Anda di halaman 1dari 25

PEREKONOMIAN INDONESIA

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN

DOSEN PENGAMPU:
Veronika Nugraheni Sri L.

NAMA KELOMPOK :
1. Hadyan Putra (2018335002)
2. Ahmad Maftuhan (2017330011)
3. Eka Mayasari (2018335009)
4. Humarotul Sa’diyah (2018335010)
5. Feilie (2018335003)

PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS DR. SOETOMO
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Perekonomian Indonesia.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Kemiskinan dan


Kesenjangan Pendapatan ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

   

Surabaya, 30 Maret 2020

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah..............................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
2.1 Permasalahan Pokok..........................................................................................6
2.2 Konsep dan Definisi...........................................................................................8
2.3 Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan...................................................8
2.4 Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan..........................................13
2.5 Penemuan Empiris...........................................................................................15
2.6 Kebijakan Anti Kemiskinan.............................................................................21
BAB III PENUTUP..................................................................................................
3.1 KESIMPULAN................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia dikenal sebagai  Negara agraris, atau yang biasa dikenal
sebagai Negara yang sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang
pertanian. Dalam Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pemerintah Indonesia
agar memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun dalam kenyataannya pemerintah tidak mempunyai kepekaan yang serius
terhadap kaum miskin.
Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang mendunia dan
hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat
laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya
dialami oleh negara-negara berkembang melainkan juga negara maju seperti
Inggris dan Amerika Serikat.
Jika kita lihat dari dampak yang ditimbulkan oleh korupsi ini, hampir
semua  lapisan masyarakat merasakannya. Bagi kalangan pengusaha korupsi
menyebabkan persaingan yang tidak kompetitif antar pengusaha karena semua
proses harus melalui uang pelicin dan memerlukan waktu yang lama. Bagi 
masyarakat bawah korupsi justru menimbulkan biaya hidup yang lebih tinggi,
harga-harga menjadi mahal akhirnya muncul  banyak pengemis. Pengangguran,
pemerasan, hingga pembunuhan yang sumber utamanya adalah uang, hanya
dengan satu alasan untuk hidup dan munculnya Undang-Undang Korupsi dan
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi bisa dijalankan dengan baik.
Namun pada kenyataannya kinerja KPK ini belum memuaskan hati publik,
karena banyak kasus korupsi yang penanganannya belum tuntas. Diantaranya
kasus korupsi pajak dan kasus yang dialami dari beberapa anggota Partai
Demokrat belakangan ini.
Pada hal ini penyusun mencoba memaparkan kemiskinan di Negara
Indonesia. Kemiskinan merupakan hal yang kompleks kerana menyangkut
berbagai macam aspek seperti hak untuk terpenuhinya pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan dan sebagainya. Agar kemiskinan di Indonesia dapat

4
menurun diperlukan dukungan dan kerja sama dari pihak masyarakat dan
keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini.
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi dan lintas sektor yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat
pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi,
geografis, gender, dan kondisi lingkungan.
Bila kita melihat sebenarnya kesejahteraan itu milik pemerintah, atau para
pegawai negeri.  Dan orang – orang yang bergerak dalam organisasi pemerintah
tingkat atas. Dan sebagian besar juga bagi para pengusaha – pengusaha yang
ruang lingkupnya besar. Golongan orang-orang kelas atas inilah yang akan selalu
menjadi penguasa, dan monopoli terhadap golongan kelas menengah ke bawah.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas dapat di buat beberapa rumusan masalah yaitu antara
lain :
a. Apa yang menjadi masalah dasar dalam pengentasan kemiskinan di
Indonesia?
b. Apa yang menjadi penyebab dari kemiskinan dan kesenjangan pendapatan?

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah


Tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
a. Menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia yang mampu dalam hal
materi agar ikut berperan serta untuk mengentaskan kemiskinan dan
kesenjangan pendapatan di Indonesia.
b. Memberikan informasi kepada masyarkat  Indonesia untuk menghadapi
kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang merupakan tantangan global
dunia ketiga.
c. Untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan Pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Permasalahan Pokok

Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan ( yang dimaksud dengan


kesenjangan ekonomi ) dan tingkat kemiskinan ( persentase dari jumlah populasi
yang hidup di bawah garis kemiskinan ) merupakan dua masalah besar di banyak
LDCs,tidak terkecuali indonesia. Dikatakan besar, karena jika dua masalah Ini
berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan
konsekuensi politik dan sosial yang sangat serius. Suatu pemerintahan  bisa jatuh
karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi
kemiskinannya. Bahkan kejadian tragedi mei 1998 menjadi suatu pertanyaan
( hipotesis ) hingga sekarang. Andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di
indonesia sama dengan misalnya di swiss, mungkinkah mahasiswa akan
begitu ngotot berdemontrasi hingga akhirnya membuat rezim soeharto jatuh pada
bulan mei 1998?

Di Indonesia pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijaksanaan


dan perencanaan pembangunan ekonomi di jakarta masih sangat percaya bahwa
proses pembangunan  ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di jawa,
khususnya jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, pada
akhirnya akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trckle down effects. Di
dasarkan pada kerangaka pemikiran tersebut, pada awal periode orde baru hingga
akhir tahun  1970 –an , strategi pembangunan ekonomi yang di anut oleh
pemerintahan soeharto lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan ekonomi
nasional di mulai di pulau jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta api, telekomunikasi, kompleks
industri, gedung-gedung pemerintahan / administrasi negara, kantor-kantor
perbankan, dan infrastruktur pendukung lainnya lebih terrsedia di jawa
( khususnya jakarta dan sekitarnya ) di banding provinsi-provinsi lain di

6
indonesia. Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan di sektor-sektor
tertentu sajayang secara potensial memiliki kemampuan basar untuk
menghasilkan NTB yang tinggi, mereka percaya bahwa nantinya hasil dari
pembanguan itu akan ‘menetes’ ke sektor-sektor dan wilayah indonesia lainnya.

Namun,  sejarah menunjukan bahwa setelah 30 tahun lebih sejak pelita 1


tahun  1969, ternyata efek menetes tersebut kecil (kalau tidak bisa dikatakan sama
sekali tidak ada), atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat. Akibat dari
strategi tersebut dapat dilihat pada tahun  1980-an hingga krisis ekonomi terjadi
pada tahun 1997, indonesia memang menikmati laju pertumbuhan ekonomi rata-
rata pertahun yang tinggi, tetapi tingkat kesenjangan dalam pembagian PN juga
semakin  besar dan jumlah orang miskin tetap banyak ; bahkan meningkat tajam
sejak krisis ekonomi.

Sebenarnya, menjelang akhir tahun 1970-an, pemerintah sudah mulai


menyadari buruknya kualitas pembanguan yang dihasilkan dengan strategi
tersebut. Oleh karena itu, sejak pelita III strategi pembangunan mulai diubah:
tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan
kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama dari pembangunan. Sejak itu
perhatian mulai di berikan pada usaha meningkatan kesejahteraan masyarakat,
misalnya lewat pengembangan industri-industri padat karya, pembangunan
pedeswaan, dan modernisasi, sektor pertanian. Hingga menjelang terjadinya krisis
ekonomi, sudah banyak dilaksanakan program-program pemerintah yang
bertujuan untuk mengurangi (kalau tidak bisa menghilangkan sepenuhnya) jumlah
orang miskin dan ketimpangan  pendapatan antara kelompok miskin dan
kelompok kaya di tanah air. Program-program tersebut antara lain adalah Inpres
Desa Trtinggal (IDT), pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya
di pedesaan), transmigrasi, pelatihan / pendidikan, dan masih banyak lagi.
Sayangnya krisis ekonomi tiba-tiba muncul diawali oleh krisis nilai tukar rupiah
pada pertengahan kedua tahun 1997, dan sebagai salah satu akibat langsungnya,
jumlah orang miskin dan gap dalam distribusi pendapatan di tanah air

7
membesarrr; bahkan menjadi jauh lebih buruk dibaandingkan dengan kondisinya
sebelum krisis.

2.2 Konsep Dan Definisi

Besarnya kemiskinan dapat di ukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis
kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan
relatif , sedangkan konsep yang pengukurannya tidak di dasarkan pada garis
kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran
mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat di
definisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang
dimaksud. Di negara-negara maju  (DCs), kemiskinan relatif di ukur sebagai suatu
proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata per kapita. Sebagi suatu ukuran relatif ,
kemiskinan relatif dapat berbeda menurut negara atau priode di dalam suatu
negara. Kemiskinan absolut adalah derajat dari kemiskinan di bawah, dimana
kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini
adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori
minimum di tambah komponen-komponen nonmakanan yang juga sangat
diperlukan untuk bertahan hidup. Walaupun kemiskinan absolut sering juga
disebut kemiskinan ekstrem, tetapi maksud dari yang terakhir ini bisa bervariasi,
tergantung pada interprestasi setempat atau kalkulasi.

2.3 Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan

1. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets

Data tahun 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan


distribusi pendapatan di banyak LDCs, terutama negera-negarayang proses
pembangunan ekonominya sangat pesat dan dengat laju pertumbuhan ekonomi
yang  tinggi, seperti indonesia, menujukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif
antara laju pertumbuhan ekonomi dengen tingkat kesenjangan dalam distribusi
pendapatan: semakin tinggi pertumbahaan PDB atau semakin besar pendapatan
per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan,
suatu studi dari Ahuja, dkk. (1997) di negara-negara di Asia Tenggara

8
menujukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama 1970-an dan 1980-an
pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per
tahun yang tinggi., pada awal tahun 1990-an ketimpangan dalam distribusi
pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali. Hal ini tidak
hanya terjadi di LDC, tetapi juga di DCs. Studi-studi dari Jantti (1997)
dan mule (1998)  memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan dalam
pembagian PN antara kelompok kaya dengan kelompok miskin di Sweden,
Inggris, AS , dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat menujukkan suatu tren
yang meningkat selama 1970-an dan 1980-an. Misalnya, Jantti (1997) di dalam
studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin membesarnya ketimpangan
dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut disebabkan oleh
pergeseran-pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan
kebijakan-kebijakan publik. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya
kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham
pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua faktor
penyebab penting.

Berdasarkan fakta ini, muncul pernyataan: kenapa terjadi suatu trade-


off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama? Atau
berdasarkan kerangka pemikiran yang melandasi “hipotesis Kuznets”
tersebut,apakah memang terbukti ada suatu korelasi positif jangka panjang
(setelah berapa tahun?) antara tingkat pendapatan per kapita (atau laju
pertumbuhannya) dan tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau suatu
korelasi negatif antara tingkat pendapatan per kapita dan besarnya kesenjangan
dan pendapatan? Atau kalau memang benar relasi antara peningkatan pendapatan
rata-rata per kapita (yang mencerminkan semakin tingginya tingkat pembangunan
ekonomi) dan tingkat ketimpangan dalam pembagian pendapatan berbentuk kurva
U terbalik.

9
2. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kemiskinan

Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan
tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan
ketimpangan dalam distribusi pendapatan seperti yang telah di bahas di atas.
Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat
kemiskinan cenderung meningkat,dan pada saat mendekati tahap akhir dari
pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Tentu seperti
telah dikatakan sebelumnya, banyak faktor-faktor lain selain pertumbahan
pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu
wilayah/negara,seperti derajat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.

Dasar pemasaran untuk menggambarkan relasi antara


pertumbuhan output agregat dan kemiskinan dapat diambil dari persamaan (3.1).
Dalam persamaan tersebut, elastisitas dari ketidakmerataan  dalam distribusi
pendapatan terhadap pertumbuhan pendapatan adalah suatu komponen kunci dari
perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (ada efek dari
perubahan ketimpangan)dari pertumbuhan pendapataan terhadap kemiskinan.
Apabila elastisitas neto dan bruto dari kemiskinan terhadap pertumbuhan
pendapatan dinyatakan masing-masing dengan g dan l,elastisitas dari kemiskinan
terhadap ketimpangan dengan d, maka di dapat (wodon, 1999):

                    l = g + bd                                                                                      
(3.2)

Untuk mendapatkan elastisitas bruto dari kemiskinanterhadap pertumbuhan


dan elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan (pertumbuhan sebagai
variabel yang dapat dikontrol), digunakan persamaan:

               Log Pkt = w + Log Wkt  + LogGkt  + wk + v kt                                              (3.3)  di


mana Pkt = kemiskinan untuk wilayah k pada periode t;W kt  dan Gkt seperti di
persamaan (3.1),wk = efek-efek yang tetap atau acak; dan vkt = term kesalahan.

10
Sudah cukup banyak studi empiris dengan pendekatan analisis lintas negara
yang menguji relasi antaram pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan , dan hasilnya
menujukkan bahwa memang ada suatu korelasi yang kuat antara kedua variabel
ekonomi makro tersebut. Akhir-akhir ini juga cukup banyak studi yang mencoba
membuktikan adanya pengaruh dari pertumbuhan output   sektoral terhadap
pengurangan jumlah orang miskin. Dalam kata lain, kemiskinan tidak hanya
bekorelasi dengan pertumbuhan output agregat atau PDB atau PN,tetapi juga
dengan pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi secara individu. Misalnya
studi dari Ravallion dan Datt (1996) dengan memakai data dari India menemukan
bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer , khususnya pertanian, jauh
lebih efekti terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder.
Sektor-sektor terakhir ini tidak punya efek yang berarti terhadap penurunan
kemiskinan  di pedesaan maupun perkotaan. Kakwani (2001) juga melaporkan
hasil yang sama dari penelitiannya untuk kasus Filipina. Dikatakan didalam
studinya bahwa sementara peningkatan 1% output di sektor pertanian mengurangi
jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sedikit di atas 1%, presentase
pertumbuhan yang sama dari output di sektor industri dan di sektor jasa hanya
mengakibatkan pengurangan kemiskinan antara seperempat hingga seper tiga
persen.

Dari hasil penemuan di atas mengatakan bahwa sektor pertanian sangat efektif
untuk mengurangi kemiskinan di LDCs. Bahkan hal ini dinyatakan dengan jelas
oleh mellor (2000) akan tetapi bnyak peneliti-peneliti lain tidak sependapat
dengan pandangan menurut mellor di antaranya seperti Hasan dan Quibria
(2002) pernyataan mereka telah didukung oleh studi dari ADB (1997) mengenai
negara-negara indusrti baru di Asia Tenggara (NICs), seperti korea selatan,
taiwan, dan singapura, yang hasil studinya menunjukan bahwa
pertumbuhan output di sektor industri manufaktur mempunyai dampak positif
yang sangat besar terhadap peningkatan kesempatan kerja dan penurunan
kemiskinan.

11
Hasan dan Quibria (2002) juga melakukan studi untuk menguji secara
empiris dampak dari pola pertumbuhan output menurut sektor terhadap penurunan
kemiskinan dengan menggunakan data planel dari 45 negara di Asia timur dan
Selatan, Amerika Latin, dan karibian, serta Afrika sub-sahara. Model yang
digunakan untuk mengestimasi pengaruh dari pertumbuhan PDB terhadap tingkat
kemiskinan pada prinsipnya sama seperti persamaan (3.3). sedangkan untuk
mengukur relasi antara kemiskinan dan pertumbuhan sektoral, mereka
mengestimasi persamaan berikut ini.

LnP = a + b1LnY1 + b2LnY2 + b3LnY3 + u +


R                                                                   (3.4)

Dari mana P adalah kemiskinan yang didefinisikan sebagai suatu fraksi dari
jumlah populasi dengan pengeluaran konsumsi di bawah suatu tingkat
pengeluaran minimum yg telah  di tetapkan sebelumnya,atau garis kemiskinan; Y
mewakili tingkat output per kapita di tiga sektor: pertanian, industri
pengolahan,dan jasa; sedangkan u dan R adalah term kesalahan.

Secara garis besar disini dapat di lihat di gambar 3.2, plot antara data PN per
kapita dan data presentase dari jumlah populasiyang hidup di bawah garis
kemiskinan dari negara-negara yg di teliti memberi kesan yang kuat bahwa ada
suatu korelasi negatif antara tingkat pendapatan dan kemiskinan: semakin tinggi
tingkat pendapatan per kapita, semakin rendah tingkat kemiskinan ; atau dalam
perkataan lain , negara-negara dengan tingkat PN per kapita yang lebih tinggi
cenderung mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan
negara-negara yang tingkat PN per kapitanya lebih rendah.

Dapat dilihat bahwa elastisitas pertumbuhan pendapatan dari kemiskinan untuk


Asia timur adalah yang tertinggi, disusul kemudian oleh Ameriks Latin, Asia
Selatan, dan Afrika Sub-sahara. Jadi menurut hasil ini, 1% kenaikan PN per kapita
akan mengurangi kemiskinan 1,6% di Asia timur, dan 0,7% di Afrika sub-sahara.

Kakwani dan pernia (2001) mendefinisikan suatu indeks per tumbuhan


prokemiskinan yang membandingkan penurunan kemiskinan yang sebenarnya

12
terjadi akibat pertumbuhan ekonomi tanpa mempengaruhi distribusi pendapatan di
sejumlah negara di Asia Timur dan Asia Tenggara. Dengan memakai indeks ini,
mereka menemukan bahwa selama periode 90-an, pertumbuhan ekonomi di korea
selatan lebih prokemiskinan secara signifikan dari pada pertumbuhan di Thailand
dan Lao PDR. Hasil studi mereka jugs menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi
di pedesaan lebih prokemiskinan daripada pertumbuhan ekonomi di perkotaan.

Studi-studi lainnya adalah misalnya dari Dolar dan Kraay menunjukan


bahwa elastisitas pertumbuhan PDB pendapatan per kapita dari kelompok miskin
adalah 1%, yang artinya pertumbuhan rata-rata output sebesar 1% membuat 1%
peningkatan pendapatan dari masyarakat miskin. Sedangkan hasil estimasi
dari Timmer dengan memakai teknik-teknik ekonometrik yang sama melaporkan
bahwa elastisitas tersebut hanya sekitar 8%, yang artinya kurang dari proporsional
keuntungan bagi kelompok miskin dari pertumbuhan ekonomi.

2.4 Beberapa Indikator Kesenjangan Dan Kemiskinan

Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi


pendapatan yang dapat di bagi kedalam Dua kelompok pendapatan,
yakni axiomatic, dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam
literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur,
yakni The Generalized Entropy (GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini.

Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0: kemerataan
sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1:
ketidak merataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang
(atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan
negara tersebut.

Ide dasar dari perhitungan koefisien Gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien
Gini adalah rasio: (a) daerah di dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva
Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 45 drajat dari
titik 0 dari sumbu Y dan X) terhadab (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan
tersebut dan sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai raio Gini, yakni mendekati 1

13
atau semakin menjauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar
tingkat ketidakmerataan  distribusi pendapatan.

Selain tiga alat ukur tsb, ada cara pengukuran lainnya yang juga umum di
gunakan terutama oleh Bank Dunia, adalah dengan cara jumlah penduduk
dikelompokan menjadi tiga grup: 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40%
penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan
tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya ketidakmerataan pendapatan diukur
berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan
rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi
pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% dari penduduk berpendapatan rendah
menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketida merataan
sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah
pendapatan; sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut
menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.

Untuk mengukur kemiskinan, ada tiga indikator yg diperkenalkan oleh Foster


dkk. (1984) yang sering digunakan di dalam banyak studi empiris. Pertama, the
incidence of povert : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga
dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya
sering disebut rasio H. Kedua, the depth of poverty yang menggambarkan
dalamnya kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak
kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan poverty gap index. Indeks ini
mengestimasi jarak / perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis
kemiskinan sebagai suatu proporsi. Ketiga, the severity of poverty yang diukur
dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama
seperti IJK. Namun, selain memisahkan jarak yang memisahkan orang miskin dari
garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin
atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga
disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui
intensitas kemiskinan.

14
Adanya dua indikator tersebut (selain rasio H) adalah untuk mengkompensasi
kelemahan dari rasio H yang tidak bisa menjelaskan tingkat keparahan
kemiskinan disuatu negara. Selain itu,  para peneliti kemiskinan sudah lama
tertarik pada dua faktor lain, yaitu rata-rata besarnya kekurangan pendapatan
orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar orang
miskin. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain tidak berubah, tambah tinggi
rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin, tambah besar gap
pendapatan antar orang miskin, dan kemiskinan akan tambah besar.

Dari dasar pemikiran diatas, muncul indeks kemiskinan sen, yang


memasukkan dua faktor tersebut, yakni koefisien Gini dan rasio H:

S = H [ I + (1-1) Gini ]

Dimana I adalah jumlah rata-rata defisit pendapatan  dari orang miskin sebagai
suatu presentase dari garis kemiskinan, dan koefisien Gini yang mengukur
ketimpangan antara orang miskin. Apbila salah satu dari faktor-faktor tsb naik,
tingkat kemiskinan bertambah besar (yang di ukur dengan S).

2.5 Penemuan Empiris

1. Distribusi Pendapatan

Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di indonesia pada umumnya


menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari
survei. Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai
sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan
masyarakat. Walaupun di akui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu
kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi
yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat
pendapatan yang sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus
selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau
lebih keci. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran
konsumsinya juga besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah

15
pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah.
Banyak rumah tangga menggunakan kredit Bank untuk membiayai pengeluaran
konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai
sekolah anak atau bahkan untuk liburan.

Secara teoretis, perubahan pola distribusi pendapatan di pedesaan dapat


disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini.

1. Akibat arus penduduk / L dari pedesaan ke perkotaan yang selama orde baru
berlangsung sangat pesat. Sesuai teori A. Lewis (1954), perpindahan orang
dari pedesaan ke perkotaan memberi suatu dampak positif terhadap
perekonomian di pedesaan: kesempatan kerja produktif , tingkat produktivitas
dan pendapatan rata-rata masyarakat di pedesaan meningkat. Sedangkan
ekonomi perkotaan pada suatu saat akhirnya tidak mampu menmpung suplai L
yang meningkat terus setiap tahunnya, yang sebagian besar adalah pendatang
dari pedesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan pengangguran, di
satu pihak, dan menurunnya laju pertumbuhan tingkat upah / gaji, di pihak
lain.

2. Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di pedesaan dengan di


perkotaan. Di pedesaan jumlah sektor relatif lebih kecil dibandingkan di
perkotaan, dan sektor-sektor yang ada di pedesaan lebih kecil ( dilihat dari
jumlah unit usaha di dalam dan output  yang dihasilkan oleh sektor )
dibandingkan sektor-sektor yang sama di perkotaan. Perbedaan ini di tambah
dengan tingkat pendapatan per kapita di pedesaan yang lebih rendah daripada
di perkotaan membuat struktur pasar di pedeaan jauh lebih sederhana daripada
di perkotaan. Struktur pasar yang sederhana ini membuat distorsi passar juga
relatif lebih kecil (kesempatan berusaha bagi individu lebih besar) di pedsaan
dibandingkan di perkotaan.

3. Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional. Dampak tersebut


bisa dalam beragam bentuk, di antaranya:

16
a. Semakin banyak kegiatan-kegiatan ekonomi di pedesaan di luar sektor
pertanian,seperti industri manufaktur ( kebanyakan dalam skala kecil,atau
industri rumah tangga,perdagangan,perbengkelan dan jasa lainnya,serta
bangunan ). Difersivikasi ekonomi pedesaan ini tentu menambah jumlah
kesempatan kerja di pedesaan dan juga menambah pendapatan petani;

b. Tingkat produktivitas dan pendapatan (dalam nilai riil) L di sektor


pertanian meningkat,bukan saja akibat arus manusia dari sektor tersebut ke
sektor-sektor lainnya di perkotaan ( seperti di dalam teori A.lewis ),tetapi
juga akibat penerapan/pemakaian T baru dan penggunaan input-input yang
lebih baik,misalnya pupuk hasil pabrik,dan permintaan pasar domestik dan
X terhadap komoditas-komoditas pertanian meningkat;

c. Potensi SDA yang ada di pedesaan semakin baik dimanfaatkan oleh


penduduk desa (pemakaian semakin optimal ).

Selain studi di atas,studi dari BPS dkk.( 2001 ) juga menarik untuk secara
garis besar disini. Mereka menganalisis perbedaan dalam keseenjangan
pendapatan antara kelompok berpendapatan tinggi dan kelompok  pendapatan
rendah di pedesaan dan perkotaan,koefisien G gini secara terpisah untuk keempat
kelompok tersebut. Hasilnya disajikan di gambar 3.6, yang menunjukan bahwa
kesenjangan pendapatan di dalam masyarakat yang tidak miskin lebih besar dari
pada di dalam masyarakat miskin karna karna kelompok tidak miskin tersebut
mencakup juga kelompok yang sangat kaya,dan oleh sebab itu perpedaan di
perkotaan juga lebih besar dibandingkan di pedesaan. Kesimpulan dari gambar 3.6
adalah bahwa krisis ekonomi berdampak lebih besar dari masyarakat kaya
dibandingkan pada masyarakat miskin.

Membaiknya distribusi pendapatan di pedesaan kemungkinan juga disebabkan


oleh membaiknya tingkat upah/gaji ( W ) rata-rata per pekerja di pedesaan. Data
dari susenas menunjukan bahwa selama periode 1986/1997, W rata-rata per L di
pedesaan mengalami pertumbuhan lebih tinggi daripada di perkotaan.

17
Sehingga, rasio W di pedesaan terhadap W di perkotaan mengalami
peningkatan dari sekitar 57% tahun 1990 ke 65%  tahun 1997; walaupun masih
lebih rendah dibandingkan rasio pada tahun 1986 (tabel 3.4). selain peningkatan
W, menurunnya ketimpangan pendapatan di pedesaan relatif terhadap
ketimpangan di perkotaan juga di pengarui oleh factor-faktor lain seperti
perbedaan inflansi antara perkotaan dan pedesaan ,serta mobilisasi pekerja baik
antarsektor di pedesaan maupun antar perkotaan dan pedesaan.

Tabel 3.4

Perubahan Tingkat W di Pedesaan dan perkotaan

1986-1997 (Rupiah Per Bulan)

Periode Perkotaan (U) Perdesaan (R) Rasio R/U(% )

1986 88.073 59.237 67

1990 115.835 66.395 57

1997 288.498 186.753 65

Sumber .BPS (Sakernas)

Menurut Aghion dkk (1999), didalam suatu ekonomi dimana pasar tidak
sempurna dan tingkat kekayaan serta kondisi SDM berbeda menuntut individu,
maka ada tiga alasan utama kenapa kesenjangan pendapatan mempunyai suatu
efek negatif yang langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni kesenjangan :
(a) mengurangi kesempatan, (b) mengurangi insentif bagi peminjam dana, dan (c)
menciptakan ekonomi makro yang tidak stabil.

Berlawanan dengan landasan teori di atas, kelompok pemikir lain yang


mengatakan bahwa relasi antara pertumbuhan dan kesenjangan pendapatan pada
tingkat maka sangat tergantung pada spesifikasi daripada proses pertumbuhan.

2. Kemiskinan

18
Kemiskinan bukan hanya masalah indonesia, tetapi merupakan masalah dunia.
Laporan dari bank dunia menunjukan bahwa tahun 1998 terdapat 1,2 miliar orang
miskin dari sekitar 5 miliarlebih jumlah penduduk di dunia. Sebagian besar berada
di Asiaselatan (43,5%) yang terkonsentrasi di india, Bangladesh, Nepal, Sri
Lanka, dan Pakistan. Afrika sub – Sahara merupakan wilayah kedua di dunia yg
padat orang miskin (24,3%). Di wilayah ini kemiskinan disebabkan karena iklim
dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian ( kering dan
gersang), pertikaian antar suku yg tidak ada henti-hentinya, manajemen ekonomi
makro yang buruk dan pemerintahan yg bobrok. Wilayah ke tiga yg terdapat
orang miskin adalah Asia Tenggara dan pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia
Tenggara terutama terdapat di cina, laos, indonesia, vietnam, thailand, dan
kamboja. Sisanya terdapat di Amerika latin dan negara Karbia (6,5%), Eropa dan
Asia tengah (2,0%), serta timur tengah dan afrika utara (0,5%).

Dari laporan bank dunia tersebut juga dapat dilihat bahwa selama 1998, ada
dua wilayah yang terjadi pengurangan jumlah orang miskin, yakni Asia Tenggara
dan Pasifik, serta di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sedangkan wilayah-wilayah
kemiskinan lainnya tidak ada perbaikan. Di Afrika Sub-Sahara, kemiskinan
bahkan bertambah. Ada dua hal menarik dari laporan Bank Dunia :

1. Berdasarkan garis kemiskinan 1,08 dolar AS per hari persentase populasi yang
hidup dibawah garis kemiskinan bervariasi menurut wilayah. Hal ini
disebabkan oleh adanya perbedaan antar wilayah tersebut dalam struktur dan
pertumbuhan ekonomi, keberadaann SDA, SDM, jumlah penduduk, kondisi
iklim, dan geografi.

2. Selama 1987-1998, laju pengurangan orang miskin berbeda menurut wilayah,


hal ini mencerminkan antara lain perbedaan efek pertumbuhan ekonomi
terhadap tingkat kemiskinan antar wilayah.

Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah besar, terutama


melihat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin di tanah air

19
berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dibandingkan laju
pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak Pelita 1 hingga 1997.

Kalau dilihat data dari Asia dalam studinya Dealolikar dkk (2002),
kelihatannya memang ada perbedaan dalam persentase perubahan kemiskinan
antara kelompok negara dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
kelompok negara dengan pertumbuhan yang rendah.

Seperti telah dibahas sebelumya, , banyak studi empiris yang memang


membuktikan adanya suatu relasi trade-off yang kuat antara laju pertumbuhan
pendapatan dan tingkat kemiskina, namun hubungan negati tersebut tidak
sistematis. Misalnya stud dari Deininger dan Squire (1995a,b, 1996) dengan
memakai data lintas negara tidak menemukan suatu keterkaitan yang sistematis
walaupun relasi antara pertumbuhan PDB dan pengurangan kemiskinan positif.
Studi dari Ravallionn danChen (1997) dengan memakai data dari survei-survei
pendapatan dan pengeluaran konsumsi keluarga di 67 LDCs dan negara-negara
transisi untuk periode 1981-1994, juga menunjukkan bahwa penurunan
kemiskinan hampir selalu berbarengan dengan dengan peningkatan pendapatan
rata-rata perkapita atau standar kehidupan, dan sebaliknya kemiskinan bertambah
dengan kontraksi ekonomi.

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam studi-studi mengenai kemiskinan


di dalam negri dapat diuraikan secara garis besar sebagai berikut. BPS
menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita
sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan.
Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2100 kalori perhari, sedangkan
pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk
perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.

Pradhan dkk (2000) meneliti sektor ekonomi yang paling besar


sumbangannya terhadap peningkatan kemiskinan di Indonesia pada krisis dengan
membandingkan perubahan kemiskinan di Indonesia antara tahun 1996 dan 1997
menurut sektor. Yang menunjukkan bahwa selama periode tersebut semua sektor

20
mengalami suatu kenaikan dalam kemiskinan. Satu hal yang menarik dari
penelitian adalah bahwa ternyata pertanian adalah sektor dengan tingkat
kemiskinan terbesar dan juga dengan kontribusi terbesar terhadap peningkatan
kemiskinan di tanah air.

Pentingnya pertanian bagi penurunan kemiskinan di Indonesia juga menjadi


fokus dari penelitian Warr (2002) yang menganalisis relasi antara penurunan
kemiskinan dan pertumbuhan Output dari tiga sektor, yakni pertanian (Yp),
industri pengolahan (Yi) dan jasa (Ys), berdasarkan persamaan berikut :

Y = Yp + Yi + Ys + Y(1-p-I-s)

Dimana Y adalah output agregat (PDB), dan Y (1-p-I-s) adalah output dari sektor-
sektor ekonomi lainnya. Berdasarkan persamaan (3,10), ia mengestimasi
persamaan berikut :

dP = a + bpSpyp + biSiyi + bsSsys + cn + dr

Dimana Sk (k=p,i,s) = saham output dari pertanian (p), industri pengolahan (i),
jasa (s), dalam pembentukan PDB; n = laju pertumbuhan populasi ; y adalah
pertumbuhan output sektoral rata-rata pertahun; r adalah laju pertumbuhan rata-
rata dari indeks harga konsumen (inflasi); dan dP adalah laju perubahan pertahun
dari the poverty headcount index (rasio H).

2.6 Kebijakan Anti Kemiskinan

Untuk mengetahui kenapa diperlukan kebijakan anti kemiskinan dan distribusi


pendapatan, perlu di ketahui bagaimana hubungan amaliah antara pertumbuhan
ekonomi,kebijakan, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.

Kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai


salah satu kebijakan penting dari lembaga  dunia seperti Bank Dunia, ADB,
UNDP, ILO dll. Pada tahun 1970, pada saat komite dari PBB utuk perencanaan
pembangunan menyiapkan suatu deklarasi untuk dekade pembangunan kedua dari
PBB. Komite tersebut mendeklarasikan bahwa penurunan kemiskinan lewat

21
percepatan proses pembangunan,penyempurnaan distribusi pendapatan, dan
perubahan-perubahan sosial lainnya ( kesempatan kerja, pendidikan,kesehatan,
dan perumahan) sebagai tujuan terpenting dari suatu strategi pembangunan
internasional yang tepat.

Tahun 1990, Bank Dunia lewat lllaporannya World Development Report on


poverty mendeklarasikan bahwa peperangan yang berhasil melawan kemiskinan
perlu dilakukan secara serentak pada tiga front: (i) pertumbuhan ekonomi yang
luas dan padat karya menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi
kelompok miskin; (ii) pengembangan SDM ( pendidikan, kesehatan, dan gizi )
yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan
kesempatan-kesempatan yg diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi; (iii) membuat
suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka di antara penduduk miskin yg sama
sekali tidak mampu untuk mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi
dan kesempatan pengembangan  SDM akibat ketidak mampuan fisik dan mental,
bencana alam, konflik sosial,dan teriolasi secara fisik.

Pada tahun 2000, Bank Dunia muncul dengan kerangka analisis yang baru
untuk memerangi kemiskinan yg dibangun diatas tiga pilar, yakni: pemberdayaan,
keamanan, dan kesempatan. Pemberdayaan adalah proses peningkatan kapasitas
dari penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga pemerintah yg
mempengaruhi kehidupan mereka, dengan  memperkuat partisipasi didalam prose
politik  dan pengambilan keputusan pada tingkat lokal. Keamanan adalah proteksi
bagi orang miskin terhadap goncangan yg merugikan, lewat manajemen yg lebih
baik dalam menangani goncangan ekonomi makro dan jg jaringan pengaman yg
lebih komprehensif. Sedangkan kesempatan adalah proses peningkatan akses dari
kaum miskin terhadap dua aset penting, yakni modal fisik dan modal manusia
( SDM) dan peningkatan tingkat dari pengembalian dari aset-aset tsb ( world
Bank,2000c).

Untuk mendukung strategi yg tepat dalam memerangi kemiskinan, di perlukan


intervensi-intervensi pemerintah yg sesuai dengan sasaran / tujuan perantaranya

22
dapat dibagi menurut waktu, yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang. Intervensi jangka pendek seperti pembangunan sektor pertanian, usaha
kecil, dan ekonomi pedesaan. Intervensi lainnya yg bisa dimasukkan dalam
kategori intrervensi jangka pendek adalah manajemen lingkungan dan SDA. Hal
ini sangat penting karena hancrnya lingkungan dan habisnya SDA akan dengan
sendirinya menjadi faktor pengerem proses pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi, yg berarti juga sumber peningkatan kemiskinan. Pembangunan
transportasi, komuniasi, energi dan keuangan, dan proteksi sosial ( termasuk
sistem jaminan sosial ) juga merupakan intervensi jangka pendek yg sangat
penting.

Sedangkan intervensi jangka menengah dan panjang yang penting adalah


sebagai berikut:

1. Pembangunan / penguatan sektor swasta

2. Kerjasama regional

3. Manajemen pengeluaran pemerintah ( APBN) dan Administrasi

4. Desentralisasi

5. Pendidikan dan kesehatan

6. Penyediaan Air bersih dan pembangunan perkotaan

7. Pembagian tanah pertanian yang merata.

BAB III

23
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Masalah kemiskinan di Indonesia memang sangat rumit untuk dipecahkan.


Dan tidak hanya di Indonesia saja sebenarnya yang mengalami jerat
kemiskinan, tetapi banyak negara di dunia yang mengalami permasalahan ini.

Upaya penurunan tingkat kemiskinan sangat bergantung pada pelaksanaan


dan pencapaian pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, agar
pengurangan angka kemiskinan dapat tercapai, dibutuhkan sinergi dan
koordinasi program – program pembangunan di berbagai sektor, terutama
program yang menyumbang langsung penurunan kemiskinan.

Negara yang ingin membangun perekonomiannya harus mampu


meningkatkan standar hidup penduduk negaranya, yang diukur dengan
kenaikan penghasilan riil per kapita. Indonesia sebagai negara berkembang
memenuhi aspek standar kemiskinan diantaranya merupakan produsen barang
primer, memiliki masalah tekanan penduduk, kurang optimalnya sumber daya
alam yang diolah, produktivitas penduduk yang rendah karena
keterbelakangan pendidikan, kurangnya modal pembangunan, dan orientasi
ekspor barang primer karena ketidakmampuan dalam mengolah barang –
barang tersebut menjadi lebih berguna.

DAFTAR PUSTAKA

24
Tambunan, T.H., Tulus, Dr., 2003. Perekonomian Indonesia Beberapa
Permasalahan Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia

https://www.academia.edu/36396724/Makalah_Perekonomian_Indonesia

25

Anda mungkin juga menyukai