Hubungan Pusat Dan Daerah PDF
Hubungan Pusat Dan Daerah PDF
Penyusun:
KERJASAMA ANTARA
KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN
PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA
FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan 1
Daftar Pustaka 58
Laporan Akhir:
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN
Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini
mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam
UU yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.
Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi. Fokus penyusunan
RUU tersebut diarahkan pada penentuan materi dan susunan yang akan
termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan
Laporan Akhir: 1
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah
berdasarkan Naskah Akademik yang sudah ada.
Berdasarkan telaah filosofi yang ada dari hasil desk riset, materi yang akan
diatur dalam RUU berlandaskan kepada sejumlah analisis berikut ini.
Laporan Akhir: 2
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
32 Tahun 2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan
yang bersifat searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu,
hubungan yang bersifat diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU
tersebut.
Laporan Akhir: 3
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui
kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih
dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur
dalam UU tersebut.
Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak
sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi
terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh
karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan
hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan
atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.
Laporan Akhir: 4
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti
pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk
mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek
kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas
jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait
dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai
batas yurisdiksi fungsi tersebut.
Laporan Akhir: 5
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang
diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi
gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu
adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi.
Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom itu
adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus mengintegrasikan kembali
(how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki
dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi,
konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah
pusat dan sebagai kepala daerah.
Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar
Daerah
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-
sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Laporan Akhir: 6
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip
kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip
kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik.
Laporan Akhir: 7
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan
keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru.
Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi
pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak
mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya
sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak
bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke
kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya
(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Dalam problem setiap negara bangsa, tugas
terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah
menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan
gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar
akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada
disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan
menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan
partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari
satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk
federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi
Laporan Akhir: 8
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari
pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.
Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan
dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem
pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak
telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.
Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang
serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,
Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini
menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,
faktor ekonomi dan faktor demografi.
Laporan Akhir: 9
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan
kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas
pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam
pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah
daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan
mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan
kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara
pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi
hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun
1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini
menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki
kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih
tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu
balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan
meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan
antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia
secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).
Laporan Akhir: 10
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran.
Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses
penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh
perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul
menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon
kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur
sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak
dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.
Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya
Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat
atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan
pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada
daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak
memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA
oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Pemilihan langsung kepala
daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam
prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi
domain eklusif partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan
dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai
politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101).
Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses
pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih
calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.
Laporan Akhir: 11
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten
Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran
kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi
keberlanjutan program-program inovasi tersebut.
Dalam hal konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa
yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan
tersebut.
Laporan Akhir: 12
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini,
penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945
perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan
polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan
praktek di negara federal.
Laporan Akhir: 13
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip
kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar
tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.
Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada
kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif
oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999
disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada
daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak
perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material
ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut
oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,
ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan
sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,
2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat
dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas
sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang
pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).
Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua
prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu
berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi
kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,
untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika
prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi
mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan
pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat
fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan
pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan
ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-
sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,
Laporan Akhir: 14
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat
pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.
Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat dan
daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama,
dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan
yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang
bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan
Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki.
Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus
dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1)
kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi,
(3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus
dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka
dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan,
dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di
negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara
bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan
tersebut dapat dikurangi. Diusulkan agar pembagian kewenangan
berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan secara tuntas
di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah
sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung menguntungkan pusat
dan melemahkan daerah.
Laporan Akhir: 15
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga,
kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan
pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien.
Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar
terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane,
1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui
UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata
belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumber-
sumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara,
meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada
sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga
terjadi.
Laporan Akhir: 16
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan
kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan
perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang
yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada
produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi
juga Undang-undang yang lainnya.
Laporan Akhir: 17
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Laporan Akhir: 1
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah
sistem pemerintahan.
Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini
mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU
yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.
Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun
rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu
untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan
pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi.
Pokok Permasalahan
1. Berdasarkan naskah akademik yang ada, materi apa saja yang termuat
dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah?
2. Bagaimana susunan Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut?
3. Bagaimana melakukan sosialisasi RUU Tata Hubungan wewenang hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka
umpan balik bagi perbaikan RUU tersebut?
Laporan Akhir: 2
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Tujuan
Manfaat
Metodologi Penyusunan
Laporan Akhir: 3
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
1. Desk Riset dengan menelaah informasi-informasi yang telah ada sebelumnya
yang berkaitan dengan topik kegiatan.
2. Focus Group Discussion, merupakan Diskusi Kelompok Terarah yang
dilaksanakan dengan mengumpulkan nara sumber yang bisa dikatakan
homogen dalam suatu ruangan. FGD ini diharapkan bisa dilaksanakan di
semua daerah di Indonesia yang dianggap representatif
3. Konsinyasi untuk menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Tata
Hubungan.
4. Seminar/Lokakarya hasil penelitian berupa naskah akademik untuk
mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang
5. Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Kewenangan
Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota
Ruang Lingkup
Laporan Akhir: 4
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Rincian Langkah Kegiatan
Laporan Akhir: 5
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Desk Riset
Sosialisasi
Sistematika Laporan
Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang, pokok masalah, tujuan
dan manfaat dari dilaksanakannya pemahaman dan sosialisasi penyusunan
RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta metode
yang digunakan dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan
pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU tersebut. Selain itu, bab ini juga
berisikan jadwal pelaksanaan kegiatan, rincian langkah kegiatan dan sistematika
penyusunan laporan.
Bab II: Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah.
Bab ini berisikan urgensi penyusunan hubungan wewenang antara Pemerintah
dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen dan
UU 32/2004, pembagian urusan-urusan kepemerintahan yang dapat dilakukan
serta kedudukan dari badan khusus yang mungkin saja dibentuk akibat
pembagian urusan-urusan kepemerintahan tersebut.
Laporan Akhir: 6
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Bab III: Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bab ini berisikan
esensi dari penyelenggaraan desentralisasi dan kebutuhan akan pengaturan
hubungan kewenangan dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut, serta
kemungkinan pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Daerah
yang dapat dilakukan.
Bab IV: Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Bab
ini berisikan dinamika hubungan antara Pusat dan Daerah selama ini serta
problematika yang dihadapinya, konstruksi hubungan di masa orde baru, serta
bagaimana mengkontruksi ulang hubungan tersebut guna mencapai titik
keseimbangan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Bab V: Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan
yang dilakukan terhadap hubungan antara Pemerintah dan Daerah serta saran
yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti kegiatan pemahaman dan
sosialisasi penyusunan RUU ini di masa datang.
Laporan Akhir: 7
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB II
HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA
ANTAR DAERAH
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah beberapa kali. Dalam beberapa kali
perubahan selain tetap mempertahankan beberapa pasal-pasal asli, terdapat
juga beberapa pasal-pasal yang diubah. Salah satu Pasal yang diubah adalah
Pasal 18.
Perubahan Pasal 18 ini tergolong rumit. Judul bab yang membawahi Pasal 18,
baik pada Pasal yang asli maupun Pasal-Pasal hasil amandemen tetap sama
yaitu dengan judul Pemerintah Daerah. Pasal 18 baru hasil amandemen terakhir
terdiri dari 7 (tujuh) ayat. Ayat (1) Pasal 18 hasil amandemen ini mendapat
inspirasi dari Penjelasan Pasal 18 asli dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 yang
merekomendasikan agar otonomi disusun secara bertingkat.
Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen yang lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B,
masing-masing dijabarkan dalam 2 (dua) ayat. Sekalipun Pasal-pasal tersebut,
khususnya pasal 18A (1) secara eksplisit hanya mengatur desentralisasi dan
tugas pembantuan, namun pengaturan oleh produk hukum yang lebih rendah
dan penyelenggaraan dekonsentrasi tidak dapat dicegah. Pengaturan dan
penyelenggaraan dekonsentrasi sebenarnya merupakan bagian dari pengaturan
dan penyelenggaraan sentralisasi. Oleh karena itu tidak perlu diatur dalam UUD.
Laporan Akhir: 8
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat
resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan
sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara
Provinsi dan Kabuapten/Kota. Hubungan demikian merupaka hubungan yang
dirumuskan dalam butir kedua dan keempat seperti yang tercantum dalam
sasaran kebijaka otonomi daerah dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 sebagai
berikut :
Laporan Akhir: 9
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pemerintah
Provinsi Provinsi
Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam
kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No. 32 Tahun
2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat
Laporan Akhir: 10
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat
diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut.
Laporan Akhir: 11
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
kewilayahan antar dinyatakan lebih spesifik
susunan Pemerintahan dalam hal administrasi dan
kewilayahan.
5 Pasal 10, 11, (Lih. dalam UU) Dasar material bagi
12, 13, dan 14 pembagian urusan yang
merupakan koridor bagi
hubungan wewenang.
Pada pasal 14 ayat (3)
dinyatakan bahwa
pengaturan lebih lanjut bagi
pasal 10, 11, 12, 13, dan
14 dengan Peraturan
Pemerintah
6 Pasal 15, 16, (Lih. dalam UU) Dasar aturan bagi
17, 18 hubungan keuangan,
pelayanan umum,
pemanfaatan sumberdaya
alam dan sumberdaya
lainnya. Masing-masing
pasal memuat pernyataan
bahwa aturan pelaksanaan
hubungan di tiap aspek
tersebut dengan peraturan
perundang-undangan.
Disamping materi yang secara langsung terkait dengan perihal hubungan antar
Pemerintah dan Daerah serta hubungan antar Daerah, UU No.32 tahun 2004
juga memuat berbagai pasal yang tidak secara langsung berkaitan. Berikut ini
adalah tabel yang memuat pasal-pasal yang dimaksud :
Laporan Akhir: 12
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Kabupaten/ Kota meliputi Menandakan adanya
adanya persetujuan hubungan hirarkis dan dari
DPRD Kabupaten/ Kota bawah.
dan Bupati/ WaliKota yang
bersangkutan, persetujuan (HUBUNGAN
DPRD Provinsi dan ADMINISTRATIF)
Gubernur serta
rekomendasi Menteri
dalam negeri
2 Pasal 6 ayat (2) Penghapusan dan Hubungan wewenang yang
penggabungan Daerah dilakukan dalam rangka
otonom dilakukan setelah asas desentralisasi bersifat
melalui proses evaluasi vertikal dari Pemerintah
terhadap
penyelenggaraan (HUBUNGAN
Pemerintahan Daerah ADMINISTRATIF)
3 Pasal 7 ayat (3) Perubahan sebagaimana Hubungan wewenang
dimaksud pada ayat (2) dalam rangka asas
dilakukan atas usul dan desentralisasi bersifat
persetujuan Daerah yang vertikal kepada Pemerintah
bersangkutan (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
4 Pasal 9 ayat (4) Untuk membentuk Hubungan wewenang
kawasan khusus dalam ayat ini tidak jelas
sebagaimana dimaksud dalam rangka asas apa?
pada ayat (2) dan ayat (3), Secara vertikal dari
Pemerintah Pemerintah.
mengikutsertakan Daerah (HUBUNGAN
yang bersangkutan ADMINISTRATIF)
5 Pasal 9 ayat (5) Daerah dapat Dalam rangka asas
mengusulkan desentralisasi secara
pembentukan kawasan vertikal dari bawah
khusus sebagaimana (Daerah) kepada
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah
kepeada Pemerintah (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
6 Pasal 27 ayat Selain mempunyai Hubungan wewenang
(2) kewajiban sebagaimana dalam rangka asas
dimaksud pada ayat (1), desentralisasi secara
kepala Daerah Vertikal kepada Pemerintah
mempunyai kewajiban dan internal kepada DPRD
juga untuk memberikan dan masyarakat.
laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (HUBUNGAN
kepada Pemerintah, dan ADMINISTRATIF)
memberikan laporan
Laporan Akhir: 13
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
keterangan
pertanggungjawaban
kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
kepada masyarakat.
7 Pasal 27 ayat Laporan penyelenggaraan Hubungan wewenang
(3) Pemerintahan Daerah Hirarkis, vertikal, dari atas
kepada Pemerintah dalam rangka
sebagaimana dimaksud desentralisasi dan
pada ayat (2) disampaikan dekonsentrasi kepada
kepada Presiden melalui Gubernur.
Menteri dalam negeri
untuk Gubernur, dan (HUBUNGAN
kepada Menteri Dalam ADMINISTRATIF)
Negeri melalui Gubernur
untuk Bupati WaliKota 1
(satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
8 Pasal 29 ayat Pemberhentian kepala Hubungan wewenang
(4) huruf a. Daerah dan wakil kepala dalam rangka asas
Daerah diusulkan kepada Desentralisasi vertikal
Presiden berdasarkan kepada Pemerintah
putusan Mahkamah
Agung atas pendapat
DPRD bahwa kepala (HUBUNGAN
Daerah dan/ atau wakil ADMINISTRATIF)
kepala Daerah tidak lagi
memenuhi syarat,
melanggar sumpah/ janji
jabatan, tidak
melaksanakan kewajiban
dan/ atau melanggar
larangan.
9 Pasal 29 ayat Presiden wajib Hubungan wewenang
(4) huruf e. memproses usul dalam rangka asas
pemberhentian kepala sentralisasi dan
Daerah dan/ atau wakil desentralisasi vertikal dari
kepala Daerah tersebut atas.
paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak DPRD (HUBUNGAN
menyampaikan usul ADMINISTRATIF)
tersebut.
10 Pasal 30 dan 31 (Lihat dalam UU) s.d.a perihal penghentian
langsung oleh Presiden
Laporan Akhir: 14
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
terhadap jabatan Kepala
Daerah dan wakilnya.
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
11 Pasal 37 ayat Dalam kedudukannya Dalam rangka
(2) sebagaimana dimaksud Dekonsentrasi, dan sifat
pada ayat (1), Gubernur hubungannya vertikal
bertanggungjawab kepada kepada Pemerintah
Presiden (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
12 Pasal 42 ayat 1 Mengusulkan Dalam rangka
huruf d. pengangkatan dan Desentralisasi dan
pemberhentian kepala dekonsentrasi kepada
Daerah/ wakil kepala Gubernur, hubungannya
Daerah kepada presiden bersifat vertikal ke atas.
melalui Menteri dalam
negeri bagi DPRD (HUBUNGAN
Provinsi dan kepada ADMINISTRATIF)
menteri dalam negeri
melalui Gubernur bagi
DPRD Kabupaten/ Kota
13 Pasal 53 ayat Tindakan penyidikan Dalam rangka
(1) terhadap anggota DPRD Desentralisasi, hubungan
dilaksanakan setelah bersifat vertikal ke atas.
adanya persetujuan
tertulis dari Menteri Dalam (HUBUNGAN
Negeri atas nama ADMINISTRATIF)
Presiden bagi anggota
DPRD Provinsi dan dari
Gubernur atas nama
menteri dalam negeri bagi
anggota DPRD
Kabupaten/ Kota
14 Pasal 66 ayat 2 Dalam penyelenggaraan Vertikal dalam kerangka
pemilihan gubernur dan asas desentralisasi
wakil gubernur KPUD
Kabupaten/ Kota adalah (HUBUNGAN
bagian pelaksana tahapan ADMINISTRATIF)
penyelenggaraan
pemilihan yang ditetapkan
oleh KPUD Provinsi
15 Pasal 111 ayat Gubernur dan wakil Sentralisasi, dekonsentrasi,
(1) gubernur dilantik oleh dan desnetralisasi. Sifat
Menteri dalam negeri atas hubungannya vertikal dari
nama Presiden atas
(HUBUNGAN
Laporan Akhir: 15
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
ADMINISTRATIF)
16 Pasal 111 ayat Bupati dan wakil bupati Dekonsentrasi dan
(2) atau waliKota dan wakil desentralisasi. Sifat
waliKota dilantik oleh hubungannya vertikal dari
gubernur atas nama atas.
presiden (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
17 Pasal 130 ayat Pengangkatan, Dekonsentrasi dan
(1) pemindahan dan desentralisasi vertikal dari
pemberhentian dari dan bawah ke atas.
dalam jabatan eselon II (HUBUNGAN
pada Pemerintah Daerah ADMINISTRATIF)
Provinsi ditetapkan oleh
gubernur
18 Pasal 130 ayat Pengangkatan, Dekonsentrasi dan
(2) pemindahan dan desentralisasi. Sifat
pemberhentian dari dan hubungannya vertikal dari
dalam jabatan eselon II bawah ke atas
pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota (HUBUNGAN
ditetapkan oleh Bupati/ ADMINISTRATIF)
waliKota setelah
berkonsultasi kepada
gubernur
19 Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai Sentralisasi, Dekonsentrasi
(1) negeri sipil antar dan desentralisasi. Sifat
Kabupaten/ Kota dalam hubungannya vertikal dari
satu Provinsi ditetapkan bawah ke atas
oleh Gubernur setelah
memperoleh (HUBUNGAN
pertimbangan Kepala ADMINISTRATIF)
badan Kepegawaian
Negara
20 Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai • Sentralisasi dan sifat
(2) negeri sipil antar hubunagnnya vertikal
Kabupaten/ Kota antar dan diagonal dari
Provinsi dan antar bawah
Provinsi ditetapkan oleh • Hubungan SDM
menteri dalam negeri (HUBUNGAN
setelah memperoleh ADMINISTRATIF)
pertimbangan Kepala
badan Kepegawaian
Negara
21 Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai • Sentralisasi
(3) negeri sipil Provinsi/ • Hubungan SDM
Kabupaten/ Kota ke (HUBUNGAN
Laporan Akhir: 16
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
departemen/ lembaga ADMINISTRATIF)
Pemerintah non
departemen atau
sebaliknya, ditetapkan
oleh menteri dalam
negerisetelah memperoleh
pertimbangan Kepala
badan Kepegawaian
Negara
22 Pasal 132 Penetapan formasi • Sentralisasi
pegawai negeri sipil • Hubungan SDM
Daerah Provinsi/ (HUBUNGAN
Kabupaten/ Kota setiap ADMINISTRATIF)
tahun anggaran
dilaksanakan oleh menteri
pendayagunaan aparatur
negara
23 Pasal 135 ayat Pembinaan dan • Sentralisasi dan
1 pengawasan manajemen dekonsentrasi
pegawai negeri sipil • Hubungan SDM
Daerah dikoordinasikan (HUBUNGAN
oleh menteri dalam negeri ADMINISTRATIF)
dan pada tingkat Daerah
oleh Gubernur
24 Pasal 160 ayat Daerah penghasil • Sentralisasi
(4) sumberdaya alam • Hubungan SDA
sebagaimana dimaksud (HUBUNGAN
pada ayat (3) ditetapkan ADMINISTRATIF)
oleh menteri dalam negeri
berdasarkan
pertimbangan dari menteri
teknis terkait
25 Pasal 160 ayat Dasar penghitungan • Sentralisasi
(5) bagian daerah dari • Hubungan Keuangan
Daerah penghasil dan SDA
sumberdaya alam (HUBUNGAN
ditetapkan oleh menteri ADMINISTRATIF)
teknis terkait setelah
memperoleh
pertimbangan menteri
dalam negeri
26 Pasal 165 ayat Besarnya alokasi dana • Sentralisasi
(2) darurat ditetapkan oleh • Hubungan keuangan
menteri keuangan dengan (HUBUNGAN
memperhatikan ADMINISTRATIF)
pertimbangan Menteri
Laporan Akhir: 17
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
dalam negeri dan menteri
teknis terkait
27 Pasal 170 ayat Pemerintah Daerah dapat • Desentralisasi dan
(1) melakukan pinjaman yang sentralisasi. Sifat
berasal dari penerusan hubungannya vertikal ke
pinjaman hutang luar atas
negeri dari menteri • Hubungan keuangan
keuangan atas nama (HUBUNGAN
Pemerintah setelah ADMINISTRATIF)
memperoleh
pertimbangan dari menteri
dalam negeri
28 Pasal 175 ayat Menteri dalam negeri • Sentralisasi
(1) melakukan pengendalian • Hubungan wewenang
defisit anggaran setiap dan keuangan
Daerah (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
29 Pasal 175 ayat Pemerintah Daerah wajib • Dalam rangka asas
(2) melaporkan posisi surplus/ Desentralisasi dan
defisit APBD kepada hubungan yang tercipta
menteri dalam negeri dan bersifat vertikal ke atas
menteri keuangan setiap • Hubungan wewenang
semester dalam tahun dan keuangan
anggaran berjalan (HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
30 Pasal 185 ayat Rancangan perda Provinsi Desentralisasi, dan
(1) tentang APBD yang telah sentralisasi. Sifat
disetujui bersama dan hubungannya vertikal ke
rancangan peraturan atas
Gubernur tentang Hubungan wewenang dan
penjabaran APBD keuangan
sebelum ditetapkan (HUBUNGAN
Gubernur paling lambat 3 ADMINISTRATIF)
(tiga) hari disampaikan
kepada Menteri dalam
negeri untuk dievaluasi
31 Pasal 186 ayat Rancangan perda • Desentralisasi,
(1) Kabupaten/ Kota tentang dekonsentrasi dan
APBD yang telah disetujui sentralisasi. Sifat
bersama dan rancangan hubungannya vertikal ke
peraturan Bupati/ waliKota atas
tentang penjabaran APBD • Hubungan wewenang
sebelum ditetapkan dan keuangan
Bupati/ WaliKota paling (HUBUNGAN
lambat 3 (tiga) hari ADMINISTRATIF)
disampaikan kepada
Laporan Akhir: 18
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
gubernur untuk dievaluasi
32 Pasal 195 ayat Dalam rangka • Desentralisasi, dan sifat
(1) meningkatkan hubungannya horizontal
kesejahteraan rakyat, • Hubungan pelayanan
Daerah dapat (HUBUNGAN
mengadakan kerjasama ADMINISTRATIF DAN
dengan Daerah lain yang KEWILAYAHAN)
didasarkan pada
pertimbangan efisiensi
dan efektifitas pelayanan
publik, sinergi dan saling
menguntungkan
33 Pasal 196 ayat Pelaksanaan urusan • Desentralisasi dan
(1) Pemerintahan yang hubungannya bersifat
mengakibatkan dampak horizontal
lintas Daerah dikelola • Hubungan pelayanan
bersama oleh Daerah (HUBUNGAN
terkait ADMINISTRATIF DAN
KEWILAYAHAN)
34 Pasal 198 ayat Apabila terjadi • Desentralisasi, dan
(1) perselisihan dalam dekonsentrasi. Sifat
penyelenggaraan funsgi hubungannya vertikal
Pemerintahan antar • Hubungan wewenang
Kabupaten/ Kota dalam (HUBUNGAN
satu Provinsi, gubernur ADMINISTRATIF DAN
menyelesaikan KEWILAYAHAN)
perselisihan dimaksud
35 Pasal 198 ayat Apabila terjadi • Sentralisasi dan
(2) perselisihan antar desentralisasi. Sifat
Provinsi, antara Provinsi hubungannya vertikal,
dan Kabupaten/ Kota di horizontal dan diagonal
wilayahnya, serta antara • Hubungan wewenang
Provinsi dan Kabupaten/ (HUBUNGAN
Kota di luar wilayahnya, ADMINISTRATIF DAN
menteri dalam negeri KEWILAYAHAN)
menyelesaikan
perselisihan yang
dimaskud
36 Pasal 222 ayat (Lih. dalam UU) • Adanya hirarki vertikal
(1), (2), (3) dan dalam sistem
(4) pembinaan dan
pengawasan bahkan
sampai camat.
• Hubungan wewenang
(HUBUNGAN
ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir: 19
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dari tabel tersebut tampak jelas sekali hubungan yang bersifat diagonal dan
horizontal masih sedikit diatur. Hubungan vertikal pun lebih banyak memuat
kewajiban-kewajiban yang diemban oleh Daerah, sedangkan hak-hak Daerah
dan apa yang harus dilakukan Pemerintah dan para menterinya memiliki porsi
yang lebih sedikit.
Laporan Akhir: 20
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAGAN PEMBAGIAN URUSAN-URUSAN KEPEMERINTAHAN
Dinamis dengan
landasan; Skala Ekonomi,
Esternalitas,
Catchment Area dan Urusan Sektoral
Lokalitas Pemerintah Nasional
Local Needs
Dapat Tidak Dapat
Didesentralisasikan Didesentralisasikan
Sentralisasi Sentralisasi
Desentralisasi Medebewind Dekonsentrasi Medebewind Dekonsentrasi
Murni Murni
Prakarsa
Diwajibkan
Sendiri
PROVINSI
Kabupaten/Kota
Laporan Akhir: 21
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dari bagan, wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah
wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal
urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter),
yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni
sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu
wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang
concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena
adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2)
dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan
apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan.
Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak
sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi
terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh
karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan
hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan
atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.
Laporan Akhir: 22
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan
Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan
yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah.
Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang
dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.
Laporan Akhir: 23
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Penutup
Laporan Akhir: 24
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB III
TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Pendahuluan
Beranjak dari pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia
lazim disebut sebagai negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized
1
unitary state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). Menurut Profesor
Bhenyamin Hoessein, Guru Besar FISIP-UI bidang Pemerintahan daerah,
menyatakan bahwa secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui
keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi,
melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh
Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada:2
1
Bhenyamin Hoessein (2004). Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah. Seminar
MENPAN-FISIP-UI.
2
Frank P. Sherwood, “Devolution as A Problem of Organization Strategy,” dalam
Robert T Daland, Comparative Urban Researc, Sage Publication, California: 1969, hal. 65
Laporan Akhir: 25
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti
pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk
mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek
kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas
jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan
wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait
dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai
batas yurisdiksi fungsi tersebut.
Dalam hal ini, Profesor Bhenyamin Hoessein sebagai tim Perumus UU No. 22
Tahun 1999 juga mengatakan bahwa sekalipun setiap perubahan UU
Pemerintah Daerah pada dasarnya merupakan reformasi pemerintahan
daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran
substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999.
Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar
Daerah
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah
dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-
sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik
menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen
Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)
tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai
jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa
Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk
memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,
pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang
bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1, 18,
18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khususnya ayat (1) pasal
18 A menyatakan:
”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.”
Laporan Akhir: 29
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah
produk hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan
hal itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita
menyusun sebuah UU.
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam
hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip
kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip
kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan
proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan
yang baik.
Laporan Akhir: 30
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,
horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik
dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam
antar ketiga area tersebut.
Penutup
Laporan Akhir: 31
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB IV
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Pendahuluan
Laporan Akhir: 32
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun
negara yang berstruktur unitaris (kesatuan).
Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi
pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak
mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya
sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak
bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke
kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya
(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Titik temu keseimbangan antara gerakan
sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan pusat dan daerah dapat dikaji
dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan kedudukan
pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap
daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian
(perimbangan) sumberdaya keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang
terjadi antar level pemerintahan. Dalam problem setiap negara bangsa, tugas
terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah
menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan
gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar
akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada
Laporan Akhir: 34
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan
menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan
partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari
satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk
federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi
sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari
pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.
Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada
kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan
Laporan Akhir: 36
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem
pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak
telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.
Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang
serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,
Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini
menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,
faktor ekonomi dan faktor demografi.
Laporan Akhir: 37
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia
secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).
Laporan Akhir: 39
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks
dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat
dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi
pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran
misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus
dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Proses
Musrenbang menjadi formalitas belaka, karena banyak usulan pembangunan
yang akhirnya hilang karena peran pemerintah yang sangat besar (Muluk,
2006:139). Bahkan dokumen anggaran yang seharusnya menjadi dokumen
publik hanya mungkin diakses dengan cara-cara ‘pintu belakang’. Pada sisi
lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja
pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang
terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan
mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat
tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon
dan ditindaklanjuti.
Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya
Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat
atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan
pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada
daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak
memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA
oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Proses AMDAL dalam
pemberian izin pemanfaatan SDA faktanya hanyalah bersifat formalitas dan
tidak dijadikan sebagai dasar yang objektive dalam pengambilan keputusan.
Pemberian izin pemanfaatan SDA seringkali lebih menguntungkan
pengusaha daripada masyarakat. Pemilihan langsung kepala daerah yang
diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya
tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif
Laporan Akhir: 40
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya
melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam
prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi
adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan
kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang
telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.
Seperti telah menjadi pemahaman umum, bahwa pusat dalam negara federal
adalah struktur bentukan negara-negara bagian. Kewenangan yang dimiliki
oleh pusat lazimnnya merupakan kewenangan yang diserahkan dalam
Laporan Akhir: 43
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
konstitusi federal (Prasojo, 2005:105). Dalam hal ini terdapat dua kelaziman
cara untuk memberikan kewenangan kepada struktur federal yang terbentuk.
Pertama, konstitusi mengatur secara detail kewenangan yang dimiliki oleh
pusat (federal). Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan mengatur
dan kewenangan mengurus. Kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi
sebagai kewenangan pusat, dengan sendirinya merupakan kewenangan
negara bagian. Prinsip inilah yang dikenal dengan kewenangan sisa untuk
negara bagian (residu of powers to state). Diantara negara-negara federal
yang menganut prinsip residu of powers to state adalah USA, Jerman, Swiss
dan Austria. Cara kedua dengan menetapkan di dalam konstitusi federal
kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian, sedangkan sisanya dimiliki
oleh pusat. Penetapan kewenangan sisa semacam ini disebut dengan residu
of powers to federal. Negara yang menganut cara kedua ini adalah Kanada
dan India.
Dalam teori dan praktek hubungan pusat dan daerah di kebanyakan negara
federal, kekuasaan dan kewenangan pusat tidak hanya berasal dari konstitusi,
melainkan juga dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi yang
diberikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekedar menyebut contoh
kewenangan pusat yang lahir dari interpretasi dan komentar terhadap
konstitusi adalah “implied powers” dan “necessary and proper clause” di
Amerika Serikat, dan “stillschweigende Kompetenzen kraft Natur der Sache”
dan “kraft Zusammenhang” di Jerman. Kekuasaan inilah yang menyebabkan
terjadinya kecenderungan sentralisasi di negara-negara federal (Prasojo,
2003:403).
Laporan Akhir: 44
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
pusat, tetapi penyelenggaraannya dilimpahkan kepada negara bagian, maka
pengawasan pusat tidak saja bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum
negara bagian terhadap konstitusi federal, tetapi juga menjamin kesesuaian
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan federal. Pengawasan pusat dapat
berujung kepada eksekusi federal, jika menurut pusat, negara bagian melukai
dan melanggar konstitusi federal. Namun demikian, untuk menjamin
eksistensi soverenitas dan karakter “state” pada negara bagian, maka
eksekusi pusat hanya dapat dilakukan jika tahapan berikut ini dilalui; Pertama,
negara bagian jelas-jelas melukai dan melanggar norma hukum konstitusi;
Kedua, pusat (federal) telah memberi peringatan dan ancaman terhadap
pelanggaran tersebut; dan Ketiga, negara bagian tetap tidak melakukan
koreksi terhadap pelanggaran norma hukum. Konstruksi hubungan struktur
pusat dan negara bagian dalam sebuah negara federal dengan demikian
mengizinkan eksekusi oleh pusat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
negara bagian, sekalipun dalam bentuk ekstrim melalui tindakan militer.
Pengaturan tindakan militer dalam eksekusi pusat terhadap negara bagian
semacam ini terdapat antara lain di dalam Konstitusi Federal Swiss Artikel
173, meskipun dalam prakteknya belum pernah diterapkan. Dengan ulasan ini
dapat dipertegas, bahwa prinsip homogenitas (kesesuaian norma hukum
yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi) dalam hubungan
antara pusat dan daerah dilakukan oleh pusat, dan bukan sebaliknya oleh
negara bagian (atau oleh pemerintah daerah). Sehingga persetujuan
terhadap sebuah produk perundang-undangan di tingkat pusat yang terkait
dengan daerah, di negara federal sekalipun –apalagi di negara kesatuan–
tidaklah melalui konsultasi dan persetujuan dengan Lembaga Perwakilan
Lokal (Parlemen Lokal), sebagaimana kesepakatan dalam MOU Helsinki butir
1.1.2..”Decisions with regard to Aceh by Legislature of the Republic of
Indonesia will be taken in consultation with and with consent of the legislature
of Aceh”. Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan dan
perundang-undangan di tingkat pusat dilakukan melalui lembaga Kamar
Kedua Parlemen.
Laporan Akhir: 45
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Berbeda dengan eksekusi federal, intervensi federal tidaklah bersifat sanksi,
karena intervensi federal tidak berkaitan dengan pelanggaran norma hukum.
Tetapi sebaliknya, intervensi federal merupakan instrumen federal yang
bertujuan menjamin kemampuan negara bagian untuk melaksanakan
kewenangannya. Intervensi federal adalah bagian dari pengawasan federal
yang bersifat bantuan. Intervensi federal hanya dapat dilaksanakan, jika
negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan yang
dimilikinya dan atau terjadinya kondisi yang menyebabkan negara bagian
tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Contoh
konkret intervensi federal adalah dalam kasus bencana alam yang melanda
satu negara bagian, dimana negara bagian tersebut tidak dapat mengatasi
bencana tersebut dan atau tidak dapat melaksanakan kewenangannya
karena gangguan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut.
Intervensi federal dapat dilakukan atas inisiatif federal dan dapat juga
dilakukan atas permintaan negara bagian. Konteks substansi hubungan pusat
dan negara bagian dalam hal intervensi adalah jaminan bantuan yang
diberikan oleh pusat kepada negara bagian terhadap pelaksanaan
kewenangan atau urusan yang dimiliki oleh negara bagian. Tidak saja dalam
keadaan darurat bencana, tetapi juga keadaan normal dimana negara bagian
tidak mampu melaksanakan kewenangan yang dimiliki.
Laporan Akhir: 46
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
bagian dan negara bagian yang bersangkutan juga sangat variatif. Para
senator di Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat negara bagian
dan tidak memiliki keterikatan politik secara formal dengan eksekutif dan
legislatif di negara bagian dalam keputusan politiknya di Senat. Di Jerman
sebaliknya, anggota Bundesrat terdiri dari kepala dan anggota-anggota
pemerintahan negara bagian (Länder) dan keputusan politik setiap anggota
adalah terikat dengan keputusan pemerintah negara bagian. Dalam kasus
federal Swiss, disamping melalui sistem dua kamar, negara bagian juga dapat
mempengaruhi keputusan politik dan undang-undang nasional lainnya melalui
institusi demokrasi langsung (Ständemehr dan referendum). Juga dalam hal
pemberian suara, terdapat variasi antara Senat di USA dan Bundesrat di
Jerman. Setiap senator memiliki satu suara dan dapat berbeda dengan
senator lainnya dari negara bagian yang sama. Sedangkan anggota
Bundesrat tidak memiliki hak suara individu karena setiap negara bagian
hanya dihitung satu suara dan harus diberikan secara sama. Terlepas dari
sistem pemilihan dan keterikatan politik anggotanya, sistem dua kamar
merupakan elemen sentral keterlibatan negara bagian dalam proses
pembuatan undang-undang nasional (Bothe, Berlin, 1977:84). Sistem
parlemen dua kamar telah diadopsi di Indonesia dengan kewenangan yang
bersifat konsultatif.
Laporan Akhir: 47
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Dalam negara berstruktur federal yang lain, beberapa pajak potensial seperti
pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan pajak penjualan dipungut
oleh negara pusat dan hasilnya dibagi secara bersama antara pusat, negara
bagian dan municipal. Konstitusi atau Undang-Undang menetapkan besarnya
bagi hasil pajak-pajak tersebut. Jika karena alasan-alasan tertentu parlemen
telah bersepakat, maka besarnya prosentase bagi hasil dapat direvisi. Di
Jerman misalnya, prosentasi bagi hasil Pajak Penghasilan adalah 42,5%
Pusat, 42,5% Negara Bagian dan 15% Kommune. Sedangkan pajak
pertambahan nilai dibagi 50,5% pusat dan 49,5% negara bagian. Disamping
pembagian secara terpisah dan bagi hasil, sistem federal Jerman juga
menganut perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian kaya
kepada negara bagian miskin.
Akan halnya konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa
yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan
tersebut.
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip
Laporan Akhir: 50
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar
tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.
Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada
kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif
oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999
disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada
daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak
perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material
ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut
oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,
ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan
sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,
2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat
dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas
sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang
pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).
Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang
berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah
Laporan Akhir: 51
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua
prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu
berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi
kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,
untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan
dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika
prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi
mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan
pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat
fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan
pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan
ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-
sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,
propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat
pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.
Penutup
Laporan Akhir: 54
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk
terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan
Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan
DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk
memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD
diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan
anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan
pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang
mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama
untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah
dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada
produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan
kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan
perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang
yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada
produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi
juga Undang-undang yang lainnya.
Laporan Akhir: 55
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
Laporan Akhir: 57
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Laporan Akhir: 58
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Esterbauer, Fried und Thöni, Erich. 1981. Föderalismus und Regionalismus in
Theorie und Praxis. Wien.
Fesler, James W,. Area and Administration. Univ. Alabama Press.
Alabama:1949
Frenkel, Max. 1984. Föderalismus und Bundesstaat, 1st Ed.. Bern.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in
the Twenty-First Century. London.
Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari
Efisiensi ke Demokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas
Indonesia. Depok.
Hoessein, Bhenyamin. 2001. “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan
sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan
Tantangan Globalisasi”. Usahawan 04/April, Jakarta.
Hoessein, Bhenyamin. 2001 “Pembagian Kewenangan antara Pusat dan
daerah, Paper seminar „Konstruksi Hukum dan Politik kemandirian dan
demokrasi Otonomi Daerah“, paper dipresentasikan di Malang.
Kuttenkeuler, Benedikt. 1998. Die Verankerung des Subsidiaritätsprinzips im
Grundgesetz. Ein Beitrag zur Bedeutung des Subsidiaritätsprinzips für die
Kompetenzabgrenzung im Bundesstaat. Frankfurt.
Laufer, Heinz dan Münch, Ursula.1988. Das Foedarative System der
Bundesrepublik Deutschland, Opladen.
Leach, Steve,. Davis, Howard and Associates,. Enabling or Disabling Local
Government. Open Univ. Press. Bristol:1996
Leach, Steve., Stewart, John., and Walsh, Kieron,. The Changing
Organization and Management of Local Government. London. Mac
Millan:1994
Leemans, A.F., Changing Patterns of Local Government , The Hague, IULA,
1970.
Mackie, J.A.C. (editor). 1980. “Integrating and Centrifugal Factors in
Indonesian Politic since 1945“. The Making of Nation. ANU. Canberra.
Maryanov, Gerald S,. Decentralization in Indonesia as a Political Problems.
Cornell University Press. Itahca, New York: 1958
Massam, Bryan. Location and Space in Social Administration. John Wiley &
Sons. New York: 1975
Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan
Daerah dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di
Kota Malang). Disertasi tidak diterbitkan. FISIP UI. Jakarta.
Newell, Charldean (ed). The Effective Local Government Manager. ICMA.
Washington. 1993
Norton, Alan,. International Handbook of Local and Regional Government.
Edward Elgar:1994, UK
Laporan Akhir: 59
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
Pitschas, Rainer. 2001. “Dezentralisierung und Good Governance -
Zivilgesellschaftliche
Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat” di dalam: Thomi,
Walter/Steinich, Markus/Polte, Winfried (editor), Dezentralisierung in
Entwicklungslandem. Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven
staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden, h..125-149.
Prasojo, Eko. 2003. Politische Dezentralisierung in Indonesien. Die
Föderalismusdebatte in Politik und Rechtsvergleich. Frankfurt.
Prasojo, Eko. 2005. “Problem dan Prospek NAD Pasca MOU Helsinki”.
Jurnal Intelijen dan Kontraintelijen. Vol. II No. 9 Desember-Januari. Centre
for Study of Intelligence and Counterintelligence BIN. Jakarta. Hal. 22-31.
Prasojo, Eko. 2005. “Pilkada, Demokratisasi dan Good Governance:
Rekonseptualisasi Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan”. Jurnal
Bisnis dan Birokrasi No. 2/Vol. XIII/Mei. Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI. Jakarta. Hal 101-109.
Prasojo, Eko. 2005. Federalisme dan Negara Federal. Sebuah Pengantar.
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Prasojo, Eko; Kurniawan, Teguh; Hasan, Azwar. 2004. Reformasi Birokrasi
dalam Praktek. Kasus di Kabupaten Jembrana. Departemen Ilmu
Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Rohdewohld, Rainer. 2003. “Decentralization and The Indonesian
Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?”, di dalam Aspinal, Edward
dan Fealy, Greg. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization
and Democratization. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore.
Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the
State. London.
Schneider, Hartmut and Libercier, Marie Helene. Concept, Issues and
Experiences for Building up Participatory in “Participatory
Development”. DCS. USA. 1995
Smith, BC., Decentralization: The Territorial Dimension of The State. George
Allen & Unwin Publiher. London: 1985.
White, Roland dan Smoke, Paul. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local
Government Work. The World Bank. Washington DC.
Wunsch, James S dan Olowu, Dele. 1995. “Centralization and Development
in Post-Independence Africa”. di dalam Wunsch dan Olowu. The Failure of
the Centralized State. Institutions and Self Governance in Africa. San
Francisco, California.
Yappika. 2006. “Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang
Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan
Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat”, hasil penelitian
tidak dipublikasikan. Jakarta.
Laporan Akhir: 60
”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
PKPADK FISIP UI
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
URAIAN PENJELASAN
NOMOR TAHUN
TENTANG PENJELASAN
HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN ATAS
PEMERINTAHAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH NOMOR ......TAHUN.....
TENTANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
1
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
sistem dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Menurut pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia
pelaksanaannya harus memperhatikan peraturan perundang- merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary
state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). Secara implisit perancang
undangan yang berlaku;
konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi
b. Bahwa keberagaman dan kekhususan yang dimiliki oleh daerah tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum.
Pemerintahan Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah. Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
2
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan
3
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Gubernur sebagai kepala
juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala
daerah.
tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan
4
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
amanat UUD. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD
bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain tetapi justru secara
khusus harus disusun sebuah UU akan hal itu. Sandaran legalitas dari
5
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat
Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur
Mengingat:
1. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
6
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN
KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAHAN DAERAH DAN ANTAR
PEMERINTAHAN DAERAH
BAB I BAB I
KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama Bagian Pertama
Pengertian Pengertian
Pasal 1 Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
7
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Indonesia.
8
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
pemerintahan.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 2
daerah.
9
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Bagian Ketiga
Azas-azas
Pasal 3
Bagian Keempat
Ruang Lingkup
Pasal 4
BAB II BAB II
TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN
PENYELENGGARAAN URUSAN PENYELENGGARAAN URUSAN
Pasal 5 Pasal 5
10
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(1) Pembagian, penyerahan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan (1) Eksternalitas dalam ketentuan ini adalah penyelenggaraan urusan
dari pemerintah kepada pemerintahan daerah didasarkan dengan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan
dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan
mempertimbangkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, efesiensi,
pemerintahan. Yang dimaksud akuntabilitas adalah
koneksitas dan subsidaritas pertanggungjawaban penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan. Yang dimaksud efisiensi adalah penyelenggara
suatu urusan pemerintahan ditentukan bedasarkan perbandingan
tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Yang
dimaksud koneksitas adalah keselarasan antara kewenangan yang
dimiliki dan unsur-unsur pembiayaan. Sedangkan yang dimaksud
dengan subsidiaritas adalah bahwa kewenangan yang paling dekat
dengan masyarakat diselenggarakan oleh level pemerintahan yang
paling dekat.
(2) Urusan Pemerintah Pusat bersifat mutlak yang meliputi politik (2) Cukup Jelas
luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan fiskal
Undang.
(3) Urusan Pemerintah Provinsi meliputi urusan perencanaan, (3) Urusan perencanaan, kordinasi, pembinaan dan pengawasan merupakan
urusan di luar urusan yang diatur ayat (2) yang didesentralisasikan
11
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
koordinasi, pembinaan dan pengawasan dalam lingkup propinsi serta oleh Pemerintah dan bersifat lintas kabupaten/ kota berdasarkan
urusan yang didekonsentrasikan kepada Gubernur. situasi dan kondisi masyarakat setempat. Urusan yang
didekonsentrasikan kepada Gubernur adalah urusan Pemerintah yang
penyelenggaraanya dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Yang dimaksud dengan pembinaan dan pengawasan adalah urusan
pemerintahan yang bertujuan menjamin terlaksananya urusan yang
diserahkan kepada daerah otonom.
(4) Urusan Pemerintah Kabupaten/ Kota menyangkut urusan pelayanan Cukup Jelas
dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Pasal 6 Pasal 6
Penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada Pemerintahan Cukup Jelas
Daerah dilakukan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7 Pasal 7
(1) Pemerintahan Daerah dapat mengembalikan urusan pemerintahan (1) Meskipun secara normatif sebuah urusan telah diserahkan kepada
yang telah menjadi wewenangnya kepada Pemerintah jika tidak pemerintahan daerah, tetapi dalam prakteknya urusan tersebut dapat
diserahkan kembali kepada pemerintah jika suatu pemerintahan
dapat melaksanakan urusan tersebut.
daerah tidak mampu melaksanakannya.
(2) Kriteria dan tata cara pengembalian urusan pada ayat (1) diatur (2) Cukup Jelas
oleh Peraturan Pemerintah
12
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(3) Pemerintah dapat menarik kembali urusan pemerintahan yang telah (3) Kepentingan nasional dalam hal ini adalah kepentingan yang
diserahkan kepada daerah jika: menyangkut keutuhan negara dan bangsa, memiliki keterkaitan dengan
standarisasi hukum pada tingkat nasional, dan kesatuan standarisasi
(a) terdapat kepentingan yang bersifat nasional; atau ekonomi nasional.
(4) Kriteria dan tata cara penarikan urusan pada ayat (3) diatur oleh (4) Cukup Jelas
Peraturan Pemerintah
Pasal 8 Pasal 8
Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7 meliputi Dalam Undang-Undang ini titik berat mengatur standar, norma, dan
kewenangan untuk mengatur dan kewenangan untuk mengurus atau kebijakan di tingkat nasional diletakkan pada level pemerintah pusat,
sedangkan kewenangan mengatur dan mengurus pada tingkat regional dan
melaksanakan.
lokal dilakukan oleh level pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 9 Pasal 9
Kewenangan mengatur sebagai dimaksud dalam pasal 8 terdiri atas: Cukup Jelas
Pemerintah;
13
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 10 Pasal 10
(1) Dalam kewenangan mengatur yang menjadi kewenangan mutlak (1) Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dalam
pemerintah, pemerintahan daerah hanya memiliki kewenangan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah jika suatu Undang-
Undang tertentu memberikan mandat secara eksplisit untuk
untuk mengatur jika dan selama kewenangan tersebut secara
mengaturnya. Jika tidak, maka Pemerintahan Daerah harus
eksplisit ditetapkan oleh suatu Undang-undang. melaksanakan norma hukum yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah.
(2) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat konkuren pemerintahan (2) Jika suatu urusan belum diatur oleh suatu peraturan perundang-
daerah memiliki kewenangan mengatur jika dan selama pemerintah undangan apapun, maka pemerintahan daerah memiliki kewenangan
mengatur dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan kepala
belum menggunakan kewenangan tersebut baik melalui Undang-
daerah.
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan
(3) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat kerangka Pemerintah (3) Cukup Jelas
menetapkan secara umum pengaturan urusan pemerintahan dan
(4) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat paralel Pemerintah dan (4) Kewenangan mengatur ini dapat dimiliki oleh pemerintahan daerah jika
Pemerintah Daerah berwenang mengatur urusan-urusan suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara eksplisit
menyerahkan kewenangan tersebut.
pemerintahan tertentu secara bersamaan.
14
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 11 Pasal 11
Kewenangan yang bersifat mengurus sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Cukup Jelas
terdiri atas:
desentralisasi;
dekonsentrasi;
tugas pembantuan;
dekonsentrasi.
Pasal 12 Pasal 12
(2) Setiap sektor wajib menyesuaikan ketentuan-ketentuan peraturan (2) Cukup Jelas
15
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 13 Pasal 13
(2) Dalam kewenangan mengurus berdasarkan azas desentralisasi (2) Cukup Jelas
pemerintahan daerah menetapkan sendiri tata cara, organisasi
yang berlaku.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap tujuan dan (3) Pengawasan terhadap tujuan adalah menyangkut apakah tujuan yang
kesesuaian hukum dalam pelaksanaan urusan pemerintahan diamanatkan dalam penyerahan urusan tersebut tercapai atau tidak
tercapai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator keberhasilan
daerah berdasarkan azas desentralisasi.
pelaksanaan urusan. Sedangkan kesesuaian hukum menyangkut apakah
peraturan daerah yang dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kesesuaian hukum (4) Cukup Jelas
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas
16
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(5) Dalam hal tidak tercapainya tujuan penyelenggaran satu urusan (5) Cukup Jelas
pemerintahan pemerintah dapat mengambil tindakan pembinaan
(6) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5) (6) Cukup Jelas
terhadap propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
(7) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5) (7) Cukup Jelas
terhadap kabupaten/kota dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
Pasal 14 Pasal 14
(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas (1) Cukup Jelas
pembantuan, pemerintahan daerah menetapkan perangkat
17
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(2) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan (2) Cukup Jelas
teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan
(3) Dalam pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas pembantuan (3) Cukup Jelas
perangkat pemerintah daerah melaksanakan petunjuk yang
(4) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas (4) Cukup Jelas
pembantuan meliputi kesesuaian hukum dan pencapaian tujuan
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh (5) Perangkat pemerintah yang bersangkutan adalah Departemen atau
perangkat pemerintah yang bersangkutan. Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
sama pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) pada level propinsi.
(7) Dalam hal urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas (7) Cukup Jelas
18
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 15 Pasal 15
(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas (1) Cukup Jelas
dekonsentrasi, Departemen/Lembaga Pemerintah Non
(2) Instansi vertikal di daerah yang melaksanakan urusan (2) Koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas
pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi wajib melakukan dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur. Dalam hal ini Gubernur
mengadakan rapat rutin dengan instansi vertikal, kepala daerah dan
koordinasi dengan perangkat pemerintahan daerah yang
perangkat pemerintahan daerah terkait.
bersangkutan.
(3) C k J l
19
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(5) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan (4) Cukup Jelas
teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan
dekonsentrasi.
(6) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas (5) Cukup Jelas
dekonsentrasi, instansi vertikal atau organ pemerintahan daerah
(4)
(7) Gubernur melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan urusan (6) Cukup Jelas
pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi.
(8) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas (7) Cukup Jelas
dekonsentrasi meliputi kesesuaian hukum dan tujuan
20
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
penyelenggaraan urusan.
(9) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh (8) Cukup Jelas
instansi pemerintah yang menyerahkan urusan pemerintahan
bersama-sama dengan Gubernur.
Pasal 16 Pasal 16
(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan oleh instansi pemerintah (1) Cukup Jelas
berdasarkan azas sentralisasi, pemerintahan daerah memberikan
(2) Bila diperlukan, instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada (2) Cukup Jelas
ayat (1) dapat melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan
pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 17 Pasal 17
(1) Dalam Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah setiap (1). Perangkat pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Pemerintah
21
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
perangkat pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota memiliki non Departemen yang meliputi Badan, Dewan, Komisi dan badan-
hubungan satu dengan lainnya. badan pemerintahan lainnya. Perangkat Pemerintah Propinsi dan
Kabupaten/Kota adalah perangkat organisasi daerah yang meliputi
Sekretariat Daerah, Dinas, Badan, kantor dan lembaga teknis
lainnya.
(2) Hubungan perangkat antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (2). Cukup jelas
dan antar Pemerintahan Daerah meliputi penyelenggaraan urusan
pembantuan.
(3) Perangkat Pemerintah dalam rangka pelaksanaan azas (3) Kewajiban melakukan koordinasi dimaksudkan untuk menghindari
dekonsentrasi wajib melakukan koordinasi dengan perangkat tumpang tindih dan mengoptimalisasi pelaksanaan dan hasil-hasil
urusan yang diselenggarakan secara dekonsentrasi.
pemerintah daerah.
(4) Dalam penyelenggaraan urusan menurut azas desentralisasi (4) Karena wilayah kerja perangkat Propinsi meliputi semua wilayah
perangkat pemerintah propinsi dan perangkat pemerintah kerja kabupaten/kota di Propinsi yang bersangkutan, maka setiap
penyelenggaraan urusan oleh perangkat propinsi harus dengan
kabupaten/kota wajib melakukan koordinasi.
koordinasi dan sepengetahuan perangkat pemerintah
Kabupaten/Kota.
(5) Dalam penyelenggaraan urusan tugas pembantuan perangkat (5) Cukup Jelas
pemerintah yang memberikan tugas tersebut wajib melakukan
(6) Dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas wilayah suatu (6) Cukup Jelas
22
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(7) Perangkat pemerintah propinsi melakukan koordinasi, pembinaan (7) Cukup Jelas
dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas
Pasal 18 Pasal 18
Perangkat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah Departemen dan Cukup Jelas
Lembaga Pemerintah Non Departemen; Dinas, Badan dan Kantor serta
Pasal 19 Pasal 19
(1) Setiap perangkat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam (1) Cukup Jelas
penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib melakukan kerjasama
(2) Kerjasama antara perangkat pemerintah pusat dan pemerintah (2) Cukup Jelas
23
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Dalam Negeri.
(3) Kerjasama antara perangkat pemerintah propinsi dengan perangkat (3) Cukup Jelas
pemerintah propinsi lainnya dapat dilakukan sendiri oleh propinsi
(4) Kerjasama antar perangkat pemerintah kabupaten/kota dalam satu (4) Cukup Jelas
propinsi dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing pemerintah
bersangkutan.
(5) Kerjasama antar perangkat kabupaten/kota di wilayah pemerintah (5) Cukup Jelas
propinsi yang berbeda dilakukan sendiri oleh pemerintah
Pasal 20 Pasal 20
24
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(1) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah dan (2) Perselisihan yang dimaksud menyangkut antara lain kejelasan
perangkat pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan terhadap satu kewenangan tertentu antar tingkat pemerintahan,
batas-batas wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan, konflik
pemerintahan daerah, maka Presiden melalui Menteri Dalam
pembiayaan dan penerimaan.
Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara adil dan selara
(2) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah (2) Upaya damai diutamakan dalam penyelesaian perselisihan antar
propinsi dan daerah kabupaten/kota, maka Presiden melalui tingkat pemerintahan. Adil dan selaras berarti sesuai dengan hak,
kewajiban dan kewenangannya masing-masing.
Menteri Dalam Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara
(3) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah (3) Cukup Jelas
kabupaten/kota dalam satu wilayah propinsi, maka Menteri Dalam
baik.
(4) Perselisihan yang terjadi antara perangkat pemerintah daerah (4) Cukup Jelas
25
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(5) Keputusan yang diambil dalam perselisihan sebagaimana dimaksud (5) Cukup Jelas
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) bersifat mengikat masing-
(6) Terhadap keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat (6) Cukup Jelas
dilakukan upaya gugatan di Peradilan.
(1) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan (1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan
(2) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana (2) Cukup Jelas
dimaksud pada ayat (1) jika pembentukan pemerintahan
26
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
BAB IV BAB IV
TATA HUBUNGAN JABATAN TATA HUBUNGAN JABATAN
Pasal 21 Pasal 21
(1) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan, setiap pejabat dalam (1) Cukup Jelas
semua tingkat pemerintahan wajib memperhatikan kewenangan,
(2) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat melakukan koordinasi dan (2) Cukup jelas
pembinaan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
(3) Gubernur melakukan koordinasi dengan pejabat instansi vertikal di (3) Cukup Jelas
daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah otonom (4) Cukup Jelas
berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi setiap Menteri,
27
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(5) Bupati/Walikota dapat melakukan hubungan kerja secara langsung (5) Cukup Jelas
dengan Gubernur di wilayah Propinsi yang berbeda melalui
(6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaporkan (6) Cukup Jelas
kepada Gubernur propinsi dimana bupati/walikota tersebut berada.
(7) Bupati/Walikota yang melakukan perjalanan dinas ke Luar Negeri (7) Cukup Jelas
harus memberitahukan dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur
(8) Kepala Dinas dan lembaga teknis daerah propinsi melakukan (8) Cukup Jelas
koordinasi dengan Kepala Dinas dan lembaga teknis
kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan.
BAB V BAB V
TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN
28
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 22 Pasal 22
(1) Kepegawaian negara dibagi menjadi Pegawai Pemerintah dan (1) Cukup Jelas
Pegawai Pemerintah Daerah.
(2) Pemerintah menetapkan standar dan norma perekrutan, (2) Cukup Jelas
penggajian, promosi dan mutasi dalam jabatan, perpindahan
(3) Tata hubungan kepegawaian antara Pemerintah dan Pemerintah (3) Cukup Jelas
Daerah diatur oleh peraturan perundang-undangan.
BAB VI BAB VI
TATA HUBUNGAN KEUANGAN TATA HUBUNGAN KEUANGAN
Pasal 23 Pasal 23
(1) Hubungan keuangan antar pemerintah dan pemerintahan daerah (1) Cukup Jelas
maupun antar pemerintahan daerah memperhatikan keserasian
29
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(2) Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (2) Cukup Jelas
dapat meliputi:
secara terpisah;
pemerintahan daerah.
(3) Hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah (3) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap
(4) Pemerintah harus menjamin bahwa pada tahapan subsidi dan (4) Cukup Jelas
bantuan dari pemerintah, kekuatan kekuangan pemerintahan
30
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 24 Pasal 24
31
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 25 Pasal 25
(1) Dalam keadaan tertentu dan untuk kepentingan umum, Pemerintah (1) Cukup Jelas
dapat melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas
Pemerintahan Daerah.
(2) Pemerintah dapat melakukan tindakan eksekusi terhadap (2) Cukup Jelas
pemerintahan daerah yang tidak mengindahkan peringatan dan
(3) Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa (3) Cukup Jelas
pengurangan Dana Alokasi Umum sampai pada tindakan represif
militer.
(4) Tindakan represif militer dapat dilakukan hanya dengan (4) Cukup jelas
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah.
BAB IX BAB IX
32
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 26 Pasal 26
(1) Di dalam wilayah sebuah daerah otonom terdapat pula wilayah (1) Cukup Jelas
kerja pemerintahan umum dan wilayah kerja administrasi lapangan.
(2) Daerah Khusus/tertentu dapat dibentuk oleh pemerintah di (2) Cukup Jelas
wilayah daerah otonom.
(3) Daerah Khusus/tertentu dapat pula dibentuk oleh pemerintahan (3) Cukup Jelas
propinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.
Pasal 27 Pasal 27
(1) Wilayah-wilayah kerja sebagaimana diatur dalam pasal 26 memiliki (1) Cukup Jelas
hubungan kerja yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya
(2) Hubungan kerja sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi (2) Cukup Jelas
hubungan wewenang, hubungan jabatan, hubungan organisasi dan
hubungan pelayanan.
(3) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih (3) Cukup Jelas
lanjut oleh Peraturan Pemerintah
33
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 28 Pasal 28
(1) Wilayah pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 (1) Cukup Jelas
adalah wilayah kerja Gubernur sebagai wakil pemerintah yang
(2) Wilayah administrasi lapangan adalah wilayah kerja instansi (2) Cukup Jelas
vertikal yang ada di daerah otonom yang luasnya sama dengan
(3) Wilayah pemerintahan khusus/tertentu adalah wilayah kerja suatu (3) Cukup Jelas
unit/entitas tertentu yang dibentuk oleh pemerintah untuk
luasnya bisa sama atau lebih kecil dari satu daerah otonom, atau
(4) Wilayah daerah otonom adalah wilayah kerja seorang kepala (4) Cukup Jelas
daerah yang luasnya sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
34
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(5) Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil pemerintah, Gubernur (5) Cukup Jelas
berwenang menyelaraskan dan mengkoordinasikan seluruh
Kabupaten/Kota.
(6) Jika terdapat perselisihan dalam penyelenggaraan pemerintahan (6) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Gubernur melakukan upaya-
(7) Gubernur memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri (7) Cukup Jelas
Dalam Negeri dalam hal upaya penyelesaian dan hasilnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
Pasal 29 Pasal 29
(1) Pemerintah menetapkan pembagian urusan dan fungsi antara (1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah khusus/tertentu yang dibentuk di wilayah
(2) Pembagian urusan dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Cukup Jelas
35
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian urusan dan fungsi (3) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 30 Pasal 30
(3) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan (1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan
(4) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana (2) Cukup Jelas
dimaksud pada ayat (1) jika pembentukan pemerintahan
36
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
BAB X BAB X
PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN
Pasal 32 Pasal 32
(1) Penyelesaian konflik dan perselisihan wewenang antara Pemerintah (1) Cukup Jelas
dan Pemerintahan Daerah dan antara Pemerintahan Daerah
(2) Penyelesaian konflik dan perselisihan diutamakan dengan melalui (2) Cukup Jelas
upaya musyawarah untuk mencapai kesepakatan, dan apabila tidak
BAB XI BAB XI
SANKSI SANKSI
37
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 33 Pasal 33
(1) Pemerintah berwenang memberikan sanksi kepada Pemerintahan (1) Cukup Jelas
Daerah yang tidak melaksanakan kewajibannya dan/atau tidak
Undangan lainnya.
(2) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih (2) Cukup Jelas
lanjut oleh Peraturan Pemerintah
Pasal 34 Pasal 34
(1) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan (1) Cukup Jelas
antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antara
(2) Peraturan perundang-undangan sektoral wajib menyesuaikan diri (1) Cukup Jelas
38
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 35 Pasal 35
Indonesia
Disahkan di Jakarta
Pada Tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAM
39