Anda di halaman 1dari 11

DIFTERI PADA ANAK

Disusun oleh :
1. Andini Budi (1810009)
2. Anggi Lutfia (1810011)
3. Candra Maulidya (1810021)
4. Feny Agni (1810041)
5. Henri Surantono (1810047)
6. Nadhifatul Zamma (1810063)
7. Septi Permatasari (1810089)
8. Tasya Salsabila (1810101)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH

SURABAYA

2019
DIFTERI
A. DEFINISI
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah
satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi
nama serupa dengan bakteri penyebabnya.
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, dan ada kalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina (Chin, 2000). Bakteri
Corynebacterium diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, dan bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian
yaitu type gravis, intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004). Difteri
menyebabkan selaput tebal di bagian belakang tenggorokan. Hal ini dapat
menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung, kelumpuhan, bahkan
kematian.Vaksin dianjurkan untuk bayi, anak-anak, remaja dan orang dewasa
untuk mencegah difteri (CDC).

B. ETIOLOGI
Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri
gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk
spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil
ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi (Dahlan, 2007).
Dengan pewarnaan, bakteri bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L
atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Bakteri
ini tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam
media yang mengandung K-telluritatau media Loeffler. Pada membrane
mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan bakteri
diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler,
medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium
Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil,
glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat (Sudoyo,
2006).
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan
3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
a. Gravis
Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisis eritrosit.
b. Mitis
Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.
c. Intermediate
Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis
mitis. Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji
dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bias
memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda. Sebagian besar
jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada
bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain
toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan
subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh
pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya
memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu
strain untuk membentuk/ memproduksi toksin dipengaruhioleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bias diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi
oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. Untuk membedakan jenis
virulen dan non virulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin,
yaitu dengan cara:
1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih
dipakai sampai sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
3. Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan
waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang
membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang


dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil
difteri. Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium serosis. Basil dapat
membentuk :
a. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna
putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan
nekrotik dan basil.
b. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan
yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu per lima
puluh ml toksin dapat membunuh marmot dan kurang lebih 1/50 dosis ini
dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri
berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan toksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan
pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri
difteria akan mati pada pemanasan suhu 60°C selama 10 menit, tetapi
tahanhidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah
mengering (Sumarmo, 2008).
C. PATOGENESIS
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin
pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam
sel. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim
translokasi sehingga proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati.
Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan jaringan nekrotik
membentuk bercak eksudat yang pad awalnya mudah dilepas. Semakin
banyak produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk
eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman tergantung dari jumlah darah yang terkandung
(IDAI,2008).
Menurut Zulhijjah (2012), toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu
seperti saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada
minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga
terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa
terjadi selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan,
tampak sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram (EKG). Namun,
kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan
kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara
perlahan selama berminggu-minggu.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat
amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudahrobek
dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan
lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan
saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
udara, sehingga mengalami kelsulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan
ditemukannya membran inilah diagnosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL
Depkes, 2003). Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan
tenggorok (Kementerian Kesehatan,2013).

D. GEJALA
a. Difteri hidung
Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan
disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian makropulen menyebabkan lecet pada nares
dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah
septum nasi. Absorbs sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak
nyata sehingga lama terdiagnosis.
b. Difteri faring
Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari
berikutnya akan timbul membrane yang melekat berwarna putih/kelabu
dapat menutupi tonsil dan dinding faring meluas ke uvula dan palatum
molle atau ke bawah laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis
dan submandibular, bila limfadentid terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas, maka akan timbul bersamaan dengan
edema jaringan lunak leher yang luas, maka akan timbul bullneck.
Selanjutnya gejala tergantung pada derajat penetrasi toksin dan luas
membrane. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernapasan atau
sirkulasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10
hari.
c. Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri
laring primer gejala toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit
dibedakan dari tipe infectious croupsyang lain, seperti nafas berbunyi,
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi
laringberat terdapat retraksi suprasental, interkostal dan supraklavikular.
Bila terjadi peleasan membrane yang menutup jalan napas, bisa terjadi
kematian mendadak.
d. Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga
Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit
berupa tukak dikulit, tapi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya,
kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada konjungtiva
pelpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan
berbau.

E. PENCEGAHAN
a. Imunisasi DPT
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan
dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur
dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Pemberian
imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri,
pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin
akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara
mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas . Berdasarkan program
dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia
sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali.
Sayangnya kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi,
sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap
10 tahun sekali. (Wijaya, 2004)
b. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteri dan
perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. (Wijaya,
2004)
c. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene
Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan,
pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah
menulardalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus
menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Di samping itu juga perlu
diperhatikan makanan yang kita konsumsi. Jika kita harus membeli
makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri,
penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan
dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. (Kartono, 2008)

F. TREATMENT
Pengobatan pada penderita difteria bertujuan untuk menginaktivasi toksin
yangbelum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadiminimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah
penularan serta mengobatiinfeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin
difteri hanya berpengaruh padatoksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada
sel, tetapi tidak menetralisasi toksinyang telah melakukan penetrasi ke dalam
sel. (Detending RR, 2007)
a. Pengobatan umum
1) Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu.
2) Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
3) Pemberian cairan serta diet yang adekuat,
4) Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori.
5) Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antaralain
dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama
5 minggu.
6) Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (Sing A, 2005)
b. Pengobatan Khusus
1) Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari
ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. (Sing A,
2005)Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis.
Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatasnegatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit,
tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
120.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADSintravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian
pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness). (Long SS, 1996)
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan
untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan
mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara
luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin
sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri
nasofaring.4. Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya
organisme diperoleh sekurang kurangnya dua biakan berturut-turut
dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah
selesai terapi (Detending RR, 2007).
3) Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteri. Dianjurkan kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat
disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit
miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah
miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5
mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari
(Detending RR, 2007).
c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya
reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakantrakeotomi
(Maloney Dowel, 2011). Pengobatan terhadap miokarditis adalah dengan
istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan
pemberian digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang
mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial
respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan
nafas harus selalu dijaga. (Maloney Dowel, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, 17th.ed. Jakarta:


Infomedika.
Dahlan A, Aminullah A. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. 11 th
ed. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Depkes RI. 2004. Pedoman Penyelenggaran Imunisasi. Jakarta.
Kartono, 2008. Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Vol.2 No.5.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam
Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI

Anda mungkin juga menyukai