NIM : A031171703 RMK KONSEP PENGAMBLAN KEUNTUNGAN DALAM PANDANGAN ISLAM DAN KONVENSIONAL
1. Batasan Mengambil Keuntungan dalam Islam
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin Keutungan, tidak ada batasan tertentu. Karena itu termasuk rizki Allah. Terkadang Allah menggelontorkan banyak rizki kepada manusia.Sehinga kadang ada orang yang mendapatkan untung 100 atau lebih, hanya dengan modal 10. Dia membeli barang ketika harganya sangat murah, kemudian harga naik, sehingga dia bisa mendapat untung besar. Dan kadang terjadi sebaliknya, dia membeli barang ketika harga mahal, kemudian tiba-tiba harganya turun drastis. Karena itu, tidak ada batasan keuntungan yang boleh diambil seseorang. Beliau melanjutkan,Jika ada orang yang memonopoli barang, hanya dia yang menjualnya, lalu dia mengambil keuntungan besar-besaran dari masyarakat, maka ini tidak halal baginya. Karena semacam ini sama dengan bai’ al-Mudhthor, artinya menjual barang kepada orang yang sangat membutuhkan. Karena ketika masyarakat sangat membutuhkan benda tertentu, sementara barang itu hanya ada pada satu orang, tentu mereka akan membeli darinya meskipun harganya sangat mahal. Dalam kasus ini, pemerintah bisa dilakukan pemaksaan harga, dan pemerintah berhak untuk turut campur, dan membatasi keuntungan yang sesuai baginya, yang tidak sampai merugikannya, dan dia dilarang untuk membuat keuntungan yang lebih, yang merugikan orang lain. Fatwa Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa (Guru besar di Universitas King Saud). Jawaban untuk kasus ini, tidak ada masalah dengan tambahan harga untuk suatu barang dagangan, selama bukan makanan, sehingga termasuk ihtikar (menimbun barang) yang hukumnya terlarang. Hanya saja, selayaknya tidak keluar dari harga normal, sehingga termasuk penipuan, yang menyebabkan pembeli memiliki hak pilih setelah jual beli. Sebagian ulama menetapkan batasannya adalah sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.” Dan ini, seperti yang telah saya sebutkan, adalah pendapat sebagian ulama. Beliau melanjutkan, Namun menurut saya – Allahu a’lam – tidak ada batasan tertentu untuk harga, hingga tidak boleh dilampaui. Karena seseorang terkadang membeli barang dagangan sangat murah, kemudian dia jual dengan harga berkali lipat dari kulakannya, atau dia tunggu kesempatan yang cocok, lalu dia jual sehingga mendapatkan untuk besar. Diriwayatkan Bukhari (3641) dan Abu Daud dalam Sunannya (3384) dari Urwah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya 1 dinar untuk membeli seekor kambing. Namun oleh Urwah satu dinar itu digunakan untuk membeli 2 ekor kambing. Kemudian satu kambing dijual lagi dengan harga 1 dinar. Sehingga dia pulang dengan membawa 1 dinar dan seekor kambing. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan untuknya. Andai Urwah ini menjual pasir, dia akan mendapat untung. Dalam hadis ini, Urwah mendapat untuk berlipat. Beliau menjual salah satu kambingnya dengan 1 dinar, padahal dia membeli dengan 1 dinar untuk 2 ekor kambing. Sehingga dia untuk satu kambing. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merestui perbuatan Urwah, bahkan mendoakannya dengan kebaikan. 2. Elemen keuntugan dalam islam Secara umum, prinsip yang diajarkan syariat bahwa keuntungan yang diperoleh seseorang, berbanding lurus dengan pengorbanan dan resiko yang dia keluarkan. “Hasil keuntungan itu sebagai ganti dari resiko yang dia tanggung.” (Ahmad 24956, Nasai 4507, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth) Jadi dapat disimpulkan. Pertama, Hak keuntungan karena harta Orang yang menanam modal, dia berhak untuk mendapatkan keuntungan dari pertambahan modalnya. Karena dia juga menanggung resiko kerugian jika modalnya berkurang. Karena itulah, jika ada akad mudharabah, dimana pihak pemodal mensyaratkan, apabila terjadi kerugian atau proyek gagal, maka modal harus dikembalikan maka akad mudharabahnya batal. Karena berarti konsekuensinya tidak jalan. Karena pemodal hanya siap berbagi keuntungan, sementara dia tidak siap berbagi kerugian. Kedua, hak keuntungan karena pekerjaan Orang yang telah bekerja, dia berhak mendapat upah atas pekerjaan yang dia lakukan. Ini berlaku untuk akad ijarah. Sementara untuk akad ju’alah (semacam sayembara), yang dilakukan adalah jual beli hasil dari usaha, dan bukan volume usaha. Misalnya, membersihkan virus komputer. Jika berhasil maka akan dibayar Rp 100.000; Ketiga, hak keuntungan karena tanggungan Orang yang menanggung resiko tertentu atau dibebani tanggung jawab tertentu, maka dia berhak mendapat keuntungan. Mudharib (pelaku usaha) yang mengelola harta orang lain, dia memegang tanggung jawab terhadap harta itu. Karenanya, dia berhak mendapat bagi hasil keuntungan.
3. Pebedaan keuntungan dalam pandangan islam dan konvensional
Rasionalisme dalam sistem ekonomi konvensional berorientasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan ini bisa diperoleh dari sebarapa banyak modal yang disiapkan/dikeluarkan oleh masing-masing unit ekonomi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa distribusi kekayaan tergantung pada besarnya modal yang dimiliki. Dalam sistem kapitalisme, distribusi kekayaan tidak akan pernah merata karena modal merupakan suatu barang privat yang tidak bisa diregulasi. Sementara dalam ekonomi Islam, salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah keadilan. Hal ini berdampak bahwa setiap hasil dari pembangunan harus dapat didistribusikan kepada msyarakat secara adil dan merata. Keadilan dalam distribusi kekayaan dan harta ini diwujudkan melalui mekanisme zakat, infaq, sedekah dan waqf. Sebagai contoh, prinsip dari mekanisme zakat ini membantu proses distribusi harta dengan mengambil dari masyarakat yang kaya untuk kemudian diberikan kepada masyarakat yang miskin atau kekurangan sehingga harta tidak hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja. 4. Perbandingan Keuntungan dalam Pandangan Islam dan Konvensional
No. Konsep Keuntungan Perspektif Konvensional Perspektif Islam
1. Latar belakang adanya Sebagai suatu kemampuan Sebagai suatu keuntungan mendapatkan laba pencapaian keberkahan dan keridhoan Allah 2. Penyajian Keuntungan Memaksimalkan keuntungan Sesuai syariat berupa angka Allah 3. Yang menentukan konsep Pendapat para ahli Allah Subhanahu keuntungan wa Ta’ala melalui al-Qur’an 4. Mekanisme perhitungan Menggunakan rumus perhitungan Intangible keuntungan 5. Keuntungan dalam hal Tidak memperhatikan Memperhatikan kemaslahatan kemaslahatan bersama, hanya kemaslahatan untuk kekayaan pribadi atau bersama kelompok 6. Kegunaan keuntungan Sebagai penumpuk kekayaan di Sebagai alat untuk dunia beribadah 7. Redistribusi keuntungan CSR ZISWAF 8. Cara mencapai keuntungan Menghalalkan segala cara Ada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar dan berorientasi pada akhirat 9. Sudut pandang terhadap Hanya materi Materi dan keuntungan keberkahan