Anda di halaman 1dari 13

BANJIR DI SEMARANG

A. KARAKTERISTIK BENCANA BANJIR


a. Pengertian
Ada dua pengertian mengenai bajir. (1) aliran air sungai yang tingginya melebihi muka
air normal sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan
rendah disisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang semakin meninggi, mengalir dan
melimpas muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air; (2) gelombang banjir berjalan
kearah hilir sistem sungai yang berinteraksi dengan kenaikan muka air dimuara akibat badai.

b. Penyebab
Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas normal, sehingga
sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran
drainase dan kanal penampungan banjir buatan yang ada tidak mampu menampung akumulasi air
hujan tersebut sehingga meluap. Kemampuan/daya tampung sistem pengaliran air dimaksud
tidak selamanya sama, tetapi berubah akibat sedimentasi, penyempitan sungai akibat phenomena
alam dan ulah manusia, tersumbat sampah hambatan lainnya. Penggundulan hutan di daerah
tangkapan air hujan (catchment area) juga menyebabkan peningkatan debit banjir karena
debit/pasokan air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui
kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan
terjadinya sedimentasi di system pengaliran air dan wadah air lainnya. Disamping itu
berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit banjir. Pada daerah
permukiman dimana telah padat dengan bangunan sehingga tingkat resapan air kedalam tanah
berkurang, jika terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi sebagaian besar air akan menjadi
aliran air permukaan yang langsung masuk ke dalam sistem pengaliran air sehingga
kapasistasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir.

c. Mekanisme Perusakan
Pada umumnya banjir yang berupa genangan maupun banjir bandang bersifat merusak.
Aliran arus air yang cepat dan bergolak (turbulent) meskipun tidak terlalu dalam dapat

1
menghanyutkan manusia, hewan dan harta benda. Aliran air yang membawa material tanah yang
halus akan mampu menyeret material yang lebih berat sehingga daya rusaknya akan semakin
tinggi. Air banjir yang pekat ini akan mampu merusakan pondasi bangunan, pondasi jembatan
dan lainnya yang dilewati sehingga menyebabkan kerusakan yang parah pada bangunan‐
bangunan tersebut, bahkan mampu merobohkan bangunan dan menghanyutkannya. Pada saat air
banjir telah surut, material yang terbawa banjir akan diendapkan dan dapat mengakibatkan
kerusakan pada tanaman, perumahan serta timbulnya wabah penyakit. Banjir bandang (flash
flood) biasanya terjadi pada aliran sungai yang kemiringan dasar sungainya curam. Aliran banjir
yang tinggi dan sangat cepat, dapat mencapai ketinggian lebih dari 12 meter (Banjir Bahorok,
2003) limpasannya dapat membawa batu besar/bongkahan dan pepohonan serta dapat
merusak/menghanyutkan apa saja yang dilewati namun cepat surut kembali. Banjir semacam ini
dapat menyebabkan jatuhnya korban manusia (karena tidak sempat mengungsi) maupun
kerugian harta benda yang besar dalam waktu yang singkat.

d. Kajian Bahaya
Diperlukam kajian atas kejadian banjir yang telah terjadi sebagai data historis dan empiris
yang dapat dipakai untuk menentukan tingkat kerawanan dan upaya antisipasi banjir suatu
daerah. Kajian tersebut diantaranya mencakup :
1) Rekaman atau catatan kejadian bencana yang telah terjadi memberikan indikasi awal akan
datangnya banjir dimasa yang akan datang atau dikenal dengan banjir periodik (tahunan, lima
tahunan, sepuluh tahunan, lima puluh tahunan atau seratus tahunan).
2) Pemetaan topografi yang menunjukkan kontur ketinggian sekita daerah aliran/sungai yang
dilengkapi dengan estimasi kemampuan kapasitas system hidrologi dan luas daerah tangkapan
hujan (catchment area) serta “plotting” berbagai luas genangan yang pernah terjadi.
3) Data curah hujan sangat diperlukan untuk menghitung kemungkinan kelebihan beban atau
terlampauinya kapasitas penyaluran sistem pengaliran air baik system sungai maupun sistem
drainase.

2
e. Gejala dan Peringatan Dini
Datangnya banjir diawali dengan gejala‐gejala sebagai berikut :
1) Curah hujan yang tinggi pada waktu yang lama merupakan peringatan akan datangnya
bencana banjir di daerah rawan bencana banjir.
2) Tingginya pasang laut yang disertai badai mengidikasikan akan datangnya bencana banjir
beberapa jam kemudian terutama untuk derah yang dipengaruhi pasang surut.
3) Evakuasi dapat dimulai dengan telah disamai atau dilampauinya ketinggian muka banjir
tertentu yang disebut muka banjir/air “siaga”. Upaya evakuasi akan efektif jika dilengkapi
dengan sistem monitoring dan peringatan yang memadai. Sistem peringatan dini dengan
mengunakan sistem telementri pada umunya kurang berhasil, karena keterbatasan dana untuk
pemeliharaan alat dan tidak mencukupinya jumlah tenaga dan kemampuannya. Namun
peringatan dini dapat dilaksanakan dengan cara yang sederhana yaitu dengan pembacaan papan
duga muka air secara manual yang harus dilaksanakan pada segala kondisi cuaca (termasuk
ditengah hujan lebat), dan mengkomunikasikan perkembangan pembacaan peningkatan muka air
melalui radio atau alat komunikasi yang ada. Kelemahan dari sistem peringatan dini yang ada
sekarang ini adalah penyebaran luasan berita peringatan dini kepada masyarakat yang dapat
terkena banjir pada tingkat desa. Biasanya staf dari instasi yang bertanggung jawab menerima
berita dengan tepat waktu, namun masyarakat yang terkena dampak menerima peringatan hanya
pada saat‐saat terakhir. Penyiapan dan distribusi peta rawan banjir akan membuat masyarakat
menyadari bahwa mereka hidup di daerah rawan banjir. Ramalan banjir dan sistem peringatan
dini yang dipadukan dengan peta rawan banjir dan rencana evakuasi hendaknya
dikomunikasikan kepada masyarakat yang berisiko terkena banjir sebagai upaya
kewaspadaan/siaga, namun informasi yang aktual hendaknya disebarkan secara cepat melalui
stasiun‐stasiun radio setempat, telpon dan pesan singkat (SMS).

f. Parameter
Parameter atau tolak ukur ancaman/bahaya dapat ditentukan berdasarkan :
1) Luas genangan (km², hektar)
2) Kedalaman atau ketinggian air banjir (meter)
3) Kecepatan aliran (meter/detik, km/jam)
4) Material yang dihanyutkan aliran banjir (batu, bongkahan, pohon, dan benda keras lainnya)

3
5) Tingkat kepekatan air atau tebal endapan lumpur (meter, centimeter)
6) Lamanya waktu genangan (jam, hari, bulan)

g. Komponen yang Terancam


Bencana banjir mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dan harta benda, baik
milik perorangan maupun milik umum yang dapat mengganggu dan bahkan melumpuhkan
kegiatan sosial‐ekonomi penduduk. Uraian rinci tentang korban manusia dan kerusakan pasa
harta benda dan prasarana umum diuraikan berikut ini :
1) Manusia
 Jumlah penduduk yang meninggal dunia.
 Jumlah penduduk yang hilang
 Jumlah penduduk yang luka‐luka
 Jumlah penduduk yang mengungsi
2) Prasarana Umum
 Prasarana trasportasi yang tergenang, rusak dan hanyut, diantaranya : jalan, jembatan dan
bangunan lainnya; jalan KA, terminal bus, jalan akses dan kompleks pelabuhan.
 Fasilitas sosial uamh tergenang, rusak dan hanyut diantaranya : sekolah, rumah ibadah,
pasar, gedung pertemuan, Puskemas, Rumah Sakit, Kantor Pos, dan fasilitas sosial
lainnya;
 Fasilitas pemerintahan, industri‐jasa, dan fasilitas strategis lainnya: kantor
instansipemerintah, komplek industri, komplek perdangangan, instansi listrik,
pembangkit listrik, jaringan distribusi gas, instansi telekomunikasi yang tergenang, rusak
dan hanyut serta dampaknya, misal berapa lama fasilitasfasilitas terganggu sehingga tidak
dapat memberikan layanannya.
 Prasarana pertanian dan perikanan: sawah beririgasi dan sawah tadah hujan yang
tergenang dan puso (penurunan atau kehilangan produksi), tambak, perkebunan, ladang,
gudang pangan dan peralatan pertanian dan perikanan yang tergenang (tergenang lebih
dari tiga hari dikategorikan rusak) dan rusak (terjadi penurunan atau kehilangan produksi)
karena banjir.
 Prasarana pengairan: bendungan, bendung, tanggul, jaringan irigasi, jaringan drainase,
pintu air, stasion pompa, dan sebagainya.
4
3) Harta Benda Perorangan
 Rumah tinggal yang tergenang, rusak dan hanyut
 Harta benda (aset) diantaranya modal barang produksi dan perdagangan, mobil,
perabotan rumah tangga, dan lainnya yang tergenang, rusak dan hilang
 Sarana pertanian‐peternakan‐perikanan : peternakan unggas, peternak hean berkaki
empat, dan ternaknya yang mati dan hilang. Perahu, dermaga dan sarana perikanan yang
rusak dan hilang.

h. Strategi Mitigasi dan Upaya Pengurangan Bencana


Strategi mitigasi bencana banjir secara umum dapat dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu
upaya mitigasi non struktural, struktural serta peningkatan peran serta masyarakat.
1. Upaya Mitigasi Non Struktural
 Pembentukan “Kelompok Kerja” (POKJA) yang beranggotakan dinas instansi terkait
(diketuai Dinas Pengairan/Sumber Daya Air) di tingkat kabupaten/kota sebagai dari
Satuan Pelaksana (SATLAK) untuk melaksanakan dan menetapkan pembagian peran dan
kerja atas upaya‐upaya nonfisik penanganan mitigasi bencana banjir diantara anggota
POKJA dan SATLAK, diantaranya inspkesi, pengamatan dan penelusuran atas prasarana
dan sarana pengendalian banjir yang ada dan langkah yang akan diuraikan pada uraian
selanjutnya.
 Merekomendasikan upaya perbaikan atas prasarana dan sarana pengendalian banjir
sehingga dapat berfungsi sebagaimana direncanakan.
 Memonitor dan mengevaluasi data curah hujan, banjir, daerah genangan dan informasi
lain yang diperlukan untuk meramalkan kejadian banjir, daerah yang diidentifikasi
terkena banjir serta daerah yang rawan banjir.
 Menyiapkan peta daerah rawan banjir dilengkapi dengan “plotting” rute pengungsian,
lokasi pengungsian sementara, lokasi POSKO, dan lokasi pos pengamat debit
banjir/ketinggian muka air banjir di sungai penyebab banjir.
 Mengecek dan menguji sarana sistem peringatan dini yang ada dan mengambil langkah‐
langkah untuk memeliharanya dan membentuknya jika belum tersedia dengan sarana
yang paling sederhana sekalipun.

5
 Melaksanakan perencanaan logistik dan penyediaan dana, peralatan dan material yang
diperlukan untuk kegiatan/upaya tanggap darurat, diantaranya dana persediaan tanggap
darurat; persediaan bahan pangan dan air minum; peralatan penangulangan (misalnya
movable pump, dumb truck, dll); material penanggulangan (misalnya kantong pasir,
terucuk kayu/bambu, dll); dan peralatan penyelamatan (seperti perahu karet, pelampung,
dll).
 Perencanaan dan penyiapan SOP (Standard Operation Procedure)/Prosedur Operasi
Standar untuk kegiatan/tahap tanggap darurat yang melibatkan semua anggota
SATKORLAK, SATLAK dan POSKO diantaranya identifikasi daerah rawan banjir,
identifikasi rute evakuasi, penyediaan peralatan evekuasi (alat transportasi, perahu,dll),
identifikasi dan penyiapan tempat pengungsian sementara seperti peralatan sanitasi
mobile, penyediaan air minum, bahan pangan, peralatan daput umum, obat‐obatan dan
tenda darurat.
 Pelaksanaan Sistem Informasi Banjir, dengan diseminasi langsung kepada masyarakat
dan penerbitan press release/ penjelasan kepada press dan penyebar luasan informasi
tentang banjir melalui media masa cetak maupun elektronik yaitu station TV dan station
radio.
 Melaksanakan pelatihan evakuasi untuk mengecek kesiapan masyarakat SATLAK dan
peralatan evakuasi, dan kesiapan tempat pengungsian sementara beserta
perlengkapannya.
 Mengadakan rapat‐rapat koordinasi di tingkat BAKORNAS, SATKORLAK, SATLAK,
dan POKJA Antar Dinas/instansi untuk menentukan beberapa tingkat dari resiko bencana
banjir berikut konsekuensinya dan pembagian peran diantara instansi yang terkait, serta
pengenalan/diseminasi kepada seluruh anggota SATKORLAK, SATLAK, dan POSKO
atas SOP dalam kondisi darurat dan untuk menyepakati format dan prosedur arus
informasi/laporan.
 Membentuk jaringan lintas instansi/sektor dan LSM yang bergerak dibidang kepedulian
terhadap bencana serta dengan media masa baik cetak maupun elektronik (stasion TV dan
radio) untuk mengadakan kempanye peduli bencana kepada masyarakat termasuk
penyaluran informasi tentang bencana banjir

6
 Melaksanakan pendidikan masyarakat atas pemetaan ancaman banjir dan resiko yang
terkait serta pengunaan material bangunan yang tahan air/banjir.
2. Upaya Mitigasi Struktural
 Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai, tembok laut sepanjang
pantai yang rawan badai atau tsunami akan sangat membantu untuk mengurangi bencana
banjir pada tingkat debit banjir yang direncanakan.
 Pengaturan kecepatan aliran dan debit air permukaan dari daerah hulu sangat membantu
mengurangi terjadinya bencana banjir. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk
mengatur kecepatan air dan debit aliran air masuk kedalam sistem pengaliran diantaranya
adalah dengan reboisasi dan pembangunan sistem peresapan serta pembangunan
bendungan/waduk.
 Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka maupun
tertutup atau terowongan dapat membantu mengurangi terjadinya banjir.
3. Peranserta Masyarakat
Masyarakat baik sebagai individu maupun masyarakat secara keseluruhan dapat berperan
secara signifikan dalam manajemen bencana banjir yang bertujuan untuk memitigasi dampak
dari bencana banjir. Peranan dan tangung jawab masyarakat dapat dikategorikan dalam dua
aspek yaitu aspek yaitu aspek penyebab dan aspek partisipasipatif.
Aspek penyebab, jika beberapa peraturan yang sangat berpengaruh atas faktorfaktor
penyebab banjir dilaksanakan atau dipatuhi akan secara signifikan akan mengurangi besaran
dampak bencana banjir, faktor‐faktor tersebut adalah :
 Tidak membuang sampah/limbah padat ke sungai, saluran dan sistem drainase,
 Tidak membangun jembatan dan atau bangunan yang menghalangi atau mempersempit
palung aliran sungai,
 Tidak tinggal dalam bantaran sungai
 Tidak menggunakan dataran retensi banjir untuk permukiman atau untuk hal‐hal lain
diluar rencana peruntukkannya.
 Menghentikan penggundulan hutan di daerah tangkapan air,
 Menghentikan praktek pertanian dan penggunaan lahan yang bertentangan dengan
kaidah‐kaidah konservasi air dan tanah, dan

7
 Ikut mengendalikan laju urbanisasi dan pertumbuhan penduduk.

Aspek partisipatif, dalam hal ini partisipasi atau kontribusi dari masyarakat dapat
mengurangi dampak bencana banjir yang akan diderita oleh masyarakat sendiri, partisipasi yang
diharapkan mencakup :
 Ikut serta dan aktif dalam latihan‐latihan (gladi) upaya mitigasi bencana banjir misalnya
kampanye peduli bencana, latihan kesiapan penanggulangan banjir dan evakuasi, latihan
peringatan dini banjir dan sebagainya;
 Ikut serta dan aktif dalam program desain & pembangunan rumah tahan banjir antara lain
rumah tingkat, penggunaan material yang tahan air dan gerusan air;
 Ikut serta dalam pendidikan publik yang terkait dengan upaya mitigasi bencana banjir;
 Ikut serta dalam setiap tahapan konsultasi publik yang terkait dengan pembangunan
prasarana pengendalian banjir dan upaya mitigasi bencana banjir;
 Melaksanakan pola dan waktu tanam yang mengadaptasi pola dan kondisi banjir
setempat untuk mengurangi kerugian usaha dan lahan pertanian dari banjir; dan
 Mengadakan gotong – royong pembersihan saluran drainase yang ada dilingkungannya
masing‐masing.

B. BANJIR SEMARANG
Banjir dan masalah lingkungan yang terus melanda Kota Semarang tidak dapat
dilepaskan dari pertambahan penduduk yang terus berlangsung sepanjang tahun. Secara umum
yang dapat dicatat BPS Kota Semarang (tahun 2003- 2007) adalah, bahwa selama kurun waktu
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006, penduduk yang datang di Kota Semarang berturut-turut
adalah 34.270 orang pada tahun 2002, selanjutnya 37.063 orang (tahun 2003), 35.105 orang
(tahun 2004), 30.910 orang (tahun 2005), dan 42.714 orang pada tahun 2006. Sedangkan 5
kecamatan yang tergolong padat, juga kedatangan penduduk yang cukup banyak pada tahun
2006. Lima kecamatan itu adalah Banyumanik yang kedatangan 4.128 orang, Kecamatan
Tembalang 4.136 orang, Kecamatan Pedurungan 6.209 orang, Kecamatan Semarang Barat 4.002
orang dan Kecamatan Ngaliyan 4.059 (Wawasan, 13/01/09). 

8
Potensi Banjir di Kota Semarang

Menurut Pramono SS (2002), ada lima potensi banjir di Kota Semarang. Potensi pertama,
melihat karakteristik geografi, Kota Semarang memiliki daerah-daerah potensi banjir, karena
adanya perbedaan tinggi dataran antara wilayah utara dan ilayah selatan. Kondisi ini terjadi
karena adanya banjir kiriman dari wilayah selatan Kota Semarang dan kabupaten Semarang.

Potensi kedua, adanya perubahan pemanfaatan lahan dari hutan karet menjadi perumahan
di wilayah kecamatan Mijen memperbesar kerusakan di daerah tersebut. Akibatnya jumlah air
hujan yang mengalir ke wilayah Ngaliyan menjadi bertambah dan membuat daerah tersebut
terkena musibah banjir; padahal sebelumnya di daerah tersebut belum pernah terkena banjir.
Selain penggundulan hutan, perubahan fungsi lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Semarang
dari areal pertanian menjadi areal perumahan baru. Penyebab lain, banyak sungai yang berhulu
di daerah Kabupaten Semarang melewati Kota Semarang. 

Potensi ketiga, adanya pengeprasan bukit di beberapa tempat mengakibatkan perubahan


pola aliran air, erosi, dan mempertinggi kecepatan air, sehingga membebani pengairan. 

Potensi keempat, pembangunan rumah liar di atas bantaran sungai, pembuatan tambak
yang mempersempit sungai dan penutupan saluran di daerah hilir.

Potensi kelima adalah permasalahan non-teknis yaitu perilaku masyarakat kota Semarang
yang buruk. Perilaku membuang sampah di saluran dan di sembarang tempat. Rendahnya
kesadaran masyarakat koa ditunjukkan sewaktu banjir di beberapa jalan protokol kota Semarang
diakibatkan adanya saluran yang tersumbat, namun masyarakat tidak segera mengatasinya
melainkan menunggu petugas dari pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi permasalahan
pada saluran tersebut.

Penyebab Banjir di Kota Semarang

Banjir di dataran alluvial sungai dan alluvial pantai Semarang dapat dikelompokkan


menjadi tiga macam banjir, yaitu banjir kiriman, banjir lokal, dan banjir rob. 
Banjir kiriman yang terjadi secara periodik setiap tahun dan melanda daerah sekitar pertemuan

9
Kali Kreo, Kali Kripik, dan Kali Garang sampai di Kampung Bendungan disebabkan oleh:
a. Peningkatan debit air sungai yang mengalir dari DAS Garang (luasnya 204 km2), DAS Kreo
(luasnya 70 km2), dan DAS Kripik (luasnya 34 km2). Peningkatan debit ini disebabkan oleh:
intensitas hujan yang besar, atau intensitas hujan yang sama namun jatuh pada wilayah yang
telah berubah atau telah mengalami konversi penggunaan lahan.

b. Berkurangnya kapasitas pengaliran atau daya tampung saluran atau sungai tersebut, sehingga
air meluap menggenangi daerah di sekitarnya.

c. Banjir kiriman ini diperparah oleh kiriman air dari daerah atas yang semakin besar, sebagai
konsekuensi bertambah luasnya daerah terbangun yang merubah koefisien alirannya.

Banjir lokal yang lebih bersifat setempat, sesuai dengan atau seluas kawasan yang
tertumpah air hujan, terjadi disebabkan oleh:

a. Tingginya intensitas hujan.


b. Belum tersedianya sarana drainase yang memadai.
c. Penggunaan saluran yang masih untuk berbagai tujuan (multipurpose) baik untuk
penyaluran air hujan, limbah, dan sampah rumah tangga, padahal belum bisa diimbangi
oleh air penggelontoran yang dialirkan.
d. Banjir lokal ini diperparah oleh fasilitas bangunan bawah tanah (pipa PAM, kabel
Telkom, dan PLN) yang kedudukannya sangat mengganggu drainase.

Sedangkan banjir rob yang melanda daerah-daerah di pinggiran laut atau pantai
disebabkan oleh:
a. Permukaan tanah yang lebih rendah daripada muka pasang air laut.
b. Bertambah tingginya pasang air laut.
c. Sedimentasi dari daerah atas (burit) di muara sungai (Kali Semarang, Banjir Kanal Barat,
Kali Silandak, Kali Banger, Silandak Flood Way, Baru Flood Way, dan kali Asin)
maupun sedimentasi air laut khususnya oleh pasang surut (rob), di samping oleh
pengaruh gelombang dan arus sejajar pantai, sehingga terjadi pendangkalan muara yang
berakibat mengurangi kapasitas penyaluran dan akibat selanjutnya menambah parah
banjir di sekitarnya.

10
Solusi Banjir di Kota Semarang
Menurut Yusuf Y (2005), langkah-langkah untuk menangani banjir dibagi menjadi tiga,
yaitu: langkah-langkah untuk menangani banjir lokal, banjir genangan, dan banjir rob.
Untuk menangani banjir lokal perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut: di
Semarang Barat perlu dibangun saluran sabuk, di daerah hilir perlu normalisasi banjir kanal barat
dan banjir kanal silandak untuk mengembalikan kepada kapasitas rancangan, di daerah hulu
(lahan burit) perlu diatur dengan PERDA tentang kawasan dapat terbangun, kawasan konservasi,
dan pembuatan sumur resapan sehingga fungsi daerah atas sebagai daerah resapan terjamin.
Untuk menangani banjir genangan perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
saluran drainase yang ada sebaiknya digunakan untuk mengalirkan air hujan saja (single
purpose) dan perlu dibangun saluran tersendiri untuk limbah dan keperluan lainnya, normalisasi
dan pemeliharaan saluran-saluran drainase yang ada, perbaikan inlet yang sesuai dengan
kapasitas debit yang harus dialirkan, penyusunan PERDA tentang bangunan bawah tanah untuk
infrastruktur PLN, PDAM, TELKOM, atau instansi lainnya dan pengaturan luas lahan
terbangun, penyuluhan terhadap masyarakat.
Untuk menangani banjir rob perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
pembangunan drainase nongravitasi di Kali Asin, Baru, dan Banger, pembuatan PERDA
pengembangan wilayah pantai (termasuk reklamasi) dan izin peil bangunan yang dikaitkan
dengan IMB, serta penertiban dan memperketat perizinan air bawah tanah.

Sistem Drainase: Definisi, Fungsi, Kendala


Sistem drainase merupakan suatu sistem untuk mengalirkan atau membuang air hujan
yang jatuh di suatu daerah agar tidak terjadi genangan atau banjir (Kodoatie RJ, Sjarief R,
2005). 
Pada prinsipnya ada dua macam drainase, yakni drainase untuk daerah perkotaan dan
drainase untuk daerah pertanian. Pada perencanaan dan pengembangan sistem drainase kota
perlu kombinasi antara pengembangan perkotaan, daerah rural, dan daerah aliran sungai atau
DAS (Kodoatie RJ, Sjarief R, 2005).
Drainase memiliki berbagai fungsi, antara lain: membebaskan suatu wilayah (terutama
yang padat pemukiman) dari genangan air atau banjir, memperkecil risiko kesehatan lingkungan,

11
yakni bebas dari malaria (nyamuk) dan penyakit lainnya, sebagai pembuangan air rumah tangga
(Kodoatie RJ, Sjarief R, 2005).
Ukuran dan kapasitas saluran sistem drainase semakin ke hilir semakin besar, karena
semakin luas daerah alirannya.
Adapun berbagai kendala di dalam pemeliharaan sistem drainase di wilayah kota dengan
permukiman yang padat: kurangnya lahan untuk pengembangan sistem drainase karena sudah
berfungsi untuk tata guna lahan tertentu, sulitnya memelihara saluran karena bagian atas sudah
ditutup oleh bangunan, banyaknya sampah domestik yang menumpuk di saluran sehingga
mengurangi kapasitas dan menyumbat saluran. Pemahaman masyarakat bahwa sungai (drainase)
sebagai tempat buangan sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Terbatasnya dana untuk
pemeliharaan saluran. Sistem drainase seringkali tidak berfungsi optimal karena pembangunan
infrastruktur lainnya yang tidak terpadu dan tidak melihat keberadaan sistem drainase seperti
jalan, kabel TELKOM, pipa PDAM. Secara estetika, drainase bukan merupakan infrastruktur
yang bisa dilihat keindahannya karena fungsinya sebagai tempat pembuangan air dari semua
sumber. Umumnya drainase di perkotaan kumuh dan berbau tidak sedap. (Kodoatie RJ, Sjarief
R, 2005).

12
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?
pil=4&jd=Segala+Sesuatu+tentang+Banjir+di+Kota+Semarang&dn=20090615073405

http://kawasan.bappenas.go.id/images/RawanBencana/BANJIR.pdf

13

Anda mungkin juga menyukai