Anda di halaman 1dari 6

RESUME

Etika Untuk Melayani atau Menerima Pasien

DISUSUN OLEH

JHIAN BILONDATU 751540119079

KELAS I C KEBIDANAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES GORONTALO


JURUSAN DIII KEBIDANAN

T.A 2019/2020
Etika Untuk Melayani atau Menerima Pasien

A. Pengertian-Pengertian Dasar

Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Yang berasal dari kata “Ethos” dalam
bentuk tunggal mempunyai arti kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku manusia, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Arti terakhir inilah yang menurut
Aristoteles menjadi latar belakang – usul kata-kata ini, “Etika” berarti ilmu tentang
apa yang biasa diakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan(Farelya,gita.2018.hal,1)

Adapun Pengertian Majelis Etika Profesi adalah merupakan badan


perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari
klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan
hukum. Realisasi majelis Etika Profesi Bidan adalah dalam bentuk majelis
Pertimbangan Etika Bidan (MPEM) dan Majelis Peradilan Profesi (MPA). Latar
belakang dibentuknya Majelis Etika Profesi Bidan atau MPEM adalah adannya
unsure-unsur pihak-pihak terkait yaitu :

1. Pemeriksa pelayanan untuk pasien.

2. Sarana pelayanan kesehatan.

3. Tenaga pemberi pelayanan, yaitu bidan

Tujuannya dibentuk Majelis Etika bidan adalah untuk memberikan perlindungan yang
seimbang dan obyektif kepada bidan dan penerima
pelayanan(Dwienda,dkk.2014.hal.187).

Demikian hal tersebut setiap manusia mempunyai hak atas kesehatan,


sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 4 Undang-undang No.36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Hak atas
kesehatan bagi setiap orang dijabarkan sebagai suatu hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumberdaya di bidang kesehatan,serta hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau seperti tercantum dalam
pasal 5 undang-undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan (Panggabean:2018.hal.1)
B. Prinsip-prinsip Etika Kebidananan

Dalam menjalankan perannya sebagai praktisi atau pemberi layanan selain


berpegangan pada kode etik dan standar profesi, ada beberapa hal yang dapat menjadi
pegangan bagi bidan saat menjalankan profesinya :

1. Hati nurani. Bidan harus menjadikan hati nuraninya sebagai


pedoman. Hati nurani paling mengetahui kapan perbuatan
individu melanggar etika oleh bidan dapat bersifat fisik
ataupun secara verbal, misalnya berbohong, berucap kasar,
mencuri barang milik pasien, membocorkan rahasia pasien.
2. Teori etika. Untuk memecahkan suatu masalah dalam situasi
yang sulit, bidan dapat berpegangan pada teori etika. Sekalipun
teori ini telah tau namun masih relevan karena selalu
disesuaikan dengan perkembangan zaman, seperti teori
Immanuael Kant yang menyatakan bahwa sikap menjunjung
tinggi prinsip otonomi adalah penting dan teori ini sangat
relevan bila diterapkan dalam praktik kebidanan. Bidan harus
senantiasa berpegangan pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip
etika, seperti menghargai otonomi, melakukan tindakan yang
benar, mencegah tindakan yang dapat merugikan,
memperlakukan manusia secara adil, menjelaskan dengan
benar, menepati janji yang telah disepakati, menjaga rahasia.

Dalam beradaptasi teori etika, bidan harus mampu menyesuaikan


dengan keadaan dirinya. Bidan tidak boleh memaksa untuk
mengadaptasi suatu teori secara kaku karena hal ini akan
merugikan bidan itu sendiri. The code of professional conduct
merupakan kode etik bidan di Inggris yang terdiri atas campuran
perbagai teori pendekatan. Bidan harus menilai kemampuan
dirinya dalam melakukan sesuatu namun tidak menyimpang dari
prinsip pelayanan, yaitu berusaha mengutamakan keselamatan ibu,
bayi, dan keluarganya. Contohnya ketika bidan harus melayani
puluhan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal,
belasan ibu yang akan bersalin, selain ibu yang memerlukan
pelayanan KB dan asuhan bayi baru lahir dengan staf yang terbatas
maka kemungkinan besar dia hanya dapat menerapkan teori
utilitarian (mencoba menghasilkan yang terbaik bagi semua orang
sesuai dengan kemampuannya karena golongan utilitarian
meyakini bahwa hasil yang di dapat setiap orang harus sama).
Sebenarnya bidan tersebut dapat menerapkan teori deontology
namun pelayanan yang dia berikan tidak akan mencakup semua
pasien.

C. Bidan Harus Memberikan Otonomi kepada Pasien

Masalah etika yang biasanya terjadi dalam masalah kebidanan seringkali


berkaitan dengan pemberian otonomi kepada pasien. Pemberian otonomi dan
kesempatan menentukan pilihan bagi ibu adalah suatu keharusan atau unsur utama,
bukan lagi sekedar pelengkap dalam pelayanan kebidanan. Sikap bidan yang enggan
member otonomi pada pasiennya perlu mendapat perhatian serius. Sikap ini biasanya
ditunjukkan untuk menjaga kelangsungan nilai-nilai lama (Kolot atau pola
paternalistic), bukan karena ingin menguasai pasien. Sebagai bidan yang masih
menerapkan sikap tersebut (sampai saat ini) meyakini bahwa mereka memiliki
pengetahuan yang jauh lebih banyak ketimbang dengan pasiennya. Akibatnya, bidan
tersebut merasa paling tahu apa yang terbaik bagi pasiennya, merasa paling tahu apa
yang terbaik bagi pasiennya sehingga dia merasa paling pantas mengambil keputusan
dalam proses perawatan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang di ajarkan
kepada mahasiswa Kebidanan untuk senantiasa mendorong ibu memiliki otonomi dan
menolak semua bentuk paternalisme.

Terkadang dalam situasi tertentu, dibutuhkan pola paternalistik, misalnya


pada pasien kehilangan kontrol diri sehingga tidak dapat mengambil keputusan bagi
dirinya sendiri. Akan tetapi, keadaan itu hanya berlangsung sesaat dan tindakan bidan
mengambil ahli proses pengambilan keputusan itu ditunjukkan hanya untuk
membantu pasien memperoleh kembali kontrol dirinya. Dalam kondisi ini, bidan
menggunakan pola semipaternalistik, seperti ketika kita menggunakan upaya
persuasif (membujuk) untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Bidan sekaligus
menjamin keselamatan pasien. Kesulitan akan muncul bila jumlah staff tidak
memadai. Bidan dipaksa untuk mengubah cara pendekatannya dari deontologi
(melakukan prinsip perawatan kepada setiap individu) menjadi utilitarian. Jika
kondisi tersebut, lembaga kesehatan (tempat bidan bekerja atau menjalankan
profesinya) bias dikatakan melanggar etika karena secara tidak langsung memaksa
bidan bekerja dibawah tekanan untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada
pasien dalam waktu yang singkat, sekaligus menjadi orang yang disalahkan bila
terjadi kelalaian. Meskipun nantinya, institusi tempat bidan bekerja turut bertanggung
jawab namun bidanlah yang akan menanggung beban moral dalam menghadapi
kondisi tersebut.

Saat meberi pelayanan seperti tenaga kesehatan lainnya, bidan juga sering
menghadapi dilema, terutama jika keinginan pasien bertentangan dengan prinsip yang
dipegang bidan. Contohnya, seorang ibu ingin menggugurkan janinnya karena setelah
tes USG (Ultrasonografi) diketahui bahwa bayinya mengalami sindrom down. Si
bidan ditugaskan untuk terlibat dalam proses terminasi kehamilan tersebut, padahal
secara pribadi, dia tidak setuju dengan tindakan aborsi. Pada kasus tersebut, bidan
berhak menolak namun sebaikanya pada awal bekerja, dia sudah mengatakan
keberatannya kepada supervisor agar bila terjadi situasi kedaruratan, bidan itu
terhindar dari tinndakan melalaikan pasien.

Dalam menjalankan perannya sebagai pendidik, bidan bertanggung jawab


untuk member pendidikan kepada :

1. Memberi informasi yang secara tidak langsung mengiring pasien


mengambil keputusan yang menurut bidan adalah keputusan terbaik.

D. Bidan Sebagai Seorang Konselor

Tujuan utama bidan sebagai konselor adalah agar pasien mendapatkan


informasi yang cukup sehingga mendorong pasien untuk memiliki otonomi. Jika
bidan tidak dapat mememnuhi peran tersebut, bidan dapat dianggap melanggar hak
moral pasiennya. Dalam menjalankan perannya sebagai konselor dengan optimal
karena rasio jumlah bidan sering mengeluhkan keterbatasan waktu sehingga mereka
tidak bisa menjalankan perannya sebagai konselor dengan optimal karena rasio
jumlah bidan dan pasien berbeda jauh. Satu satunya solusi adalah dengan
menambahkan jumlah bidan sesuai dengan jumlah pasien. Jika tidak, bidan bisa
dianggap telah melalaikan hak klien dan keluarganya.

Dalam menjalankan peran sebagai penasehat, bidan harus dapat membatasi


diri jika ingin tetap menghargai otonomi klien. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
pasien membutuhkan informasi yang memadai agar dapat membuat keputusan dan
terus mengendalikan dirinya sendiri. Akan tetapi, sangat sulit bagibidan untuk
menahan diri tidak memberikan nasehat(sekalipun diminta) berdasarkan
pengalamannya. Menghadapi berbagai pasien dan rekan sejawat. Hal ini akan
menghambat pasien dalam menentukan keinginannya sendiri. Bidan yang memaksa
member advice dengan tujuan mempertahankan kontrol mereka terhadap klien dapat
di anggap sebagai dictator.

E. Peran Bidan Sebagai Seorang “Advokat”

Seorang advokat merupakan individu yang mulia berani, dan jujur, memiliki
penilaian yang baik dan tulus serta ulek dalam mengajarkan tugasnya. Seorang
advokat, disertai dengan kepandaian bertutur bahasa, mampu menempatkan
permasalahan dengan tepat sekaligus mampu mengontrol perasaan pribadinya. Untuk
menjalankan peran advokasi dengan baik, bidan harus benar-benar menyadari
posisinya dan dimana dia berada. Advokasi adalah rantai penghubungan antara
menjadi professional sekaligus menjaga otonomi pasiennya. Peran bidan dalam
memberikan advokasi sangat penting, khususnya ketika pasien menolak, mencabut
persetujuan (consent) atas tindakan medis yang sebenarnya dapat mencegah
terjadinya kematian atau kesakitan pasien itu sendiri. Contohnya, seorang ibu
menolak tindakan operasi ceasar, dengan alasan ingin merasakan proses persalinan
normal dan menjadi perempuan yang seutuhnya, padahal pada saat itu kondisi si ibu
tidak memungkinkan untuk menjalani persalinan normal. Dalam kondisi ini bidan
harus berperan sebagai advokat dengan member penjelasan dan dorongan (bukan
paksaan) kepada ibu mengenai sisi positif dan negative dari keputusan yang dia
ambil.

Karena posisi bidan yang tidak hanya membantu proses kelahiran an sich
maka agar dapat menjalankan perannya dengan baik, bidan dituntut untuk senantiasa
memperbarui ilmunya dengan mengikuti perkembangan ilmu kebidanan sehingga
dapat member perawatan berdasarkan fakta ilmiah. Pelayanan kesehatan tidak boleh
berdasarkan pada ritual dan sejarah sehingga tenaga kesehatan dituntut senantiasa
bisa mengupdate informasi(Yuwono.2013.hal,348-355).

Anda mungkin juga menyukai