1
2.2 SEJARAH HAM
Pada umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan
lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan
bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi
ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai
pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi
dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja
melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya
kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam hukum bahwa raja terikat kepada
hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang
pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai
dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja
sebagai simbol belaka.
Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret,
dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul
adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di mukahukum (equality before the law).
Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. kemudian
berkembang lagi dengan lahirnya teoriRoesseau(tentang contract social/perjanjian
masyarakat) Motesquieudengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan
guna mencegah tirani,John Lockedi Inggris danThomas Jeffersondi Amerika dengan hak-hak
dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnyaThe American Declaration
of Independenceyang lahir dari pahamRoesseau dan Montesqueu. Mulailah dipertegas
bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila
sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlahThe French Declaration, dimana hak-hak yang lebih
rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada
penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah
dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan
pulapresumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan
dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang
2
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga denganfreedom of
expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut
keyakinan/agama yang dikehendaki),the right of property (perlindungan terhadap hak milik)
dan hak-hak dasar lainnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada
tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is
freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third
is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings
which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in
the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a
worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no
nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-
anywhere in the world." Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler
memusnahkan berjuta- juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan
HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal denganThe Universal Declarationof
Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
3
- Hak atas peradilan yang adil.
2. Hak ekonomi, sosial, dan budaya;hak yang dimaksud di sini adalah:
- Hak untuk bekerja, karena setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri.
- Hak untuk mendapat upah yang sama; maksudnya bahwa tidak boleh ada
diskriminasi dalam pemberian upah yang sesuai kemampuan.
- Hak atas kesehatan dan perumahan.
3. Hak pembangunan;hak yang dimaksud di sini adalah:
- Hak untuk mendapatkan rumah yang layak
- Hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat
- Hak untuk mendapat layanan kesehatan yang layak
4
a. menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai
politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang
ada dalam masyarakat.
b. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan
Januari 1946.
Hal yang sangat penting dalam kaitan dengan HAM adalah adanya perubahan
mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial menjadi sistem
parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945, yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Isi Maklumat tersebut
adalah sebagai berikut.
“Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang ketat dengan
selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat
sekarang sudah tepat utnuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna
menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam
perubahanperubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab ada di dalam
tanganmenteri”.
2. Periode Tahun 1950 - 1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan
periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan
momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi
semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan
elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan dalam buku“Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia menyatakan bahwa pemikiran dan
aktualisasi HAM pada periode ini mengalami“pasang” danmenikmati“bulanmadu”
kebebasan.Indikatornya menurut ahli hukum tata negara ini ada 5 (lima) aspek. Pertama,
semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-
masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi harus
berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen
atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan
5
kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin
efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan
iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang
kebebasan. Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang
berbeda aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya
HAM masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota
Konstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD.
3. Periode Tahun 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi
terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer.
Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan Presiden.
Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, Presiden melakukan tindakan inkonstitusional,
baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam
kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi manusia, yaitu hak sipil dan hak
politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan
tulisan. Dengan kata lain, telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh
kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga Negara
4. Periode Tahun 1966 - 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat
untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar
tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM,
pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya, pada tahun
1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji
materiil (judicial review) guna melindungi HAM. Hak uji materiil tidak lain diadakan
dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966. MPRS melalui Panitia Ad
Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentang Hak-
Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Dalam buku 30 Tahun
Indonesia Merdeka, Ketua MPRS, A.H. Nasution dalam pidatonya menyatakan sebagai
berikut.
6
“Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia
sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan
kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa
manusia melakukan hak-hak dan kewajibankewajibannya dalam hubungan yang timbal
balik: a. antarmanusia dengan manusia; b. antarmanusia dengan Bangsa, Negara dan
Tanah Air ;antarBangsa.
Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang menghargai hak
individu dalam keselarasannya dengankewajiban individu terhadap
masyarakat”.Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-
an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi
dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran penguasa pada masa ini sangat diwarnai
oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta
bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah
pada masa ini bersifat mempertahankan produk hukum yang umumnya membangun
pelaksanaan HAM. Sikap pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah
produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
tercermin dalam Pancasila. Selain itu, Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal
HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu
dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap pemerintah ini
didasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara
Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia.
Meskipun mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya
terus ada pada periode ini terutama di kalangan masyarakat yang dimotori oleh lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM. Upaya
masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait
dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung
Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus Irian Jaya, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan
oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampaknya memperoleh hasil yang
menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif
ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah
satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya
7
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES Nomor
50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan
menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada
pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Selain itu, Komisi ini bertujuan untuk membantu
pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(termasuk hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah, KhutbahWada’,
Deklarasi Kairo, dan deklarasiatau perundang-undangan lainnya yang terkait dengan
penegakan HAM.
5. Periode Tahun 1998 - Sekarang.
Pergantian pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar
pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan
pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya, dilakukan penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan
ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula pengkajian dan
ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari
pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional
khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen
internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu
tahap status penentuan (prescriptive status) dan tahap penataan aturan secara konsisten
(rule consistent behaviour). Pada tahap status penentuan (prescriptive status) telah
ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti amandemen
konstitusi negara (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945),
ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan
perundang-undangan lainnya. Adapun, tahap penataan aturan secara konsisten (rule
consistent behaviour) mulai dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Habibie. Tahapl
ini ditandai dengan penghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah
8
konvensi HAM, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Lainnya
dengan UU Nomor 5/1999; Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan keppres Nomor 83/1998; Konvensi ILO
Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU Nomor 19/1999; Konvensi
ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU Nomor
21/1999; Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja
dengan UU Nomor 20/1999. Selain itu, juga dicanangkanprogram “Rencana Aksi
NasionalHAM” pada tanggal 15 Agustus 1998 yang didasarkan pada empat hal sebagai
berikut.
a. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM.
b. Desiminasi informasi dan pendidikan bidang HAM.
c. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM.
d. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi
melalui perundang-undangan nasional.
9
negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap
penyalahgunaan wewenang oleh setiap penguasa. Olehkarena itu, Indonesia menganut
prinsip “ Rule of Law,and not of Man”.Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa
pengertian Rule of Lawtidak dapat dipisahkan dengan pengertian Negara hukum. Negara
yang menganut systemRule of Lawharus memiliki prinsip-prinsip yang jelas.
10
c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UU serta keputusan-keputusan
pengadilan.
11
DAFTAR PUSTAKA
F.S Catherine dkk.2010.The Rule Of Law dan Hak Asasi Manusia. Universitas Airlangga.
Surabaya
Puspita, Imami Diyah. 2015. Makalah PKN Rule Of Law dan Hak Asasi Manusia.Bangkalan
Sadega, Ega. 2015. Makalah HAM.
12