Anda di halaman 1dari 12

BAB II TINJAUAN UMUM

1.1 Pemahaman Terhadap Kerangka Acuan Kerja (KAK)

Dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) perancangan akhir arsitektur ini


didasari oleh latar belakang bahwa perkembangan kota DKI Jakarta yang sangat
pesat yang menyebabkan keterbatasan lahan dan makin mahalnya harga tanah
yang menjadi masalah dalam penyediaan hunian layak bagi masyarakat
berpenghasilan rendah maka solusinya adalah dengan pembangunan hunian
vertikal atau rumah susun sederhana milik. Sasaran dari rumah susun ini adalah
masyarakat urbaninsasi atau masyarakat yang berpindah dari desa ke kota besar
untuk mencari penghidupan yang lebih baik namun karena keterbatasan
kemampuan mereka menempat kawasan pemukiman kumuh di perkotaan dimana
mereka masih memiliki kebudayaan atau cara hidup bermasyarakat desa yang
menonjolkan keguyuban dalam berinteraksi sosial, dan budaya yang masih
melekat meskipun sudah pindah ke kota.
Tujuan dari perancangan ini adalah merancang hunian vertikal yang murah
dan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang terintegrasi dengan pasar
modern yang bentuk dan fasilitasnya mampu mengakomodasi kebutuhan
masyarakat urbanisasi yang masih memiliki busaya keguyuban. Adapun target
dari perancangan ini adalah, desain diharpkan dapat menjawab kebutuhan dan
tuntutan perancangan yang diminta yaitu :
 Perancangan Kota , dimana desain mempertimbangkan RTRW kawasan
agar selaras dengan pengembangan perencanaan dan perancangan kawasan
karena ketinggian rumah susun ini disesuaikan dengan KLB dan KDB site.
 Masterplan, dilokasi ini akan direncanakan beberapa Menara bangunan
rumah susun dengan unit rumah susun seluas kurang lebih 36 m2 . Dimana
fungsi lantai terbawah adalah untuk pasar, fasilitas umum dan fasilitas
sosial termasuk kantor pengelola dengan prosentase untuk fasilitas hunian
70% dan untuk fungsi non hunian 30% dari keseluruhan bangunan.
 Arsitektur Hemat Energi, perancangan bangunan ini menerapkan kaidah
arsitektur berkelanjutan berupa konsumsi energy dan air secara efisien dan
fleksibel terhadap penggunaan sumber energi, melakuakan penerapan
Zero Run Off/Water Harvesting. Perencanaan kaidah arsitektur hemat
energi juga mengacu pada PERMEN PU Nomor 05/PRT/2007 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat
Tinggi dan PERGUB DKI Jakarta Nomor 032 Tahun 2012 tentang
bangunan hijau.
 Tipe, Arsitektur bangunan rumah susun dapat mencerminkan bahwa
bangunan tersebut adalah hunian vertikal di lokasi kawasan Tanah Abang
Jakarta dan memiliki ciri khas tertentu untuk banguan sejenis di DKI
Jakarta dengan tetap mempertimbangkan sebagai ciri khas lingkungan
disekitarnya (kearifan lokal)
 Lansekap; meminimalkan perkerasan dalam lokasi dan memberi
peneduhan yang cukup pada permukaan perkerasan. Memiliki ruang
terbuka yang digunakan sebagi ruang publik dan communal space pada
bangunan dan lansekap yang selaras dan berkesinambungan. Perancangan
jalur pedestrian yang nyaman dan terpisah dengan jalur kendaraan
bermotor serta Pemyediaan aksesinbilitas bagi para difabel baik pada area
dalam dan luar bangunan serta lingkungannya. Pada lokasi disediakan
tempat parkir sebesar 5% dari keseluruhan jumlah hunian dan untuk
fasilitas pasar kapasitas parkir kendaraannya disesuaikan dengan ketentuan
dan standar yang berlaku. Untuk jalur sirkulasi wajib disediakan untuk
keperluan jalur pemadam kebakaran, ambulan dan drop off.
 Sosial; calon penghuni adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang
tinggal di wilayah pemukiman kumuh yang masih menganut budaya
keguyuban, sehingga unit hunian maupun ruang public harus merespon
pola hidup masyarakat yang belum terbiasa hidup dalam hunian vertikal
dimana perlu mempertimbangkan waktu dalam proses adaptasi tersebut.
1.2 Tinjauan Teoritis Proyek
1.2.1 Rumah Susun
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
satu lingkungan yang terbagi dalam bagian bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk
tempat hunianm yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara
tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-
satuan rumah susun misalnya atap, tangga, lift, saluran pipa, jaringan listrik,
lantai, dinding dan bagian lainnya yang merupakan satu kesatuan rumah susun.
Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi
yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama misalnya tempat
parkir, ruang terbuka hijau, wc/kamar mandi komunal, dapur komunal, balai
warga. Unit hunian rumah susun dihubungkan dan mempunyai akses ke
selasar/koridor/lobi dan lantai lainnya dalam bangunan rumah susun, serta akses
ke lingkungan dan jalan umum.
Rumah susun sederhana ada dua macam yaitu rumah susun sederhana
milik atau rusunami dan rumah susun sederhana sewa atau rusunawa. Perbedaan
yang paling utama dari rumah susun tersebut adalah rusunami merupakan rumah
susun yang kepemilikannya merupakan hak milik penghuni yang dibeli secara
kredit, sedangkan rusunawa kepemilikannya adalah pemerintah dimana penghuni
membayar uang sewa secara bulanan. Rumah susun sederhana adalah rumah
susun yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah
yaitu yang berpenghasilan sampai dengan Rp.4.500.000,00 per bulan.
Rusunami dibangun sebagai upaya untuk memecahkan masalah perukiman
kumuh di kota besar seperti DKI Jakarta, dimana permukiman kumuh tersebut
menempati wilayah atau site secara legal namun dengan kondisi lingkungan
seperti sanitasi dan sirkulasi pada lingkungan yang tidak layak dan tidak sehat.
Sedangkan rusunawa dibangun untuk memecahkan masalah bagi permukiman
yang menempati wilayah atau site secara illegal misalnya di pingiran sungai,
kolong jalan layang, pingiran rel kereta dan lainnya sehingga secara hukum
mereka tidak memiliki hak untuk tinggal di wilayah tersebut.
1.2.2 Low Cost Housing
Issu mengenai low cost housing ini didasari oleh pertumbuhan penduduk
yang cepat, makin mahalnya harga lahan di perkotaan, makin mahalnya biaya
konstruksi serta upaya menyediakan hunian rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah semakin urgen. Low Cost Housing atau hunian murah
dapat dicapai dengan menggunakan perencanaan dan manajemen proyek yang
effisien, menggunakan bahan material yang murah namun berkualitas baik,
menggunakan teknologi konstruksi yang ekonomis dan penggunaan metode
konstruksi alternatif yang tersedia. Dengan menggunakan material berbiaya
rendah pembangunan Low Cost Housing ini akan dapat meningkatkan
kemampuan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah untuk dapat
memilikinya.
Biaya konstruksi pembangunan sebuah bangunan dapat di bagi menjadi
dua eleman utama yaitu biaya penyediaan material yaitu sebesar 65 sampai 70
persen, dan biaya tenaga kerja sebesar 25 sampai 35 persen. Dalam low cost
housing, penggunaan material bahan bangan seharusnya bisa lebih burah jika
sedapat mungkin menggunakan material lokal serta manggunakan material dari
bahan daur ulang.

Proses
PembuataH
emat Energi
Material Tidak
lokal yang memyebab
mudah kan polusi
didapatkan

Kriteria
Material
Low Cost
Housing Non Toxic
Dapat
didaur
ulang

Gambar seleksi material dalam pembangunan Low Cost Housing


1.2.3 Cohousing
Cohousing yang merupakan kepanjangan dari collaborative housing atau
community housing telah lama berkembang sebagai konsep hunian alternatif di
eropa sejak 1960. Seiring munculnya krisis kepemilikan rumah, konsep hunian
bersama ini mulai banyak diadopsi di Inggris dan Amerika Serikat. Tidak hanya
terbatas bagi keluarga muda atau kalangan milenial saja, konsep cohousing juga
efektif untuk memperkuat interaksi sosial bagi kaum lanjut usia. Sampai 2017 lalu
Cohousing Association of America mencatat bahwa terdapat lebih dari 160
komunitas cohousing yang tersebar di 25 negara bagian.
Cohousing berawal dari masyarakat Denmark yang berkeinginan
membangun lingkungan tinggal yang dekat dengan komunitas. Hal ini berkaitan
dengan pola interaksi yang lebih berkelompok dan saling gotong royong. Konsep
berbagi hunian seperti ini dipercaya membuat masyarakat merasa lebih aman dan
bahagia karena rasa kebersamaan yang kuat.

Gambar unit hunian cohousing Denmark


Sumber : Pinterest
Cohousing adalah hunian yang dirancang khusus dengan ruang komunal
yang cukup luas yang dikelilingi oleh hunian pribadi. Ruang kolaboratif
biasanya mencakup rumah biasa dengan dapur besar dan ruang makan, ruang
cuci , dan area rekreasi dan jalan setapak terbuka, ruang terbuka, taman, dan
parkir. Tetangga menggunakan ruang ini untuk bermain bersama, memasak satu
sama lain, berbagi alat, dan bekerja secara kolaboratif. Properti bersama dikelola
dan dikelola oleh anggota masyarakat, memberikan lebih banyak peluang untuk
menumbuhkan hubungan.
Jenis hunian cohousing sendiri tak hanya berupa rumah tapak, namun juga
dapat dibangun dalam konsep hunian vertikal seperti apartemen. Selain terdiri dari
ruangan utama yaitu kamar tidur dan kamar mandi, dalam rumah berkonsep
cohousing biasanya terdapat salah satu fasilitas yang digunakan secara bersama-
sama, seperti dapur, kafetaria, taman, dan ruang laundry. Karena kerap
melakukan kegiatan bersama, maka tak jarang setiap penghuni cohousing saling
membantu satu sama lain dalam hal menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Tumbuhnya rasa kepemilikan bersama ini dicantumkan oleh Kirsten Stevens-
Wood, peneliti intentional community dan cohousing dari Cardiff Metropolitan
University, sebagai salah satu keuntungan tinggal dalam lingkungan yang berbasis
komunitas.
Kepemilikan kolektif sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan diri
setiap anggota komunitas. Mereka akan terhindar dari rasa sepi yang kerap
menjangkit masyarakat yang tinggal di kota besar. Beberapa manfaat lain dari
cohousing yang ternyata memiliki dampak positif pada lingkungan. Tidak sekedar
berbagi ruang tinggal, komunitas cohousing umumnya berbagi sumber pangan
dan energi mereka. Mereka kerap berkirim makanan dan memakai ruangan secara
bersama. Dalam penelitian Cardiff Metropolitan, ditemukan bahwa cohousing
dapat menekan pemakaian energi listrik dan air sekaligus menurunkan produksi
sampah rumah tangga. Hal ini juga dapat disebabkan penghuni hunian cohousing
rata-rata memiliki kesadaran akan kesehatan lingkungan yang tinggi.
Ciri dari konsep Cohousing adalah :
 Partisipatif
Dalam hal ini calon penghuni terlibat sejak awal dalam mendesain
pemukiman serta membentuk komunitas yang sesuai dengan kebutuhan
sesuai dengan menjalankan komunitas tersebut
 Berkomunitas
Desain hunian ini mendukung kehidupan sehari-hari dalam bersosialisasi
sehingga mudah berinteraksi, dan kendaraan bermotor diparkir diluar area
aktivitas.
 Fasilitas bersama
Adanya fasilitas bersama yang dirancang untuk digunakan sehari-hari
untuk menghemat lahan dan pengeluaran
 Penghuni Berperan
Dikelola oleh penghuni, ada pembagian tugas diantara sesama penghuni
untuk mengelola kawasan permukiman
 Konsensus
Pengambilan keputusan dilakukan secara konsensus bukan berdasarkan
hiranki
 Sistem ekonomi tidak komunal
Dimana setiap penghuni mempunyai sumber penghasilannya sendiri-
sendiri
Dalam pengadaan hunian dengan konsep cohousing semua tahapan dilakukan
dengan partisipasi dari calon penghuninya
= Ruang Komunal

= Ruang cuci bersama

Seperti contoh pada R50 Cohousing Jerman, terdapat ruang-ruang yang bisa
menjadi tempat berinteraksi antara penghuni seperti rang cuci bersama dan ruang
komunal yang cukup luas untuk dimanfaatkan sebagi tempat bersosialisasi. Ciri
lain dalam cohousinf tersebut tempat parkir yang disediakan sangat terbatas dalam
beberapa desain cohousing tempat parkir diletakkan jauh diluar.

1.3 Kampung Vertikal


Kampung menurut kamus Bahasa Indonesia adalah kelompok rumah yang
terdiri dari kesatuan administrasi kecil, terletak dibawah kecamatan. Menurut
Koenjaraningrat (1990), kampong dapat diartikan sebagai kesatuan manusia yang
memiliki empat ciri yaitu : interaksi antar warganya, adat istiadat, norma-norma
hokum dan aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah lakunya. Menurut
Dibya Kusyala (2008), kampung kota merupakan akar budaya permukiman yang
khas dimana didalamnnya terdapat penghuni dengan berbagai macam latar
belakang status sosial dan ekonomi, yang dapat bertahan hidup ditengah pesatnya
kemajuan kota.
Elemen kampung menurut Rasyid (2008) terdiri dari 2 aspek yaitu :
A. Aspek Fisik
1. Batas (boundaries)
Batas atau boundaries merupakan batas daerah kekuasaan suatu
wilayah atau sebuah pemukiman yang dibuat oleh masyarakat
setempat, baik fisik maupun non fisik.
2. Jenis fasilitas (massa)
Jenis fasilitas atau massa, yaitu pengelompokan elemen fisik dalam
suatu permukiman yang merupakan tempat melakukan aktifitas
sekaligus sebagai fasilitas bagi penghuni dan penggunannya. Fasilitas
permukiman ini dapat berbentuk fasilitas umum dan fasilitas sosial.
3. Tata ruang (zona)
Tata ruang (zona) merupakan pembagian daerah kegiatan penghuni
dalam suatu permukiman, yang diatur berdasarkan struktur keyakinan,
aturan-aturan adat atau kebiasaan masyarakat setempat.
4. Ragam hias
Ragam hias meruapaka unsur-unsur yang dominan yang banyak
ditemukan pada permukiman, baik terbentuk secara alami maupun
buatan manusia. Ragam hias juga ada yang memiliki latar belakang
kebudayaan yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat adat
setempat, ada yang tidak
B. Aspek non fisik
1. Orang lanjut usia
Orang lanjut usia atau lansia adalah pria atau wanita yang teah berusia
diatas 65 tahun dan ditandai dengan penurunan daya kemampuan
untuk hidup dan beradaptasi dengan lingkungan. Biasanya lansia
banyak tinggal di kampung untuk menikmati masa pensiunnya
2. Orang dewasa
Orang dewasa adalah orang yang memiliki kematangan baik dari segi
fisik maupun segi pikiran dan mampu bertanggung jawab atas semua
yang dilakukan. Orang dewasa di kampung mempunyai tingkat
ekonomi yang berbeda-beda. Mata pencahariannya bermacam-macam
dan pada umumnya bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki
lima, namun ada juga yang berprofesi sebagai buruh pabrik, karyawan
atau pegawai lainnya dan sebagai iburumah tangga.
3. Remaja
Remaja adalah orang yang berada pada periode transisi dari akhir
massa anak-anak sampai mulai awal dewasa, kira-kira usia 10-12
tahun sampai dengan 18-22 tahun (Wikipedia,2020). Perilaku remaja
ini akan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dari keluarnganya, remaja
kampung biasanya berlatar belakang ekonomi rendah sehingga dapat
menyebabkan berpengaruh buruk pada perilakunya.
4. Anak-anak
Anak-anak adalah orang yang berusia antara 0-12 tahun. Anak-anak di
kampung perkotaan rata-rata memiliki lahan yang terbatas untuk
bermain, sehingga anak-anak di kampung kesulitan untuk berekspresi
dan mengeksplor permainan anak-anak.

Gambar perkampungan kumuh

Kampung kota atau yang lebih dikenal sebagai daerah slum merupakan
sebutan daerah permukiman yang dihuni oleh kalangan masyarakat
berpenghasilan rendah atau masyarakat menengah kebawah. Munculnya kawasan
kampong kota ini dilatar belakangi oleh faktor pembangunan nasional yang belum
merata sehingga menyebabkan banyaknya urbanisasi masyarakat dari desa ke kota
dalam upayanya untuk mencari peruntungan yang lebih baik di kota. Rata-rata
kaum urbanisasi ini tidak dibekali dengan keterampilan yang baik sehingga pada
saat mereka sampai di kota banyak diantara mereka bekerja di sector informal.
Ciri kampung kota adalah biasanya terletak dikawasan strategis dekat
dengan pusat perdaganan, memiliki kepadatan yang tinggi, diantara mereka
bekerja di sector informal seperti berdagang, kehidupan pribadi yang tidak terlalu
terpisah, masih terbawa tradisi keguyuban yang erat diantara tetangga serta
banyak timbul masalah sosial seperti kejahatan, kekerasan dan lainnya. Saat ini di
DKI Jakarta menurut BPS 20-30% penduduknya masih tinggal di kawasan
kumuh.
Para penghuni kampung secara ekonomi, sosial dan budaya sebenernya
berintegrasi dengan penduduk kota. Secara ekonomi, penduduk kampung kota
ikut memberikan andil dalam perekonomian kota karena sektor informal mereka
memberikan kemudahan bagi pekerja-pekerja kelas bawah untuk memiliki biaya
hidup yang murah. Secara budaya mereka memiliki keinginan yang sama seperti
masyarakat kota kelas kota pada umumnya untuk bekerja keras menjadi orang
yang berhasil. Sedangkan secara sosial seolah mereka terbuang dalam kelompok
sosial dan dianggap sebagai “sampah” yang merusak citra kota, namun
sebenarnya mereka memiliki budaya sosial dan organisasi sosial sendiri.
Menurut Dovey & King (2012) dalam Abdul Jabar (2019) kampung kota
merupakan bentuk pemukiman swadaya yang dibangun oleh para penghuninya
tanpa mengikuti ketentuan-ketentuan pembangunan formal dari pemerintah. Oleh
karena itu kampung dapat juga disebut sebagai bentuk pemukiman vernakular,
dimana metode konstruksi bangunan menggunakan material lokal dan dibangun
secara tradisional. Sedangkan menurut KBBI Daring dalam Abdul Jabar (2012)
kampung merupakan kelompok rumah yang merupakan bagian kota yang
biasanya dihuni oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Sedangkan manurut Abdul Jabar (2019) kampung kota dihuni berbagai kalangan
masyarakat secara individu dan komunal yang membentuk dan menopang diri
kampung kota dalam ikatan mutualisme informal dan formal dengan berbagai
kegiatan berkelanjutan pada setiap sektornya, berbagai tradisi lokal sebagi upaya
melestarikan modal sosial yang ada sekaligus meleburkan perbedaan yang
beragam. Modal sosial sebagi bibit menumbuh kembangkan kota melalui swadaya
kolektif yang pada kalanya berkelanjutan. Salah satu ciri dari kampung kota
adalah memiliki kemampuan beradapatasi yang cair dan adaptif, sehingga
keberagaman dirinya mampu bertahan mampu bertahan dalam kondisi yang
umumnya kita anggap sulit, rumit ataupun terbatas, kemampuan ini di wujudkan
secara nyata.

Anda mungkin juga menyukai