersama
Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan semacam
BOKA ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat
vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di negara lain
diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional.

UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengakomodasi konsep Badan Otorita secara


eksplisit, walaupun terdapat pengaturan tentang kawasan khusus yang dapat
berdimensi milik Pusat atau milik Daerah. Nampaknya, pengaturan kawasan
khusus ini tidak mengacu pada konsep desntralisasi fungsional melainkan
mengacu kepada “penciptaan organisasi parastatal/semi otonom”. Oleh
karena itu, paradigma yang ada di belakang UU No. 32 tahun 2004 dalam
mengatur kawasan khusus ataupun badan-badan seperti BOKA masih
bersifat diametral antara menjadi milik Pusat dan menjadi milik Daerah.

Laporan Akhir: 23
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Penutup

Dapat disimpulkan bahwa: (1) sentralisasi merupakan sumber dari bangun


distribusi wewenang; (2) antara sentralisasi dan desentralisasi bersifat
kontinum; (3) hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terjadi
pada wewenang yang bersifat concurrent.

Beberapa hal dapat direkomendasikan : (1) Tata hubungan wewenang antara


Pemerintah dan Daerah dan antar daerah perlu diatur dengan undang-
undang; (2) Perlu mencermati UUD hasil amandemen dan UU lain yang
bersinggungan; (3) hubungan yang diatur adalah hubungan resiprokal dan
dalam cakupan baik penempatan Gubernur sebagai wakil pemerintah
maupun sebagai gubernur, dan (4) hubungan wewenang yang terkait dengan
lembaga khusus pun perlu diakomodasi pula mencermati perkembangan ke
depan.

Laporan Akhir: 24
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB III
TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Pendahuluan

Beranjak dari pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia
lazim disebut sebagai negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized
1
unitary state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). Menurut Profesor
Bhenyamin Hoessein, Guru Besar FISIP-UI bidang Pemerintahan daerah,
menyatakan bahwa secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui
keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi,
melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh
Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada:2

“Such Theory has led to the idea of centralization-decentralization continuum,


which is really an attempt to describe the power relationships among the
various participants in the systems. First, however, it is important to examine
some of the assumptions of the continuum and to consider the extent to which
they limit its usefulness and applicability. The continuum assumes that there
is a certain quantum of power within an organization that can be distributed in
differing ways; and it does not account for the fact, now rather well
documented, that power is highly variable. The addition of power at one level
of hierarchy does not at all mean the automatic withdrawal of power at
another.”

Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk


menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk
mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut
secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in
unity”.

1
Bhenyamin Hoessein (2004). Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah. Seminar
MENPAN-FISIP-UI.
2
Frank P. Sherwood, “Devolution as A Problem of Organization Strategy,” dalam
Robert T Daland, Comparative Urban Researc, Sage Publication, California: 1969, hal. 65
Laporan Akhir: 25
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti
pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk
mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek
kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas
jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait
dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai
batas yurisdiksi fungsi tersebut.

Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap


desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara
Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan
elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan
khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada
1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni
pengairan (irigasi) berupa ‘waterschappen’ yang di negeri Belanda sendiri
hidup dan berkembang pesat.

Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi


fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi
khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya
desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada
dalam desentralisasi teritorial.

Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial)

Dalam berbagai pendapat pakar, termasuk pendapat Profesor Bhenyamin


Hoessein, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa
terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan
Laporan Akhir: 26
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi
dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan
mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan
daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi
juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur
melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah


yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang
ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan
pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah.

Dalam hal ini, Profesor Bhenyamin Hoessein sebagai tim Perumus UU No. 22
Tahun 1999 juga mengatakan bahwa sekalipun setiap perubahan UU
Pemerintah Daerah pada dasarnya merupakan reformasi pemerintahan
daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran
substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999.

Perubahan yang didorong oleh kedua UU tersebut tergolong perubahan yang


radikal (radical change) atau drastis (drastic change) dan bukan perubahan
yang gradual (gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan
yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian
reformasi yang pernah terjadi sebelumnya. Undang-undang No. 32 Tahun
2004 sebagai penggantinya telah berusaha membenahi kekurangan-
kekurangan pada UU sebelumnya meskipun masih terdapat berbagai
kekurangan. Sebagai sebuah kebijakan pun tidak terlepas dari kritikan.

Pada dasarnya, terlepas dari polemik mengenai UU tersebut, desentralisasi


dalam konsep negara kesatuan merupakan instrumen atau alat dalam
mencapai tujuan negara sehingga keseimbangan antara kebutuhan
penyelenggaraan desentralisasi dengan kebutuhan kesatuan bangsa
Laporan Akhir: 27
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
merupakan variabel yang harus tetap menjadi prioritas. Pembagian
kewenangan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan
persebaran kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada
daerah-daerah otonom. Kewenangan pemerintah yang didistribusikan kepada
Daerah hanyalah merupakan kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), jadi
tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan
kewenangan yudikatif (peradilan).

Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan


persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah
dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang
yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya
posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur
itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah
otonom itu adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus
mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya
dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan
sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role
sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah.

Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi


kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru
merebak “dispute” yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan
antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah.

Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar
Daerah

Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan


kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur
merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan
hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci.
Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para
Laporan Akhir: 28
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara
gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala
Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas
(Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis?
Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di
wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara


lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik.

Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-
sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.

Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1, 18,
18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khususnya ayat (1) pasal
18 A menyatakan:
”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.”

Laporan Akhir: 29
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah
produk hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan
hal itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita
menyusun sebuah UU.

Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah

Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah


mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan
berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan
yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat
kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar
berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang
membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan
Wilayah.

Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip
kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip
kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik.

Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah


adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.
Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi
dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang
baik.

Laporan Akhir: 30
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,
horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut.

Penutup

Penataan hubungan antar Pemerintahan ini dimaksudkan memenuhi


kebutuhan empirik yang seringkali terjadi dispute yang tidak diinginkan yang
menyangkut mekanisme dan proses timbal balik antara berbagai unsur
pemerintahan disamping amanat UUD. Tidak dapat dipungkiri komitmen
semua pihak dalam rangka mendukung terciptanya kepemerintahan yang
baik sehingga mendorong kamajuan bangsa sangat menentukan bagaimana
penataan hubungan ini dapat berjalan. Oleh karena itu, perlu juga diantisipasi
’remedy’ dalam penataan tersebut. Perselisihan dan Sanksi dalam penataan
tersebut juga dibutuhkan.

Laporan Akhir: 31
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB IV
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

Pendahuluan

Ada dua alasan utama mengapa “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah


Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia” merupakan hal yang penting
untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah,
adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu
pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar
(sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat
menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan
hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik,
gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud
gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk
dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan
negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami
semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan
keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru.

Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-


masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan
mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2).
Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai
pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat
tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik
pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95).
Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan
kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan
penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa

Laporan Akhir: 32
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun
negara yang berstruktur unitaris (kesatuan).

Dinamika Hubungan Pusat - Daerah

Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja


terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negara-
negara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan
Swiss. Di Jerman misalnya, perubahan hubungan antara pusat (Bund/federal)
dengan negara bagian (Laender/state) berkaitan langsung dengan proses
penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur, juga dengan proses integrasi
Eropa. Defisit subtansi federalisme terjadi pada hampir semua kewenangan
yang ditunjukkan dengan meningkatnya konsentrasi kewenangan mengatur
dan mengurus pada pusat (Bund). Peningkatan konsentrasi kewenangan
pada pusat telah menyebabkan hilangnya substansi kemandirian politik dan
kualitas “negara” pada negara bagian. Pada sisi lainnya juga terjadi
ketergantungan negara bagian miskin pada bantuan keuangan pusat dan
negara bagian (Prasojo, 2003:32). Tendensi ini yang disebut di Jerman
sebagai cooperative federalism sampai kepada coercive federalism (Gunlick,
Berlin, 2000: 46). Hal yang sama terjadi juga pada sistem federalisme Swiss
yang dicerminkan dengan pengambilalihan kompetensi dasar negara bagian
(Kantone) oleh pusat (Bund). Demikian juga sentralisasi kewenangan yang
terjadi di federal USA melalui proper and necessary clause. Ketentuan ini
memberikan hak kepada pusat untuk mengatur dan menyelenggarakan
kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi tetapi melekat secara inheren
untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki.

Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan


bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan
refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat
dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan
ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong
keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara
vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal,
Laporan Akhir: 33
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang
berkembang.

Unitaris Federalis-Unitaris Federalis

Gambar 1: Kontinum Hubungan antara Pusat dan Daerah

Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi
pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak
mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya
sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak
bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke
kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya
(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Titik temu keseimbangan antara gerakan
sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan pusat dan daerah dapat dikaji
dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan kedudukan
pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap
daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian
(perimbangan) sumberdaya keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang
terjadi antar level pemerintahan. Dalam problem setiap negara bangsa, tugas
terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah
menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan
gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar
akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada
Laporan Akhir: 34
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan
menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan
partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari
satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk
federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi
sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari
pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.

Gambar 2: Gerakan Sentrifugal dan Sentripetal dalam hubungan Pusat dan


Daerah

Problematika Hubungan Pusat – Daerah di Indonesia

Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia,


marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek
hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah
sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
(lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan
separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat
terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja
memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power.
Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang
berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang
surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan
yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18
Laporan Akhir: 35
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Dalam tulisan ini
tidak akan dibahas bagaimana pasang surut hubungan pusat dan daerah di
Indonesia sejak kita merdeka, sebagaimana terlihat dalam UU No. 1 tahun
1945, UU No. 22 tahun 1948, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun
1949, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, dan UU No. 5 tahun
1974. Berbagai konstruksi hubungan Pusat dan Pemerintah dalam
perundang-undangan tersebut telah banyak ditulis dan disampaikan oleh
Bhenyamin Hoessein (Hoessein, 1997, 1999, 2001, 2001). Hoessein di tahun
1995 menyebutkan bahwa roda desentralisasi di Indonesia telah mengalami
lima kali perputaran (Hoessein, 1995: 15). Seiring dengan perkembangan
yang terjadi di Indonesia, telah terjadi lagi satu kali perputaran roda
desentralisasi ke arah demokrasi pada tahun 1999.

Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki


ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai
tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula
dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus
1999 melalui referendum, berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga
terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan.
Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan
Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan
bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek
domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU
Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek
domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut
sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan
ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari
kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di
negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54).

Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan
Laporan Akhir: 36
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem
pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak
telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.
Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang
serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,
Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini
menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,
faktor ekonomi dan faktor demografi.

Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil


meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan
Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas
dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya
dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan
pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan
kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas
pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam
pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah
daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan
mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan
kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara
pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi
hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun
1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini
menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki
kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih
tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu
balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan
meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan

Laporan Akhir: 37
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia
secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).

Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa


Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah.
Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah
menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Kekayaan alam di Aceh
yang diekspor menghasilkan keuntungan US$ 2 Milyar pada tahun 1997
hanya memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh sebesar 0,05% melalui
APBN. Meskipun produksi minyak Caltex di Riau tahun 1999 mencapai 23
Trilyun, tetapi masyarakat Riau termasuk yang paling miskin di Indonesia.
Sedangkan PT Freeport yang mengeruk keuntungan tahun 1997 US$ 1,1
Milyar, tetapi masyarakat Papua tetap hidup seperti pada zaman batu.

Konstruksi Hubungan Pusat – Daerah Pasca Orde Baru

Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto


boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan
daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan
Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi
yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan
sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil
penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya
otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local
responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk
konsep ini Smith, 1985:24). Otonomi daerah yang sangat luas telah
menyebabkan tensi politik yang lebih tinggi daripada upaya-upaya
peningkatan pelayanan publik. Penyusunan organisasi perangkat daerah
kabupaten/kota –tidak terkecuali propinsi- lebih banyak ditentukan oleh
akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu. Setelah Pilkada langsung,
afiliasi ini menjadi lebih besar, karena politik akomodasi mewarnai proses
pemilihan langsung kepala daerah. Bahkan pengisian jabatan-jabatan dalam
struktur organisasi perangkat daerah sangat ditentukan oleh afilisasi
Laporan Akhir: 38
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
seseorang dengan bupati/walikota. Disamping itu, alasan Dana Alokasi
Umum dari pusat juga menjadi justifikasi perlunya pembengkakkan organisasi
perangkat (budget maximizing). Di beberapa daerah nepotisme berdasarkan
kebangsawanan, sukuisme dan afiliasi politik masih mewarnai proses
rekrutmen, penempatan, promosi dan mutasi jabatan tertentu. Bahkan “gelar
kebangsawanan” secara sengaja diciptakan oleh bupati/walikota untuk
memperkuat posisi jabatan, sekaligus membedakan masyarakat biasa
dengan masyarakat yang memiliki status kebangsawanan tertentu. Hal ini
muncul dengan istilah misalnya “laskar” dan “putera asli”. Istilah “anak
daerah” sejatinya telah muncul pada tahun 1950-an sebagai antagonis dari
orang pusat yang di drop daerah (Mackie, 1980:672).

Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata


tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia.
Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah
utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan
pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang,
karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme
Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur
pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga
politik afiliasi dan politik akomodasi.

Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik


maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah
keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran.
Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses
penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh
perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul
menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon
kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur
sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak
dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.

Laporan Akhir: 39
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks
dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat
dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi
pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran
misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus
dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Proses
Musrenbang menjadi formalitas belaka, karena banyak usulan pembangunan
yang akhirnya hilang karena peran pemerintah yang sangat besar (Muluk,
2006:139). Bahkan dokumen anggaran yang seharusnya menjadi dokumen
publik hanya mungkin diakses dengan cara-cara ‘pintu belakang’. Pada sisi
lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja
pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang
terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan
mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat
tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon
dan ditindaklanjuti.

Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya
Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat
atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan
pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada
daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak
memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA
oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Proses AMDAL dalam
pemberian izin pemanfaatan SDA faktanya hanyalah bersifat formalitas dan
tidak dijadikan sebagai dasar yang objektive dalam pengambilan keputusan.
Pemberian izin pemanfaatan SDA seringkali lebih menguntungkan
pengusaha daripada masyarakat. Pemilihan langsung kepala daerah yang
diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya
tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif
Laporan Akhir: 40
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya
melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam
prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi
adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan
kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang
telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.

Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah


berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004
tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil
daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program
inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi
ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun
sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo
dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten
Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran
kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi
keberlanjutan program-program inovasi tersebut.

Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan


pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan
besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu
sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22
No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata
belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang
mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang
diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11
tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU
No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua
berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar
tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap
gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan
Laporan Akhir: 41
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi
otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan
bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan
daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan
aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan
Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan
Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta
berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka.

Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar


hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan
konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan
tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan
pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau
urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan
antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan
keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah.

Konstruksi Ulang Hubungan Pusat – Daerah untuk Indonesia

Pembahasan berbagai muatan dalam konstruksi ulang hubungan antara


Pusat dan Pemerintah tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk
negara dan upaya untuk menselaraskan kekuatan sentripetal dan kekuatan
sentrifugal yang senantiasa dinamis bergerak dalam sebuah negara bangsa.
Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi untuk mengadopsi bentuk negara
federal dan mengubah bentuk negara kesatuan yang telah menjadi
konsensus para pendiri negara. Persoalannya bukan terletak pada perubahan
bentuk negara, tetapi lebih besar pada upaya mencari format hubungan
vertikal antara pusat dan daerah. Dalam praktek hubungan antara pusat dan
daerah di berbagai negara, pendulum unitarisme dan federalisme saling
bergerak ke arah yang berlawanan. Bahkan sejak tahun 1947 seorang
sarjana hukum Jerman Bodo Denewitz mengatakan bahwa federalisme dan
unitarisme adalah dua konsep kembar yang tidak mungkin membicarakan
satu tanpa membicarakan yang lainnya. “... so haben auch die bisherigen
Laporan Akhir: 42
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Untersuchungen über das Wesen des Föderalismus diesen fast
ausschließlich und zumindest regelmäßig nur im Zusammenhang mit dem
Begriff Unitarisme behandelt” (Denewitz, 1947: 81). Kombinasi berbagai
instrumen unitarisme dan federalisme tersebut bahkan membentuk kharakter
khusus konstruk hubungan antara pusat dan daerah.

Memang dapat dipahami adanya kekhawatiran dari sejumlah kalangan


terhadap ide dan keinginan perubahan bentuk negara kesatuan ke negara
federal. Karena perubahan yang sangat radikal dalam tatanan negara
seringkali dapat menyebabkan situasi anomali dan chaos. Perubahan yang
evolutif, dilakukan secara komprehensif dengan agenda setting yang
bertahap merupakan pilihan yang mungkin dilakukan. Fakta bahwa berbagai
instrumen yang digunakan dalam negara kesatuan dan negara federal dapat
saling bertukar tidaklah dapat dipungkiri. Jika pembahasan lebih lanjut
diarahkan pada perbandingan berbagai bentuk negara federal, maka niscaya
akan kita dapatkan berbagai perbedaan yang signifikan antara federal Jerman,
federal Austria, federal USA, federal Australia, federal Kanada, federal India,
dan mungkin juga federal Malaysia. Berbagai instrumen yang dipergunakan di
masing-masing negara memiliki keunikan dari kontinum yang bersifat sangat
federalis-liberal sampai pada federalis unitaris. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pemikiran untuk mengadopsi instrumen yang lazimnya
dipergunakan di negara federal, tanpa merubah bentuk negara kesatuan
menjadi federal, adalah sesuatu yang mungkin.

Sayangnya, ide dan pemikiran dasar federalisme dan negara federal di


Indonesia sudah terlanjur layu sebelum berkembang. Padahal melalui
penjelasan terhadap beberapa kharakter negara federal kita dapat secara
cermat memahami esensi ikatan Pusat dan Daerah yang bercorak federalis.
Hal ini akan membantu kita mengkonstruksi ulang hubungan antara pusat dan
daerah di Indonesia dengan kacamata yang lain, yaitu bentuk negara federal.

Seperti telah menjadi pemahaman umum, bahwa pusat dalam negara federal
adalah struktur bentukan negara-negara bagian. Kewenangan yang dimiliki
oleh pusat lazimnnya merupakan kewenangan yang diserahkan dalam
Laporan Akhir: 43
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
konstitusi federal (Prasojo, 2005:105). Dalam hal ini terdapat dua kelaziman
cara untuk memberikan kewenangan kepada struktur federal yang terbentuk.
Pertama, konstitusi mengatur secara detail kewenangan yang dimiliki oleh
pusat (federal). Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan mengatur
dan kewenangan mengurus. Kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi
sebagai kewenangan pusat, dengan sendirinya merupakan kewenangan
negara bagian. Prinsip inilah yang dikenal dengan kewenangan sisa untuk
negara bagian (residu of powers to state). Diantara negara-negara federal
yang menganut prinsip residu of powers to state adalah USA, Jerman, Swiss
dan Austria. Cara kedua dengan menetapkan di dalam konstitusi federal
kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian, sedangkan sisanya dimiliki
oleh pusat. Penetapan kewenangan sisa semacam ini disebut dengan residu
of powers to federal. Negara yang menganut cara kedua ini adalah Kanada
dan India.

Dalam teori dan praktek hubungan pusat dan daerah di kebanyakan negara
federal, kekuasaan dan kewenangan pusat tidak hanya berasal dari konstitusi,
melainkan juga dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi yang
diberikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekedar menyebut contoh
kewenangan pusat yang lahir dari interpretasi dan komentar terhadap
konstitusi adalah “implied powers” dan “necessary and proper clause” di
Amerika Serikat, dan “stillschweigende Kompetenzen kraft Natur der Sache”
dan “kraft Zusammenhang” di Jerman. Kekuasaan inilah yang menyebabkan
terjadinya kecenderungan sentralisasi di negara-negara federal (Prasojo,
2003:403).

Selanjutnya, termasuk elemen penting dalam negara federal adalah


pengawasan federal (federal control), intervensi federal (federal intervention),
dan eksekusi federal (federal execution). Di area kekuasaan dan kewenangan
murni negara bagian, pengawasan federal bertujuan menjamin kesesuaian
norma hukum negara bagian (baik konstitusi maupun undang-undang)
dengan norma hukum konstitusi dan Undang-Undang federal. Dalam
kewenangan yang secara konstitutional ditetapkan sebagai kewenangan

Laporan Akhir: 44
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
pusat, tetapi penyelenggaraannya dilimpahkan kepada negara bagian, maka
pengawasan pusat tidak saja bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum
negara bagian terhadap konstitusi federal, tetapi juga menjamin kesesuaian
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan federal. Pengawasan pusat dapat
berujung kepada eksekusi federal, jika menurut pusat, negara bagian melukai
dan melanggar konstitusi federal. Namun demikian, untuk menjamin
eksistensi soverenitas dan karakter “state” pada negara bagian, maka
eksekusi pusat hanya dapat dilakukan jika tahapan berikut ini dilalui; Pertama,
negara bagian jelas-jelas melukai dan melanggar norma hukum konstitusi;
Kedua, pusat (federal) telah memberi peringatan dan ancaman terhadap
pelanggaran tersebut; dan Ketiga, negara bagian tetap tidak melakukan
koreksi terhadap pelanggaran norma hukum. Konstruksi hubungan struktur
pusat dan negara bagian dalam sebuah negara federal dengan demikian
mengizinkan eksekusi oleh pusat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
negara bagian, sekalipun dalam bentuk ekstrim melalui tindakan militer.
Pengaturan tindakan militer dalam eksekusi pusat terhadap negara bagian
semacam ini terdapat antara lain di dalam Konstitusi Federal Swiss Artikel
173, meskipun dalam prakteknya belum pernah diterapkan. Dengan ulasan ini
dapat dipertegas, bahwa prinsip homogenitas (kesesuaian norma hukum
yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi) dalam hubungan
antara pusat dan daerah dilakukan oleh pusat, dan bukan sebaliknya oleh
negara bagian (atau oleh pemerintah daerah). Sehingga persetujuan
terhadap sebuah produk perundang-undangan di tingkat pusat yang terkait
dengan daerah, di negara federal sekalipun –apalagi di negara kesatuan–
tidaklah melalui konsultasi dan persetujuan dengan Lembaga Perwakilan
Lokal (Parlemen Lokal), sebagaimana kesepakatan dalam MOU Helsinki butir
1.1.2..”Decisions with regard to Aceh by Legislature of the Republic of
Indonesia will be taken in consultation with and with consent of the legislature
of Aceh”. Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan dan
perundang-undangan di tingkat pusat dilakukan melalui lembaga Kamar
Kedua Parlemen.

Laporan Akhir: 45
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Berbeda dengan eksekusi federal, intervensi federal tidaklah bersifat sanksi,
karena intervensi federal tidak berkaitan dengan pelanggaran norma hukum.
Tetapi sebaliknya, intervensi federal merupakan instrumen federal yang
bertujuan menjamin kemampuan negara bagian untuk melaksanakan
kewenangannya. Intervensi federal adalah bagian dari pengawasan federal
yang bersifat bantuan. Intervensi federal hanya dapat dilaksanakan, jika
negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan yang
dimilikinya dan atau terjadinya kondisi yang menyebabkan negara bagian
tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Contoh
konkret intervensi federal adalah dalam kasus bencana alam yang melanda
satu negara bagian, dimana negara bagian tersebut tidak dapat mengatasi
bencana tersebut dan atau tidak dapat melaksanakan kewenangannya
karena gangguan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut.
Intervensi federal dapat dilakukan atas inisiatif federal dan dapat juga
dilakukan atas permintaan negara bagian. Konteks substansi hubungan pusat
dan negara bagian dalam hal intervensi adalah jaminan bantuan yang
diberikan oleh pusat kepada negara bagian terhadap pelaksanaan
kewenangan atau urusan yang dimiliki oleh negara bagian. Tidak saja dalam
keadaan darurat bencana, tetapi juga keadaan normal dimana negara bagian
tidak mampu melaksanakan kewenangan yang dimiliki.

Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang dan


kebijakan nasional (federal) juga menjadi elemen penting dalam negara
federal. Secara mendasar hal ini bertujuan memberikan jaminan perlindungan
kepada negara bagian dari eksekusi dan intervensi federal yang dapat
menyebabkan defisit soverenitas dan otonomi negara bagian. Dalam praktek
penyelenggaraannya, bentuk dan cara keterlibatan negara bagian dalam
proses pembuatan undang-undang di tingkat pusat ini sangat beragam.
Tetapi demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa semua negara federal
menganut sistem dua kamar dalam proses artikulasi politik nasional, yaitu
sistem parlemen dua kamar; satu kamar terdiri dari wakil rakyat yang dipilih
dalam pemilihan umum, dan kamar yang lain terdiri dari wakil-wakil negara
bagian. Metode pemilihan dan keterikatan politik antara wakil-wakil negara

Laporan Akhir: 46
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
bagian dan negara bagian yang bersangkutan juga sangat variatif. Para
senator di Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat negara bagian
dan tidak memiliki keterikatan politik secara formal dengan eksekutif dan
legislatif di negara bagian dalam keputusan politiknya di Senat. Di Jerman
sebaliknya, anggota Bundesrat terdiri dari kepala dan anggota-anggota
pemerintahan negara bagian (Länder) dan keputusan politik setiap anggota
adalah terikat dengan keputusan pemerintah negara bagian. Dalam kasus
federal Swiss, disamping melalui sistem dua kamar, negara bagian juga dapat
mempengaruhi keputusan politik dan undang-undang nasional lainnya melalui
institusi demokrasi langsung (Ständemehr dan referendum). Juga dalam hal
pemberian suara, terdapat variasi antara Senat di USA dan Bundesrat di
Jerman. Setiap senator memiliki satu suara dan dapat berbeda dengan
senator lainnya dari negara bagian yang sama. Sedangkan anggota
Bundesrat tidak memiliki hak suara individu karena setiap negara bagian
hanya dihitung satu suara dan harus diberikan secara sama. Terlepas dari
sistem pemilihan dan keterikatan politik anggotanya, sistem dua kamar
merupakan elemen sentral keterlibatan negara bagian dalam proses
pembuatan undang-undang nasional (Bothe, Berlin, 1977:84). Sistem
parlemen dua kamar telah diadopsi di Indonesia dengan kewenangan yang
bersifat konsultatif.

Pembicaraan hubungan pusat dan daerah di negara berstruktur federal tidak


pula terlepas dengan perimbangan keuangan baik secara vertikal antara
negara bagian dan negara pusat maupun antara negara bagian dengan
negara bagian. Pembagian sumber-sumber keuangan dan pembiayaan
kewenangan antara pusat (federal) dan negara bagian diatur secara detail
dalam konstitusi federal. Menurut kelaziman, konstitusi menetapkan jenis-
jenis pajak yang dimiliki secara terpisah oleh Pusat dan Negara Bagian.
Disamping itu, karena sifat otonomi yang dimiliki oleh “state” yang bukan
merupakan bentukan pusat, maka sumber-sumber penerimaan terbesar dari
sektor pajak maupun non pajak dapat dimiliki secara paralel oleh pusat
maupun negara bagian, sehingga dimungkinkan terjadinya double taxation
bagi warga negara.

Laporan Akhir: 47
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dalam negara berstruktur federal yang lain, beberapa pajak potensial seperti
pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan pajak penjualan dipungut
oleh negara pusat dan hasilnya dibagi secara bersama antara pusat, negara
bagian dan municipal. Konstitusi atau Undang-Undang menetapkan besarnya
bagi hasil pajak-pajak tersebut. Jika karena alasan-alasan tertentu parlemen
telah bersepakat, maka besarnya prosentase bagi hasil dapat direvisi. Di
Jerman misalnya, prosentasi bagi hasil Pajak Penghasilan adalah 42,5%
Pusat, 42,5% Negara Bagian dan 15% Kommune. Sedangkan pajak
pertambahan nilai dibagi 50,5% pusat dan 49,5% negara bagian. Disamping
pembagian secara terpisah dan bagi hasil, sistem federal Jerman juga
menganut perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian kaya
kepada negara bagian miskin.

Uraian terkait dengan problem kekikinian yang dihadapi Indonesia dalam


konteks hubungan antara pusat dan daerah, juga uraian tentang teori dan
praktek penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah di beberapa negara
federal dimaksudkan untuk membentangkan pemahaman dalam upaya
mencari format konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia
pada masa yang akan datang. Seperti yang telah disinggung dimuka, gerakan
dinamis sentripetal dan sentrifugal selalu terjadi dalam semua negara dari
satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, baik di negara kesatuan maupun
negara federal. Sehingga semakin jelaslah bagi kita bahwa instrumen yang
lazim dipergunakan di negara federal dapat saja diadopsi di negara kesatuan,
jika dilakukan secara cermat dan berhati-hati.

Akan halnya konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa
yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan
tersebut.

Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya


Laporan Akhir: 48
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan
pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu
kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,
tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan
Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini,
penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945
perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan
polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan
praktek di negara federal. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh
Bhenyamin Hoessein. Pandangan tersebut demikian adanya. Meskipun
demikian, tulisan ini tidak akan melanjutkan polemik tersebut melainkan akan
menekankan pada konstruksi tingkatan pemerintahan daerah, peran dan
kedudukannya.

Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada


kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi
(fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi
ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah.
Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak
adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam
prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai
Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan,
pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah
kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur.
Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan,
pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal,
seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah
berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batas-
Laporan Akhir: 49
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas
administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan.
UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-
masalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata
belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah
terbentuk.

Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga


konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status
daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap
mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti
dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk
melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota
tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini,
karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat
kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat
instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai
WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk
mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi,
pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya.
Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat
katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur
dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya
untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan
sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.

Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan

Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip

Laporan Akhir: 50
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar
tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.
Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada
kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif
oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999
disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada
daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak
perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material
ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut
oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,
ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan
sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,
2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat
dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas
sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang
pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).

Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah


Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim
dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan
Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi,
sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal
secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999
menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal
pembagian wewenang.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah

Laporan Akhir: 51
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua
prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu
berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi
kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,
untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika
prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi
mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan
pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat
fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan
pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan
ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-
sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,
propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat
pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.

Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada


inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang
sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini
membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari
inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam
kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor
dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh
pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan.

Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat


dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama,
dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan
yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang
bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan
Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki.
Laporan Akhir: 52
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus
dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1)
kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi,
(3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus
dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka
dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan,
dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di
negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara
bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan
tersebut dapat dikurangi. Dalam tulisan ini diusulkan agar pembagian
kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan
Pemerintah sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung
menguntungkan pusat dan melemahkan daerah.

Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk


menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan
tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh
kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu
adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber
penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka
hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun
waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi
sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan
terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah
persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan
dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD
1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan
dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga,
kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan
pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien.
Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar
Laporan Akhir: 53
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane,
1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui
UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata
belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumber-
sumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara,
meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada
sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga
terjadi.

Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber


dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga
disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam
UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut, tulisan ini menawarkan pengungkit yang dapat
dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan
pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi
hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar
daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua,
keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana
setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan
keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi
perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki
kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal
antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan
money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh
menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap
daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil
pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan
perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin
kedudukan hukum pemerintah daerah.

Penutup

Laporan Akhir: 54
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk
terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan
Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan
DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk
memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD
diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan
anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan
pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang
mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama
untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah
dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.

Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan
kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan
perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang
yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada
produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi
juga Undang-undang yang lainnya.

Laporan Akhir: 55
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas yang menjadi arahan dalam


penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan
Daerah ini, dapat disimpulkan sejumlah hal sebagai berikut:

Penyusunan UU mengenai Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah


Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota atau antara
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dan Kota merupakan amanat UUD 1945
hasil amandemen khususnya Pasal 18 A ayat (1).

Pengaturan Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan


hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat
resiprokal (tidak bersifat satu arah baik dari atas kebawah/downward dan
sebaliknya/upward) dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. RUU
harus menata proses hubungan yang dikembangkan secara resiprokal di
dalam cakupan tersebut.

RUU harus diarahkan pula kepada kemungkinan penataan badan badan


khusus bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi.
Badan khusus ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang
bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini dapat diciptakan
melalui instrumen desentralisasi fungsional.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara


lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk
menghindari polemik. Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan
Laporan Akhir: 56
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas
dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas
dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip
kepemerintahan yang baik.

Penyusunan RUU yang telah dilakukan dirasakan belum memadai khususnya


dalam mengakomodir pandangan dan pendapat dari segenap stakeholder
yang ada mengenai materi yang harus diatur dalam UU Tata Hubungan
Kewenangan

Saran

Berdasarkan pemaparan dan kesimpulan di atas disarankan agar dilakukan


pendalaman kajian penyusunan RUU ini di tahun mendatang sehingga dapat
mematangkan materi pengaturan dalam Draft RUU Tata Hubungan
Kewenangan yang telah dihasilkan dalam kegiatan ini. Melalui kegiatan
pendalaman dan pematangan ini diharapkan Draft RUU tersebut dapat
memperoleh masukan-masukan materi yang lebih memadai dan
komprehensif dari segenap stakeholder lain yang belum berkesempatan
memberi saran dan masukan dalam pelaksanaan kajian kali ini.

Dalam pendalaman dan pematangan tersebut, perlu juga memperhatikan UU


dan RUU lain yang bersinggungan dengan Draft RUU Tata Hubungan
Kewenangan ini.

Laporan Akhir: 57
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arthur B. Gunlicks. 2000. “Föderative Systeme im Vergleich: Die USA und


Deutschland “, in: Von Arnim, Hans Herbert/Färber, Gisela/Fisch, Stefan
(Eds). Föderalismus – Hält er noch, was er verspricht?, Berlin: h. 41-62
Bothe, Michael. 1977. Die Kompetenzverteilung des modernen
Bundesstaates in rechtsvergleichender Sicht. Berlin.
Bell, Daniel. 1988: “The World in 2013“, Journal Dialogue.
Clarke, Michael and Stewart, John. The Choices for Local Government; for
The 1990’s and Beyond, Longmann UK,. 1991
____________. General Management in Local Government: Getting the
Balance Right. Longmann. UK. 1990
Cochrane, Allan. Whatever happened to Local Government. Open University
Press, Buckingham. 1993
Conyers, Diana. Regional Administration and Regional Planning: A Plea for
Integration. University of Nottingham, The Hague. 1983
Couch, Chrish. Urban Renewal; Theory and Practice. Mac Millan, London.
1990
Crane, Randal. 1995. “The Practice of Regional Development in Indonesia:
Resolving Central-local Coordination Issues in Planning and Finance”.
Public Administration and Development. Vol. 15. hal. 140.
Daft, Richard, L,. Organization Theory and Design. West Publishing Co,.
Singapore. 1992.
Daldjoeni, N,. Seluk-beluk Masyarakat Kota. Alumni. Bandung. 1992
Davey, K.J.. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek internasional
dan relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1988
De Mello, Luiz R. JR. 1999. “Intergovernmental Fiscal Relation: Coordination
Failures and Fiscal Outcomes”. Public Budgeting and Finance. Vol. 19/1.
Hal. 8.
Denewitz, Bodo. 1947. Der Föderalismus. Sein Wesen und Seine Geschichte.
Hamburg.
Deuerlein, Ernst. 1972. Föderalismus. Die historischen und philosophischen
Grundlagen des föderativen Prinzips. Bonn.
Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1989.
Elcock, Howard. Local Government; Policy and Management in Local
Authorities. Routledge, London, 1994 Ed.III.

Laporan Akhir: 58
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Esterbauer, Fried und Thöni, Erich. 1981. Föderalismus und Regionalismus in
Theorie und Praxis. Wien.
Fesler, James W,. Area and Administration. Univ. Alabama Press.
Alabama:1949
Frenkel, Max. 1984. Föderalismus und Bundesstaat, 1st Ed.. Bern.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in
the Twenty-First Century. London.
Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari
Efisiensi ke Demokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas
Indonesia. Depok.
Hoessein, Bhenyamin. 2001. “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan
sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan
Tantangan Globalisasi”. Usahawan 04/April, Jakarta.
Hoessein, Bhenyamin. 2001 “Pembagian Kewenangan antara Pusat dan
daerah, Paper seminar „Konstruksi Hukum dan Politik kemandirian dan
demokrasi Otonomi Daerah“, paper dipresentasikan di Malang.
Kuttenkeuler, Benedikt. 1998. Die Verankerung des Subsidiaritätsprinzips im
Grundgesetz. Ein Beitrag zur Bedeutung des Subsidiaritätsprinzips für die
Kompetenzabgrenzung im Bundesstaat. Frankfurt.
Laufer, Heinz dan Münch, Ursula.1988. Das Foedarative System der
Bundesrepublik Deutschland, Opladen.
Leach, Steve,. Davis, Howard and Associates,. Enabling or Disabling Local
Government. Open Univ. Press. Bristol:1996
Leach, Steve., Stewart, John., and Walsh, Kieron,. The Changing
Organization and Management of Local Government. London. Mac
Millan:1994
Leemans, A.F., Changing Patterns of Local Government , The Hague, IULA,
1970.
Mackie, J.A.C. (editor). 1980. “Integrating and Centrifugal Factors in
Indonesian Politic since 1945“. The Making of Nation. ANU. Canberra.
Maryanov, Gerald S,. Decentralization in Indonesia as a Political Problems.
Cornell University Press. Itahca, New York: 1958
Massam, Bryan. Location and Space in Social Administration. John Wiley &
Sons. New York: 1975
Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan
Daerah dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di
Kota Malang). Disertasi tidak diterbitkan. FISIP UI. Jakarta.
Newell, Charldean (ed). The Effective Local Government Manager. ICMA.
Washington. 1993
Norton, Alan,. International Handbook of Local and Regional Government.
Edward Elgar:1994, UK

Laporan Akhir: 59
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pitschas, Rainer. 2001. “Dezentralisierung und Good Governance -
Zivilgesellschaftliche
Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat” di dalam: Thomi,
Walter/Steinich, Markus/Polte, Winfried (editor), Dezentralisierung in
Entwicklungslandem. Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven
staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden, h..125-149.
Prasojo, Eko. 2003. Politische Dezentralisierung in Indonesien. Die
Föderalismusdebatte in Politik und Rechtsvergleich. Frankfurt.
Prasojo, Eko. 2005. “Problem dan Prospek NAD Pasca MOU Helsinki”.
Jurnal Intelijen dan Kontraintelijen. Vol. II No. 9 Desember-Januari. Centre
for Study of Intelligence and Counterintelligence BIN. Jakarta. Hal. 22-31.
Prasojo, Eko. 2005. “Pilkada, Demokratisasi dan Good Governance:
Rekonseptualisasi Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan”. Jurnal
Bisnis dan Birokrasi No. 2/Vol. XIII/Mei. Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI. Jakarta. Hal 101-109.
Prasojo, Eko. 2005. Federalisme dan Negara Federal. Sebuah Pengantar.
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Prasojo, Eko; Kurniawan, Teguh; Hasan, Azwar. 2004. Reformasi Birokrasi
dalam Praktek. Kasus di Kabupaten Jembrana. Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Rohdewohld, Rainer. 2003. “Decentralization and The Indonesian
Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?”, di dalam Aspinal, Edward
dan Fealy, Greg. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization
and Democratization. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore.
Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the
State. London.
Schneider, Hartmut and Libercier, Marie Helene. Concept, Issues and
Experiences for Building up Participatory in “Participatory
Development”. DCS. USA. 1995
Smith, BC., Decentralization: The Territorial Dimension of The State. George
Allen & Unwin Publiher. London: 1985.
White, Roland dan Smoke, Paul. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local
Government Work. The World Bank. Washington DC.
Wunsch, James S dan Olowu, Dele. 1995. “Centralization and Development
in Post-Independence Africa”. di dalam Wunsch dan Olowu. The Failure of
the Centralized State. Institutions and Self Governance in Africa. San
Francisco, California.
Yappika. 2006. “Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang
Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan
Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat”, hasil penelitian
tidak dipublikasikan. Jakarta.

Laporan Akhir: 60
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG TATA HUBUNGAN KEWENANGAN


ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH

URAIAN PENJELASAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR TAHUN

TENTANG PENJELASAN
HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN ATAS
PEMERINTAHAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH NOMOR ......TAHUN.....
TENTANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH

Menimbang: I. PENJELASAN UMUM


1. Dasar Pemikiran
a. Bahwa Pemerintahan Daerah secara keseluruhan merupakan sub

1
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

sistem dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Menurut pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia

pelaksanaannya harus memperhatikan peraturan perundang- merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary
state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). Secara implisit perancang
undangan yang berlaku;
konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi
b. Bahwa keberagaman dan kekhususan yang dimiliki oleh daerah tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum.

harus berjalan seiring dengan tujuan pemberian otonomi daerah


Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk
dan tercapainya tujuan-tujuan negara;
menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan
c. Bahwa Hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk
Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah perlu diatur dengan
mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut
daerah;
secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in
d. Bahwa untuk melaksanakan hal tersebut perlu ditetapkan Undang- unity”.
Undang tentang Hubungan Kewenangan Pemerintah dan

Pemerintahan Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah. Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya

dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah

secara teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau

kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada

masayarakat lokal untuk mengatur dan mengurus kepentingan-

kepentingannya dengan aspek kewilayahan sebagai dasar pertimbangan

utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi

fungsional berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada

2
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu

untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut.

Dalam penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen

pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan

secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk

mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan

tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara

kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus

kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah

otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga

harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur

melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,

jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi

daerah. Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan

adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan

desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya

negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan

atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu

kepada pemerintah daerah.

3
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan

persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah

dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Gubernur sebagai kepala

daerah juga memiliki fungsi dekonsentrasi yaitu sebagai wakil Pemerintah

dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual

function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi)


sehingga harus mengintegrasikan kembali (how to reintegrated).
Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai

daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur

juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala

daerah.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara

lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk

menghindari polemik. Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya

tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan

pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia

berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan

tugas pembantuan, merupakan sub-sistem dari pemerintahan Nasional. (b)

pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling

4
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai

Negara kesatuan Republik Indonesia; (c) tuntutan globalisasi

menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling

bersinergi; (d) bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki

karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirintahan

yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai

perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan

masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.

Disamping itu, hal pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah

dan Pemerintahan Daerah serta antar Pemerintahan Daerah adalah

amanat UUD. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD

1945; khususnya ayat (1) pasal 18 A menyatakan:”Hubungan wewenang

antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,


dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.” Frasa “diatur dengan Undang-undang” secara eksplisit

mengindikasikan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud

bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain tetapi justru secara
khusus harus disusun sebuah UU akan hal itu. Sandaran legalitas dari

pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita menyusun sebuah UU.

5
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat

dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang

baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur

Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan

kepemerintahan yang baik.

Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,

horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik

dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam

antar ketiga area tersebut. Disamping hubungan kewilayahan, maka

hubungan kewenangan juga meliputi hubungan jabatan, hubungan organ,

keuangan, kepegawaian, intervensi pemerintah terhadap pemerintahan

daerah, dan pelaporan serta pertanggungjawaban pemerintahan daerah.

Mengingat:

1. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;

6
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN
KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH DAN ANTAR
PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I BAB I
KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama Bagian Pertama
Pengertian Pengertian
Pasal 1 Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

7
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau

kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada

daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada

kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah

kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut, Pemerintah adalah

Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar 1945

5. Pemerintahan Daerah adalah Gubernur atau Bupati/Walikota

bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau

Kabupaten/Kota dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah

6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

8
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang

bersifat lokal dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

7. Instansi Vertikal adalah perangkat Pemerintah yang ditempatkan

di Daerah untuk melaksanakan dan mengurus urusan pemerintahan

tertentu berdasarkan asas dekonsentrasi.

8. Wewenang adalah hak, kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah

dan/atau Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan.

9. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan sejenis

yang terkait dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat,

negara dan bangsa

Bagian Kedua

Tujuan

Pasal 2

Undang-Undang ini bertujuan memperjelas dan mempertegas distrubsi

kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah,

pemerintah daerah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta antar

daerah.

9
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Bagian Ketiga

Azas-azas

Pasal 3

Undang-undang ini disusun berdasarkan azas kepercayaan, penghormatan,

pengakuan, dan tata kepemerintahan yang baik, serta keserasian dan

keharmonisan hubungan antar lembaga pemerintahan.

Bagian Keempat

Ruang Lingkup

Pasal 4

Undang-Undang ini mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah dan

pemerintahan daerah yang meliputi distribusi kewenangan, hubungan

organisasi, hubungan wilayah, dan hubungan jabatan, hubungan

kepegawaian, hubungan keuangan, hubungan pelaporan dan

pertanggungjawaban, dan hubungan intervenasi.

BAB II BAB II
TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN
PENYELENGGARAAN URUSAN PENYELENGGARAAN URUSAN
Pasal 5 Pasal 5

10
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(1) Pembagian, penyerahan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan (1) Eksternalitas dalam ketentuan ini adalah penyelenggaraan urusan
dari pemerintah kepada pemerintahan daerah didasarkan dengan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan
dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan
mempertimbangkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, efesiensi,
pemerintahan. Yang dimaksud akuntabilitas adalah
koneksitas dan subsidaritas pertanggungjawaban penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan. Yang dimaksud efisiensi adalah penyelenggara
suatu urusan pemerintahan ditentukan bedasarkan perbandingan
tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Yang
dimaksud koneksitas adalah keselarasan antara kewenangan yang
dimiliki dan unsur-unsur pembiayaan. Sedangkan yang dimaksud
dengan subsidiaritas adalah bahwa kewenangan yang paling dekat
dengan masyarakat diselenggarakan oleh level pemerintahan yang
paling dekat.

(2) Urusan Pemerintah Pusat bersifat mutlak yang meliputi politik (2) Cukup Jelas
luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan fiskal

nasional, mempunyai daya laku berskala nasional dan mengikat

bangsa secara keseluruhan sebagaimana diatur oleh Undang-

Undang.

(3) Urusan Pemerintah Provinsi meliputi urusan perencanaan, (3) Urusan perencanaan, kordinasi, pembinaan dan pengawasan merupakan
urusan di luar urusan yang diatur ayat (2) yang didesentralisasikan

11
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

koordinasi, pembinaan dan pengawasan dalam lingkup propinsi serta oleh Pemerintah dan bersifat lintas kabupaten/ kota berdasarkan
urusan yang didekonsentrasikan kepada Gubernur. situasi dan kondisi masyarakat setempat. Urusan yang
didekonsentrasikan kepada Gubernur adalah urusan Pemerintah yang
penyelenggaraanya dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Yang dimaksud dengan pembinaan dan pengawasan adalah urusan
pemerintahan yang bertujuan menjamin terlaksananya urusan yang
diserahkan kepada daerah otonom.

(4) Urusan Pemerintah Kabupaten/ Kota menyangkut urusan pelayanan Cukup Jelas
dan pemberdayaan masyarakat setempat.

Pasal 6 Pasal 6
Penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada Pemerintahan Cukup Jelas
Daerah dilakukan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7 Pasal 7

(1) Pemerintahan Daerah dapat mengembalikan urusan pemerintahan (1) Meskipun secara normatif sebuah urusan telah diserahkan kepada
yang telah menjadi wewenangnya kepada Pemerintah jika tidak pemerintahan daerah, tetapi dalam prakteknya urusan tersebut dapat
diserahkan kembali kepada pemerintah jika suatu pemerintahan
dapat melaksanakan urusan tersebut.
daerah tidak mampu melaksanakannya.

(2) Kriteria dan tata cara pengembalian urusan pada ayat (1) diatur (2) Cukup Jelas
oleh Peraturan Pemerintah

12
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(3) Pemerintah dapat menarik kembali urusan pemerintahan yang telah (3) Kepentingan nasional dalam hal ini adalah kepentingan yang
diserahkan kepada daerah jika: menyangkut keutuhan negara dan bangsa, memiliki keterkaitan dengan
standarisasi hukum pada tingkat nasional, dan kesatuan standarisasi
(a) terdapat kepentingan yang bersifat nasional; atau ekonomi nasional.

(b) daerah tidak dapat melaksanakannya

(4) Kriteria dan tata cara penarikan urusan pada ayat (3) diatur oleh (4) Cukup Jelas
Peraturan Pemerintah

Pasal 8 Pasal 8

Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7 meliputi Dalam Undang-Undang ini titik berat mengatur standar, norma, dan
kewenangan untuk mengatur dan kewenangan untuk mengurus atau kebijakan di tingkat nasional diletakkan pada level pemerintah pusat,
sedangkan kewenangan mengatur dan mengurus pada tingkat regional dan
melaksanakan.
lokal dilakukan oleh level pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 9 Pasal 9

Kewenangan mengatur sebagai dimaksud dalam pasal 8 terdiri atas: Cukup Jelas

(1) Kewenangan mengatur yang mutlak menjadi kewenangan

Pemerintah;

(2) Kewenangan mengatur bersifat yang konkuren;

(3) Kewenangan mengatur bersifat kerangka;

13
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(4) Kewenangan mengatur bersifat paralel

Pasal 10 Pasal 10

(1) Dalam kewenangan mengatur yang menjadi kewenangan mutlak (1) Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dalam
pemerintah, pemerintahan daerah hanya memiliki kewenangan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah jika suatu Undang-
Undang tertentu memberikan mandat secara eksplisit untuk
untuk mengatur jika dan selama kewenangan tersebut secara
mengaturnya. Jika tidak, maka Pemerintahan Daerah harus
eksplisit ditetapkan oleh suatu Undang-undang. melaksanakan norma hukum yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah.

(2) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat konkuren pemerintahan (2) Jika suatu urusan belum diatur oleh suatu peraturan perundang-
daerah memiliki kewenangan mengatur jika dan selama pemerintah undangan apapun, maka pemerintahan daerah memiliki kewenangan
mengatur dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan kepala
belum menggunakan kewenangan tersebut baik melalui Undang-
daerah.
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan

Presiden maupun melalui peraturan lainnya.

(3) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat kerangka Pemerintah (3) Cukup Jelas
menetapkan secara umum pengaturan urusan pemerintahan dan

pemerintah daerah mengaturnya lebih lanjut dalam Peraturan

Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah.

(4) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat paralel Pemerintah dan (4) Kewenangan mengatur ini dapat dimiliki oleh pemerintahan daerah jika
Pemerintah Daerah berwenang mengatur urusan-urusan suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara eksplisit
menyerahkan kewenangan tersebut.
pemerintahan tertentu secara bersamaan.

14
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 11 Pasal 11

Kewenangan yang bersifat mengurus sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Cukup Jelas
terdiri atas:

(1) Kewenangan mengurus oleh Pemerintah dalam rangka sentralisasi;

(2) Kewenangan mengurus oleh Pemerintahan Daerah berdasarkan asas

desentralisasi;

(3) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas

dekonsentrasi;

(4) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas

tugas pembantuan;

(5) Kewenangan mengurus oleh instansi pemerintah berdasarkan asas

dekonsentrasi.

Pasal 12 Pasal 12

(1) Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kewenangan (1) Cukup Jelas


mengatur dan mengurus yang menjadi wewenang Pemerintah
dan/atau Pemerintahan Daerah sebagaimana ditetapkan dalam
lampiran.

(2) Setiap sektor wajib menyesuaikan ketentuan-ketentuan peraturan (2) Cukup Jelas

15
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

perundang-undangan yang mengaturnya sesuai dengan pembagian


urusan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)

Pasal 13 Pasal 13

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan (1) Cukup Jelas


berdasarkan Undang-Undang sebagai urusannya sendiri, jika dan

selama Undang-Undang tidak menetapkan lain.

(2) Dalam kewenangan mengurus berdasarkan azas desentralisasi (2) Cukup Jelas
pemerintahan daerah menetapkan sendiri tata cara, organisasi

dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam peraturan

daerah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

(3) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap tujuan dan (3) Pengawasan terhadap tujuan adalah menyangkut apakah tujuan yang
kesesuaian hukum dalam pelaksanaan urusan pemerintahan diamanatkan dalam penyerahan urusan tersebut tercapai atau tidak
tercapai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator keberhasilan
daerah berdasarkan azas desentralisasi.
pelaksanaan urusan. Sedangkan kesesuaian hukum menyangkut apakah
peraturan daerah yang dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kesesuaian hukum (4) Cukup Jelas
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas

16
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

desentralisasi pemerintah dapat membatalkan peraturan

daerah/peraturan kepala daerah.

(5) Dalam hal tidak tercapainya tujuan penyelenggaran satu urusan (5) Cukup Jelas
pemerintahan pemerintah dapat mengambil tindakan pembinaan

dan atau sanksi terhadap suatu pemerintahan daerah.

(6) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5) (6) Cukup Jelas
terhadap propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

(7) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5) (7) Cukup Jelas
terhadap kabupaten/kota dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri

yang dalam pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Gubernur.

Pasal 14 Pasal 14

(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas (1) Cukup Jelas
pembantuan, pemerintahan daerah menetapkan perangkat

pelaksana urusan tersebut jika tidak ditetapkan secara khusus

oleh Peraturan Perundang-undangan.

17
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(2) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan (2) Cukup Jelas
teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan

dan perencanaan untuk pelaksanaan tugas pembantuan.

(3) Dalam pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas pembantuan (3) Cukup Jelas
perangkat pemerintah daerah melaksanakan petunjuk yang

ditetapkan oleh pemerintah.

(4) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas (4) Cukup Jelas
pembantuan meliputi kesesuaian hukum dan pencapaian tujuan

urusan yang diserahkan.

(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh (5) Perangkat pemerintah yang bersangkutan adalah Departemen atau
perangkat pemerintah yang bersangkutan. Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.

(6) Pelaksanaan urusan pemerintahan oleh pemerintahan (6) Cukup Jelas


kabupaten/kota berdasarkan tugas pembantuan yang berasal dari

pemerintahan propinsi dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang

sama pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) pada level propinsi.

(7) Dalam hal urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas (7) Cukup Jelas

18
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

pembantuan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan melanggar


ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
level pemerintahan yang memberikan tugas pembantuan dapat
menarik kembali tugas pembantuan tersebut.

Pasal 15 Pasal 15

(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas (1) Cukup Jelas
dekonsentrasi, Departemen/Lembaga Pemerintah Non

Departemen menyerahkan urusan pemerintahan kepada instansi

vertikal yang ada di daerah atau kepada perangkat pemerintahan

propinsi atau perangkat pemerintahan kabupaten/kota jika tidak

terdapat instansi vertikal di daerah.

(2) Instansi vertikal di daerah yang melaksanakan urusan (2) Koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas
pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi wajib melakukan dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur. Dalam hal ini Gubernur
mengadakan rapat rutin dengan instansi vertikal, kepala daerah dan
koordinasi dengan perangkat pemerintahan daerah yang
perangkat pemerintahan daerah terkait.
bersangkutan.

(3) C k J l

19
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(4) Dalam hal Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen

tidak memiliki instansi vertikal maka urusan pemerintahan

berdasarkan azas dekonsentrasi diselenggarakan oleh perangkat

pemerintahan daerah berdasarkan tugas pembantuan.

(5) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan (4) Cukup Jelas
teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan

dan perencanaan untuk pelaksanaan urusan berdasarkan azas

dekonsentrasi.

(6) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas (5) Cukup Jelas
dekonsentrasi, instansi vertikal atau organ pemerintahan daerah

wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(4)

(7) Gubernur melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan urusan (6) Cukup Jelas
pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi.

(8) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas (7) Cukup Jelas
dekonsentrasi meliputi kesesuaian hukum dan tujuan

20
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

penyelenggaraan urusan.

(9) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh (8) Cukup Jelas
instansi pemerintah yang menyerahkan urusan pemerintahan
bersama-sama dengan Gubernur.

Pasal 16 Pasal 16

(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan oleh instansi pemerintah (1) Cukup Jelas
berdasarkan azas sentralisasi, pemerintahan daerah memberikan

bantuan bagi terlaksananya urusan tersebut sejauh tidak dilarang

oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Bila diperlukan, instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada (2) Cukup Jelas
ayat (1) dapat melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan
pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

BAB III H BAB III


TATA HUBUNGAN ORGANISASI TATA HUBUNGAN ORGANISASI

Pasal 17 Pasal 17

(1) Dalam Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah setiap (1). Perangkat pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Pemerintah

21
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

perangkat pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota memiliki non Departemen yang meliputi Badan, Dewan, Komisi dan badan-
hubungan satu dengan lainnya. badan pemerintahan lainnya. Perangkat Pemerintah Propinsi dan
Kabupaten/Kota adalah perangkat organisasi daerah yang meliputi
Sekretariat Daerah, Dinas, Badan, kantor dan lembaga teknis
lainnya.
(2) Hubungan perangkat antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (2). Cukup jelas
dan antar Pemerintahan Daerah meliputi penyelenggaraan urusan

daerah menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas

pembantuan.

(3) Perangkat Pemerintah dalam rangka pelaksanaan azas (3) Kewajiban melakukan koordinasi dimaksudkan untuk menghindari
dekonsentrasi wajib melakukan koordinasi dengan perangkat tumpang tindih dan mengoptimalisasi pelaksanaan dan hasil-hasil
urusan yang diselenggarakan secara dekonsentrasi.
pemerintah daerah.

(4) Dalam penyelenggaraan urusan menurut azas desentralisasi (4) Karena wilayah kerja perangkat Propinsi meliputi semua wilayah
perangkat pemerintah propinsi dan perangkat pemerintah kerja kabupaten/kota di Propinsi yang bersangkutan, maka setiap
penyelenggaraan urusan oleh perangkat propinsi harus dengan
kabupaten/kota wajib melakukan koordinasi.
koordinasi dan sepengetahuan perangkat pemerintah
Kabupaten/Kota.
(5) Dalam penyelenggaraan urusan tugas pembantuan perangkat (5) Cukup Jelas
pemerintah yang memberikan tugas tersebut wajib melakukan

koordinasi dan pembinaan terhadap perangkat pemerintah daerah

yang menerima tugas pembantuan.

(6) Dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas wilayah suatu (6) Cukup Jelas

22
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

daerah otonom perangkat pemerintah daerah yang bersangkutan

wajib melakukan koordinasi dan kerjasama.

(7) Perangkat pemerintah propinsi melakukan koordinasi, pembinaan (7) Cukup Jelas
dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas

kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan.

Pasal 18 Pasal 18

Perangkat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah Departemen dan Cukup Jelas
Lembaga Pemerintah Non Departemen; Dinas, Badan dan Kantor serta

Lembaga Teknis Lainnya pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Pasal 19 Pasal 19

(1) Setiap perangkat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam (1) Cukup Jelas
penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib melakukan kerjasama

antara satu dengan lainnya berdasarkan hak, kewajiban dan

wewenangannya masing-masing serta berlandaskan atas dasar

kepentingan dan kesatuan nasional secara keseluruhan.

(2) Kerjasama antara perangkat pemerintah pusat dan pemerintah (2) Cukup Jelas

23
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

daerah Propinsi dilakukan melalui Departemen/Lembaga

Pemerintah Non Departemen dan dikoordinasikan oleh Menteri

Dalam Negeri.

(3) Kerjasama antara perangkat pemerintah propinsi dengan perangkat (3) Cukup Jelas
pemerintah propinsi lainnya dapat dilakukan sendiri oleh propinsi

yang bersangkutan atau melalui koordinasi Menteri Dalam Negeri.

(4) Kerjasama antar perangkat pemerintah kabupaten/kota dalam satu (4) Cukup Jelas
propinsi dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing pemerintah

daerah tersebut atau dikoordinasikan oleh Gubernur propinsi yang

bersangkutan.

(5) Kerjasama antar perangkat kabupaten/kota di wilayah pemerintah (5) Cukup Jelas
propinsi yang berbeda dilakukan sendiri oleh pemerintah

kabupaten/kota yang bersangkutan atau dikoordinasikan oleh

Gubernur Propinsi yang bersangkutan.

Pasal 20 Pasal 20

24
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(1) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah dan (2) Perselisihan yang dimaksud menyangkut antara lain kejelasan
perangkat pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan terhadap satu kewenangan tertentu antar tingkat pemerintahan,
batas-batas wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan, konflik
pemerintahan daerah, maka Presiden melalui Menteri Dalam
pembiayaan dan penerimaan.
Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara adil dan selara

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-

azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(2) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah (2) Upaya damai diutamakan dalam penyelesaian perselisihan antar
propinsi dan daerah kabupaten/kota, maka Presiden melalui tingkat pemerintahan. Adil dan selaras berarti sesuai dengan hak,
kewajiban dan kewenangannya masing-masing.
Menteri Dalam Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara

adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(3) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah (3) Cukup Jelas
kabupaten/kota dalam satu wilayah propinsi, maka Menteri Dalam

Negeri melalui Gubernur melakukan upaya-upaya penyelesaian

secara adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang

baik.

(4) Perselisihan yang terjadi antara perangkat pemerintah daerah (4) Cukup Jelas

25
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

kabupaten/kota dalam wilayah propinsi yang berbeda diselesaikan

melalui Gubernur propinsi yang terkait secara adil dan selaras

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-

azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(5) Keputusan yang diambil dalam perselisihan sebagaimana dimaksud (5) Cukup Jelas
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) bersifat mengikat masing-

masing perangkat pemerintah dan pemerintahan daerah.

(6) Terhadap keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat (6) Cukup Jelas
dilakukan upaya gugatan di Peradilan.

(1) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan (1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan

khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.

(2) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana (2) Cukup Jelas
dimaksud pada ayat (1) jika pembentukan pemerintahan

khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan

nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau

menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,

26
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

sosial dan hukum.

BAB IV BAB IV
TATA HUBUNGAN JABATAN TATA HUBUNGAN JABATAN

Pasal 21 Pasal 21

(1) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan, setiap pejabat dalam (1) Cukup Jelas
semua tingkat pemerintahan wajib memperhatikan kewenangan,

tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya.

(2) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat melakukan koordinasi dan (2) Cukup jelas
pembinaan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

dilakukan oleh Bupati/Walikota di wilayahnya.

(3) Gubernur melakukan koordinasi dengan pejabat instansi vertikal di (3) Cukup Jelas
daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan

berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah otonom (4) Cukup Jelas
berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi setiap Menteri,

27
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Ketua Komisi, Ketua

Dewan Pemerintah, ketuan Badan, pimpinanBadan Hukum Milik

Negara, Badan Usaha Milik Negara harus melakukan koordinasi

dengan Gubernur dan Bupati/Walikota yang bersangkutan.

(5) Bupati/Walikota dapat melakukan hubungan kerja secara langsung (5) Cukup Jelas
dengan Gubernur di wilayah Propinsi yang berbeda melalui

Gubernur propinsi yang bersangkutan.

(6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaporkan (6) Cukup Jelas
kepada Gubernur propinsi dimana bupati/walikota tersebut berada.

(7) Bupati/Walikota yang melakukan perjalanan dinas ke Luar Negeri (7) Cukup Jelas
harus memberitahukan dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah di daerah.

(8) Kepala Dinas dan lembaga teknis daerah propinsi melakukan (8) Cukup Jelas
koordinasi dengan Kepala Dinas dan lembaga teknis
kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan.

BAB V BAB V
TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN

28
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 22 Pasal 22

(1) Kepegawaian negara dibagi menjadi Pegawai Pemerintah dan (1) Cukup Jelas
Pegawai Pemerintah Daerah.

(2) Pemerintah menetapkan standar dan norma perekrutan, (2) Cukup Jelas
penggajian, promosi dan mutasi dalam jabatan, perpindahan

pegawai antar daerah, insentif tambahan, pengembangan kapasitas,

pengawasan dan pensiun Pegawai Pemerintah Daerah.

(3) Tata hubungan kepegawaian antara Pemerintah dan Pemerintah (3) Cukup Jelas
Daerah diatur oleh peraturan perundang-undangan.

BAB VI BAB VI
TATA HUBUNGAN KEUANGAN TATA HUBUNGAN KEUANGAN

Pasal 23 Pasal 23

(1) Hubungan keuangan antar pemerintah dan pemerintahan daerah (1) Cukup Jelas
maupun antar pemerintahan daerah memperhatikan keserasian

antara kewenangan, penguasaan sumber penerimaan dan kewajiban

29
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

pembiayaan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan.

(2) Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (2) Cukup Jelas
dapat meliputi:

A. pembagian sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak

secara terpisah;

B. bagi hasil sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak

antar tingkat pemerintahan;

C. perimbangan horizontal antara pemerintahan daerah kaya dan

pemerintahan daerah miskin;

D. subsidi dan bantuan dari pemerintah pusat kepada

pemerintahan daerah.

(3) Hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah (3) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap

dengan memperhitungkan kekuatan keuangan pemerintahan

daerah pada setiap tahapan.

(4) Pemerintah harus menjamin bahwa pada tahapan subsidi dan (4) Cukup Jelas
bantuan dari pemerintah, kekuatan kekuangan pemerintahan

30
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

daerah tidak boleh berada dalam kesenjangan yang terlalu tinggi.

BAB VII BAB VII

PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN

Pasal 24 Pasal 24

(1) Bupati/Walikota berkewajiban memberikan laporan (1) Cukup Jelas


pertanggungjawaban tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban

serta wewenangnya kepada Menteri Dalam Negeri melalui

Gubernur setiap tahun.

(2) Gubernur berkewajiban memberikan laporan pertanggungjawaban (2) Cukup Jelas


tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban serta wewenangnya

kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri setiap tahun

BAB VIII BAB VIII

HUBUNGAN INTERVENSI HUBUNGAN INTERVENSI

31
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 25 Pasal 25

(1) Dalam keadaan tertentu dan untuk kepentingan umum, Pemerintah (1) Cukup Jelas
dapat melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas

Pemerintahan Daerah.

(2) Pemerintah dapat melakukan tindakan eksekusi terhadap (2) Cukup Jelas
pemerintahan daerah yang tidak mengindahkan peringatan dan

sanksi yang diberikan oleh pemerintah.

(3) Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa (3) Cukup Jelas
pengurangan Dana Alokasi Umum sampai pada tindakan represif

militer.

(4) Tindakan represif militer dapat dilakukan hanya dengan (4) Cukup jelas
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Daerah.

BAB IX BAB IX

TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA

32
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 26 Pasal 26

(1) Di dalam wilayah sebuah daerah otonom terdapat pula wilayah (1) Cukup Jelas
kerja pemerintahan umum dan wilayah kerja administrasi lapangan.

(2) Daerah Khusus/tertentu dapat dibentuk oleh pemerintah di (2) Cukup Jelas
wilayah daerah otonom.

(3) Daerah Khusus/tertentu dapat pula dibentuk oleh pemerintahan (3) Cukup Jelas
propinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.

Pasal 27 Pasal 27

(1) Wilayah-wilayah kerja sebagaimana diatur dalam pasal 26 memiliki (1) Cukup Jelas
hubungan kerja yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya

(2) Hubungan kerja sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi (2) Cukup Jelas
hubungan wewenang, hubungan jabatan, hubungan organisasi dan
hubungan pelayanan.

(3) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih (3) Cukup Jelas
lanjut oleh Peraturan Pemerintah

33
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 28 Pasal 28

(1) Wilayah pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 (1) Cukup Jelas
adalah wilayah kerja Gubernur sebagai wakil pemerintah yang

luasnya sama dan atau berhimpit dengan daerah otonom propinsi.

(2) Wilayah administrasi lapangan adalah wilayah kerja instansi (2) Cukup Jelas
vertikal yang ada di daerah otonom yang luasnya sama dengan

wilayah kerja satu atau beberapa daerah otonom dimana instansi

vertikal itu bekerja.

(3) Wilayah pemerintahan khusus/tertentu adalah wilayah kerja suatu (3) Cukup Jelas
unit/entitas tertentu yang dibentuk oleh pemerintah untuk

menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu di daerah otonom yang

luasnya bisa sama atau lebih kecil dari satu daerah otonom, atau

meliputi beberapa daerah otonom.

(4) Wilayah daerah otonom adalah wilayah kerja seorang kepala (4) Cukup Jelas
daerah yang luasnya sebagaimana ditetapkan dalam Undang-

Undang pembentukan daerah otonom tersebut.

34
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

(5) Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil pemerintah, Gubernur (5) Cukup Jelas
berwenang menyelaraskan dan mengkoordinasikan seluruh

penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan khusus dan

pemerintahan administrasi lapangan di tingkat Provinsi dan tingkat

Kabupaten/Kota.

(6) Jika terdapat perselisihan dalam penyelenggaraan pemerintahan (6) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Gubernur melakukan upaya-

upaya penyelesaian dengan memperhatikan kewenangan dan fungsi

masing-masing urusan pemerintahan.

(7) Gubernur memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri (7) Cukup Jelas
Dalam Negeri dalam hal upaya penyelesaian dan hasilnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).

Pasal 29 Pasal 29

(1) Pemerintah menetapkan pembagian urusan dan fungsi antara (1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah khusus/tertentu yang dibentuk di wilayah

daerah otonom dengan pemerintahan daerah yang bersangkutan.

(2) Pembagian urusan dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Cukup Jelas

35
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

meliputi kewenangan mengatur dan mengurus, pembiayaan dan

bagi hasil, dan hak dan kewajiban pelayanan kepada masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian urusan dan fungsi (3) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah.

Pasal 30 Pasal 30

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam rangka administrasi lapangan Cukup Jelas


dan pemerintahan khusus/tertentu di wilayah daerah otonom harus
memperhatikan pelaksanaan azas desentralisasi dan otonomi yang dimiliki
oleh pemerintahan daerah, azas keadilan dan keselarasan pemerintahan
secara menyeluruh.
Pasal 31 Pasal 31

(3) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan (1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan

khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.

(4) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana (2) Cukup Jelas
dimaksud pada ayat (1) jika pembentukan pemerintahan

khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan

36
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau

menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,

sosial dan hukum.

BAB X BAB X
PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN

Pasal 32 Pasal 32

(1) Penyelesaian konflik dan perselisihan wewenang antara Pemerintah (1) Cukup Jelas
dan Pemerintahan Daerah dan antara Pemerintahan Daerah

dengan Pemerintahan Daerah lainnya dilaksanakan berdasarkan

ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Penyelesaian konflik dan perselisihan diutamakan dengan melalui (2) Cukup Jelas
upaya musyawarah untuk mencapai kesepakatan, dan apabila tidak

dapat diperoleh kesepakatan antara para pihak maka perselisihan

diselesaikan melalui upaya hukum

BAB XI BAB XI
SANKSI SANKSI

37
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

Pasal 33 Pasal 33

(1) Pemerintah berwenang memberikan sanksi kepada Pemerintahan (1) Cukup Jelas
Daerah yang tidak melaksanakan kewajibannya dan/atau tidak

mematuhi ketentuan Undang-Undang ini dan Peraturan Perundang-

Undangan lainnya.

(2) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih (2) Cukup Jelas
lanjut oleh Peraturan Pemerintah

BAB XII BAB XII


KETENTUAN PERALIHAN KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34 Pasal 34

(1) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan (1) Cukup Jelas
antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antara

Pemerintahan Daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini

dinyatakan tetap berlaku selama belum diatur dan/atau ditetapkan

lain oleh Undang-Undang ini.

(2) Peraturan perundang-undangan sektoral wajib menyesuaikan diri (1) Cukup Jelas

38
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

dengan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang ini.

BAB XIII BAB XIII


KETENTUAN PENUTUP KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35 Pasal 35

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan agar setiap

orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-

undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia

Disahkan di Jakarta
Pada Tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAM

39

Anda mungkin juga menyukai