Anda di halaman 1dari 33

PERBEDAAN TINGKAT RELIGIUSITAS PADA SISWA SMA DARUL

ULUM DRIYOREJO BERDASARKAN JENIS KELAMIN DAN STATUS


SOSIAL EKONOMI ORANGTUA

A. Latar Belakang
Dengan munculnya SK pendirian dengan nomor 421.3/013.53/2008
maka SMA darul ulum resmi didirikan sebagai lembaga pendidikan, yang
terdiri dari 3 kelas X, XI dan XII berjurusan IPS. Visi misi sekolah SMA
darul ulum ialah bervisi terwujudnya peserta didik yang cerdas dalam
berfikir, mantap dalam beragama dan terampil dalam berkarya, sedangkan
misinya ialah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap tuhan yang
maha Esa, melaksanakan proses pembelajaran dan bimbingan yang efektif
dan kuantitatif, menumbuhkan kompetensi berprestasi kepada semua
warga sekolah dan meningkatkan sikap santun, berbudi pekerti yang luhur
dan berbudaya.Secara garis besar dengan adanya visi misi tersebut seluruh
siswa SMA darul ulum dituntut untuk mencerminkan keislamannya dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS, pasal 12, ayat (1)huruf a, mengamanatkan : “ Setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama. “ Bukan hanya di sekolah negeri, juga di sekolah swasta,
bahwa setiap siswa berhak mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan
ajarannya harus dipenuhi, maka pemerintah berkewajiban menyediakan/
mengangkat/ tenaga pengajar agama untuk semua siswa sesuai dengan
agamanya baik sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Religiusitas dan agama merupakan adalah satu kesatuan yang tidak
bias dipisahkan. religiusitas lebih menunjuk pada aspek kualitas dari
manusia yang beragama (Mangunwidjaya, dalam ritandiyono & Andisti
2008). Maka secara tidak langsung seluruh siswa baik berjenis kelamin
laki-laki maupun perempuan di tuntut untuk mengembangkan visi misi
yang telah dirancang oleh SMA darul ulum. Salah satu cara untuk
mewujudkan visi misi tersebut SMA darul ulum memberikan kegiatan
rutin yang mencerminkan tentang keagamaan seperti melakukan sholat
dhuha, sholat dhuhur dan setiap anak wajib hafalan juz 30 (juz amma)
yang dilakukan tiap hari disekolah. Kegiatan tersebut bertujuan untuk
meningkatkan religiusitas pada siswa laki-laki maupun perempuan.
Merujuk pada hal tersebut faktor lain yang mempengaruhi tingkat
religiusitas pada siswa dapat dilihat dari status sosial ekonomi orangtua
yang kemungkinan besar membentuk gaya hidup keluarga. Orangtua yang
sibuk bekerja seharusnya mampu meluangkan waktunya untuk mendidik
anak dalam meningkatkan religiusitas pada anak. Begitu pula dengan
tingkat pendapatan orangtua sangat erat hubungannya dengan perilaku
anak dilingkungan tempat tinggalnya maupun disekolah. Anak yang
memiliki orangtua yang berpendapatan rendah akan lebih nakal dibanding
anak yang memiliki orangtua berpendapatan tinggi.1 Dampaknya yang
terjadi siswa yang sudah terpengaruh lingkungkan tempat tinggalnya dapat
berpengaruh pada tingkat religiusitas pada diri siswa.selain itu siswa yang
tinggal bersama orangtua lebih mudah untuk menciptakan lingkungan
belajar terutama dalam menanamkan ilmu keagamaan sehingga siswa
dapat membiasakan diri dalam melakukan kegiatan keagamaan sehari-hari
baik dirumah maupun dilingkungan sekolah.
Namun kenyataanya fenomena yang terjadi di SMA darul ulum ini
siswa baik laki-laki maupun perempuan kurang inisiatif dalam mengikuti
kegiatan keagamaan disekolah, sehingga pihak guru mengobrak siswa-
siswinya untuk mengikuti kegiatan tersebut. Kurangnya inisiatif siswa
dalam mengikuti kegiatan keagamaan ini kemungkinan terjadi karena
rendahnya tingkat religiusitas yang tertanam pada diri siswa sehingga
menjadi suatu kebiasaan yang mengakibatkan siswa malas dalam

1
Benny Wicaksono, 2003:7
beribadah maupun melakukan kegiatan keagamaan. Berdasarkan dilihat
dari status sosial ekonomi orangtua kenyataannya kebanyakan dari
orangtua siswa cenderung bekerja, semakin sibuk orangtua dalam
mementingkan pekerjaannya kemungkinan besar pengawasan dan arahan
orangtua dalam menanamkan religiusitas pada anak semakin berkurang.
Selain itu kurangnya inisiatif siswa dalam mengikuti kegiatan keagamaan
disekolah juga dipengaruhi karena faktor lingkungan siswa hal ini terjadi
karena tingkat pendapatan orangtua yang rendah dan kurangnya
pengawasan orangtua siswa.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk membahas lebih
mendalam dalam penelitian skripsi dengan judul “Perbedaan Tingkat
Religiusitas Siswa SMA Darul Ulum Driyorejo berdasarkan Jenis
Kelamin dan Status Sosial Ekonomi Orangtua”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah


Pada penelitian ini, peneliti menggunakan identifikasi dan batasan
masalah sebagai berikut:
1. Penelitian dilakukan di SMA Darul Ulum Driyorejo kelas X, XI dan
XII.
2. Penelitian ini dibatasi pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
3. Penelitian ini dibatasi pada Status Sosial ekonomi orang tua yang
meliputi jenis pekerjaan orangtuadan tingkat pendapatan orangtua

C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, yang menjadi fokus permasalahan adalah :
1. Bagaimana Tingkat Religiusitas pada Siswa SMA Darul Ulum
Driyorejo berdasarkan Jenis Kelamin ?
2. Bagaimana Tingkat Religiusitas pada Siswa SMA Darul Ulum
3. Driyorejo berdasarkan Status Sosial ekonomi orang tua ?
4. Apakah ada Perbedaan Tingkat Religiusitas pada Siswa SMA Darul
Ulum Driyorejo berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Sosial ekonomi
orang tua?

D. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui ada tidaknyaPerbedaan Tingkat Religiusitas pada
Siswa SMA Darul Ulum Driyorejo berdasarkan Jenis Kelamin
2. Untuk mengetahui ada tidaknyaPerbedaan Tingkat Religiusitas pada
Siswa SMA Darul Ulum Driyorejo berdasarkan Status Sosial ekonomi
orang tua.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran
terhadap dunia pendidikan terutama pendidikan agama islam,
khususnya tentang pentingnya Tingkat Religiusitas pada Siswa
berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Sosial ekonomi orangtua.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti, diharapkan dengan adanya penelitian ini, peneliti
mendapatkan pengetahuan mengenai pentingnya tingkat
religiusitas berdasarkan jenis kelamin dan status sosial ekonomi
orangtua.
b. Bagi subjek penelitian, diharapkan dengan adanya penelitian ini
subjek dapat memotivasi dirinya untuk meningkatkan religiusitas
pada diri sendiri tanpa membedakan status sosial ekonomi
orangtua.
c. Bagi orangtua, dengan adanya penelitian ini diharapkan orangtua
dapat mengetahui bahwa pentingnya menumbuhkan didikan pada
anak terutama untuk meningkatkan religiusitas pada anak tanpa
memandang status sosial ekonomi orangtua.
d. Bagi Universitas, dengan adanya penelitian ini dapat sebagai
referensi untuk penelitian selanjutnya.

F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban yang sifatnya sementara terhadap
permasalahanyang diajukan dalam penelitian. Hipotesis berisi dugaan, atau
perkiraan hubunganantara dua variabel atau lebih dari dua variabel yang
dirumuskan dalam pernyataan. Adapun hipotesis dalam penelitian ini
adalah: “Perbedaan Tingkat Religiusitas pada Siswa SMA Darul Ulum
Driyorejo berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Sosial ekonomi orang
tua”.
G. Kerangka Teoritik
1. Tingkat Religiusitas
a. Pengertian Religiusitas
Religiusitas menurut Glock dan Strak2 adalah tingkat konsepsi
seseorang terhadap agama dan tingkat komitmen seseorang terhadap
agamanya. Tingkat konseptualisasi adalah tingkat pengetahuan
seseorang terhadap agamanya, sedangkan yang dimaksud dengan
tingkat komitmen adalah sesuatu hal yang perlu dipahami secara
menyeluruh, sehingga terdapat berbagai cara bagi individu untuk
menjadi religius. Glock dan Stark (1966) mengemukakan bahwa
agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan
sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat
pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling
maknawi (ultimate meaning)3 Thouless (2000: 19). Memberikan
definisi agama hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang
dipercayai sebagai makhluk atau wujud yang lebih tinggi daripada

2
Dalam Sari, Yunita dkk 2012: 312
3
Ancok dan Suroso, 2005: 76
manusia . James mendefinisikan agama dengan perasaan dan
pengalaman manusia secara individual yang menganggap bahwa
mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan.
Tuhan menurutnya, adalah kebenaran pertama yang menyebabkan
manusia terdorong untuk mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan
sungguh-sungguh tanpa menggerutu atau menolaknya.4
Dalam Islam, religiusitas pada garis besarnya tercermin dalam
pengamalan akidah, syariah, dan akhlak, atau dengan ungkapan lain:
iman, Islam, dan ihsan. Bila semua unsur itu telah dimiliki oleh
seseorang, maka dia itulah insan beragama yang sesungguhnya.5
Anggasari membedakan antara istilah religi atau agama dengan
istilah religiusitas. Agama atau religi menunjuk pada aspek formal
yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban,
sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek yang dihayati oleh
individu. Hal ini selaras dengan pendapat Dister yang mengartikan
religiusitas sebagai keberagaman, yang berarti adanya unsur
internalisasi agama itu dalam diri individu. Lindridge.6 Menyatakan
bahwa religiusitas dapat diukur dengan kehadiran lembaga
keagamaan dan pentingnya agama dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas
adalah kedalaman seseorang dalam meyakini suatu agama disertai
dengan tingkat pengetahuan terhadap agamanya yang diwujudkan
dalam pengamalan nilai-nilai agama yakni dengan mematuhi aturan-
aturan dan menjalankan kewajiban-kewajiban dengan keihklasan
hati dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan ibadah.
b. Dimensi-dimensi Religiusitas
Konsep religiusitas yang dirumuskan oleh Glock dan Stark ada
lima macam dimensi keagamaan, seperti yang dikutip oleh
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori (1994: 77) :
4
Sururin, 2004: 23
5
Dalam Effendi, 2008: 12
6
Firmansyah, 2010:13
1) Dimensi keyakinan (the ideological dimension)
Dimensi keyakinan, dimensi ini berisi pengharapan-
pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada
pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-
doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan kepercayaan
dimana para penganut diharapkan akan taat.Dalam konteks ajaran
Islam, dimensi ini menyangkut keyakinan terhadap rukun iman,
kepercayaan seseorang terhadap kebenaran- kebenaran agama-
agamanya dan keyakinan masalah-masalah ghaib yang diajarkan
agama.
2) Dimensi praktek agama (the ritualistic dimension)
Dimensi ritual; yaitu aspek yang mengukur sejauh mana
seseorang melaukan kewajiban ritualnya dalam agama yang
dianut. Misalnya pergi ke tempat ibadah, berdoa, pribadi,
berpuasa, dan lain- lain.Dimensi ritual ini merupakan perilaku
keberagmaan yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara
keagamaan. Pengertian lain mengemukakan bahwa ritual
merupakan sentiment secara tetap dan merupakan pengulangan
sikap yang benar dan pasti. Perilaku seperti ini dalam Islam
dikenal dengan istilah mahdaah yaitu meliputi salat, puasa, haji,
zakat, dan kegiatan lain yang bersifat ritual.
3) Dimensi ihsan dan penghayatan (the experiental dimension)
Sesudah memiliki keyakinan yang tinggi dan melaksanakan
ajaran agama (baik ibadah maupun amal) dalam tingkatan yang
optimal maka dicapailah situasi ihsan. Dimensi ihsan berkaitan
dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat dan dilihat oleh
Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi ini mencakup
pengalaman dan perasaan dekat dengan Allah, perasaan nikmat
dalam menjalankan ibadah,dan perasaan syukur atas nikmat yang
dikaruniakan oleh Allah dalam kehidupan mereka.
4) Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension)
Dimensi ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman
seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Dimensi ini mengacu
kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak
memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar
keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dan Al-qur'an
merupakan pedoman hidup sekaligus sumber ilmu pengetahuan.
Haltersebut dapat difahami bahwa sumber ajaran Islam sangat
penting agar religiuitas seseorang tidak sekedar atribut dan hanya
sampai dataran simbolisme ekstoterik. Maka, aspek dalam
dimensi ini meliputi empat bidang yaitu, akidah, ibadah, akhlak,
serta pengetahuan Al-qur'an dan hadist. Dimensi pengetahuan dan
keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan
mengenai sesuatu keyakinan adalah syarat bagi penerimaannya.
5) Dimensi pengamalan dan konsekuensi (the consequential
dimension)
Konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat
dimensi yang sudah dibicarakan diatas. Dimensi ini mengacu
pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk
merealisasikan ajaran-ajaran dan lebih mengarah pada hubungan
manusia tersebut dengan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari
yang berlandaskan pada etika dan spiritualitas agama yang
dianutnya. Pada hakekatnya, dimensi konsekuensi ini lebih dekat
dengan aspek sosial. Yang meliputi ramah dan baik terhadap
orang lain, menolong sesama, dan menjaga
lingkungan.7Jalaluddin8menyebutkan bahwa religiusitas
merupakan konsistensi antara kepercayaan terhadap agama

7
Ancok dan Suroso ......77
8
Ibid 14-16
sebagai unsur konatif, perasaan terhadap agama sebagai unsur
afektif dan perilaku agama sebagai unsur kognitif. Jadi aspek
keberagamannya merupakan integrasi dari pengetahuan, perasaan
dan perilaku keagamaan dalam diri manusia.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dimensi
religiusitas meliputi keyakinan, praktek agama, penghayatan,
pengetahuan agama, serta pengalaman dan konsekuensi. Kelima
dimensi ini merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sama
lain dalam memahami religiusitas. Kelima dimensi tersebut juga
cukup relevan dan mewakili keterlibatan keagamaan pada setiap
orang dan bisa diterapkan dalam sistem agama Islam untuk diuji
cobakan dalam rangka menyoroti lebih jauh kondisi keagamaan
siswa muslim. Sehingga untuk dalam hal ini mengetahui,
mengamati dan menganalisa tentang kondisi religiusitas siswa
yang akan diteliti, maka akan diambil lima dimensi keberagamaan
Glock dan Stark sebagai skala untuk mengukur religiusitas siswa.9

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas


Thouless (2000: 34) membedakan faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu :
1) Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial
(faktor sosial)
Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan
keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi
sosial, tekanan dari lingkungan social untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakatioleh
lingkungan itu.
2) Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan Terutama
pengalaman-pengalaman mengenai:

9
Ibid
a) Keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia lain (faktor
alami).
b) Konflik moral (faktor moral).
c) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif).
d) Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian Timbul dari
kebutuhan kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama
kebutuhan-kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga
diri dan ancaman kematian.

3) Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual)


Menurut Thouless (2000: 34).berkaitan dengan berbagai
proses penalaran verbal atau rasionalisasi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
religiusitas menurut Jalaluddin dipengaruhi beberapa faktor
diantaranya pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai
tekanan sosial (faktor sosial), berbagai pengalaman yang
membantu sikap keagamaan, dan berbagai proses pemikiran
verbal.

d. Religiusitas dalam Perspektif Islam


Dalam surat Al-Baqarah ayat 208 dijelaskan bahwa umat islam
diminta untuk beragama secara penuh atau tidak setengah-setengah.
Didalam aktivitasnya sehari-hari, umat Islam diharapkan untuk
selalu ber- islam atau apapun yang dilakukannya dalam rangka
beribadah kepada Allah (Ancok & Suroso, 2005: 78). Allah SWT
memerintahkan kita untuk beriman secara penuh dan menjauhi
musuh besar umat Islam yakni syaitan. Sebagaimana yang
difirmankan dalam Al-quran surat Al Baqarah ayat 208:

ٌ ِ‫ت ٱل َّش ْي ٰطَ ِن ۚ إِنَّهۥُ لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُّمب‬


‫ين‬ ۟ ‫وا فِى ٱلس ِّْل ِم َكٓافَّةً َواَل تَتَّبع‬
ِ ‫ُوا ُخطُ ٰ َو‬ ِ
۟ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
۟ ُ‫وا ٱ ْد ُخل‬
َ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu”.(Q.S. Al Baqarah: 208.
Depag, RI 2008).

Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang sejarah


perjalanan umat manusia adalah fenomena keberagamaan
(religiousity). Sepanjang itu pula bermunculan beberapa konsep
religiusitas. Namun demikian, para ahli sepakat bahwa agama
berpengaruh kuat terhadap tabiat personal dan sosial.
Keberagamaan itu sendiri mengandung arti suatu naluri atau
insting untuk meyakini dan mengadakan suatu penyembahan
terhadap suatu kekuatan yang ada di luar dirinya. Naluri
keberagamaan ini sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan
yang berupa benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan
pada setiap manusia. (Jalaluddin, 2005: 67)
Agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Manusia religius adalah manusia yang struktur mental secara
keseluruhan dan secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak,
memuaskan, dan tertinggi yaitu Tuhan. Manusia membutuhkan
agama untuk memenuhi kebutuhan rohani serta mendapat
ketentraman dikala mereka mendekatkan diri dan mengabdi kepada
yang Maha Kuasa (Jalaluddin, 2005: 101).
Hal ini dijelaskan dalam QS. Ar-rum: 30 dan QS. Ar-Rad: 28. Al-
Qur‟an Surat Ar-rum ayat 30

ۚ ِ ‫ط َرتَاللَّ ِهالَّتِيفَطَ َرالنَّا َس َعلَ ْيهَا ۚ اَل تَ ْب ِديلَلِخ َْلقِاهَّلل‬ ْ ِ‫أَقِ ْم َوجْ هَ َكلِلدِّينِ َحنِيفًا ۚ ف‬
064‫الن‬ ّ ‫ ٰ َذلِ َكالدِّينُ ْالقَيِّ ُم َو ٰلَ ِكنَّأ َ ْكثَ َر‬E َ‫ا ِساَل يَ ْعلَ ُمون‬
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah
atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Al
rum: 30, Depag, RI 2008)

Al-Qur‟an Surat Ar-Rad ayat 28

ْ ‫َط َمئِنُّقُلُوبُهُ ْمبِ ِذ ْك ِرهَّللا ِ ۗ أَاَل بِ ِذ ْك ِراللَّ ِهت‬


ُ‫َط َمئِنُّ ْالقُلُوب‬ ْ ‫الَّ ِذينَآ َمنُوا َوت‬

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram


dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.”
(Q.S. Ar-Rad: 28, Depag, RI 2008)

Sebagaimana kita ketahui bahwa keberagamaan dalam Islam bukan hanya


diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tetapi juga dalam aktivitas-
aktivitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh, Islam mendorong
pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh baik dalam berpikir,
bersikap maupun bertindak, harus didasarkan pada prinsip penyerahan diri
dan pengabdian secara total kepada Allah, kapa dimana dan dalam
keadaan bagaimanapun. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-
Bayyinah:

۟ ُ‫صلَ ٰوةَ َوي ُْؤت‬


‫واال َّز َك ٰوةَ ۚ َو ٰذلِ َك ِد ْينُ ْالقَيِّ َم ِةالبينة‬ ۟ ‫ص ْينَلَهُال ِّد ْينَ ُحنَفَآ َء َويُقِ ْي ُم‬
َّ ‫واال‬ ۟ ‫َومآأُ ِمر ُٓو ۟اإاَّل لِيَ ْعبُد‬
ِ ِ‫ُوااللهَ ُم ْخل‬ ِ َ

Artinya: “Padahal merekatidak disuruh kecuali supaya


menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S.
Al-Bayyinah: 5, Depag, RI 2008)

Pembagian dimensi keberagamaan atau religiusitas dalam Islam


dibagi menjadi 3, yaitu akidah islam, syariah, dan akhlak. Akidah merujuk
pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran
agamanya. Di dalam islam, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan
tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan
neraka, serta qadha dan qadar. Sementara itu syariah merujuk pada
seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan
ritual sebagaimana yang disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam
hal ini menyangkut dimensi peribadatan yaitu pelaksanaan shalat, puasa,
zakat, haji, membaca Al-Qur‟an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di
masjid di bulan puasa, dan sebagainya. Untuk yang terakir yaitu akhlak
yang merujuk pada seberapa tingkatan Muslim berprilaku dimotivasi oleh
ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan
dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam dimensi ini meliputi
perilaku suka menolong, bekerjasama, bederma, menyejahterahkan
danmenumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan
kebenaran, berlaku jujur, dan sebagainya (Ancok & Suroso, 2005: 80).

A. Konsep Gender
1. Pengertian Gender
Kata gender dalam istilah Indonesia sebenarnya diambil daribahasa
Inggris yaitu “gender” yang mana artinya tidak dapat dibedakan secara
jelas mengenai seks dan gender. Banyak masyarakat yang mengidentikan
gender dengan seks. Untuk memahami konsep gender, harus dapat
dibedakan terlebih dahulu mengenai arti kata seks dan gender itu sendiri.
Pengertian dari kata seks sendiri adalah suatu pembagian jenis kelamin ke
dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan, di mana setiap jenis
kelamin tersebut memiliki ciri-ciri fisik yang melekat pada setiap individu,
di mana masing-masing ciri tersebut tidak dapat digantikan atau
dipertukarkan satu sama lain. Ketentuan- ketentuan tersebut sudah
merupakan kodrat atau ketentuan dari Tuhan.
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller, dan orang
yang sangat berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender
adalah Ann Oakley. Menurutnya, gender merupakan behavioral
differences (perbedaan perilaku) antara perilaku laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi secara sosial yaitu perbedaan yang bukan dari ketentuan
Tuhan (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.
Pada umumnya jenis kelamin laki-laki selalu dikaitkan dengan gender
maskulin, sedangkan jenis kelamin perempuan selalu berkaitan dengan
gender feminin. Akan tetapi hubungan – hubungan tersebut bukanlah suatu
hubungan kolerasi yang bersifat absolut. Hal ini dikemukakan oleh Rogers
(1980). Gender tidak bersifat universal, namun bervariasi dari suatu
masyarakat kemasyarakat yang lainnya, serta dari suatu waktu ke waktu.
Gender tidak identik dengan jenis kelamin serta gender merupakan dasar
dari pembagian kerja di seluruh masyarakat. Dari beberapa istilah yang
telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gender
adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan
dari lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah sesuai dengan tempat,
waktu atau zaman, suku, ras, budaya, status sosial, pemahaman agama,
negara, ideologi, politik, hukum, serta ekonomi. Oleh karena itu, gender
bukanlah kodrat dari Tuhan, melainkan buatan dari manusia yang dapat
diubah maupun dipertukarkan serta memiliki sifat relatif. Hal ini terdapat
pada lakilaki dan perempuan. Sedangkan jenis kelamin atau seks
merupakan kodrat dari Tuhan yang berlaku di mana saja dan kapan saja
yang tidak dapat berubah dan dipertukarkan antara jenis kelamin laki-laki
dan wanita.

B. Status Sosial Ekonomi


1. Pengertian Status Sosial Ekonomi
Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, oikonomia. Kata
oikonomia berasal dari dua kata yaitu oikos dan nomos. Oikos berarti
rumah tangga, sedangkan nomos berarti mengatur. Jadi oikonomia berarti
mengatur rumah tangga. Ekonomi berkembangan menjadi suatu ilmu,
sehingga ekonomi berarti pengetahuan yang tersusun menurut cara yang
runtut dalam rangka mengatur rumah tangga. Rumah tangga diartikan
secara lebih luas, rumah tangga disini berkaitan dengan kelompok sosial
yang dianggap sebagai rumah tangga sebagai kesatuan kelompok manusia
yang hidup menurut norma dan tata aturan tertentu (M.T Ritonga,
2000:36).
Menurut George Soul, ekonomi adalah pengetahuan sosial yang
mempelajari tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat
khususnya dengan usaha memenuhi kebutuhan dalam rangka mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan (Richard G Lipsey dan Pete O Steiner,
1991:9).Tidak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri status sosial
ekonomi seseorang berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat,
pekerjaan, bahkan pendidikan. Menurut Polak (Abdulsyani, 2007:91)
status (kedudukan) memiliki dua aspek yaitu aspek yang pertama yaitu
aspek struktural, aspek struktural ini bersifat hierarkis yang artinya aspek
ini secara relatif mengandung perbandingan tinggi atau rendahnya
terhadap status-status lain, sedangkan aspek status yang kedua yaitu aspek
fungsional atau peranan sosial yang berkaitan dengan status-status yang
dimiliki seseorang. Kedudukan atau status berarti posisi atau tempat
seseorang dalam sebuah kelompok sosial. Makin tinggi kedudukan
seseorang maka makin mudah pula dalam memperoleh fasilitas yang
diperlukan dan diinginkan.
Kata status dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti keadaan atau
kedudukan (orang atau badan) dalam hubungan dengan masyarakat di
sekelilingnya (kamus besar bahasa Indonesia, 1988). Menurut Soerjono
Soekanto (Abdulsyani, 2007:92), status sosial merupakan tempat
seseorang secara umum dalam masyarakatnya yang berhubungan dengan
orang-orang lain, hubungan dengan orang lain dalam lingkungan
pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibannya. Status sosial
ekonomi menurut Mayer (Soekanto, 2007:207) berarti kedudukan suatu
individu dan keluarga berdasarkan unsur-unsur ekonomi.
Menurut Nasution, kedudukan atau status menentukan posisi seseorang
dalam struktur sosial, yakni menentukan hubungan dengan orang lain.
Status atau kedudukan individu, apakah ia berasal dari golongan atas atau
ia berasal dari golongan bawah dari status orang lain, hal ini
mempengaruhi peranannya. Peranan adalah konsekuensi atau akibat
kedudukan atau status sosial ekonomi seseorang. Tetapi cara seseorang
membawakan peranannya tergantung pada kepribadian dari setiap
individu, karena individu satu dengan yang lain berbeda (Nasution,
1994:73).Sedangkan FS. Chapin (Kaare, 1989:26) mengungkapkan status
sosial ekonomi merupakan posisi yang ditempati individu atau keluarga
yang berkenaan dengan ukuran rata-rata yang umum berlaku tentang
kepemilikan kultural, pendapatan efektif, pemilikan barang dan partisipasi
dalam aktifitas kelompok dari komunitasnya. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa status sosial ekonomi adalah tinggi rendahnya prestise yang
dimiliki seseorang berdasarkan kedudukan yang dipegangnya dalam suatu
masyarakat berdasarkan pada pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya
atau keadaan yang menggambarkan posisi atau kedudukan suatu keluarga
masyarakat berdasarkan kepemilikan materi.
Selain ditentukan oleh kepemilikan materi, status sosial ekonomi
seseorang dapat didasarkan pada beberapa unsur kepentingan manusia
dalam kehidupannya, status dalam kehidupan masyarakat, yaitu status
pekerjaan, status dalam sistem kekerabatan, status jabatan dan status
agama yang dianut. Dengan memiliki status, seseorang dapat berinteraksi
dengan baik terhadap individu lain (baik status yang sama maupun status
yang berbeda), bahkan banyak pergaulan sehari-hari seseorang tidak
mengenal seseorang secara individu, namun hanya mengenal status
individu tersebut. Status sosial ekonomi orang tua berkaitan dengan
kedudukan dan prestise seseorang atau keluarga dalam masyarakat serta
usaha untuk menciptakan barang dan jasa, demi terpenuhinya kebutuhan
baik jasmani maupun rohani.
tersebut.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Sosial Ekonomi


Soekanto memiliki ukuran atau kriteria dalam menggolongkan anggota
masyarakat dalam suatu lapisan sosial, kriteria tersebut diantaranya ukuran
kekayaan, ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan dan ukuran ilmu
pengetehuan. Namun status sosial ekonomi masyarakat juga dapat dilihat
dari beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu:
a) Pekerjaan
Manusia adalah makhluk yang berkembang dan makhluk yang aktif.
Manusia disebut sebagai makhluk yang suka bekerja, manusia bekerja
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya yang terdiri dari pakaian,sandang,
papan, serta memenuhi kebutuhan sekunder seperti pendidikan tinggi,
kendaraan, alat hiburan dan sebagainya (Mulyanto, 1985:2). Pekerjaan
akan menentukan status sosial ekonomi karena dari bekerja segala
kebutuhan akan dapat terpenuhi. Pekerjaan tidak hanya mempunyai nilai
ekonomi namun usaha manusia untuk mendapatkan kepuasan dan
mendapatkan imbalan atau upah, berupa barang dan jasa akan terpenuhi
kebutuhan hidupnya. Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi
kemampuan ekonominya, untuk itu bekerja merupakan suatu keharusan
bagi setiap individu sebab dalam bekerja mengandung dua segi, kepuasan
jasmani dan terpenuhinya kebutuhan hidup. Dalam kaitan ini Soeroto
(1986:5) memberikan definisi mengenai pekerjaan adalah kegiatan yang
menghasilkan barang dan jasa bagi diri sendiri atau orang lain, baik orang
melakukan dengan dibayar atau tidak.
Soeroto (1986:167) menjelaskan bahwa dengan bekerja orang akan
memperoleh pendapatan, dari pendapatan yang diterima orang tersebut
diberikan kepadanya dan keluarganya untuk mengkonsumsi barang dan
jasa hasil pembangunan dengan demikian menjadi lebih jelas, barang siapa
yang mempunyai produktif, maka ia telah nyata berpartisipasi secara nyata
dan aktif dalam pembangunan.
Ditinjau dari segi sosial, tujuan bekerja tidak hanya berhubungan dengan
aspek ekonomi/mendapatkan pendapatan (nafkah) untuk keluarga saja,
namun orang yang bekerja juga berfungsi untuk mendapatkan status, untuk
diterima menjadi bagian dari satu unit status sosial ekonomi dan untuk
memainkan suatu peranan dalam statusnya (Kartono, 1991:21).

Dalam pedoman ISCO (International Standart Clasification of Oecuption)


pekerjaan diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Profesional ahli teknik dan ahli jenis
2. Kepemimpinan dan ketatalaksana
3. Administrasi tata usaha dan sejenisnya
4. Jasa
5. Petani
6. Produksi dan operator alat angkut.

Dari berbagai klasifikasi pekerjaan diatas, orang akan dapat


memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan yang
dimilikinya. Dalam masyarakat tumbuh kecenderungan bahwa orang yang
bekerja akan lebih terhormat di mata masyarakat, artinya lebih dihargai
secara sosial dan ekonomi.Jadi untuk menentukan status sosial ekonomi
yang dilihat dari pekerjaan, maka jenis pekerjaan dapat diberi batasan
sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang berstatus tinggi, yaitu tenaga ahli teknik dan ahli jenis,
pemimpin ketatalaksanaan dalam suatu instansi baik pemerintah
maupun swasta, tenaga administrasi tata usaha.
2. Pekerjaan yang berstatus sedang, yaitu pekerjaan di bidang penjualan
dan
jasa.
3. Pekerjaan yang berstatus rendah, yaitu petani dan operator alat angkut
atau bengkel.

Tingkat pekerjaan orang tua yang berstatus tinggi sampai rendah tampak
pada jenis pekerjaan orang tua, yaitu sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang menunjukkan status sosial ekonomi tinggi, PNS
golongan
IV ke atas, pedagang besar, pengusaha besar, dokter,.
2. Pekerjaan yang menunjukkan status sosial ekonomi sedang adalah
pensiunan PNS golongan IV A ke atas, pedagang menengah, PNS
golongan IIIb-IIId, guru SMP /SMA, TNI, kepala sekolah, pensiunan
PNS golongan IId-IIIb, PNS golongan IId-IIIb, guru SD, usaha toko.
3. Pekerjaan yang menunjukkan status sosial ekonomi rendah adalah
tukang
bangunan, tani kecil, buruh tani, sopir angkutan, dan pekerjaan lain
yang tidak tentu dalam mendapatkan penghasilan tiap bulannya (Lilik,
2007).
b) Pendidikan
Pendidikan berperan penting dalam kehidupan manusia, pendidikan
dapat bermanfaat seumur hidup manusia. Dengan pendidikan, diharapkan
seseorang dapat membuka pikiran untuk menerima hal-hal baru baik
berupa teknologi, materi, sistem teknologi maupun berupa ide- ide baru
serta bagaimana cara berpikir secara alamiah untuk kelangsungan hidup
dan kesejahteraan dirinya, masyarakat dan tanah airnya.

Ngadiyono (1998:46) membedakan pendidikan berdasarkan isi program


dan penyelenggaraannya menjadi 3 macam, yaitu:
1. Pendidikan formal merupakan pendidikan resmi di sekolah-sekolah,
penyelenggaraannya teratur dengan penjenjangan yang tegas,
persyaratan tegas, disertai peraturan yang ketat, pendidikan ini
didasarkan pada peraturan yang tegas.
2. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang diperoleh melalui
hasil
pengalaman, baik yang diterima dalam keluarga maupun masyarakat.
Penjenjangan dan penyelenggaraannya tidak ada, sistemnya tidak
diformulasikan.
3. Pendidikan non formal merupakan pendidikan yang dilakukan di luar
sekolah, penyelenggaraannya teratur. Isi pendidikannya tidak seluar
pendidikan formal, begitu juga dengan peraturannya.
Tingkat pendidikan orang tua bergerak dari tamat D3-sarjana, tamat
SMA, Tamat SMP dan Tamat SD. Seseorang yang telah mendapatkan
pendidikan diharapkan dapat lebih baik dalam kepribadian, kemampuan
dan ketrampilannya agar bisa lebih baik dalam bergaul dan beradaptasi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga mempermudah seseorang
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Abdullah, 1993:327).
c) Pendapatan
Christoper dalam Sumardi (2004) mendefinisikan pendapatan
berdasarkan kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang
dalam bentuk gaji, upah sewa, bunga, laba dan lain sebagainya.
Biro pusat statistik merinci pendapatan dalam kategori sebagai berikut:
1. Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang
sifatnya regular dan diterima biasanya sebagai balas atau kontra
prestasi, sumbernya berasal dari:
a. Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan, kerja
lembur dan kerja kadang-kadang.
b. Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi,
penjualan dari kerajinan rumah.
c. Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah.
Keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik.
2. Pendapatan yang berupa barang
yaitu: pembayaran upah dan gaji yang ditentukan dalam beras,
pengobatan, transportasi, perumahan dan kreasi.
Berdasarkan penggolongannya BPS (Badan Pusat Statistik) membedakan
pendapatan penduduk menjadi 4 golongan yaitu:
1) Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata
lebih
dari Rp. 3.500.000 per bulan.
2) Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp
2.500.000 s/d Rp. 3.500.000 per bulan.
3) Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawah
antara Rp. 1.500.000 s/d 2.500.000 per bulan.
4) Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata
Rp.1.500.000 per bulan.

d) Jumlah Tanggungan Orang Tua


Proses pendidikan anak dipengaruhi oleh keadaan keluarga sebagai
berikut: pertama adalah ekonomi orang tua yang banyak membantu
perkembangan dan pendidikan anak. Kedua adalah kebutuhan
keluarga,kebutuhan keluarga yang dimaksud adalah kebutuhan dalam
struktur keluarga yaitu adanya ayah, ibu dan anak. Ketiga adalah status
anak, apakah anak tunggal, anak kedua, anak bungsu, anak tiri, atau anak
angkat. Jumlah tanggungan orang tua yaitu berapa banyak anggota
keluarga yang masih bersekolah dan membutuhkan biaya pendidikan,
yaitu 1 orang, 2 orang, 3 orang, lebih dari 4 orang (Lilik, 2007).
e) Pemilikan
Pemilikan barang-barang yang berhargapun dapat digunakan untuk
ukuran tersebut. Semakin banyak seseorang memiliki sesuatu yang
berharga seperti rumah dan tanah, maka dapat dikatakan bahwa orang itu
mempunyai kemampuan ekonomi yang tinggi dan mereka semakin
dihormati oleh orang-orang di sekitarnya.Apabila seseorang memiliki
tanah sendiri, rumah sendiri, sepeda motor, mobil, komputer, televisi dan
tape biasanya mereka termasuk golongan orang mampu atau kaya. Apabila
seseorang belum mempunyai rumah dan menempati rumah dinas, punya
kendaraan, televisi, tape, mereka termasuk golongan sedang. Sedang
apabila seseorang memiliki rumah kontrakan, sepeda dan radio biasanya
termasuk golongan biasa.
f) Jenis Tempat Tinggal
Menurut Kaare Svalastoga dalam Sumardi (2004) untuk mengukur
tingkat sosial ekonomi seseorang dari rumahnya, dapat dilihat dari:
1) Status rumah yang ditempati, bisa rumah sendiri, rumah dinas,
menyewa, menumpang pada saudara atau ikut orang lain.
2) Kondisi fisik bangunan, dapat berupa permanen, kayu dan bambu.
Keluarga yang keadaan sosial ekonominya tinggi, pada umumna
menempati rumah permanen, sedangkan keluarga yang keadaan sosial
ekonominya menengah ke bawah menggunakan semi permanen atau
tidak permanen.
3) Besarnya rumah yang ditempati, semakin luas rumah yang ditempati
pada umumnya semakin tinggi tingkat sosial ekonominya.
Rumah dapat mewujudkan suatu tingkat sosial ekonomi bagi keluarga
yang menempati. Apabila rumah tersebut berbeda dalam hal ukuran
kualitas rumah. Rumah yang dengan ukuran besar, permanen dan milik
pribadi dapat menunjukkan bahwa kondiri sosial ekonominya tinggi
berbeda dengan rumah yang kecil, semi permanen dan menyewa
menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonominya rendah.

3. Aspek-aspek status sosial ekonomi


Menurut Talcon Parsons (dalam Taufik Rahman: 2008), berpendapat
bahwa beberapa indikator tentang penilaian seseorang mengenai
kedudukan seseorang dalam lapisan sosial di masyarakat antara lain (a)
bentuk ukuran rumah, keadaan perawatan, tata kebun, dan sebagainya, (b)
wilayah tempat tinggal, apakah bertempat di kawasan elite atau kumuh, (c)
pekerjaan atau profesi yang dipilih seseorang, (d) sumber pendapatan.
Total penghasilan, pengeluaran, simpanan dan kepemilikan harta yang
bernilai ekonomis merupakan indikator untuk menentukan tingkat kondisi
ekonomi seseorang (Abdulsyani, 2008). Jadi dapat disimpulkan bahwa
indikator dari status sosial ekonomi antara lain adalah:

1. Pendidikan
2. Pekerjaan
3. Pendapatan
4. Status kepemilikan
5. Tanggungan
6. Jenis tempat tinggal
7. Menu makanan sehari-hari
8. Status dalam masyarakat
9. Partisipasi dalam masyarakat
10. Klasifikasi Status Sosial Ekonomi

Klasifikasi status sosial ekonomi menurut Coleman dan Cressey dalam


Sumardi (2004) adalah:
a. Status sosial ekonomi atas
Status sosial ekonomi atas merupakan kelas sosial yang berada paling
atas dari tingkatan sosial yang terdiri dari orang-orang yang sangat kaya
seperti kalangan konglomerat, mereka sering menempati posisi teratas dari
kekuasaan. Sedangkan Sitorus (2000) menyatakan bahwa status sosial
ekonomi atas yaitu status atau kedudukan seseorang di masyarakat yang
diperoleh berdasarkan penggolongan menurut harta kekayaan, dimana
harta kekayaan yang dimiliki di atas rata-rata masyarakat pada umumnya
dan dapat memenuh kebutuhan hidupnya dengan baik. Havinghurst dan
Taba dalam Wijaksana (1992), masyarakat dengan status sosial atas yaitu
sekelompok keluarga dalammasyarakat yang jumlahnya relatif sedikit dan
tinggal di kawasan elit perkotaan.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
status sosial ekonomi atas adalah status sosial atau kedudukan seseorang di
masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan menurut kekayaan,
dimana harta yang dimiliki ada di atas rata-rata masyarakat pada umumnya
dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan baik.

b. Status sosial ekonomi bawah

Menurut Sitorus (2000) status sosial ekonomi bawah adalah kedudukan


seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan
menurut kekayaan, dimana harta kekayaan yang dimiliki termasuk kurang
jika dibandingkan dengan rata-rata masyarakat pada umumnya serta tidak
mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-haru.
Sedangkan menurut Havinghurst dan Taba dalam Wijaksana (1992)
mengemukakan masyarakat dengan status sosial ekonomi bawah adalah
masyarakat dalam jumlah keluarga yang cukup besar dan juga pada
umumnya cenderung selalu konflik dengan aparat hukum.

5. Tingkat Status Sosial Ekonomi


Ada beraneka ragam masyarakat yang kita jumpai dalam kehidupan
bermasyarakat diantaranya ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang
berada pada tingkat pendidikan yang tinggi ada pula yang belum bias
mengenyam dunia pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat dimanapun berada pasti menunjukkan adanya
strata sosial karena terdapat perbedaan tingkat ekonomi, pendidikan, status
sosial, kekuasaan dan sebagainya.
Sistem pelapisan masyarakat ini biasa dikenal dengan stratifikasi sosial.
stratifikasi sosial menurut Pitirim A Sorokin yaitu perbedaan penduduk
atau masyarakat ke dalam kelas kelas yang tersusun secara bertingkat
(hierarkis) (Wahyu, 1986:98). Sementara Max Weber mendefinisikan
stratifikasi sosial merupakan penggolongan orang-orang yang masuk
dalam suatu sistem sosial tertentu kedalam lapisan hierarki menurut
dimensi kekuasaan, previlese, dan prestise (Abubakar, 2010:373) cuber
mengartikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas
kategori dari hak-hak yang berbeda.
Sejumlah ilmuan sosial membedakan antara tiga lapisan atau lebih.
Warner membagi tingkat status sosial ekonomi orang tua dalam 6 kelas,
yaitu kelas atas atas (upper-upper), atas bawah (lower upper), menengah
atas (upper middle), menengah bawah (lower middle), bawah atas (upper
lower), dan bawah bawah (lower lower) (Sunarto, 2004:88).
Secara garis besar perbedaan yang ada dalam masyarakat berdasarkan
materi yang dimiliki seseorang yang disebut sebagai kelas sosial (social
class). M. Arifin Noor membagi kelas sosial dalam tiga golongan, yaitu:

a. Kelas atas (upper class)


Upper class berasal dari golongan kaya raya seperti golongan konglomerat,
kelompok eksekutif, dan sebagainya. Pada kelas ini segala kebutuhan
hidup dapat terpenuhi dengan mudah, sehingga pendidikan anak
memperoleh prioritas utama, karena anak yang hidup pada kelas ini
memiliki sarana dan prasarana yang memadai dalam belajarnya dan
memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tambahan sangat
besar. Kondisi demikian tentu akan membangkitkan semangat anak untuk
belajar karena fasilitas mereka dapat dipenuhi oleh orang tua mereka.

b. Kelas menengah (middle class)

Kelas menengah biasanya diidentikkan oleh kaum profesional dan


para pemilik toko dan bisnis yang lebih kecil. Biasanya ditempati oleh
orang-orang yang kebanyakan berada pada tingkat yang sedang-sedang
saja.
Kedudukan orang tua dalam masyarakat terpandang, perhatian mereka
terhadap pendidikan anak-anak terpenuhi dan mereka tidak merasa
khawatir akan kekurangan pada kelas ini, walaupun penghasilan yang
mereka peroleh tidaklah berlebihan tetapi mereka mempunyai sarana
belajar yang cukup dan waktu yang banyak untuk belajar.
b. Kelas bawah (lower class)
Menurut Mulyanto Sumardi kelas bawah adalah golongan yang
memperoleh pendapatan atau penerimaan sebagai imbalan terhadap kerja
mereka yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan
pokoknya (Sumardi, 1982:80-81). Mereka yang termasuk dalam kategori
ini adalah sebagai orang miskin dan kehilangan amnisi dalam merengkuh
keberhasilan yang lebih tinggi. Golongan ini antara lain pembantu rumah
tangga, pengangkut sampah dan lain-lain. Penghargaan mereka
terhadapkehidupan dan pendidikan anak sangat kecil dan sering kali
diabaikan, karena ini sangat membebankan mereka. Perhatian mereka
terhadap keluarga pun tidak ada, karena mereka tidak mempunyai waktu
luang untuk berkumpul dan berhubungan antar anggota keluarga kurang
akrab. Disini keinginan-keinginan yang dimiliki upper class itu kurang
terpenuhi karena alasan-alasan ekonomi dan sosial.
Gunawan (2000) mengemukakan mengenai ciri-ciri umum keluarga
dengan status sosial ekonomi atas dan bawah yaitu:
a. Ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi atas:
1. Tinggal di rumah-rumah mewah dengan pagar yang tinggi dan
berbagai model yang modern dengan status hak milik.
2. Tanggungan keluarga kurang dari lima orang atau pencari nafkah
masih produktif yang berusia dibawah 60 tahun dan tidak sakit.
3. Kepala rumah tangga bekerja dan biasanya menduduki tingkat
professional ke atas.
1. Memiliki modal usaha.

b. Ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi bawah:


1. Tinggal di rumah kontrakan atau rumah sendiri namun kondisinya
masih amat sederhana seperti terbuat dari kayu atau bahan lain dan
bukan dari batu.
2. Tanggungan keluarga lebih dari lima orang atau pencari nafkah
sudah tidak produktif lagi, yaitu berusia 60 tahun dan sakit-sakitan.
3. Kepala rumah tangga menganggur dan hidup dari bantuan sanak
saudara dan bekerja sebagai buruh atau pekerja rendahan seperti
pembantu rumah tangga, tukang sampah dan lainnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi dapat dilihat dari
tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan kekayaan yang dimiliki
individu yang bersangkutan.

H. Metode Penelitian

A. Identifikasi Variabel Penelitian


Variabel Tergantung : Tingkat Religiusitas
Variabel Moderator : Jenis Kelamin
Variabel Bebas : Status Sosial Ekonomi Orangtua
B. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin
meneliti semua elemen yang ada didalam wilayah penelitian, maka penelitianya
merupakan populasi. Studi atau penelitianya juga disebut studi populasi atau
studi sensus. Dalam penelitian ini populasinya adalah siswa kelas X,XI dan XII
SMA Darul Ulum Driyorejo Gresik dengan jumlah siswa 65 yang terdiri 3
kelas.

b. Sampel
1. Sampel merupakan sebagian dari jumlah yang dimiliki oleh populasi
yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel apabila peneliti bermaksud
untuk mengangkat kesimpulan penelitian sebagai suatu yang berlaku bagi
populasi. Sampel pada penelitian ini adalah kelas X dengan jumlah siswa 9
laki-laki dan 10 perempuan, kelas XI dengan jumlah siswa 15 laki-laki dan
7 perempuan, kelas XII dengan jumlah siswa 10 laki-laki dan 14
perempuan.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode skala. Metode skala adalah cara pengumpulan data dengan
menggunakan alat yang mengukur aspek yang berupa pertanyaan atau
pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak
diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang
bersangkutan (Azwar, 2012:6).
1. Skala
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan skala. Data yang didapatkan dalam penelitian ini adalah
respon subjek penelitian.
Item yang digunakan dalam skala penelitian ini disusun
berdasarkan metode Skala Likert. Adapun skala yang digunakan dalam
penelitian ini adalah skala kesiapan menikah.
Setiap item yang digunakan disertai dengan lima alternatif jawaban
yaitu :
STS (Sangat Tidak Setuju)
TS ( Tidak Setuju)
N ( Netral)
S (Setuju)
SS (Sangat Setuju)

Pernyataan-pernyataan yang dibuat dalam skala ini mempunyai 2 tipe


yaitu pernyataan yang mendukung (favorable) dan pernyataan yang tidak
mendukung (unfavorable).
Tabel 1.1
Nilai Skor Skala Tingkat Religiusitas pada Siswa SMA Darul Ulum
Driyorejo berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Sosial ekonomi orang
tua.

NO Alternatif Jawaban Skor Item


Favorable Unfavorable
1. STS =Sangat Tidak 1 5
Setuju
2. TS = Tidak Setuju 2 4
3. N = Netral 3 3
3. S = Setuju 4 2
4. SS = Sangat Setuju 5 1

D. Validitas Alat Ukur


Validitas adalah ketepatan dan kecermatan instrumen dalam menjalankan
fungsi ukurnya. Validitas menunjuk pada sejauh mana skala itu mampu
mengungkap data dengan akurat dan teliti (Azwar 2012:10). Suatu tes atau
instrumen pengukur dapat dikatakan oleh validitas yang tinggi apabila alat
tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai
dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas
isi adalah validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan
analisis rasional atau profesional judgment (Azwar, 2012:132). Adapun
diskriminasi aitem dalam pernyataan dilakukan dengan cara mengkorelasi skor
tiap item dengan skor total dengan korelasi product moment. Skor koefisien yang
positif dan lebih dari 0,30 telah dapat memberikan kontribusi yang baik (Azwar,
2012:95). Apabila skor koefisien < 0,30 maka aitem dikatakan tidak valid atau
gugur. Namun jika dalam penelitian ternyata jumlah aitem yang lolos tidak
mencukupi target aitem yang diinginkan, batas validitas aitem dapat diturunkan
menjadi 0,25 (Azwar,2009:65). Perhitungan validitas ini akan dilakukan
menggunakan SPSS for windows versi 16.
E. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas adalah seberapa besar hasil dari pengukuran dengan alat ukur
dapat dipercaya. Reliabilitas mengacu kepada keterpercayaan atau konsistensi
hasil alat ukur yang mengandung makna seberapa tinggi kecermatan pengukuran
(Azwar 2012:111). Reliabilitas adalah konsistensi atau keajegan. Reliabilitas
mampu menghasilkan skor yang cermat dengan eror pengukuran kecil yang mana
hasil ukur dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap
kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama. Demikian
sebaliknya hasil ukur tidak dapat dipercaya apabila antara skor individu yang satu
dengan yang lainnya terjadi perbedaan yang tidak konsisten dan bervariasi dari
waktu ke waktu.
Reliabilitas alat ukur yang digunakan adalah reliabilitas alpha dengan
bantuan program komputer Statistical Product and Service Solution(SPSS) versi
16. Uji reliabilitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan konsistensi internal,
yang hanya perlu melakukan single trial administration.Formula yang
digunakanadalah analisa varian dari Alpha Cronbach. Analisa reliabilitas
dilakukan pada aitem-aitem yang valid saja. Semakin tinggi koefisien reliabilitas
alat ukur > 0,7 (mendekati 1.00) merupakan ciri pengukuran yang baik. Menurut
Pallant (2007:95) jika nilai Alpha Cronbachminimal sebesar 0,70 maka reliabilitas
dianggap memuaskan. Pengujian ini dilakukan dengan bantuan komputer paket
Statistical Package for Scale for Windows Release 16.0 (SPSS).

F. Teknik Analisis Data


Sebagai syarat penggunaan statistik parametrik, maka terhadap data yang
diperoleh sebelumnya dilakukan 2 uji asumsi :
a. Uji normalitas yakni untuk menguji apakah data yang diperoleh
mengikuti distribusi kurva normal p>0,05.
b. Uji homogenitas yaitu pengujian untuk mengetahui apakah varians nilai
dan kelompok yang dibedakan bersifat homogen apa tidak.

Dari data yang akan diuji perbedaannya adalah uji normalitas dan
homogenitas. Analisa data yang dilakukan dengan pertama kali mengelola data
diperoleh dari pengumpulan data dengan angket. Setelah didapat aitem-aitem
yang valid maka selanjutnya dilakukan uji normalitas dan homogenitas untuk
mengetahui apakah data memenuhi syarat statistik parametrik atau tidak.Syarat
statistik parametrik adalah apabila hasil pada uji normalitas menunjukkan
p>0,05.Apabila uji asumsinya tidak memenuhi syarat, maka teknik analisis data
yang digunakan adalah teknik analisis Non-Parametrik U Mann Whitney Test dan
Analsis data ini akan dilakukan dengan menggunakan paket SPSS Windows
dengan taraf signifikansi 5% dan 2 arah (two tailed).

I. Sistematika Penulisan

BAB L PENDAHULUAN
yaitu membahas tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Penelitian, Variabel Penelitian, Definisi Operasional
dan Sistematika Pembahasan.
BAB DL KAJIAN TEORI
yaitu membahas tentang Tingkat Religiusitas, Jenis Kelamin dan Status
Sosial Ekonomi Orangtua.
BAB III. METODE PENELITIAN
yaitu membahas tentang jenis dan metode penelitian, Populasi dan Sampel
penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Instrumen pengumpulan Data dan
Teknik Analisi Data.
BAB IV. LAPORAN HASIL PENELITIAN
yaitu membahas tentang Penyajian datan dan Analisis Data.
BAB V. PENUTUP
yaitu membahas tentang Kesimpulan dan Saran.
J. Outline Penelitian
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Definisi Operasional
F. Sistematika Pembahasan
BAB II : KAJIAN TEORI
A. Tingkat Religiusitas
B. Jenis Kelamin
C. Status Sosial Ekonomi Orangtua
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Metode Penelitian
B. Populasi dan Sampel Penelitian
C. Instrumen Pengumpulan Data
D. Teknik Pengumpulan Data
E. Teknik Analisis Data
BAB IV : LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Penyajian Data
B. Analisis Data
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai