Anda di halaman 1dari 14

BAB II

DESKRIPSI KASUS

A. Karakteristik Anak Usia Sekolah (7-12 Tahun)


a. Pengertian anak usia sekolah
Anak usia sekolah antara 7-12 tahun, periode ini kadang
disebut sebagai masa anak-anak pertengahan atau masa laten,
masa untuk mempunyai tantangan baru. Kekuatan kognitif untuk
memikirkan banyak faktor secara simultan memberikan
kemampuan pada anak-anak usia sekolah untuk mengevaluasi
diri sendiri dan merasakan evaluasi teman-temannya. Dapat
disimpulkan sebagai sebuah penghargaan diri menjadi masalah
sentral bagi anak usia sekolah (Behrman, Kliegman, & Arvin,
2012).
Menurut Buku Data Penduduk yang diterbitkan oleh
Kemenkes RI (2011), anak usia sekolah adalah anak-anak yang
berusia 7-12 tahun. Periode pubertas sekitar usia 12 tahun
merupakan tanda akhir masa anak-anak menengah (Wong,
Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2009).
Menurut Wong (2009), anak usia sekolah atau anak yang sudah
sekolah akan menjadi pengalaman inti anak. Periode ini anak-
anak dianggap mulai bertanggungjawab atas perilakunya sendiri
dalam hubungan dengan orangtua mereka, teman sebaya, dan
orang lain. Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh
dasar-dasar pengatahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri
pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu
(Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz,
2009).
b. Tugas perkembangan anak usia sekolah
Pada masa ini anak memasuki masa belajar di dalam dan
diluar sekolah. Anak belajar di sekolah, tetapi membuat latihan
pekerjaan rumah yang mendukung hasil belajar disekolah. Aspek
perilaku banyaj dibentuk melalui penguatan (reinforcement)
verbal, keteladanan, dan identifikasi. Anak-anak pada masa ini
harus menjalani tugas-tugas perkembangan, yaitu :
1) Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk
permainan yang umum
2) Membentuk sikap sehat mengenai dirinya sendiri
3) Belajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman-teman
seusianya
4) Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita
5) Mengembangkan keterampilan dasar: membaca, menulis, dan
berhitung
6) Mengembangkan pengertian atau konsep yang diperlukan
untuk kehidupan sehari-hari
7) Mengembangkan hati nurani, nilai moral, dan tingkatan nilai
sosial
8) Memperoleh kebebasan pribadi
(Gunarsa. D., 2008)
c. Tahap tumbuh kembang anak usia sekolah
1) Pertumbuhan fisik
Rata-rata kenaikan berat badan anak usia sekolah 6 – 12
tahun kurang lebih sebesar 3,2 kg per tahun. Periode ini,
perbedaan individu pada kenaikan berat badan disebabkan
oleh faktor genetik dan lingkungan. Tinggi badan anak usia 6
tahun, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tinggi badan
yang sama, yaitu kurang lebih 115 cm. Setelah usia 12 tahun,
tinggi badan kurang lebih 150 cm (Kozier, Erb, Berman, &
Snyder, 2011).
Kekuatan otot, koordinasi dan daya tahan tubuh meningkat
secara terus-menerus. Kemampuan menampilkan pola
gerakan-gerakan yang rumit seperti menari, melempar bola,
atau bermain alat musik. Kemampuan perintah motorik yang
lebih tinggi adalah hasil dari kedewasaan maupun latihan;
derajat penyelesaian mencerminkan keanekaragaman yang
luas dalam bakat, minat dan kesempatan bawaan sejak lahir.
Organ-organ seksual secara fisik belum matang, namun minat
pada jenis kelamin yang berbeda dan tingkah laku seksual
tetap aktif pada anak-anak dan meningkat secara progresif
sampai pada pubertas (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000).
2) Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif Piaget terdiri dari beberapa tahapan,
yaitu:
a) Concrete operational (7 – 11 tahun)
Fase ini, pemikiran meningkat atau bertambah logis dan
koheren. Anak mampu mengklasifikasi benda dan perintah
dan menyelesaikan masalah secara konkret dan sistematis
berdasarkan apa yang mereka terima dari lingkungannya.
Kemampuan berpikir anak sudah rasional, imajinatif, dan
dapat menggali objek atau situasi lebih banyak untuk
memecahkan masalah. Anak sudah dapat berpikir konsep
tentang waktu dan mengingat kejadian yang lalu serta
menyadari kegiatan yang dilakukan berulang-ulang, tetapi
pemahamannya belum mendalam, selanjutnya akan
semakin berkembang di akhir usia sekolah atau awal masa
remaja.
b) Formal operation (11 – 15 tahun)
Tahapan ini ditunjukkan dengan karakteristik
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan
kemampuan untuk fleksibel terhadap lingkungannya. Anak
remaja dapat berpikir dengan pola yang abstrak
menggunakan tanda atau simbol dan menggambarkan
kesimpulan yang logis. Mereka dapat membuat dugaan
dan mengujinya dengan pemikiran yang abstrak, teoritis,
dan filosifis. Pola berpikir logis membuat mereka mampu
berpikir tentang apa yang orang lain juga memikirkannya
dan berpikir untuk memecahkan masalah (Supartini, 2004).
Kemampuan membaca biasanya berkembang dengan
baik di akhir masa kanak-kanak dan bacaan yang dibaca
anak biasanya dipengaruhi oleh keluarga. Setelah usia 9
tahun, kebanyakan anak termotivasi oleh dirinya sendiri.
Mereka bersaing dengan diri sendiri dan mereka senang
membuat rencana kedepan, mencapai usia 12 tahun,
mereka termotivasi oleh dorongan di dalam diri, bukan
karena kompetisi dengan teman sebaya. Mereka senang
berbicara, berdiskusi mengenai berbagai subjek dan
berdebat (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
3) Perkembangan moral
Menurut Kohlberg, beberapa anak usia sekolah masuk
pada tahap I tingkat pra-konvensional Kohlberg (Hukuman
dan Kepatuhan), yaitu mereka berupaya untuk menghindari
hukuman, akan tetapi beberapa anak usia sekolah berada
pada tahap 2 (Instumental–Relativist orientation). Anak-anak
tersebut melakukan berbagai hal untuk menguntungkan diri
mereka. (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
4) Perkembangan spiritual
Menurut Fowler, anak usia sekolah berada pada tahap 2
perkembangan spiritual, yaitu pada tahapan mitos–faktual.
Anak-anak belajar untuk membedakan khayalan dan
kenyataan. Kenyataan spiritual adalah keyakinan yang
diterima oleh suatu kelompok keagamaan, sedangkan
khayalan adalah pemikiran dan gambaran yang terbentuk
dalam pikiran anak. Orangtua dan tokoh agama membantu
anak membedakan antara kenyataan dan khayalan. Orangtua
dan tokoh agama lebih memiliki pengaruh daripada teman
sebaya dalam hal spiritual (Fowler, J. W., 1981; Kozier, Erb,
Berman, & Snyder, 2011).
5) Perkembangan seksual
Freud menggambarkan anak-anak kelompok usia
sekolah (6–12 tahun) masuk dalam tahapan fase laten.
Selama fase ini, fokus perkembangan adalah pada aktivitas
fisik dan intelektual, sementara kecenderungan seksual
seolah ditekan (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).
a) Fase Laten (6-12 tahun)
Selama periode laten, anak menggunakan energi fisik
dan psikologis yang merupakan media untuk
mengkesplorasi pengetahuan dan pengalamannya melalui
aktivitas fisik maupun sosialnya. Pada fase laten, anak
perempuan lebih menyukai teman dengan jenis kelamin
perempuan, dan laki-laki dengan laki-laki. Pertanyaan anak
tentang seks semakin banyak dan bervariasi, mengarah
pada sistem reproduksi. Orangtua harus bijaksana dalam
merespon pertanyaan-pertanyaan anak, yaitu
menjawabnya dengan jujur dan hangat. Luasnya jawaban
orangtua disesuaikan dengan maturitas anak. anak
mungkin dapat bertindak coba-coba dengan teman
sepermainan karena seringkali begitu penasaran dengan
seks. Orangtua sebaiknya waspada apabila anak tidak
pernah bertanya mengenai seks. Peran ibu dan ayah
sangat penting dalam melakukan pendekatan dengan
anak, termasuk mempelajari apa yang sebenarnya sedang
dipikirkan anak berkaitan dengan seks.
b) Fase Genital (12-18 tahun)
Menurut Freud, tahapan akhir masa ini adalah tahapan
genital ketika anak mulai masuk fase pubertas. Ditandai
dengan adanya proses pematangan organ reproduksi dan
tubuh mulai memproduksi hormon seks.
6) Perkembangan psikososial
Pendekatan Erikson dalam membahas proses
perkembangan anak usia sekolah yaitu :
a) Industry versus inferiority (6-12 tahun)
Anak akan belajar untuk bekerjasama dengan bersaing
dengan anak lainnya melalui kegiatan yang dilakukan, baik
dalam kegiatan akademik maupun dalam pergaulan
melalui permainan yang dilakukan bersama. Otonomi mulai
berkembang pada anak di fase ini, terutama awal usia 6
tahun dengan dukungan keluarga terdekat. Perubahan
fisik, emosi, dan sosial pada anak yang terjadi
mempengaruhi gambaran anak terhadap tubuhnya (body
image). Interaksi sosial lebih luas dengan teman, umpan
balik berupa kritik dan evaluasi dari teman atau
lingkungannya mencerminkan penerimaan dari kelompok
akan membantu anak semakin mempunyai konsep diri
yang positif. Perasaan sukses dicapai anak dengan
dilandasi adanya motivasi internal untuk beraktivitas yang
mempunyai tujuan. Kemampuan anak untuk berinteraksi
sosial lebih luas dengan teman dilingkungannya dapat
memfasilitasi perkembangan perasaan sukses (sense of
industry). Perasaan tidak adekuat dan rasa inferiority atau
rendah diri akan berkembang apabila anak terlalu
mendapat tuntutan dari lingkungannya dan anak tidak
berhasil memenuhinya. Harga diri yang kurang pada fase
ini akan mempengaruhi tugas-tugas untuk fase remaja dan
dewasa. Pujian atau penguatan (reinforcement) dari
orangtua atau orang dewasa terhadap prestasi yang
dicapainya menjadi begitu penting untuk menguatkan
perasaan berhasil dalam melakukan sesuatu.

B. Prinsip Pelaksanaan Bermain di Rumah Sakit


Agar anak dapat lebih efektif dalam bermain di rumah sakit, perlu
diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Permainan tidak banyak menggunakan energi


Waktu bermain lebih singkat untuk menghindari kelelahan dan
alat-alat permainannya lebih sederhana. Menurut (Vanfeet, 2010)
waktu yang diperlukan untuk terapi bermain pada anak yang
dirawat di rumah sakit adalah 15-20 menit. Waktu 15-20 menit
dapat membuat kedekatan antara orangtua dan anak serta tidak
menyebabkan anak kelelahan akibat bermain. Hal ini berbeda
dengan Adriana (2011) yang menyatakan bahwa waktu untuk terapi
bermain 30-35 menit yang terdiri dari tahap persiapan 5 menit,
tahap pembukaan 5 menit, tahap kegiatan 20 menit dan tahap
penutup 5 menit. Lama pemberian terapi bermain bisa bervariasi,
idealnya dilakukan 15-30 menit dalam sehari selama 2-3 hari.
Pelaksanaan terapi ini dapat memberikan mekanisme koping dan
menurunkan kecemasan pada anak.
2) Mainan harus relatif aman dan terhindar dari infeksi silang
Permainan harus memperhatikan keamanan dan kenyamanan.
Anak kecil perlu rasa nyaman dan yakin terhadap benda-benda
yang dikenalnya, seperti boneka yang dipeluk anak untuk memberi
rasa nyaman dan dibawa ke tempat tidur di malam hari, mainan
tidak membuat anak tersedak, tidak mengandung bahan
berbahaya, tidak tajam, tidak membuat anak terjatuh, kuat dan
tahan lama serta ukurannya menyesuaikan usia dan kekuatan anak.
3) Sesuai dengan kelompok usia
Pada rumah sakit yang mempunyai tempat bermain, hendaknya
perlu dibuatkan jadwal dan dikelompokkan sesuai usia karena
kebutuhan bermain berlainan antara usia yang lebih rendah dan
yang lebih tinggi
4) Tidak bertentangan dengan terapi
Terapi bermain harus memperhatikan kondisi anak. Bila program
terapi mengharuskan anak harus istirahat, maka aktivitas bermain
hendaknya dilakukan ditempat tidur. Permainan tidak boleh
bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan anak.
Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang dapat
dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain
dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang ada di ruang
rawat.
5) Perlu keterlibatan orangtua dan keluarga
Banyak teori yang mengemukakan tentang terapi bermain,
namun menurut Wong (2009), keterlibatan orangtua dalam terapi
adalah sangat penting, hal ini disebabkan karena orangtua
mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi
tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat si rumah
sakit. Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya tidak dibiarkan
sendiri. Keterlibatan orangtua dalam perawatan anak di rumah sakit
diharapkan dapat mengurangi dampak hospitalisasi.
Keterlibatan orangtua dan anggota keluarga tidak hanya
mendorong perkembangan kemampuan dan ketrampilan sosial
anak, namun juga akan memberikan dukungan bagi perkembangan
emosi positif, kepribadian yang adekuat serta kepedulian terhadap
orang lain. Kondisi ini juga dapat membangun kesadaran buat
anggota keluarga lain untuk dapat menerima kondisi anak
sebagaimana adanya. Hal ini sesuai dengan penelitian Bratton
(2005) keterlibatan orangtua dalam pelaksanaan terapi bermain
memberikan efek yang lebih besar dibandingkan pelaksanaan terapi
bermain yang diberikan oleh seorang profesional kesehatan mental.
Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila
permainan dilakukan oleh perawat, orang tua harus terlibat secara
aktif dan mendampingi anak mulai dari awal permainan sampai
mengevaluasi hasil permainan bersama dengan perawat dan orang
tua anak lainnya.

C. Karakteristik Permainan Menurut Usia


1. Permainan anak usia 7-12 tahun menurut (Saputro & Fazrin, 2017) :
a) Melipat kertas origami
Permainan origami untuk melatih motorik halus anak, serta
mengembangkan imajinasi anak. permainan ini dilakukan
dengan melipat kertas membentuk topi, kodok, ikan, bunga,
burung dan pesawat. Ajari dan beri contoh dengan perlahan
kepada anak dalam melipat kertas. Selalu beri pujian terhadap
apa yang telah dicapai anak. Hasil karya anak bisa dipajang
dimeja anak atau didekat infus anak agar mudah terlihat orang
lain.
b) Mewarnai gambar
Permainan ini juga melatih motorik halus anak dan
meningkatkan kreatifitas anak. Sediakan kertas bergambar dan
krayon/spidol warna, kemudian berikan kertas bergambar
tersebut kepada anak dan minta anak untuk mewarnai gambar
dengan warna yang sesuai, ingatkan anak untuk mewarnai
didalam garis. Tulis nama anak diatas gambar yang telah
diwarnai anak.
c) Menyusun puzzle
Siapkan gambar puzzle yang akan disusun anak, upayakan
pemilihan gambar puzzle yang tidak asing bagi anak-anak.
Pisahkan terlebih dahulu puzzle-nya kemudian minta anak untuk
menyusun kembali gambar tersebut. Ajak/buat kompetisi dalam
permainan ini yaitu siapa yang duluan selesai menyusun puzzle,
anak tersebut sebagai pemenangnya. Beri semangat juga bagi
teman lain yang belum menyelesaikan puzzle-nya.
d) Menggambar bebas
Sediakan kertas kosong dan pensil atau krayon/spidol warna,
lalu berikan kepada anak dan minta anak menggambar diatas
kertas tersebut. Kemudian minta anak menceritakan gambar
yang telah dibuatnya. Beri stimulus dalam memulai menggambar
seperti beri ide membuat gambar mobil, gambar binatang atau
menggambar pemandangan
e) Bercerita
Permainan ini dimulai dengan memberi kesempatan kepada
anak untuk membaca sebuah cerita/dongeng (cerita/dongeng
bisa kita siapkan sebelumnya dalam majalah atau buku cerita).
Setelah itu minta anak menceritakan kembali apa yang telah
dibacanya. Beri tanggapan terhadap isi cerita yang disampaikan
anak, seperti “wah hebat ya anak kancilnya”. Kemudian beri
tepuk tangan setelah anak selesai menceritakan apa yang telah
dibacanya.
f) Meniup balon
Permainan ini sangat baik sekali untuk anak-anak, selain
untuk bermain juga melatih pernafasan anak. Berikan balon
bermotif kepada anak kemudian minta anak untuk meniup balon
tersebut hingga besar. Hal yang perlu diperhatikan adalah
pantau anak dan balonnya, jangan sampai balonnya meletus
atau anak memaksakan untuk meniup balon sedangkan kondisi
anak sudah kelelahan.

D. Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman individual dan subjektif yang dapat
mempengaruhi orang di semua usia. Nyeri adalah fenomena kompleks
yang melibatkan banyak komponen dan dipengaruhi oleh banyak
faktor, misalnya kondisi pasca operasi (Kyle & Carman, 2015).
Timbulnya nyeri pasca operasi merupakan proses yang sangat
kompleks. Selama operasi mediator-mediator inflamasi dilepaskan,
yang meliputi histamin, leukotriene, prostaglandin, sitokin, bradikinin.
Mediator tersebut menimbulkan hyperalgesia di tempat luka dan
jaringan sekitarnya.
Faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya adalah usia,
perhatian, dan ansietas. Menurut Retnopurwandri (2008) semakin
bertambah usia semakin bertambah pula pemahaman terhadap suatu
masalah yang diakibatkan oleh tindakan dan memiliki usaha untuk
mengatasinya. Kelompok usia anak-anak yang masih kecil memiliki
kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat
(Potter&Perry, 2006).
Stimulus nyeri mengaktifkan bagian system limbik yang diyakini
mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas (Taylor, 2011).
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan
upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun (Potter&Perry, 2008).
Oleh karena itu, manajemen nyeri adalah salah satu faktor penting
dalam merawat pasien anak yang telah menjalani pembedahan.
Penanggulangan nyeri secara nonfarmakologis perlu dilakukan oleh
perawat. Pada penelitian di lima rumah sakit China yang dilakukan
oleh He, Polkki, Pietila & Julkunen (2006) dengan memberikan
kuesioner kepada orang tua (n=206) yang anaknya menjalani operasi.
Orang tua merespon tinggi (88%) metode yang sering digunakan
adalah metode non farmakologis.
Bermain dapat digunakan sebagai media psikoterapi atau
pengobatan terhadap anak yang dikenal dengan sebutan Terapi
Bermain (Tedjasaputra, 2007). Adapun tujuan bermain bagi anak di
rumah sakit adalah agar anak dapat melanjutkan fase tumbuh
kembang secara optimal, mengembangkan kreativitas anak sehingga
anak dapat berdaptasi lebih efektif terhadap stress. Terapi bermain
dapat membantu anak menguasai kecemasan dan konflik karena
mengurangi ketegangan dalam permaina, juga untuk memberikan
pengalihan dan menimbulkan relaksasi. Hampir semua bentuk
permainan dapat digunakan untuk pengalihan dan relaksasi, tetapi
aktivitas tersebut harus dipilih berdasarkan usia, minat, dan
keterbatasan anak.
Relaksasi Nafas Dalam merupakan terapi nonfarmakologi yang sangat efektif untuk
menurunkan skala nyeri. Pada anak untuk mendapatkan efek relaksasi nafas dalam
dilakukan dengan cara terknik terapi bermain meniup balon. Anak akan mengalihkan
rasa nyerinya tersebut dengan bermain meniup balon,sehingga rasa nyeri pada anak dapat
berkurang. Lalu dengan menggambar juga anak dapat mengembangkan kreativitasnya
sehingga anak dapat melanjutkan fase tumbuh kembang secara optimal walaupun anak
sedang dalam hospitalisasi (Wong, 2009).
Balon lebih mudah digunakan karena bentuknya elastis sehingga lebih
efektif jika dilakukan untuk terapi nafas dalam. Balon memiliki warna yang
menarik sehingga membuat anak - anak tertarik dalam melakukan terapi nafas
dalam dan anak dapat memilih warna kesukaan mereka.
Teknik relaksasi nafas dalam mampu merangsang tubuh untuk melepaskan
hormon opioid endorfin dan enfelaktin. Hormon endorfine merupakan hormone sejenis
morfin yang berfungsi menghambat tranmisi implus nyeri ke otak. Saat neuron nyeri
mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi sinapsis antara neuron perifer dan neuron yang
menuju otak tempat seharusnya substansi P akan menghasilkan impuls. Pada saat
tersebut , endorphin akan memblokir lepasnya substansi P dari neuron sensorik, sehingga
sensasi nyeri akan berkurang (Smeltzer & Bare, 2002).
Penurunan skala nyeri yang dialami pasien dikarenakan oleh peningkatan fokus
terhadap nyeri yang dialami responden beralih pada relaksasi nafas dalam dengan
meniup baling-baling, sehingga suplai oksigen dalam jaringan akan meningkat dan otak
akan berelaksasi. Otak yang berelaksasi akan merangsang tubuh utuk menghasilkan
hormon endorphin untuk menghambat tranmisi impuls nyeri ke otak dan dapat
menurunkan sensasi terhadap nyeri yang akan menyebabkan intensitas nyeri berkurang
(Perry & Potter, 2010).

Diagnosa Keperawatan

Data Masalah Etiologi

DS = Nyeri Akut Agen Pencedera Fisik


(Prosedur Operasi)
Mengatakan nyeri pada
bagian yang dioperasi,
merasa tidak nyaman

DO =

1. Post operasi
2. Usia Sekolah
3. Skala nyeri 3
4. Tampak meringis
kesakitan dan menangis
5. Frekuensi Nadi dan
pernapasan meningkat

Rencana Keperawatan

Dx Keperawatan Tujuan dan KH Intervensi


Nyeri Akut b.d Agen Setelah dilakukan tindakan  Terapi Relaksasi
Pencedera Fisik (Prosedur keperawatan selama 1x 24
Operasi) jam diharapkan nyeri akut - Identifikasi penurunan
teratasi dengan KH : tingkat energi,
ketidakmampuan
 Tingkat Nyeri berkonsentrasi, atau gejala
- Keluhan nyeri lain yang mengganggu
(-) kemampuan kognitif
- Cemas (-)
- Periksa ketegangan otot,
 Kontrol nyeri
frekuensi nadi, tekanan
- Mampu
darah, dan suhu sebelum dan
menggunakan
sesudah latihan
teknik
nonfarmakologi - ciptakan lingkungan
untuk tenang dan tanpa gangguan
mengurangi dengan pencahayaan dan
nyeri suhu ruang yang nyaman,
6. jika memungkinkan

- Berikan inforasi tertulis


tentang persiapan dan
prosedur teknik relaksasi

- Gunakan terapi relaksasi


sebagai strategi penunjang
dengan analgetik

- Jelaskan tujuan, manfaat,


Batasan, dan jenis relaksasi
yang tersedia (meniup balon
lalu menggambar di atas
balon)

- Anjurkan mengambil
posisi nyaman

- Demonstrasikan dan latih


teknik relaksasi (teknik
relaksasi napas dalam
melalui tiup balon)

- Monitor respons terhadap


terapi relaksasi

Anda mungkin juga menyukai